Senin, 09 April 2012

Sejarah Hari Perempuan Internasional


Sejarah Hari Perempuan Internasional
Abad ke-20 di tengah gelombang industrialisasi dan ekspansi ekonomi yang menyebabkan timbulnya protes-protes mengenai kondisi kerja. Kaum perempuan dari pabrik pakaian dan tekstil (garmen) mengadakan protes pada 8 Maret 1857 di New York City. Para buruh garmen memprotes apa yang mereka rasakan sebagai kondisi kerja yang sangat buruk dan tingkat gaji yang rendah. Para pengunjuk rasa diserang dan dibubarkan oleh polisi. Kaum perempuan ini membentuk serikat buruh mereka pada bulan yang sama dua tahun kemudian. (sumber : Wikipedia)
Pada bulan Februari 1908, ratusan perempuan di Amerika Serikat menyelenggarakan aksi massa besar-besaran menuntut hak-hak ekonomi dan politik bagi kaum perempuan. Pada tahun 1909, sekitar 20.000-30.000 perempuan buruh garmen dan tekstil di Amerika Serikat menggelar aksi massa menuntut kenaikan upah dan 8 jam kerja dalam sehari. Aksi massa ini digelar selama 13 minggu berturut-turut. Aksi kali ini memberikan pengaruh yang cukup luas terhadap kebangkitan pekerja perempuan dan bahkan meluas hingga ke Eropa yang pada akhirnya mereka meraih keberhasilan dengan dipenuhinya tuntutan-tuntutan mereka.
Setahun kemudian atau pada tahun 1910, dalam Pertemuan Internasional Perempuan kedua di Copenhagen-Denmark, disepakati bahwa momentum tersebut diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Meskipun pada saat itu belum disepakati tanggal-nya. Proses penetapan waktu tersebut berjalan selama 7 tahun berikutnya. Minggu terakhir Februari 1913, kaum perempuan di Rusia menyelenggarakan demontrasi untuk menentang perang dunia I. Setahun kemudian demonstrasi ini meluas ke seluruh Eropa, jatuh pada minggu pertama Maret.
Tahun 1917, lagi-lagi kaum perempuan di Rusia melakukan demonstrasi besar pada minggu terakhir Februari dengan mengusung tuntutan Bread and Peace”  (Roti dan Perdamaian). Empat hari kemudian, tepat tanggal 8 Maret dalam kalender masehi, kekuasaan Tsar Rusia jatuh. Kemudian kaum perempuan mendapatkan hak pilih mereka. Sejak saat itu 8 Maret ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional sebagai penghargaan atas kebangkitan kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-hak sosial-ekonominya.

Sejarah Penindasan Perempuan
Pada awal masa perkembangan masyarakat di era komunal primitif, posisi perempuan dan laki-laki sama. Masyarakat komunal primitif yang hidup berkelompok dalam grup-grup (comune) dan berpindah-pindah (nomaden) ini memenuhi kebutuhan hidupnya dengan metode berburu hewan serta meramu sayuran dan buah-buahan. Dalam sebuah komune, harta benda (hewan hasil buruan serta sayuran dan buah-buahan) dimiliki secara kolektif oleh anggota komune yang kemudian dibagi secara adil sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota komune tersebut.
Dalam proses pemenuhan kebutuhan ekonominya, muncul kebutuhan untuk melakukan pembagian tugas di antara sesama anggota komune. Perempuan yang memiliki siklus alami reproduksi menyebabkan mereka lebih banyak mendapat pekerjaan meramu, sementara yang laki-laki berburu. Pada perkembangannya, proses bercocok tanam terbukti lebih efektif daripada berburu. Dan ini menjadikan perempuan kemudian lebih berdominan di kelompok, karena perempuan-lah yang menjadi tulang punggung pemenuhan kebutuhan ekonomi komune. Dominasi perempuan dalam hubungan produksi, kemudian berkembang pada dominasi dalam berbagai aspek kehidupan komune. Bahkan, banyak sekali perempuan yang kemudian menjadi pimpinan komune. Pada fase inilah awal kemunculan pola matrilineal dalam komune, dimana garis keturunan komune berdasarkan pada garis keturunan perempuan/ibu yang menjadi pemimpin dalam komune tersebut.
Ketika sumber buruan semakin sulit diperoleh, maka beralihlah kaum laki-laki dari pekerjaan berburu untuk kembali ke komune dan terlibat dalam pekerjaan bercocok tanam yang sebelumnya lebih banyak dikerjakan oleh perempuan serta mengembangkan metode beternak hewan. Karena laki-laki jauh lebih mahir menggunakan alat kerja (berangkat dari pengalamannya sebagai pemburu hewan) dari pada perempuan, maka perlahan-lahan perempuan mulai terdesak oleh laki-laki dalam hubungan produksi. Baik itu pertanian maupun peternakan. Selain itu, juga karena perempuan banyak disibukkan oleh proses reproduksi yang dialaminya (hamil, melahirkan dan menyusui), yang mengakibatkan perempuan kembali mendapatkan pekerjaan meramu sebab pekerjaan tersebut lebih mudah dikerjakan sembari merawat anak. Akan tetapi, ketika itu belum ada diskriminasi terhadap perempuan.
Berkembangnya sektor pertanian, mengakibatkan persaingan antar komune untuk memperebutkan lahan yang subur dan dekat dengan sumber air. Persaingan ini mengarah pada perang antar komune. Tentu saja, komune yang memenangkan peperangan adalah komune yang memiliki banyak laki-laki dan tentu saja juga dipimpin oleh laki-laki. Karena laki-laki lebih mahir dan berpengalaman dalam menggunakan alat kerja dan senjata untuk berburu, bercocok tanam dan berternak.
Dari peperangan antar komune inilah, lahir klas dalam masyarakat. Sebab, komune yang kalah kemudian dijadikan sebagai budak oleh para pimpinan dan prajurit perang dari komune yang memenangkan peperangan. Sedangkan harta kolektif milik komune yang kalah, menjadi harta milik pemimpin komune dan hadiah bagi para prajuritnya. Sehingga, pemimpin-pemimpin komune yang menang perang berubah menjadi tuan budak. Peperangan antar komune yang semakin marak terjadi, mendorong adanya perubahan jaman dari komunal primitif menjadi jaman perbudakan. Dalam fase ini, perempuan tidak lagi mendominasi dan memimpin dalam komune. Sebagian besar dari mereka berada dalam klas budak yang tidak memiliki hak apapun atas dirinya sendiri yang itu artinya perempuan setara dengan barang.
Penindasan terhadap perempuan, dapat dilihat pada aspek memposisikan perempuan sebagai barang milik pribadi. Ini bisa dilihat ketika kepala komune memposisikan perempuan sebagai milik pribadinya, ”kamu tidak boleh berhubungan seks dengan orang lain selain saya, namun saya bisa saja berhubungan seks dengan semua budak perempuan yang saya miliki”. Praktek inilah yang mengilhami terjadinya keluarga monogami ataupun poligami yang bergaris keturunan laki-laki (patrilineal). Selain dimiliki untuk memuaskan hasrat seks tuan budak, perempuan juga diberi beban pekerjaan untuk mengolah pertanian, peternakan dan meramu makanan.
Penindasan budak oleh tuan (pemilik) budak ini yang mengilhami perlawanan budak kepada tuan budak dan menuntut pembebasan. Meningkatnya perlawanan budak, membuat tuan budak terpaksa memerdekakan budak-budaknya dan merubah klas budak menjadi tani hamba. Sedangkan tuan budak, karena kini hanya memiliki tanah sebagai harta pribadinya; maka berubah menjadi tuan (pemilik) tanah.
Akan tetapi, tuan-tuan tanah ini tentu saja tidak ingin kehilangan 100% tenaga kerjanya selama ini. Maka, diciptakanlah budaya patriarkhi. Perempuan dibebaskan secara relatif dengan membatasi ruang gerak perempuan serta menciptakan opini mengenai watak dasar perempuan. Budaya patriarkhi mengidentikkan perempuan sebagai manusia yang lembut, santun, lemah gemulai, dan hanya boleh bekerja dalam lingkungan terbatas. Fase feodal ini memang sengaja memposisikan perempuan lebih rendah dari laki-laki demi kepentingan untuk menundukkan tani hamba yang memang mayoritas adalah perempuan.
Kedatangan bangsa asing ke Indonesia yang melakukan kolonialisme terhadap Indonesia, tidak pernah menghancurkan sistem feodalisme dalam masyarakat. Mereka justru menjadikannya sebagai basis sosialnya dalam melakukan penjajahan terhadap rakyat Indonesia. Sebab, mereka membutuhkan keberadaan tuan-tuan tanah tersebut untuk pendirian perkebunan luas sebagai jaminan suplai bahan mentah bagi industri di negara mereka. Mereka juga membutuhkan tenaga kerja murah agar dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, dan industri rakitan di dalam negeri Indonesia sebagai pasar bagi hasil produksi industri mereka serta konsumen atas barang dagangannya. Kolonialisme juga memanfaatkan budaya patriarkhi untuk mengkebiri perempuan Indonesia.
Dalam fase-fase selanjutnya, ketika Indonesia telah merdeka sekalipun, penindasan tersebut masih terus berlangsung. Hal ini karena kemerdekaan bangsa Indonesia telah dihianati oleh Perjanjian Damai Konferensi Meja Bundar yang menjadikan Indonesia sebagai negara setengah jajahan dan tetap menggunakan feodalisme sebagai basis sosialnya. Akibatnya, kaum perempuan menjadi kalangan yang menanggung beban paling berat. Partisipasi perempuan dalam proses produksi pertanian di pedesaan semakin hilang, dan pergilah mereka bermigrasi ke kota atau luar negeri untuk mencari sumber penghidupan bagi mereka dan keluarganya.



Krisis Umum Imperialisme
Tak dapat dipungkiri bahwa situasi Internasional saat ini sedang mengalami Krisis ekonomi, politik dan kebudayaan. Penyebab krisis tersebut karena sebuah keserakahan yang ingin menguasi modal, tanah, air, dan lainnya dengan sekala besar, dengan cara memonopoli dan menciptakan sistem penindasan untuk memaksakan kehendaknya terhadap yang lemah dengan tujuan agar terus melanggengkan  kekuasaannya di belahan dunia, mereka disebut Imperialisme yang merupakan puncak tertinggi dari sistem kapitalisme dan saat ini dipimpin oleh Negara Amerika Serikat.
Namun Imperialisme saat ini sedang mengalami kirisis didalam negerinya. Krisis ekonomi dan keuangan global yang terjadi di AS pada tahun 2008 akibat macetnya pembayaran kedit perumahan (sub-prime mortgage), yang telah menyebabkan depresi ekonomi dunia yang berat hingga sekarang. Krisis tersebut sesungguhnya bersumber pada Over produksi atas barang-berang komoditi yang tidak bisa diselesaikan oleh sistem kapitalisme. Barang-barang komoditas produksi masal yang dihasilkan dari teknologi tinggi seperti Otomoif, Persenjataan, elektronik semakin menumpuk ditengah perkembangan pasar yang semakin menyempit dan merosotnya kekuatan daya beli masyarakat. Sehingga dampak krisis tersebut telah membangkrutkan perusahaan-perusahaan besar di dunia, mengeringkan lukuiditas bank-bank besar, menghamburkan dana publik dalam jumlah besar dan sehingga merosotkan ekonomi dunia dalam stagnasi.
Situasi ini membuat Negara-Negara Imperialisme memaksakan liberalisai perdagangan melalui berbagai skema seperti WTO, maupun perjanjian perdagangan bebas (FTA) bilateral maupun regional, seperti EAS (East Asia Summit), APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), CAREM (Central Asia regional Meeting), ASEM (Asia-Europe meeting), PIF (Pacific Island Forum), SAAR (South Asian Association Regional Cooperation), semunya merupakan forum kerja sama regional dan trans regional yang secara efektif digunakan oleh imperialis pimpinan AS untuk menjalankan dominasi dan intervensi  kepentingannya agar keluar dari krisis ekonomi dan keuangan yang sedang memukul didalam Negerinya.  agar kepentingan imperialis bisa mengikat. Selain ekspor barang komoditas, imperialis juga berkepentingan atas ekpor kapital supaya terhindar dari pembusukan kapital. Wilayah Asia merupakan sasaran yang paling potensial bagi imperialisme dalam hal investasi dan perdagangan, karena Asia merupakan tempat tinggal populasi terbesar dunia sebagai potensi pasar yang luar biasa besar, tempat surplus tenaga kerja murah dan tempat sumber kekayan alam paling kaya di dunia.
Krisis yang begitu hebat dan lama yang dialami di Negara-Negara imperialsme, khususnya Amerika Serikat selaku pimpinannya. Dimana Negara tersebut, merupakan Negara adidaya yang mempunyai segala kekuatan dalam segala aspek terutama kekuatam militernya, telah menancapkan penindasannya diNegara-Negara setengah jajahan dan jajahannya seperti di Indonesia dan membawa dampak kemiskinan dan kesengsaraan yang begitu hebat dan lama. Untuk melanggengkan intervensi di Negeri-Negeri yang kaya akan SDA dan SDM, imperialisme akan selalu menciptakan rezim boneka di dalam negeri dan bahkan tidak akan ragu untuk memerangi bagi setiap Negeri yang tidak mau tunduk kepada skema imperialisme.
Dampak Krisis Imperialisme bagi Perempuan Indonesia.
Situasi krisis imperialisme akan sangat berampak kepada siapa saja, tak terkecuali bagi kaum perempuan. Apalagi jumlah perempuan di indonesia tidak sedikit. Imperialisme yang selama ini menancapkan jari-jari penindasannya terhadap rakyat di berbagai negeri melalui program globalisasi dan pasar bebasnya, telah semakin renta dan tidak berdaya lagi menanggung krisis di dalam tubuhnya sendiri, sehingga mereka kemudian melimpahkan beban krisisnya terhadap seluruh rakyat di negara-negara jajahan dan setengah jajahan, termasuk di dalamnya perempuan Indonesia. Saat ini, jumlah perempuan Indonesia sekitar 40% dari total jumlah penduduk Indonesia 240 juta jiwa, dengan komposisi pekerjaannya menjadi buruh industri, buruh tani, buruh migrant, buruh jasa hinga menjadi pekerja seks.
Jika kita mengamati situasi kehidupan permpuan dibasis perkotaan, bahwa sektor buruhlah yang paling keras mendapatkan pukulan akibat pengaruh krisis imperialisme. Perusahaan-perusahaan tempat kerja mereka yang selama ini sangat tergantung terhadap investasi, bahan baku dan pasar di luar negeri kini mulai kehilangan order ekspornya. Hal tersebut disebabkan karena menurunnya permintaan, akibat menurunnya daya beli masyarakat. Industri yang ada di Indonesia adalah industri manufaktur dengan menggunakan teknologi rendah yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pasar di luar negeri. Jika negeri induk imperialisme mengalami kebangkrutan ditandai dengan merosotnya daya beli masyarakat, maka imbas yang terjadi akan terlihat di negeri setengah jajahan imperialisme seperti indonesia. Banyak pabrik yang kemudian mengurangi jumlah produksinya karen pendapatannya menurun dan bahkan gulung tikar.
Peraturan perburuhan di Indonesia selama ini tidak pernah memihak kepada buruhnya sama sekali. Dampaknya dapat kita lihat bersama. Banyak pabrik yang mem-PHK buruhnya secara besar-besaran dengan tanpa memenuhi hak-haknya sebagai buruh setelah di PHK (tunjangan dan pesangon). Kemudian perusahaan mulai menerapkan sistem kerja kontrak dan outsourching yang sangat merugikan buruh tanpa kepastian kerja dan upah yang layak. Seringkali juga, buruh harus bekerja lembur yang lebih berat dengan alasan untuk mengejar target produksi yang diinginkan oleh perusahaan tanpa ada tambahan upah yang sebanding. Angka PHK per Maret 2010 mencapai 68.332 orang, belum termasuk buruh yang dirumahkan sebanyak 27.860 orang (siaran pers Menakertrans 2010).
Sistem kapitalis global ini telah menjadikan perempuan-perempuan Indonesia sebagai “budak modern” dalam industri-industri perakitan mereka dengan upah murah dan dibedakan dengan buruh laki-laki, tanpa mendapatkan tunjangan apapun bagi keluarga meski banyak diantara perempuan-perempuan tersebut bekerja sebagai tulang punggung ekonomi keluarga. Di pihak lain, mereka juga tetap harus menjalankan tugas-tugas mereka sebagai “ibu rumah tangga” yang harus merawat suami, anak, memasak, dan berbagai pekerjaan rumah tangga lainnya. Dengan adanya pembedaan upah dan tunjangan yang diberikan antara buruh laki-laki dan perempuan, semakin banyak perusahaan yang menggunakan buruh perempuan karena bisa menekan ongkos produksinya untuk menaikkan keuntungan yang diperoleh. Bahkan tubuh perempuan sudah dijadikan sebagai strategi pemasaran untuk menarik konsumen bagi perusahaan Imperialisme, faktanya iklan-iklan lebih banyak memakai model perempuan dibandingkan laki-laki.
Di pedesaan, perempuan menjadi buruh tani atau petani penggarap dengan upah yang rendah dan menjadi sangat rendah karena diskriminasi upah yang dijalankan oleh para tuan tanah dan petani kaya terhadap mereka. Upah buruh tani perempuan di Jawa masih berkisar antara 10 ribu hingga 20 ribu meskipun harga-harga bahan pokok telah naik berkali-kali dan juga Bahan Bakar Minyak. Tidak ada perbaikan hidup yang signifikan bagi mereka, yang ada justru menurunnya daya beli.
Ditambah dengan semakin maraknya perampasan tanah yang dilakukan oleh para tuan tanah besar pemilik perkebunan kelapa sawit, karet dll, yang berusaha agar tetap mendapatkan keuntungan besar (super profit) di tengah menurunnya harga hasil produksi mereka, dengan jalan memperluas perkebunan mereka. Mereka merampas tanah para petani miskin yang tidak sanggup membayar uang sewa/bagi hasil karena rendahnya hasil produksi mereka. Atau karena tidak mampu hutang atas pembelian pupuk dan benih yang harganya semakin melambung tinggi.
Dengan situasi dipedesaan yang sangat susah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sehingga para perempuan memilih untuk mencari pekerjaan di kota atau bekerja diluar negeri menjadi Buruh Migrant, dengan lulusan sekolah rata-rata Sekolah Dasar (SD), sehingga pekerjaan yang dapat dilakukan adalah menjadi Pembantu Rumah Tangga (PRT).
Angkatan kerja menurut pendidikan dan jenis kelamin tahun 2009
Pendidikan
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
SD
33,753,012
24,296,867
58,049,879
SMP
14,114,364
7,786,857
21,901,221
SMA
17,847,162
8,301,216
25,788,378
Akademi/Diploma
1,564,061
1,597,843
3,161,904
Universitas
3,019,792
1,823,234
4,843,026
Jumlah
69,938,391
43,806,017
113,744,408
            Sumber BPS 2009
Pekerjaan PRT sangatlah susah dan tidaklah mudah karena tidak ada UU yang mengatur dan menjamin tentang PRT, sehingga tidak ada jaminan atas kelayakan upah, jam kerja, dan keselamatan kerjanya.
Begitupun dengan para buruh migrant, tidak ada jaminan perlindungan sejati bagi buruh migrant indonesia, meski ada UU yang mengatur tentang Buruh Migran, namun UU tersebut sama sekali tidak berpihak kepada buruh migrant melainkan berpihak kepada para agensi. Persoalan yang sering dihadapi oleh buruh migran Indonesia, yakni biaya penempatan yang sangat besar atau lebih dikenal dengan istilah overcharging, dan pemberlakuan terminal 4 di bandara Soekarno-Hatta. Praktek penarikan biaya penempatan yang diterima oleh buruh migran tersebut, biasa dilakukan oleh agen penyalur dan lembaga-lembaga pemerintahan terkait. Ganti biaya atas biaya penempatan, biaya pelatihan dan izin tinggal, dengan cara memotong upah sebesar 10%-70% tiap bulannya kepada buruh migran.  Jumlah buruh migrant indonesia hampir 6 juta jiwa, dan 80% adalah para perempuan dan 90% bekerja disektor Rumah Tangga (data ATKI 2011). Sering kali buruh mingran disebut sebagai pahlawan devisa negara. Hal ini dikarenakan setiap buruh migran yang ingin bekerja di luar negeri harus membayar visa kerja, remitansi dan dana-dana lainnya yang masuk dalam pendapatan negara. Namun, sedikit orang yang tahu dan mengerti tentang nasib dan keberadaan buruh migran yang sudah bekerja di luar negeri, yang masih di penampungan ataupun yang akan pulang ke Indonesia.
Akses Publik, dimana akses kesehatan bagi perempuan sangat minim, terutama kesehatan reproduksi perempuan yang sangat rentan dampaknya bagi ibu-ibu yang sedang melahirkan hingga berakibat pada kematian. Kematian ibu saat persalinan sebagian besar disebabkan buruknya infrastruktur transportasi dan kesehatan lingkungan, dan hal ini diperparah oleh rendahnya tingkat kesehatan pada ibu karena kekurangan gizi. Angka Kematian Ibu di Indonesia tergolong tinggi didunia yaitu 250 per 100.000 kelahiran hidup (data Kementrian kesehatan). Hampir semua anggaran untuk sektor publik dipotong dan diliberalisasikan dengan dalih untuk pos anggaran publik yang lainnya, padahal selain dirampas oleh para pejabat korup, uang rakyat dan kekayaan alam Negeri ini telah di berikan kepada pihak asing yaitu Imperialisme (ekpor kapital) melalui sistem ekonomi feodal dan didukung oleh kapitalisme birokrat dan tuan tanah di Indonesia, dengan menguasai tanah di Indonesia.
Akses pendidikan bagi perempuan
Pendidikan merupakan pilar utama kemajuan suatu Negeri, karena pendidikan tidak lain adalah kebudayaan untuk merubah tingkat berfikir masyarakat dalam menjawab sebuah problem yang ada disekitarnya (ilmiah), pendidikan haruslah terjangkau bagi siapa saja (demokratis) dan pendidikan tersebut harus mengabdi kepada rakyat bukan mengabdi kepada imperialisme. Namun yang terjadi saat ini pendidikan masuk dalam skema liberalisasi demi melepaskan krisis yang terjadi di tubuh imperialisme. Faktanya saat ini pendidikan telah menjadi barang komoditi untuk mendapatkan super profit yang setinggi-tinginya. Anggaran pendidikan 20% yang oleh pemerintah disampaikan telah terealisai bahkan lebih hingga 20,2%, yakni meningkat dari tahun 2010 sebesar Rp. 225.229,40 Trilliun dan pada tahun 2011 Rp. 243.276,06 Trilliun. Kenyataannya, anggaran tersebut termasuk didalamnya alokasi untuk gaji guru yang meliputi gaji pokok, tambahan penghasilan, tunjangan profesi dan insentif daerah, bahkan angka tersebut menjadi tampak lebih gemuk karena anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebesar Rp. 16.812.01 Trilliun termasuk dalam akumulasi perhitungan anggaran 20% tersebut. Jika dihitung prosentase untuk penyelenggaran pendidikan riil hanya mencapai 10% bahkan turun dari anggaran pada tahun sebelumnya yang mencapai 11,06%. Artinya bahwa sesungguhnya anggaran 20% tersebut masihlah sangat jauh dari realisasinya.
Untuk dana BOS sendiri, bantuan tersebut tidak mencirikan Negara Indonesia yang kaya akan sumber daya alamnya, yang seharusnya dari kekayaan lautnya saja akan sangat terpenuhi kebutuhan untuk biaya pendidikan karena Indonesia sangat luas dan banyak akan sumber daya alamnya. Sehingga tidak perlu adanya dana BOS, disisi lain karena sumber dana tersebut bersumber dari pinjaman dari Bank Dunia yang sarat akan skema penindasan dari Imperialisme ke Negara-Negara Jajahan dan setengah Jahahannya seperti di Indonesia. Kebudayaan di tengah masyarakat akan pentingnya pendidikan masih terhitung sangat minim khususnya untuk perempuan, dengan  pandangan bahwa tidak perlu pendidikan bagi perempuan apalagi pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, cukup hanya mengenal baca dan tulis karena bagaimanapun perempuan tempatnya hanya di dapur dan kelak mengurusi anak dirumah,  pandangan tersebut sangat feodal dan mendiskriminasikan para perempuan. Belum lagi ditambah dengan mahalnya biaya pendidikan yang terjadi saat ini, akan semakin membuat jauh akses pendidikan bagi perempuan.

Angka partisipasi murni menurut jenjang pendidikan dan jenis kelamin tahun 2008
Pendidikan
L
P
SD
94,06
93,91
SMP
66,36
67,62
SMA
44,98
44,51
Susenas 2008
Data ditabel pada tahun 2008 saja, bahwa partisipasi murni untuk jenjang pendidikan dikota dan didesa lebih banyak tingkat SD dari pada SMA, disisi lain angka partisipasi pendidikan perempuan lebih sedikit dari pada laki-laki. Dampak dari pandangan feodal terhadap perempuan dan ditambah lagi dengan mahalnya biaya pendidikan akan berakibat pada banyaknya masayarakat yang masih buta aksara karena tidak pernah mengenyam pendidikan dan belum lagi ditambah dengan sisiwa yang putus sekolah (DO). Siswa SD putus sekolah setiap tahunnya sebesar 527.850 siswa dari 31.05 juta jiwa (data Unesco)
Data jumlah perempuan buta huruf









Kalau kita lihat bahwa, setiap tahunnya angka buta huruf lebih banyak perempuan dari pada laki-laki, ini menunjukkan bahwa masih minimnya angka partisipasi pendidikan bagi perempuan. Dengan situasi perempuan yang banyak tidak mengenyam pendidikan dan jika mengenyam pendidikan mayoritas hanya ditingkat pendidikan Sekolah Dasar, hal ini membuat para perempuan akan sangat rentan menjadi objek kekerasan dan eksploitasi atas kepentingan setiap laki-laki terutama kepentingan imperialisme sebagai objek strategi pemasaran barang untuk mendapatkan nilai tambah  bagi setiap perusahaan.
Perempuan juga menjadi objek perdagangan manusia (Traffiking) yang korbannya mayoritas berasal dari pedesaan dengan alasan akan dipekerjakan sebagai karyawan atau PRT dikota dan diluar negeri, untuk dijadikan tenaga kerja murah. Hal tersebut tidak ada pilihan lain bagi para perempuan didesa, karena tanah-tanah dipedesaan sebagai penopang hidup sudah dirampas oleh para tuan tanah dan kapitalisme birokrat untuk dijadikan perkebunan dan areal pertambangan, demi memenuhi kepentingan Imperialisme. Disisi lain juga upah para buruh tani tidak mencukupi untuk kebutuhan hidupnya di desa, ditambah lagi dengan harga gabah naik dan harga jual panen dipasaran menurun akibat dari asupan barang impor, sehingga para petani mengalami kerugian yang cukup besar.

Komnas Perempuan 1998-2011

Ada 5 jenis kekerasan seksual terbanyak, yaitu perkosaan (4.845 kasus), perdagangan perempuan untuk tujuan seksual (1.359 kasus), pelecehan seksual (1.049 kasus), penyiksaan seksual (672 kasus), dan eksploitasi seksual (342 kasus).

Selain itu sistem keluarga  memaksa  pembagian kerja sosial berdasarkan pada penaklukan  perempuan dan ketergantungan mereka terhadap seorang lelaki, ayah atau suami mereka. Atas hal itu ideologi exist berkembang dan dipelihara. Menggambarkan perempuan sebagai kaum yang secara psikologis berada di bawah kaum laki-laki dan secara biologis tidak pantas untuk berperan lebih dari  melahirkan dan kerja domestik. Keadaan inilah yang disebut dengan budaya patriaki. Selain itu, status hukum kaum perempuan yang lebih rendah dalam klas masyarakat menjadi sumber dari kekerasan yang bersifat anti – perempuan yang ditandai dengan masih tingginya tindak perkosaan, penyiksaan terhadap istri dan pembunuhan bayi perempuan.

Peran Pemerintah terhadap Perempuan
Pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh SBY-Boediono, sama sekali tidak ada keberpihakannya kepada rakyat Indonesia, apalagi terhadap kaum perempuan. Pemerintah lebih memihak kepada tuannya yaitu Imperialisme untuk melanggengkan skema penindasannnya terhadap rakyat khususnya kaum perempuan, karena saat ini tuannya sedang dilanda krisis yang begitu hebat dan lama dalam sepanjang sejarahnya. Imperialisme sedang memerlukan asupan sumber bahan mentah dan tenaga kerja murah untuk melepaskan krisis yang sedang melanda deras ditubuhnya. Sebagai salah satu Negara yang mempunyai syarat bagi imperialisme adalah Indonesia, sehingga imperialisme selain menciptakan pasar bebas juga menciptakan rezim boneka seperti SBY-Boediono. Imperialisme masuk ke Indonesia melalui kerjasama bilateral maupun multilateral dan disokong oleh para Kapitalisme birokrat yang berada didalam sruktur birokrasi pemerintahan pusat-desa dan para tuan tanah (feodal) di Indonesia. Undang-undang atau kebijakan yang dikeluarkan baik oleh legislatif maupun eksekutif, sama sekali tidak ada yang berpihak terhadap rakyat terlebih terhadap kaum perempuan Indonesia, yang ada berpihak kepada asing yaitu Imperialisme. Dapat kita tengok berapa banyak kasus para penjabat pemerintah melakukan korupsi untuk proyek pembebasan lahan pertanian untuk pertambangan dan perkebunan, proyek pembangunan infrastruktur dan lainnya. Pembangunan tersebut merupakan hasil dari kerjasama komprehensif antara Amerika-Indo diseluruh sector dan dalam berbagai aspek kehidupan rakyat. Salah satu dari Program tersebut adalah Program yang saat ini sedang digencarkan oleh Pemerintah, yaitu Program “Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)”.
Kebijakan Di Indonesia
Hampir secara ke seluruhan UU atau kebijakan di Indonesia sangat bertentangan dengan UUD 1945, sehingga dapat dikatakan bahwa, UU atau kebijakan yang dikeluarkan adalah tidak sah atau Inskonstitusional karena tidak sesuai dengan UU yang ada diatasnya yaitu UUD 1945.
Dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 salah satu tujuan Negara Indonesia yakni “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Dan disektor pendidikan dalam pasal 31 UUD 45 menyebutkan bahwa (1) Setiap warga negara behak mendapatkan pendidikan, (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, (3) Negara memperioritaskan anggarn penddidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan (4)…., Saat ini pemerintah melepaskan tanggung jwabnya dalam penyelenggaraan dan pembiayaan pendidikan dengan membuat aturan atau Undang Undang sebagai legitimasi lepasnya peran dan tanggung jawab pemerintah, salah satunya adanya Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dan RSBI, di Perguruan Tinggi ada RUU Pendidikan Tinggi yang sedang dibahas oleh pemerintah dan rencananya akan disahkan pada bulan April 2012.
Kemudian di UUD 45 juga diatur tentang jaminan perlindungan terhadap tindakan kekerasan perempuan. Namun faktanya kekerasan terhadap perempuan setiap tahun semakin banyak terjadi seperti kasus pemerkosaan, KDRT dll, dan paling banyak adalah kasus seksual yaitu pemerkosaan dan perdagangan perempuan. Ini menunjukkan tidak adanya keseriusan pemerintah dalam menjamin keselamatan warga negaranya.
Untuk Tenaga Kerja Indonesia yang berada diluar negeri, sama sekali tidak ada aturan dan Kebijakan yang berpihak kepada mereka. Salah satunya UU PPTKILN 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, aturan tersebut sangat memberatkan para TKI karena biaya penempatan yang begitu tinggi, disisi lain tidak ada jaminan perlindungan bagi TKI baik di luar negeri maupun di Indonesia sendiri ketika TKI pulang dan tiba diterminal 4 (empat) khusus TKI di Bandara Soekarno Hatta.
Jika kita lihat Dari sekian aturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, tidak ada yang berpihak kepada rakyat terutama keberpihakan kepada para perempuan, perempuan dijadikan objek penindasan. Seharusnya pemerintah dalam hal ini SBY-Boediono, harus menjalankan amanat UUD 45 karena pemerintah merupakan pelaksana sebuah Negara, akan tetapi pemerintah tidak pernah melaksanakannya sesuai yang ada di UUD 45, karena watak dari pemerintahan Indonesia adalah Borjuasi Komprador ditambah lagi sebagai boneka Imperialime, dimana salah satu ciri watak tersebut akan selalu melanggengakan kebijakan apapun demi kepentingan dirinya dan tuannya yaitu Imperialis yang saat ini dipimpin oleh Amerika Serikat

Akar Persoalan Perempuan
Dari uraian di atas, tampak bahwa ada dua akar penindasan terhadap perempuan. Pertama,  sistem ekonomi yang sedang berkuasa dan berdominasi di Indonesia, yaitu Imperialisme yang kini semakin mempertajam penindasan terhadap perempuan dan seluruh rakyat Indonesia demi memindahkan krisis yang dihadapinya di dalam negeri dengan menggunakan sistem ekonomi feodalisme sebagai basis social atas penjajahannya di Indonesia. Kedua, budaya patriarkhi yang digunakan oleh imperialisme bersama tuan tanah dan borjuasi komprador di dalam negeri Indonesia untuk menindas perempuan Indonesia.
Hal yang harus dilakukan untuk perempuan adalah Bangkit untuk bejuang dengan mengorganisasikan dirinya dalam organisasi massa (ormas) dan membangun organisasi massa perempuan baik itu ormas pemuda/mahasiswa, tani , buruh dll. Mengintensifkan propaganda ditengah massa dengan menyelenggarakan kegiatan luas seperti seminar, mimbar bebas, aksi demonstrasi dll serta membangun aliansi strategis dan luas dengan organisasi lainnya sebagai metode memperluas jangkauan pengaruh organisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar