Sabtu, 24 Maret 2012


 


ANGGARAN UNTUK PENDIDIKAN
CERMINAN BURUKNYA PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
DIBAWAH REZIM SBY-BOEDIONO
Indonesia dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di alinea keempat secara tegas menyatakan bahwa “mencerdaskan kehidupan bangsa” merupakan tujuan didirikannya NKRI dan merupakan tanggung jawab negara dalam penyelenggaraannya seperti yang tercantum dalam batang tubuh  UUD 1945 pasal 31. Dari total 237 juta jiwa lebih penduduk Indonesia, diantaranya terdapat 46,28 juta jiwa usia sekolah tingkat dasar (6-14 tahun),  12,6 juta jiwa sekolah tingkat menengah (15-17 tahun) dan 54,42 Juta jiwa tingkat pendidikan tinggi (18-30 tahun). Dengan jumlah peserta didik yang besarnya sekitar 47,8% dari total penduduk Indonesia. Dengan demikian penyelengaraan pendidikan harus dijamin oleh negara agar rakyat dapat mengakses dan menikmati setiap jenjang pendidikan di Indonesia.
Sebagai salah satu upaya negara dalam menyelenggarakan pendidikan yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa yakni dengan memberikan anggaran secara tersendiri dalam bidang pendidikan. Upaya ini dapat diketahui dengan adanya landasan secara normatif pada UUD 1945 pasal 31 ayat 4 “Negara  memprioritaskan  anggaran  pendidikan  sekurang-kurangnya dua  puluh  persen  dari  anggaran  pendapatan  dan  belanja  negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional“. Berikut perjalanan anggaran pendidikan di Indonesia :
Tabel 1
Postur Anggaran Pendidikan dalam APBN (2005-2011)
(dalam milyar Rupiah)
No
Tahun
Jumlah APBN
Jumlah Anggaran Pendidikan
Berdasarkan Fungsi
Rasio
Jumlah Anggaran Pendidikan Termasuk Gaji Tenaga Pendidik dan Kependidikan
Rasio
1
2005
509.632,4
29.307,9
5,75%
-
-
2
2006
667.128,7
45.303,9
6,79%
-
-
3
2007
757.649,9
50.843,4
6,71%
-
-
4
2008
989.493,8
55.298.0
5,6%
154.361,03
15,6%
5
2009
1.000.843,9
84.919,5
8,48%
208.286,63
20,8%
6
2010
1.126.146,4
90.818,3
8,06%
229.229,3
20%
7
2011*
1.229.558,5
(1.313.446,5)
91.483,0
7,38%
248.978,4
20,25%
Catatan: * masih dalam Pembahasan dalam RAPBN-P 2011
Sejak dibawah kepemimpin SBY, perjalanan anggaran untuk pendidikan memang dalam aspek jumlah atau nominal mengalami kenaikan tiap tahunnya. Namun kenaikan nominal anggaran pendidikan tidak memenuhi rasio prosentase sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 31 ayat 4 yakni 20% dari APBN dan APBD. Selain itu, sejak tahun anggaran 2008 hingga sekarang, anggaran pendidikan dijadikan satu dengan gaji-tunjangan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Akan tetapi, jika kita melihat tabel 1 diatas selama 7 tahun anggaran untuk menjalankan pendidikan berdasarkan fungsinya tidak pernah melewti rasio 10% bahkan mengalami penurunan secara prosentase sejak tahun anggaran 2009 hingga 2011.
Namun lain hal dengan anggaran yang digunakan pemerintah untuk membayar bunga hutang luar negeri maupun dalam negeri. Berikut tabel yang akan menjelaskan nominal bunga hutang yang dianggarkan oleh rezim SBY dari tahun 2005 hingga tahun 2011 :
Tabel 2
Postur Anggaran Pembayaran Bunga Hutang (2005-2011)
(Dalam Milyaran Rupiah)
No
Tahun
Jumlah APBN
Jumlah Pembayaran Hutang
Rasio
1
2005
509.632,4
65.199,6
12,79%
2
2006
667.128,7
79.082,6
11,85%
3
2007
757.649,9
79.806,4
10,53%
4
2008
984.630,7
88.429,8
8,98%
5
2009
937.382,1
93.782,1
10%
6
2010
1.047.117,2
88.383,2
8,44%
7
2011
1.229.558,5
(1.313.446,5)
115.209,2
9,36%
Sumber : UU APBN tahun 2005-2011
Dari data tabel 2 diatas kita dapat melihat bahwa pembayaran hutang baik dalam negeri maupun luar negeri selalu diatas 8 % bahkan pernah mencapai 12,79% dari total APBN. Berbanding terbalik dengan kondisi anggaran untuk pendidikan hanya 7 – 9 % saja dari total APBN.
Dengan melihat komposisi anggaran pendidikan dan anggaran untuk pembayaran hutang. Sudah sangat jelas sekali bahwa selama kepemimpinan rezim SBY selalu mengeluarkan kebijakan yang anti rakyat. Padahal pembayaran hutang yang tiap tahun dibayarkan oleh negara melalui APBN adalah hutang banyak dikorupsi oleh para pejabat, politisi partai, menteri, Anggota DPR-RI, DPRD, dan Presiden (Soeharto). Akan tetapi rakyat Indonesialah yang harus menanggung beban untuk membayar cicilan bunga hutang tiap tahunnya.
Proses kebijakan penggabungan gaji-tunjangan tenaga pendidik dan kependidikan dimulai ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi  tanggal 20  Februari  2008  Nomor  24/PUU-V/2007  perihal  pengujian  Undang-Undang  Nomor  20  Tahun  2003  tentang  Sistem  Pendidikan  Nasional  dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2006  tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja  Negara  Tahun  Anggaran  2007  terhadap  Undang-Undang  Dasar Negara Republik  Indonesia Tahun 1945. Tentu alasan inilah yang digunakan oleh rezim SBY yang anti rakyat untuk menggabungkan gaji-tunjangan tenaga pendidik dan kependidikan dimasukkan kedalam anggaran pendidikan. Tentu dengan minimnya anggaran pendidikan sesuai fungsi dan ditambah dengan besarnya anggaran pendidikan yang terserap untuk gaji-tunjangan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan berdampak negatif terhadap penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Kita tidak bermaksud untuk tidak memperhatikan aspek kesejahteraan bagi guru, dosen dan karyawan. Namun yang perlu ditekankan bahwa gaji-tunjangan guru, dosen dan karyawan haruslah memiliki pos tersendiri dan tidak digabungkan dalam anggaran pendidikan. Tentu dengan memisahkan pos anggaran gaji-tunjangan guru, dosen dan karyawan dengan anggaran pendidikan akan menambah peluang untuk dilakukannya perbaikan dalam penyelenggaran pendidikan. Akan tetapi, watak keras kepala dari rezim SBY tidak pernah melihat dan memiliki niatan untuk memperbaiki kondisi pendidikan Indonesia yang curat-marut.
Walaupun tiap tahun pemerintah mengambil kebijakan untuk meningkatkan pos anggaran pendidikan. Akan tetapi, kenaikkan juga diikuti oleh pos gaji-tunjangan bagi guru, dosen dan karyawan. Tentu pos biaya untuk pengadaan sarana dan prasarana, bantuan operasional seperti buku, jurnal, alat praktikum dan kebutuhan kegiatan belajar mengajar serta pemeliharaan sarana dan prasana akan semakin terpinggirkan. Padahal tiga pos biaya tersebutlah yang sangat mempengaruhi kualitas pendidikan di Indonesia.
Efek negatif dari rendahnya alokasi anggaran untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan dapat kita ketahui dengan minimnya sarana dan prasarana pendidikan, tinggi biaya pendidikan dan rendahnya akses pendidikan bagi rakyat Indonesia. Hal ini dikarenakan dengan minimnya anggaran untuk pendidikan, setiap satuan pendidikan diperbolehkan menarik dana dari masyarakat sebagai alternatif untuk menutupi biaya penyelenggaraan pendidikan yang sudah terserap untuk gaji-tunjangan bagi tenaga pendidik dan kependidikan. Tentu fenomena ini melahirkan pendapat dari rakyat Indonesia bahwa telah terjadi komersialisasi pendidikan di Indonesia.Total 144.000 unit sekolah SD yang 91% adalah SDN, ditingkat SMP terdapat 26.000 unit sekolah yang 57% adalah negeri, dan untuk terdapat SMA berjumlah 16.000 unit sekolah yang sekitar 37% adalah negeri. Dengan minimnya ketersediaan sarana berupa gedung sekolah juga menentukan partisipasi masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya. Berikut data partisipasi masyarakat di pendidikan formal dari SD-SMA :

2008
SD = 97,83%
SMP = 84,41%
SMA = 54,70
2009
SD = 97,95%
SMP = 85,43%
SMA = 55,05%
2010
SD = 97,96%
SMP = 86,11%
SMA = 55,83%

(sumber Kompas, 6 Juli 2011)
Adapun faktor lain yang menyebabkan semakin menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dari satu jenjang ke jenjang lainya juga dipengaruhi oleh tingginya biaya pendidikan yang harus dibayarkan oleh rakyat Indonesia. Dengan melihat data partisipasi masyarakat dalam pendidikan formal dari bangku SD hingga SMA. Tentu fakta sosial ini merupakan efek negatif dari minimnya rendahnya anggaran pendidikan yang benar-benar mendukung fungsi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Misalnya lebih dari 1,1 juta lulusan SMP tidak tertampung dalam SMA/SMK/MA, padahal total lulusan SMP sekitar 4,2 juta/tahun. Akan tetapi, sekali lagi rezim SBY-Boediono tidak menghiraukan fakta sosial tersebut. Malah dalam beberapa pidato kenegaraan yang dilakukan oleh SBY dengan sombongnya SBY menjelaskan dan memaparkan bahwa anggaran pendidikan sudah 20% dan tingkat kemiskinan pun menurun. Akan tetapi, sebagai rezim yang anti rakyat SBY tidak akan memberitahukan dan bertanggung jawab atas rendahnya partisipasi masyarakat dalam pendidikan formal tingkat dasar dan menengah. Serta tinginya biaya pendidikan yang harus dibayarkan oleh orang tua siswa.
Selain itu, efek negatif dari  diterapkannya penggabungan anggaran pendidikan dengan gaji guru, dosen dan karyawan juga mengakibatkan buruknya penyelenggaran pendidikan tinggi di Indonesia. Hal ini ditandai dengan dari total 83 PTN di Indonesia, hanya mampu menjaring 1.636.374 jiwa. Sedangkan sisanya dijaring oleh sekitar 3000 PTS sebesar 3,6 juta jiwa lebih. Dengan demikian untuk usia 19-23 yang berjumlah 21,18 juta jiwa hanya 24,67% saja yang mampu mengenyam pendidikan tinggi di Indonesia. Akan tetapi, berbicara lingkup yang lebih luas yakni pemuda Indonesia yang berumur antara 18-30 tahun dengan jumlah 54,42 juta jiwa tentunya hanya 9,6% yang mampu mengenyam pendidikan tinggi di Indonesia.
Penggabungan gaji-tunjangan guru, dosen dan karyawan dalam anggaran pendidikan merupakan salah satu bentuk upaya pencabutan atau pengurangan subsidi di sektor pendidikan. Hal dikarenakan setiap tahun dalam APBN maupun APBD, postur pembayaran gaji-tunjangan bagi guru, dosen dan karyawan mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Namun dilain sisi, untuk biaya sarana dan prasarana, biaya operasional dan biaya pemeliharaan tidak mengalami kenaikan yang cukup berarti malah mengalami kenaikkan. Bahkan Bantuan Operasional Sekolah atau lebih dikenal BOS  yang seharusnya dapat menutup kebutuhan biaya operasional dan biaya pembangunan sarana dan prasarana juga digunakan untuk menggaji guru dan karyawan.
Selain itu, bukti bahwa penggabungan anggaran pendidikan dengan gaji guru dan karyawan sebagai bentuk pengurangan bantuan atau subsidi pemerintah dalam dunia pendidikan yakni rasio penggunaan anggaran pendidikan sesuai fungsi (diluar gaji guru, dosen dan karyawan) sejak tahun 2008 hingga sekarang tidak pernah melewati 10% dari total APBN apalagi 20% sesuai dengan UUD 1945 pasal 31 ayat 4.
Terakhir bahwa rezim SBY melakukan upaya pengurangan bantuan atau subsidi pendidikan dapat kita lihat dari anggaran pendidikan yang ditransfer ke daerah untuk pembiayaan pendidikan dan salah satunya dalam bentuk Dana Alokasi Umum. Berikut tabel tentang DAU :
Tabel 3
Dana Alokasi Umum untuk Pendidikan
(dalam milyar)
No
Tahun
Total Transfer Ke Daerah
Total DAU Pendidikan
DAU untuk Gaji
DAU non Gaji
1
2009
116.924.23
97.982,8
86.028,88
11.195.91
2
2010
126.363.1
110.980,0
100.352,3
10.491,91
3
2011
158.234,1
126.523,6
115.247,0
11.276,6
4
2012*
185.685,0
147.314,2
136.475,6
10.838,6
Catatan : * sedangkan dalam pembahasan
Dana Alokasi Umum secara konseptual adalah dana yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk membiayai pegawai negeri yang ada di daerah. Namun pembiayaan untuk guru dan karyawan yang ada ditiap-tiap daerah pun dibiayai oleh anggaran pendidikan yang ditransfer ke masing-masing daerah . Dengan demikian dana anggaran pendidikan yang ditransfer ke daerah habis digunakan untuk membayar gaji tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Serta efek dari penggunaan dana anggaran pendidikan yang ditransfer ke daerah tidak mampu meningkatkan kualitas dan akses pendidikan yang ada disetiap daerah di Indonesia.
Jika kita menilik kondisi rakyat Indonesia yang notabene hampir 42 juta jiwa bekerja disektor pertanian, perkebunan dan perikanan dengan profesi sebagai buruh tani, buruh perkebunan ataupun nelayan kecil yang pendapatan perbulan/kapita  hanya Rp 300.000 – Rp 600.000. Lalu, hampir 15 juta buruh yang bekerja disektor pertambangan, industri manufaktur dan konstruksi bangunan yang pendapatan tiap bulannya dibawah KHL. Selain itu, 30,5 juta jiwa rakyat Indonesia masih hidup dibawah garis kemiskinan dan 27,12 juta jiwa hidup diatas ambang garis kemiskinan dengan pendapatan perharinya antara Rp 7000 – Rp 10.000. Tentu kebijakan anggaran pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah dibawah kepemimpinan SBY tidak akan mampu menyelesaikan persoalan yang pendidikan yang ada di Indonesia. Hal ini semakin menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia hanya diperuntukkan untuk kalangan menengah-keatas.
Kenyataan ini semakin kita lihat, di pendidikan tinggi dari 5,2 juta mahasiswa hanya 6% yang berasal dari masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi. Tiap tahunnya sebanyak 400.000 siswa SD dari 31 juta siswa SD menjadi korban putus sekolah karena ketidaksanggupan secara ekonomi dan sebanyak 388.000 siswa SMP dari 13,3 juta siswa SMP juga harus terpaksa berhenti ditengah jalan juga dengan alasan yang sama. Jika tiap tahun penyelenggaran anggaran pendidikan yang tetap menggabungkan gaji-tunjangan tenaga pendidik dan kependidikan akan semakin menciptakan kondisi bahwa pendidikan merupakan hal yang hanya mampu dirasakan oleh masyarakat golongan menengah-atas.
Namun, jika anggaran pendidikan dipisahkan dengan dari gaji-tunjungan tenaga pendidik dan kependidikan dengan memenuhi anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN-APBD serta tidak melupakan aspek kesejahteraan tenaga pendidik dan kependidikan. Tentunya kualitas pendidikan di Indonesia akan membaik. Hal ini dikarenakan anggaran pendidikan 20%dari APBN-APBD yang sudah dipisahkan dari gaji-tunjangan dapat dimaksimalkan untuk mensubdisi biaya pendidikan agar tidak ada lagi SPP, biaya sumbangan dan lain sebagainya yang memberatkan orang tua peserta didik serta penyediaan sarana prasarana seperti gedung, ruang kelas, perpustakaan, laboratorium, sarana olah raga, seni budaya dan lainya. Selain itu, anggaran khusus untuk kesejahteraan guru, dosen dan karyawan yang sudah dipisahkan dari anggaran pendidikan tentunya juga harus diperhatikan agar hak-hak berupa gaji-tunjangan juga dirasakan oleh para guru, dosen dan karyawan.
Akan tetapi, yang perlu kita ingat dan garis bawahi bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh rezim SBY tentunya tidak akan serta merta menuruti keinginan rakyat Indonesia. Hal ini dikarenakan secara hakiki SBY merupakan rezim boneka Amerika yang paling setia dan loyal terhadap kepentingan Amerika. Hal ini ditandai hingga hari ini SBY bersama kabir dan borjuasi komprador lainnya telah menyediakan tenaga kerja murah dalam jumlah yang sangat besar untuk mendukung industri negara-negara Imperialis dibawah pimpinan Amerika. Kenyataan ini dapat kita ketahui banyak buruh-buruh yang hanya lulusan SMP-SMA lalu diupah dengan tidak layak. Lalu, maraknya PHK sepihak akibat penerapan sistem outsourcing dan berlakunya sistem kerja kontrak yang banyak merugikan buruh-buruh berupa pemotongan upah, tidak berikan kebebasan untuk berserikat dan banyak lagi.
Selain itu, banyak intelektual kompraodor yang diselenggarakan oleh sistem pendidikan di Indonesia sedikit banyak telah mencekoki kebudayaan dan ideologi imperialis kepada rakyat Indonesia. Hal ini dapat kita lihat peran intelektual komprador yang telah menciptakan sistem ekonomi, hukum, budaya dan politik agar sesuai dengan kepentingan negara-negara imperialis dibawah kepemimpinan AS. Untuk menutupi kepentingan tersebut, dibungkuslah dengan memberikan fatamorgana atau ilusi kepada rakyat bahwa sistem ekonomi yang mereka ciptakan dapat mensejahterakan rakyat. Sistem hukum mereka dapat menegakkan keadilan, sistem budaya mereka dapat meningkatkan kualitas peradaban serta sistem politik mereka yang mampu menjadi alat untuk membentuk negara yang berpihak kepada rakyat. Dengan melihat peran dan fungsi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia sangatlah penting sebagai jalan masuk bagi kepentingan Imperialis melalui rezim boneka dalam negeri dibawah komando SBY.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar