Sejarah Hari Perempuan Internasional
Abad
ke-20 di tengah gelombang industrialisasi dan ekspansi ekonomi yang menyebabkan
timbulnya protes-protes mengenai kondisi kerja. Kaum perempuan dari pabrik pakaian dan tekstil (garmen) mengadakan protes pada 8 Maret
1857 di New York City. Para buruh garmen memprotes apa yang mereka rasakan
sebagai kondisi kerja yang sangat buruk dan tingkat gaji yang rendah. Para
pengunjuk rasa diserang dan dibubarkan oleh polisi. Kaum perempuan ini
membentuk serikat buruh mereka pada bulan yang sama dua tahun kemudian. (sumber
: Wikipedia)
Pada
bulan Februari 1908, ratusan perempuan di Amerika Serikat menyelenggarakan aksi
massa besar-besaran menuntut hak-hak ekonomi dan politik bagi kaum perempuan.
Pada tahun 1909, sekitar 20.000-30.000 perempuan buruh garmen dan tekstil di
Amerika Serikat menggelar aksi massa menuntut kenaikan upah dan 8 jam kerja
dalam sehari. Aksi massa ini digelar selama 13 minggu berturut-turut. Aksi kali
ini memberikan pengaruh yang cukup luas terhadap kebangkitan pekerja perempuan
dan bahkan meluas hingga ke Eropa yang pada akhirnya mereka meraih keberhasilan
dengan dipenuhinya tuntutan-tuntutan mereka.
Setahun
kemudian
atau pada tahun 1910, dalam Pertemuan Internasional Perempuan kedua di
Copenhagen-Denmark, disepakati bahwa momentum tersebut diperingati sebagai Hari
Perempuan Internasional. Meskipun pada saat itu belum disepakati tanggal-nya.
Proses penetapan waktu tersebut berjalan selama 7 tahun berikutnya. Minggu
terakhir Februari 1913, kaum perempuan di Rusia menyelenggarakan demontrasi
untuk menentang perang dunia I. Setahun kemudian demonstrasi ini meluas ke
seluruh Eropa, jatuh pada minggu pertama Maret.
Tahun
1917, lagi-lagi kaum perempuan di Rusia melakukan demonstrasi besar pada minggu
terakhir Februari dengan mengusung tuntutan “Bread
and Peace” (Roti dan
Perdamaian). Empat hari kemudian, tepat tanggal 8 Maret dalam kalender masehi,
kekuasaan Tsar Rusia jatuh. Kemudian kaum perempuan mendapatkan hak pilih
mereka. Sejak
saat itu 8 Maret ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional sebagai
penghargaan atas kebangkitan kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-hak
sosial-ekonominya.
Sejarah
Penindasan Perempuan
Pada
awal masa perkembangan masyarakat di era komunal primitif, posisi perempuan dan
laki-laki sama. Masyarakat komunal primitif yang hidup berkelompok dalam
grup-grup (comune) dan berpindah-pindah (nomaden) ini memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan metode berburu hewan serta meramu sayuran dan
buah-buahan. Dalam sebuah komune, harta benda (hewan hasil buruan serta sayuran
dan buah-buahan) dimiliki secara kolektif oleh anggota komune yang kemudian
dibagi secara adil sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota komune
tersebut.
Dalam
proses pemenuhan kebutuhan ekonominya, muncul kebutuhan untuk melakukan
pembagian tugas di antara sesama anggota komune. Perempuan yang memiliki siklus
alami reproduksi menyebabkan mereka lebih banyak mendapat pekerjaan meramu,
sementara yang laki-laki berburu. Pada perkembangannya, proses bercocok tanam
terbukti lebih efektif daripada berburu. Dan ini menjadikan perempuan kemudian
lebih berdominan di kelompok, karena perempuan-lah yang menjadi tulang punggung
pemenuhan kebutuhan ekonomi komune. Dominasi
perempuan dalam hubungan produksi, kemudian berkembang pada dominasi dalam
berbagai aspek kehidupan komune. Bahkan, banyak sekali perempuan yang kemudian
menjadi pimpinan komune. Pada fase inilah awal kemunculan pola matrilineal
dalam komune, dimana garis keturunan komune berdasarkan pada garis keturunan
perempuan/ibu yang menjadi pemimpin dalam komune tersebut.
Ketika
sumber buruan semakin sulit diperoleh, maka beralihlah kaum laki-laki dari
pekerjaan berburu untuk kembali ke komune dan terlibat dalam pekerjaan bercocok
tanam yang sebelumnya lebih banyak dikerjakan oleh perempuan serta
mengembangkan metode beternak hewan. Karena laki-laki jauh lebih mahir
menggunakan alat kerja (berangkat dari pengalamannya sebagai pemburu hewan)
dari pada perempuan, maka perlahan-lahan perempuan mulai terdesak oleh
laki-laki dalam hubungan produksi. Baik itu pertanian maupun peternakan. Selain
itu, juga karena perempuan banyak disibukkan oleh proses reproduksi yang
dialaminya (hamil, melahirkan dan menyusui), yang mengakibatkan perempuan
kembali mendapatkan pekerjaan meramu sebab pekerjaan tersebut lebih mudah
dikerjakan sembari merawat anak. Akan tetapi, ketika itu belum ada diskriminasi
terhadap perempuan.
Berkembangnya
sektor pertanian, mengakibatkan persaingan antar komune untuk memperebutkan
lahan yang subur dan dekat dengan sumber air. Persaingan ini mengarah pada
perang antar komune. Tentu saja, komune yang memenangkan peperangan adalah
komune yang memiliki banyak laki-laki dan tentu saja juga dipimpin oleh
laki-laki. Karena laki-laki lebih mahir dan berpengalaman dalam menggunakan alat
kerja dan senjata untuk berburu, bercocok tanam dan berternak.
Dari
peperangan antar komune inilah, lahir klas dalam masyarakat. Sebab, komune yang
kalah kemudian dijadikan sebagai budak oleh para pimpinan dan prajurit perang
dari komune yang memenangkan peperangan. Sedangkan harta kolektif milik komune
yang kalah, menjadi harta milik pemimpin komune dan hadiah bagi para
prajuritnya. Sehingga, pemimpin-pemimpin komune yang menang perang berubah
menjadi tuan budak. Peperangan antar komune yang semakin marak terjadi,
mendorong adanya perubahan jaman dari komunal primitif menjadi jaman
perbudakan. Dalam fase ini, perempuan tidak lagi mendominasi dan memimpin dalam
komune. Sebagian besar dari mereka berada dalam klas budak yang tidak memiliki
hak apapun atas dirinya sendiri yang itu artinya perempuan setara dengan
barang.
Penindasan
terhadap perempuan, dapat dilihat pada aspek memposisikan perempuan sebagai
barang milik pribadi. Ini bisa dilihat ketika kepala komune memposisikan
perempuan sebagai milik pribadinya, ”kamu tidak boleh berhubungan seks dengan
orang lain selain saya, namun saya bisa saja berhubungan seks dengan semua
budak perempuan yang saya miliki”. Praktek inilah yang mengilhami terjadinya
keluarga monogami ataupun poligami yang bergaris keturunan laki-laki (patrilineal).
Selain dimiliki untuk memuaskan hasrat seks tuan budak, perempuan juga diberi
beban pekerjaan untuk mengolah pertanian, peternakan dan meramu makanan.
Penindasan
budak oleh tuan (pemilik) budak ini yang mengilhami perlawanan budak kepada
tuan budak dan menuntut pembebasan. Meningkatnya perlawanan budak, membuat tuan
budak terpaksa memerdekakan budak-budaknya dan merubah klas budak menjadi tani
hamba. Sedangkan tuan budak, karena kini hanya memiliki tanah sebagai harta
pribadinya; maka berubah menjadi tuan (pemilik) tanah.
Akan
tetapi, tuan-tuan tanah ini tentu saja tidak ingin kehilangan 100% tenaga
kerjanya selama ini. Maka, diciptakanlah budaya patriarkhi. Perempuan
dibebaskan secara relatif dengan membatasi ruang gerak perempuan serta
menciptakan opini mengenai watak dasar perempuan. Budaya patriarkhi
mengidentikkan perempuan sebagai manusia yang lembut, santun, lemah gemulai,
dan hanya boleh bekerja dalam lingkungan terbatas. Fase feodal ini memang
sengaja memposisikan perempuan lebih rendah dari laki-laki demi kepentingan
untuk menundukkan tani hamba yang memang mayoritas adalah perempuan.
Kedatangan bangsa asing ke Indonesia yang melakukan
kolonialisme terhadap Indonesia, tidak pernah menghancurkan sistem feodalisme
dalam masyarakat. Mereka justru menjadikannya sebagai basis sosialnya dalam
melakukan penjajahan terhadap rakyat Indonesia. Sebab, mereka membutuhkan
keberadaan tuan-tuan tanah tersebut untuk pendirian perkebunan luas sebagai
jaminan suplai bahan mentah bagi industri di negara mereka. Mereka juga
membutuhkan tenaga kerja murah agar dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya,
dan industri rakitan di dalam negeri Indonesia sebagai pasar bagi hasil
produksi industri mereka serta konsumen atas barang dagangannya. Kolonialisme
juga memanfaatkan budaya patriarkhi untuk mengkebiri perempuan Indonesia.
Dalam fase-fase selanjutnya, ketika Indonesia telah
merdeka sekalipun, penindasan tersebut masih terus berlangsung. Hal ini karena
kemerdekaan bangsa Indonesia telah dihianati oleh Perjanjian Damai Konferensi
Meja Bundar yang menjadikan Indonesia sebagai negara setengah jajahan dan tetap
menggunakan feodalisme sebagai basis sosialnya. Akibatnya,
kaum perempuan menjadi kalangan yang menanggung beban paling berat. Partisipasi
perempuan dalam proses produksi pertanian di pedesaan semakin hilang, dan
pergilah mereka bermigrasi ke kota atau luar negeri untuk mencari sumber
penghidupan bagi mereka dan keluarganya.
Krisis
Umum Imperialisme
Tak dapat
dipungkiri bahwa situasi Internasional saat ini sedang mengalami Krisis ekonomi,
politik dan kebudayaan. Penyebab krisis tersebut karena sebuah keserakahan yang
ingin menguasi modal, tanah, air, dan lainnya dengan sekala besar, dengan cara
memonopoli dan menciptakan sistem penindasan untuk memaksakan kehendaknya
terhadap yang lemah dengan tujuan agar terus melanggengkan kekuasaannya di belahan dunia, mereka disebut
Imperialisme yang merupakan puncak tertinggi dari sistem kapitalisme dan saat
ini dipimpin oleh Negara Amerika Serikat.
Namun
Imperialisme saat ini sedang mengalami kirisis didalam negerinya. Krisis
ekonomi dan keuangan global yang terjadi di AS pada tahun 2008 akibat macetnya
pembayaran kedit perumahan (sub-prime
mortgage), yang telah menyebabkan depresi ekonomi dunia yang berat hingga
sekarang. Krisis tersebut sesungguhnya bersumber pada Over produksi atas
barang-berang komoditi yang tidak bisa diselesaikan oleh sistem kapitalisme.
Barang-barang komoditas produksi masal yang dihasilkan dari teknologi tinggi
seperti Otomoif, Persenjataan, elektronik semakin menumpuk ditengah perkembangan
pasar yang semakin menyempit dan merosotnya kekuatan daya beli masyarakat. Sehingga
dampak krisis tersebut telah membangkrutkan perusahaan-perusahaan besar di
dunia, mengeringkan lukuiditas bank-bank besar, menghamburkan dana publik dalam
jumlah besar dan sehingga merosotkan ekonomi dunia dalam stagnasi.
Situasi ini
membuat Negara-Negara Imperialisme memaksakan liberalisai perdagangan melalui
berbagai skema seperti WTO, maupun perjanjian perdagangan bebas (FTA) bilateral
maupun regional, seperti EAS (East Asia Summit), APEC (Asia Pacific Economic
Cooperation), CAREM (Central Asia regional Meeting), ASEM (Asia-Europe
meeting), PIF (Pacific Island Forum), SAAR (South Asian Association Regional
Cooperation), semunya merupakan forum kerja sama regional dan trans regional
yang secara efektif digunakan oleh imperialis pimpinan AS untuk menjalankan
dominasi dan intervensi kepentingannya agar
keluar dari krisis ekonomi dan keuangan yang sedang memukul didalam Negerinya. agar kepentingan imperialis bisa mengikat.
Selain ekspor barang komoditas, imperialis juga berkepentingan atas ekpor
kapital supaya terhindar dari pembusukan kapital. Wilayah Asia merupakan
sasaran yang paling potensial bagi imperialisme dalam hal investasi dan perdagangan,
karena Asia merupakan tempat tinggal populasi terbesar dunia sebagai potensi
pasar yang luar biasa besar, tempat surplus tenaga kerja murah dan tempat
sumber kekayan alam paling kaya di dunia.
Krisis yang
begitu hebat dan lama yang dialami di Negara-Negara imperialsme, khususnya Amerika
Serikat selaku pimpinannya. Dimana Negara tersebut, merupakan Negara adidaya
yang mempunyai segala kekuatan dalam segala aspek terutama kekuatam militernya,
telah menancapkan penindasannya diNegara-Negara setengah jajahan dan jajahannya
seperti di Indonesia dan membawa dampak kemiskinan dan kesengsaraan yang begitu
hebat dan lama. Untuk melanggengkan intervensi di Negeri-Negeri yang kaya akan
SDA dan SDM, imperialisme akan selalu menciptakan rezim boneka di dalam negeri
dan bahkan tidak akan ragu untuk memerangi bagi setiap Negeri yang tidak mau
tunduk kepada skema imperialisme.
Dampak Krisis Imperialisme bagi Perempuan
Indonesia.
Situasi
krisis imperialisme akan sangat berampak kepada siapa saja, tak terkecuali bagi
kaum perempuan. Apalagi jumlah perempuan di indonesia tidak sedikit.
Imperialisme yang selama ini menancapkan jari-jari penindasannya
terhadap rakyat di berbagai negeri melalui program globalisasi dan pasar
bebasnya,
telah semakin renta dan tidak berdaya lagi menanggung krisis di dalam tubuhnya
sendiri, sehingga mereka kemudian melimpahkan beban krisisnya terhadap seluruh
rakyat di negara-negara jajahan dan setengah jajahan, termasuk di dalamnya
perempuan Indonesia. Saat ini, jumlah perempuan Indonesia sekitar 40% dari total
jumlah penduduk Indonesia 240 juta jiwa, dengan komposisi pekerjaannya menjadi
buruh industri, buruh tani, buruh migrant, buruh jasa hinga menjadi pekerja
seks.
Jika
kita mengamati situasi kehidupan permpuan dibasis perkotaan, bahwa sektor buruhlah
yang paling keras mendapatkan pukulan akibat pengaruh krisis imperialisme.
Perusahaan-perusahaan tempat kerja mereka yang selama ini sangat tergantung
terhadap investasi, bahan baku dan pasar di luar negeri kini mulai kehilangan
order ekspornya. Hal tersebut disebabkan karena menurunnya permintaan, akibat
menurunnya daya beli masyarakat. Industri yang ada di Indonesia adalah industri
manufaktur dengan menggunakan teknologi rendah yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan pasar di luar negeri. Jika negeri induk imperialisme mengalami
kebangkrutan ditandai dengan merosotnya daya beli masyarakat, maka imbas yang
terjadi akan terlihat di negeri setengah jajahan imperialisme seperti
indonesia. Banyak pabrik yang kemudian mengurangi jumlah produksinya karen
pendapatannya menurun dan bahkan gulung tikar.
Peraturan
perburuhan di Indonesia selama ini tidak pernah memihak kepada buruhnya sama
sekali. Dampaknya dapat kita lihat bersama. Banyak pabrik yang mem-PHK buruhnya
secara besar-besaran dengan tanpa memenuhi hak-haknya sebagai buruh setelah di
PHK (tunjangan dan pesangon). Kemudian perusahaan mulai menerapkan sistem kerja
kontrak dan outsourching yang sangat merugikan buruh tanpa kepastian kerja dan
upah yang layak. Seringkali juga, buruh harus bekerja lembur yang lebih berat
dengan alasan untuk mengejar target produksi yang diinginkan oleh perusahaan
tanpa ada tambahan upah yang sebanding. Angka PHK per Maret 2010 mencapai
68.332 orang, belum termasuk buruh yang dirumahkan sebanyak 27.860 orang (siaran pers Menakertrans 2010).
Sistem kapitalis
global ini telah menjadikan perempuan-perempuan Indonesia sebagai “budak
modern” dalam industri-industri perakitan mereka dengan upah murah dan
dibedakan dengan buruh laki-laki, tanpa mendapatkan tunjangan apapun bagi
keluarga meski banyak diantara perempuan-perempuan tersebut bekerja sebagai
tulang punggung ekonomi keluarga. Di pihak lain, mereka juga tetap harus
menjalankan tugas-tugas mereka sebagai “ibu rumah tangga” yang harus merawat suami,
anak, memasak, dan berbagai pekerjaan rumah tangga lainnya. Dengan adanya
pembedaan upah dan tunjangan yang diberikan antara buruh laki-laki dan
perempuan, semakin banyak perusahaan yang menggunakan buruh perempuan karena
bisa menekan ongkos produksinya untuk menaikkan keuntungan yang diperoleh. Bahkan
tubuh perempuan sudah dijadikan sebagai strategi pemasaran untuk menarik
konsumen bagi perusahaan Imperialisme, faktanya iklan-iklan lebih banyak
memakai model perempuan dibandingkan laki-laki.
Di
pedesaan, perempuan menjadi buruh tani atau petani penggarap dengan upah yang
rendah dan menjadi sangat rendah karena diskriminasi upah yang dijalankan oleh
para tuan tanah dan petani kaya terhadap mereka. Upah
buruh tani perempuan di Jawa masih berkisar antara 10 ribu hingga 20 ribu
meskipun harga-harga bahan pokok telah naik berkali-kali dan juga Bahan
Bakar Minyak. Tidak ada perbaikan hidup yang signifikan bagi mereka,
yang ada justru menurunnya daya beli.
Ditambah
dengan semakin maraknya perampasan tanah yang dilakukan oleh para tuan tanah
besar pemilik perkebunan kelapa sawit, karet dll,
yang berusaha agar tetap mendapatkan keuntungan besar (super profit) di
tengah menurunnya harga hasil produksi mereka, dengan jalan memperluas
perkebunan mereka. Mereka merampas tanah para petani miskin yang tidak sanggup
membayar uang sewa/bagi hasil karena rendahnya hasil produksi mereka. Atau
karena tidak mampu hutang atas pembelian pupuk dan benih yang harganya semakin
melambung tinggi.
Dengan
situasi dipedesaan yang sangat susah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga
sehingga para perempuan memilih untuk mencari pekerjaan di kota atau bekerja
diluar negeri menjadi Buruh Migrant, dengan lulusan sekolah rata-rata Sekolah
Dasar (SD), sehingga pekerjaan yang dapat dilakukan adalah menjadi Pembantu
Rumah Tangga (PRT).
Angkatan
kerja menurut pendidikan dan jenis kelamin tahun 2009
Pendidikan
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
Jumlah
|
SD
|
33,753,012
|
24,296,867
|
58,049,879
|
SMP
|
14,114,364
|
7,786,857
|
21,901,221
|
SMA
|
17,847,162
|
8,301,216
|
25,788,378
|
Akademi/Diploma
|
1,564,061
|
1,597,843
|
3,161,904
|
Universitas
|
3,019,792
|
1,823,234
|
4,843,026
|
Jumlah
|
69,938,391
|
43,806,017
|
113,744,408
|
Sumber
BPS 2009
Pekerjaan PRT
sangatlah susah dan tidaklah mudah karena tidak ada UU yang mengatur dan
menjamin tentang PRT, sehingga tidak ada jaminan atas kelayakan upah, jam
kerja, dan keselamatan kerjanya.
Begitupun
dengan para buruh migrant, tidak ada jaminan perlindungan sejati bagi buruh
migrant indonesia, meski ada UU yang mengatur tentang Buruh Migran, namun UU
tersebut sama sekali tidak berpihak kepada buruh migrant melainkan berpihak
kepada para agensi. Persoalan yang sering dihadapi oleh buruh migran Indonesia,
yakni biaya penempatan yang sangat besar atau lebih dikenal dengan istilah overcharging, dan pemberlakuan terminal
4 di bandara Soekarno-Hatta. Praktek penarikan biaya penempatan yang diterima
oleh buruh migran tersebut, biasa dilakukan oleh agen penyalur dan
lembaga-lembaga pemerintahan terkait. Ganti biaya atas biaya penempatan, biaya
pelatihan dan izin tinggal, dengan cara memotong upah sebesar 10%-70% tiap
bulannya kepada buruh migran. Jumlah buruh
migrant indonesia hampir 6 juta jiwa, dan 80% adalah para perempuan dan 90%
bekerja disektor Rumah Tangga (data ATKI
2011). Sering kali buruh mingran disebut sebagai pahlawan devisa negara.
Hal ini dikarenakan setiap buruh migran yang ingin bekerja di luar negeri harus
membayar visa kerja, remitansi dan dana-dana lainnya yang masuk dalam
pendapatan negara. Namun, sedikit orang yang tahu dan mengerti tentang nasib
dan keberadaan buruh migran yang sudah bekerja di luar negeri, yang masih di
penampungan ataupun yang akan pulang ke Indonesia.
Akses Publik,
dimana akses kesehatan bagi perempuan sangat minim, terutama kesehatan reproduksi
perempuan yang sangat rentan dampaknya bagi ibu-ibu yang sedang melahirkan hingga
berakibat pada kematian. Kematian ibu saat persalinan sebagian besar disebabkan
buruknya infrastruktur transportasi dan kesehatan lingkungan, dan hal ini
diperparah oleh rendahnya tingkat kesehatan pada ibu karena kekurangan gizi.
Angka Kematian Ibu di Indonesia tergolong tinggi didunia yaitu 250 per 100.000
kelahiran hidup (data Kementrian
kesehatan). Hampir semua anggaran untuk sektor publik dipotong dan
diliberalisasikan dengan dalih untuk pos anggaran publik yang lainnya, padahal selain
dirampas oleh para pejabat korup, uang rakyat dan kekayaan alam Negeri ini
telah di berikan kepada pihak asing yaitu Imperialisme (ekpor kapital) melalui
sistem ekonomi feodal dan didukung oleh kapitalisme birokrat dan tuan tanah di
Indonesia, dengan menguasai tanah di Indonesia.
Akses pendidikan bagi perempuan
Pendidikan
merupakan pilar utama kemajuan suatu Negeri, karena pendidikan tidak lain
adalah kebudayaan untuk merubah tingkat berfikir masyarakat dalam menjawab
sebuah problem yang ada disekitarnya (ilmiah), pendidikan haruslah terjangkau
bagi siapa saja (demokratis) dan pendidikan tersebut harus mengabdi kepada
rakyat bukan mengabdi kepada imperialisme. Namun yang terjadi saat ini
pendidikan masuk dalam skema liberalisasi demi melepaskan krisis yang terjadi
di tubuh imperialisme. Faktanya saat ini pendidikan telah menjadi barang
komoditi untuk mendapatkan super profit yang setinggi-tinginya. Anggaran pendidikan 20% yang oleh pemerintah
disampaikan telah terealisai bahkan lebih hingga 20,2%, yakni meningkat dari
tahun 2010 sebesar Rp. 225.229,40 Trilliun dan pada tahun 2011 Rp. 243.276,06
Trilliun. Kenyataannya, anggaran tersebut termasuk didalamnya alokasi untuk
gaji guru yang meliputi gaji pokok, tambahan penghasilan, tunjangan profesi dan
insentif daerah, bahkan angka tersebut menjadi tampak lebih gemuk karena
anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebesar Rp. 16.812.01 Trilliun
termasuk dalam akumulasi perhitungan anggaran 20% tersebut. Jika dihitung prosentase
untuk penyelenggaran pendidikan riil hanya mencapai 10% bahkan turun dari
anggaran pada tahun sebelumnya yang mencapai 11,06%. Artinya bahwa sesungguhnya
anggaran 20% tersebut masihlah sangat jauh dari realisasinya.
Untuk dana BOS sendiri, bantuan tersebut tidak mencirikan Negara Indonesia
yang kaya akan sumber daya alamnya, yang seharusnya dari kekayaan lautnya saja
akan sangat terpenuhi kebutuhan untuk biaya pendidikan karena Indonesia sangat
luas dan banyak akan sumber daya alamnya. Sehingga tidak perlu adanya dana BOS,
disisi lain karena sumber dana tersebut bersumber dari pinjaman dari Bank Dunia
yang sarat akan skema penindasan dari Imperialisme ke Negara-Negara Jajahan dan
setengah Jahahannya seperti di Indonesia. Kebudayaan di tengah masyarakat akan
pentingnya pendidikan masih terhitung sangat minim khususnya untuk perempuan, dengan
pandangan bahwa tidak perlu pendidikan
bagi perempuan apalagi pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, cukup hanya mengenal
baca dan tulis karena bagaimanapun perempuan tempatnya hanya di dapur dan kelak
mengurusi anak dirumah, pandangan
tersebut sangat feodal dan mendiskriminasikan para perempuan. Belum lagi
ditambah dengan mahalnya biaya pendidikan yang terjadi saat ini, akan semakin
membuat jauh akses pendidikan bagi perempuan.
Angka
partisipasi murni menurut jenjang pendidikan dan jenis kelamin tahun 2008
Pendidikan
|
L
|
P
|
SD
|
94,06
|
93,91
|
SMP
|
66,36
|
67,62
|
SMA
|
44,98
|
44,51
|
Susenas 2008
Data ditabel
pada tahun 2008 saja, bahwa partisipasi murni untuk jenjang pendidikan dikota
dan didesa lebih banyak tingkat SD dari pada SMA, disisi lain angka partisipasi
pendidikan perempuan lebih sedikit dari pada laki-laki. Dampak dari pandangan
feodal terhadap perempuan dan ditambah lagi dengan mahalnya biaya pendidikan
akan berakibat pada banyaknya masayarakat yang masih buta aksara karena tidak
pernah mengenyam pendidikan dan belum lagi ditambah dengan sisiwa yang putus
sekolah (DO). Siswa SD putus sekolah setiap tahunnya sebesar 527.850 siswa dari
31.05 juta jiwa (data Unesco)
Data jumlah perempuan buta huruf
Kalau kita
lihat bahwa, setiap tahunnya angka buta huruf lebih banyak perempuan dari pada
laki-laki, ini menunjukkan bahwa masih minimnya angka partisipasi pendidikan
bagi perempuan. Dengan situasi perempuan yang banyak tidak mengenyam pendidikan
dan jika mengenyam pendidikan mayoritas hanya ditingkat pendidikan Sekolah
Dasar, hal ini membuat para perempuan akan sangat rentan menjadi objek
kekerasan dan eksploitasi atas kepentingan setiap laki-laki terutama kepentingan
imperialisme sebagai objek strategi pemasaran barang untuk mendapatkan nilai
tambah bagi setiap perusahaan.
Perempuan
juga menjadi objek perdagangan manusia (Traffiking) yang korbannya mayoritas
berasal dari pedesaan dengan alasan akan dipekerjakan sebagai karyawan atau PRT
dikota dan diluar negeri, untuk dijadikan tenaga kerja murah. Hal tersebut
tidak ada pilihan lain bagi para perempuan didesa, karena tanah-tanah
dipedesaan sebagai penopang hidup sudah dirampas oleh para tuan tanah dan
kapitalisme birokrat untuk dijadikan perkebunan dan areal pertambangan, demi
memenuhi kepentingan Imperialisme. Disisi lain juga upah para buruh tani tidak
mencukupi untuk kebutuhan hidupnya di desa, ditambah lagi dengan harga gabah
naik dan harga jual panen dipasaran menurun akibat dari asupan barang impor,
sehingga para petani mengalami kerugian yang cukup besar.
Komnas Perempuan 1998-2011
Ada 5 jenis kekerasan seksual terbanyak, yaitu perkosaan
(4.845 kasus), perdagangan perempuan
untuk tujuan seksual (1.359 kasus), pelecehan seksual (1.049 kasus), penyiksaan seksual (672 kasus), dan eksploitasi seksual (342 kasus).
Selain itu
sistem keluarga memaksa pembagian kerja sosial berdasarkan pada
penaklukan perempuan dan ketergantungan
mereka terhadap seorang lelaki, ayah atau suami mereka. Atas hal itu ideologi exist
berkembang dan dipelihara. Menggambarkan perempuan sebagai kaum yang secara psikologis
berada di bawah kaum laki-laki dan secara biologis tidak pantas untuk berperan
lebih dari melahirkan dan kerja domestik. Keadaan inilah yang disebut dengan budaya patriaki.
Selain itu, status hukum kaum perempuan yang lebih rendah dalam klas masyarakat
menjadi sumber dari kekerasan yang bersifat anti – perempuan yang ditandai
dengan masih tingginya tindak perkosaan, penyiksaan terhadap istri dan
pembunuhan bayi perempuan.
Peran
Pemerintah terhadap Perempuan
Pemerintah
Indonesia yang dipimpin oleh SBY-Boediono, sama sekali tidak ada keberpihakannya
kepada rakyat Indonesia, apalagi terhadap kaum perempuan. Pemerintah lebih
memihak kepada tuannya yaitu Imperialisme untuk melanggengkan skema
penindasannnya terhadap rakyat khususnya kaum perempuan, karena saat ini
tuannya sedang dilanda krisis yang begitu hebat dan lama dalam sepanjang
sejarahnya. Imperialisme sedang memerlukan asupan sumber bahan mentah dan
tenaga kerja murah untuk melepaskan krisis yang sedang melanda deras ditubuhnya.
Sebagai salah satu Negara yang mempunyai syarat bagi imperialisme adalah
Indonesia, sehingga imperialisme selain menciptakan pasar bebas juga menciptakan
rezim boneka seperti SBY-Boediono. Imperialisme masuk ke Indonesia melalui
kerjasama bilateral maupun multilateral dan disokong oleh para Kapitalisme
birokrat yang berada didalam sruktur birokrasi pemerintahan pusat-desa dan para
tuan tanah (feodal) di Indonesia. Undang-undang atau kebijakan yang dikeluarkan
baik oleh legislatif maupun eksekutif, sama sekali tidak ada yang berpihak
terhadap rakyat terlebih terhadap kaum perempuan Indonesia, yang ada berpihak
kepada asing yaitu Imperialisme. Dapat kita tengok berapa banyak kasus para
penjabat pemerintah melakukan korupsi untuk proyek pembebasan lahan pertanian
untuk pertambangan dan perkebunan, proyek pembangunan infrastruktur dan
lainnya. Pembangunan tersebut merupakan hasil dari kerjasama komprehensif
antara Amerika-Indo diseluruh sector dan dalam berbagai aspek kehidupan rakyat.
Salah satu dari Program tersebut adalah Program yang saat ini sedang
digencarkan oleh Pemerintah, yaitu Program “Master Plan Percepatan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI)”.
Kebijakan Di Indonesia
Hampir secara
ke seluruhan UU atau kebijakan di Indonesia sangat bertentangan dengan UUD 1945,
sehingga dapat dikatakan bahwa, UU atau kebijakan yang dikeluarkan adalah tidak
sah atau Inskonstitusional karena tidak sesuai dengan UU yang ada diatasnya
yaitu UUD 1945.
Dalam
pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 salah satu tujuan Negara Indonesia yakni “Mencerdaskan
Kehidupan Bangsa”. Dan disektor pendidikan dalam pasal 31 UUD 45 menyebutkan
bahwa (1) Setiap warga negara behak mendapatkan pendidikan, (2) Setiap warga
negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, (3) Negara
memperioritaskan anggarn penddidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan (4)…., Saat ini pemerintah
melepaskan tanggung jwabnya dalam penyelenggaraan dan pembiayaan pendidikan
dengan membuat aturan atau Undang Undang sebagai legitimasi lepasnya peran dan
tanggung jawab pemerintah, salah satunya adanya Sekolah Bertaraf Internasional
(SBI) dan RSBI, di Perguruan Tinggi ada RUU Pendidikan Tinggi yang sedang
dibahas oleh pemerintah dan rencananya akan disahkan pada bulan April 2012.
Kemudian di
UUD 45 juga diatur tentang jaminan perlindungan terhadap tindakan kekerasan
perempuan. Namun faktanya kekerasan
terhadap perempuan setiap tahun semakin banyak terjadi seperti kasus
pemerkosaan, KDRT dll, dan paling banyak adalah kasus seksual yaitu pemerkosaan
dan perdagangan perempuan. Ini menunjukkan tidak
adanya keseriusan pemerintah dalam menjamin keselamatan warga negaranya.
Untuk
Tenaga Kerja Indonesia yang berada diluar negeri, sama sekali tidak ada aturan
dan Kebijakan yang berpihak kepada mereka. Salah satunya UU PPTKILN 39 tahun
2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, aturan
tersebut sangat memberatkan para TKI karena biaya penempatan yang begitu
tinggi, disisi lain tidak ada jaminan perlindungan bagi TKI baik di luar negeri
maupun di Indonesia sendiri ketika TKI pulang dan tiba diterminal 4 (empat)
khusus TKI di Bandara Soekarno Hatta.
Jika kita
lihat Dari sekian aturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, tidak
ada yang berpihak kepada rakyat terutama keberpihakan kepada para perempuan,
perempuan dijadikan objek penindasan. Seharusnya pemerintah dalam hal ini SBY-Boediono,
harus menjalankan amanat UUD 45 karena pemerintah merupakan pelaksana sebuah Negara,
akan tetapi pemerintah tidak pernah melaksanakannya sesuai yang ada di UUD 45,
karena watak dari pemerintahan Indonesia adalah Borjuasi Komprador ditambah
lagi sebagai boneka Imperialime, dimana salah satu ciri watak tersebut akan selalu
melanggengakan kebijakan apapun demi kepentingan dirinya dan tuannya yaitu
Imperialis yang saat ini dipimpin oleh Amerika Serikat
Akar Persoalan Perempuan
Dari uraian di atas, tampak bahwa ada dua
akar penindasan terhadap perempuan. Pertama, sistem ekonomi yang sedang berkuasa dan
berdominasi di Indonesia, yaitu Imperialisme yang kini semakin mempertajam
penindasan terhadap perempuan dan seluruh rakyat Indonesia demi memindahkan
krisis yang dihadapinya di dalam negeri dengan menggunakan sistem ekonomi
feodalisme sebagai basis social atas penjajahannya di Indonesia. Kedua,
budaya patriarkhi yang digunakan oleh imperialisme bersama tuan tanah dan
borjuasi komprador di dalam negeri Indonesia untuk menindas perempuan
Indonesia.
Hal yang harus dilakukan untuk perempuan
adalah Bangkit untuk bejuang dengan mengorganisasikan dirinya dalam organisasi
massa (ormas) dan membangun organisasi massa perempuan baik itu ormas pemuda/mahasiswa,
tani , buruh dll. Mengintensifkan propaganda ditengah massa dengan
menyelenggarakan kegiatan luas seperti seminar, mimbar bebas, aksi demonstrasi
dll serta membangun aliansi strategis dan luas dengan organisasi lainnya
sebagai metode memperluas jangkauan pengaruh organisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar