Senin, 30 April 2012

Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2012; (HARDIKNAS)




Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2012;
(HARDIKNAS)

Kualitas Pendidikan Indonesia Suram Sepanjang Jaman;
Tolak Rancangan Undan-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT)
Lawan Privatisasi dan Liberalisasi Pendidikan Sebagai Perwujudan Skema Dominasi Imperialisme di Sektor Kebudayaan

“Gantungkan Cita-citamu Setinggi langit!!.  Pribahasa ini sering kali kita dengar diucapkan oleh guru-guru kita disekolah untuk memotivasi agar kita lebih giat belajar hingga mampu menggapai cita-cita yang kita inginkan. Namun melihat tanggung jawab Negara memenuhi hak atas pendidikan dan lapangan pekerjaan yang layak bagi rakyat yang tak jua terealisasi. Kita tidak lagi bisa menggantungkannya terlalu tinggi. Karena akan menjadi mimpi yang tak terbeli!!.

Diterbitkan
Oleh:

PP-FMN
Front Mahasiswa Nasional

Latar Belakang
Pendidikan adalah merupakan suatu proses dialektika manusia untuk mengembangkan akal pikir dalam menyelesaikan setiap persoalan-persoalan social, serta menjadi tolak ukur kemajuan suatu zaman peradaban Bangsa dan Negara, dalam mencerdaskan kehidupan rakyat. Sehingga menjadi tonggak instrument kemajuan tenaga produktif yang akan menopang kesejahtraan rakyat secara utuh. Pendidikan harus menjadi pondasi utama dalam mewujudkan kemajuan rakyat yang sejahtera, berkeadilan, berdaulat adil dan makmur, serta menjunjung tinggi nilai-nilai social yang maju dan mengabdi pada kepentingan rakyat.

Kenyataannya, pendidikan Indonesia tidak berujung sesuai dengan hakekat pendidikan itu sendiri. Berdasarkan historis, pendidikan Indonesia masih menyisakan kepedihan  mendalam bagi rakyat, sistem pendidikan Indonesia belum bisa berbuat apa-apa bagi kemajuan tenaga produktif, dari masa ke masa hanya dijadikan alat legitimasi untuk mempertahankan sistem ekonomi, politik yang anti rakyat.  Rezim berganti rezim tak jua membawa harapan kemajuan, pemerintahan Indonesia dari masa ke masa hanyalah  menjadi rezim penghamba yang tidak berani berdiri diatas kepentingan rakyat Indonesia. Dibawah kepemimpinan pelayan setia “SBY” imperialisme yang dipimpinan Amerika Serikat terus menancapkan dominasinya atas kepentingan politik, ekonomi, militer dan kebudayaan.

Historis Hari Pendidikan Nasional
Tanggal 2 Mei tiap tahunnya rakyat Indonesia mempringatinya sebagai Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS). Sejarah 2 Mei sendiri tentu tidak lahir dengan sendirinya melainkan atas dasar perjuangan rakyat Indonesia, dalam perkembangan masyarakat Indonesia telah dijelaskan secara komprehensif mengenai literature, sejarah telah banyak menguraikan bentuk penindasan pemerintah kolonialisme Belanda yang menghisap sumber-sumber rempah dan kekayaan alam Indonesia selama tiga setengah abad lamanya. Pendidikan yang semestinya bisa diakses oleh rakyat secara luas hanya menjadi sebuah impian belaka, karena pada dasarnya pemerintah colonial Belanda membatasi rakyat pribumi mengakses pendidikan. Pendidikan hanya bisa dikenyam oleh anak priyayi dan anak tuan tanah local yang mengabdi atas kepentingan pemerintah Belanda, karena kaum priyayi dan tuan tanah bersekongkol jahat untuk menghisap rakyat kecil. Oleh karenanya pemerintah colonial Belanda memberikan akses sepenuhnya bagi anak priyayi dan tuan tanah untuk mengenyam pendidikan.

Berangkat dari kepentingan tersebut, pemerintah colonial belanda membuka sekolah-sekolah untuk menciptakan tenaga-tenaga administratif pemerintahan colonial belanda di Indonesia, dari sinilah dilahirkan pula intelektuil progresif yang ikut serta ambil bagian dalam perjuangan rakyat pribumi. Dalam perjalanannya, sekolah-sekolah semakin banyak dibuka terutama dalam program “Politik Etis” atau yang biasa dikenal sebagai “Politik Balas Budi” yang salah satu isinya adalah program Edukasi yang tidak memilki perspektif dalam memajukan taraf kebudayaan rakyat pribumi. Kenyataan tersebut dapat dibuktikan lewat penyelenggaraan pendidikan yang tidak mampu diakses luas oleh rakyat pribumi.

Semakin berlipat gandanya penghisapan dan penindasan terhadap rakyat pribumi semakin menguatnya semangat perlawanan rakyat dalam memperjuangkan kemerdekaan, tak terkecuali kalangan intelektual yang lahir dari sekolah pemerintah colonial Belanda. Kalangan intelektual dan kelompok terpelajar membangun sekolah-sekolah rakyat secara luas dan terbuka untuk menopang taraf berpikir rakyat. Tentu usaha tersebut tidak dibiarkan begitu saja oleh pemerintah colonial Belanda, kenyataannya, sekolah-sekolah yang dibuka oleh rakyat pribumi tersebut banyak yang ditutup oleh pemerintahan colonial Belanda, akan tetapi berangkat dari kenyataan tersebut, semangat perlawanan rakyat pribumi semakin menuaikan keberhasilan yang meluas, tercatat diera tersebut kaum intelektual dan kelompok terpelajar bersama rakyat membuka kembali sekolah-sekolah yang ditutup oleh belanda. Usaha tersebut dipelopori oleh Mas Soewardi atau yang biasa dikenal dengan Ki Hajar Dewantara.

Dalam perjalanannya, Ki Hajar Dewantara memperjuangkan pendidikan di Indonesia telah mengalami berbagai rintangan, terutama tindakan semena-mena pemerintahan colonial  Belanda. Upaya yang dilakukan Ki Hajar Dewantara pada saat itu adalah cerminan bentuk kepeduliannya terhadap rakyat Indonesia. Pedoman inilah yang melahirkan pembebasan rakyat dari cengkraman penjajahan colonial belanda. Salah satu sekolah yang didirikan oleh Ki Hajar Dewatara adalah sekolah rakyat yang didirikan di Jogja pada tanggal 3 Juli tahun 1922. Selain mendirikan sekolah, Ki Hajar Dewantara juga menulis sebuah artikel tentang kekejaman pemerintah colonial belanda yang kerap membunuh dan menindas rakyat pribumi secara semena-mena. Berangkat dari semangat Ki Hajar Dewantara yang memperjuangakan pendidikan Indonesia tanpa dibatasi sekat-sekat antara orang kaya dan miskin patut dijadikan semangat baru bagi anak Bangsa.

Arti penting Hari Pendidikan Nasional bagi Rakayat Indonesia
Momentum Hari Pendidikan Nasional kali ini akan menjadi peringatan yang begitu berarti bagi seluruh rakyat Indonesia. Semangat atas kepentingan mendapatkan pendidikan yang layak bagi kebutuhan jaman akan terus dikobarkan setiap tahunnya. Bahwasanya perkembangan suatu jaman semakin tidak berimbang antara Negara imperialisme dengan Negara jajahan dan setengah jajahan seperti Indonesia. Perkembangan situasi politik dunia semakin menunjukkan titik kronis yang berkepanjangan akibat monopoli secara besar-besaran yang dilakukan imperialisme pimpinan AS, sehingga dari waktu ke waktu terus berdampak ke Negara-negara berkembang.

Selain memperingati Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) yang jatuh pada tanggal 2 Mei. Rakyat Indonesia juga akan memperingati Hari Buruh Intenasional (May-Day) yang jatuh pada tanggal 1 Mei. Peringatan May-Day dan Hardiknas kali ini adalah salah satu upaya bagi setiap gerakan rakyat Indonesia untuk membebaskan diri dari belenggu jeratan dominasi imperialisme di Indonesia yang menjadi akar persoalan rakyat Indonesia dalam memperjuangan kesejahtraan. Selain itu rakyat Indonesia juga akan memperingati Hari Kebangkitan Nasional (HARKITNAS) yang diperingati pada tanggal 20 Mei untuk mengenang peristiwa perjuangan rakyat pada tahun 1920 yang menandai bangkitnya perjuangan pembebasan melawan penjajahan Belanda yang untuk pertama kalinya dilancarkan secara Nasional. Namun setelah 92 tahun sejak kebangkitan nasional tersebut, rakyat Indonesia belum bisa membebaskan diri dari sistem setengah jajahan dan setengah feodal terutama dalam memperjuangkan pendidikan. 

Krisis Umum Imperialisme dan Berlipatgandanya Penghisapan Terhadap Rakyat diberbgai Dunia
Semenjak abad ke-20 hingga saat ini, sistem kapitalisme monopoli Global terus menyisakan sendi-sendi penderitaan rakyat diberbagai dunia. Semenjak memuncaknya krisis yang dialami oleh imperilisme pada pertengahan tahun 2008 akibat macetnya pembayaran kredit perumahan (sub-preme mortage), telah menyebabkan merosotnya pertumbuhan ekonomi dunia. Krisis tersebut tidak terlepas dari krisis over produksi teknologi canggih seperti otomotif, persenjataan dan elektronik yang semakin menumpuk akibat produksi masal yang dilakukan oleh sistem kapitalisme monopoli. Situasi pasar yang semakin menyempit dan menurunya daya beli Rakyat, berdampak pada semakin bangkrutnya perusahaan-perusahaan besar dunia. Bank-bank besar dipaksa memberikan dana talangan guna menyelamatkan perusahaan-perusahaan besar milik imperialisme.

Karena situasi tersebut, Negara-Negra imperialisme semakin melipatgandakan penghisapan dan penindasannya di Negara jajahan dan setengah jajahan untuk menyelamatkan krisis yang dideritanya. Imperialis  pimpinan AS semakin mengintensifkan liberalisasi perdagangan melalui berbgai macam skema seperti WTO, bahkan perjanjian perdagangan bebas (FTA). Tentu kenyataan inilah yang semakin memperkuat dominasi imperialisme AS diberbagai Negara secara politik, ekonomi, militer dan kebudayaan.

Selain ekspor barang komoditas, imperialisme juga berkepentingan atas ekspor capital supaya terhindar dari pembusukan capital. Kawasan Asia adalah merupakan sasaran yang paling potensial bagi imperialisme dalam hal investasi dan perdagangan. Asia merupakan tempat populasi penduduk terbesar di dunia sebagai pasar luas dan besar. Selain itu juga banyak menyimpan tenaga kerja dan cadangan kekayaan alamnya yang berlimpah, sehingga kedudukan Asia sangat penting bagi imperialisme dalam menyelamatkan krisis yang terus membusuk.

Krisis demi krisis yang berlangsung lama telah membawa imperialisme menggali liang kuburnya semakin dalam. Seiring massifnya penghisapan yang dilakukan imperialisme diberbagai Negara jajahan dan setengah jajahan, telah melahirkan gerakan-gerakan rakyat anti imperialisme yang terus berkembang diberbagai Negari.

Situasi Umum Pendidikan Di Bawah dominasi Impeialisme
Sejarah pendidikan nasional Indonesia memang tidak terlepas dari dikte yang dilakukan pemerintahan asing. Pada jaman pemerintahan Belanda, sejak dijalankannya program politik etis seiring pemberlakuan kebijakan perundang-undangan Pemerintah kolonial Belanda yang mengatur soal Agraria yang dikenal dengan Agrarische Weet. Pada masa itu, pendidikan hanya diperuntukan bagi  golongan “Priyayi” atau bangsawan yang selain untuk mengakomodir kepentingan Bangsawan lokal yang senantiasa memberikan pelayanannya terhadap pemerintah Belanda. Hal tersebut juga ditujukan untuk menegaskan kekuasaan colonial Belanda di Indonesia, serta untuk memenuhi kebutuhan tenaga administrative diperusahaan-perusahaan perkebunan milik colonial Belanda dan Negeri-Negeri asing lainnya.

Kebijakan pendidikan Indonesia saat ini yang tidak terlepas dari kepentingan Negara-Negara imperialisme seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia dan Cina. Mereka menjadikan pendidikan sebagai salah satu sector jasa yang mendatangkan keuntungan yang berlipat ganda. Selain itu, pendidikan dijadikan sebagai “corong propaganda” yang mempromosikan kepentingan Negara-Negra Imperialisme. Kurikulum pendidikan yang ditujukan untuk mempertahankan dominasi mereka atas monopoli sumber daya alam, tenaga kerja murah, serta pasar dan menjadi sasaran investasi bagi keserakahan mereka.

Pada tahun 1999, pemerintah Indonesia mendapatkan kucuran hutang sebesar US $ 400 juta dari IMF (dana moneter internasional), yang kemudian melahirkan penandatanganan kesepakatan Letter of Inten/LoI. Dalam kesepakatan tersebut pemerintah Indonesia diharuskan melakukan pencabutan subsidi public termasuk kesehatan dan pendidikan. Kesepakatan inilah yang kemudian melatar belakangi lahirnya PP. 61 Tahun 1999 tentang BHMN perguruan tinggi (Menjadikan Perguruan Tinggai Badan Hukum Milik Negara) yang kemudian diuji cobakan di 7 kampus negri besar di Indonesia yaitu; UI, ITB, IPB, UPI, USU, UGM dan UNAIR.

Tahun 2001 pemerintah Indonesia kembali meratifikasi kesepakatan internasional, yakni kesepakatan bersama tentang perdagangan jasa (General Agreement On Trade And Service/GATS) dari Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Orgnization/WTO), dimana pendidikan dijadikan sebagai salah satu dari 12 komoditas (barang dagangan). Dengan demikian para investor bisa menanamkan modalnya disektor pendidikan (terutama untuk pendidikan tinggi). Kesepakatan inilah yang kemudian yang melahirkan UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 

Kemudian melalui Bank Dunia (World Bank), pemerintah Indonesia mendapatkan kucuran hutang sebesar US$ 114,54 juta untuk membiayai program Indonesian Managing Higher Education For Relevance And Efficiency (IMHERE) yang disepakati pada juni 2005 dan berakhir pada tahun 2011. Program ini bertujuan untuk mewujudkan otonomi perguruan tinggi, efisiensi dan relevansi perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar. Dari program inilah lahir UU Badan Hukum Pendidikan (BHP). Karena Bank Dunia menganggap anggaran pendidikan terlalu banyak menyedot APBN sehingga harus dipanggkas subsidinya. Pemangkasan  tersebut juga meliputi pemangkasan anggaran Guru dan Dosen. 

Dalam perjalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) banyak menuai protes dari berbagai elemen rakyat Indonesia, tidak sedikit dari masyarakat Indonesia khususnya Pemuda Mahasiswa melakukan berbagai aksi massa supaya UU BHP harus dicabut. Tanggal 30 Maret 2010, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan pencabutan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) karena bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945), ini tidak terlepas dari protes rakyat yang cukup lama. Akan tetapi hal ini tidak serta merta menghentikan praktik komersialisasi pendidikan di Indonesia. Semenjak dikeluarkannya rancangannya sampai disahkannya pada tanggal 17 Desember 2008, UU BHP selalu mendapatkan kecaman yang keras dari berbagai gerakan rakyat.. Hal ini membuktikan bahwa sekali lagi perjuangan massa mampu melahirkan perubahan.

Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) Penuh Muatan Privatisasi dan Liberalisasi
Sudah menjadi tradisi dan membudaya dalam sebuah sistem setengah jajahan dan setengah feodal yang memiliki karakter rezim penghamba bagi kepentingan investasi, segala sesuatu yang dirumuskan hanyalah sebuah genta penyakit bagi rakyat secara umum diberbgai sector. Dibawah kepemimpinan rezim fasis Susilo Bambang Yudoyono tercatat telah melakukan beberapa regulasi skema penghisapan dan penindasan terhadap rakyat. Kenyataan itu merupakan upaya keras SBY untuk mendapatkan nilai bagus dari sang “Raja Gurita Imperialisme AS”. Apapun yang diinginkan sang raja, maka sang pelayan setia SBY siap menggelontorkan kekayaan yang dimiliki rakyat, termasuk harus mencabut subsidi-subsidi public rakyat seperti subsidi pendidikan.

Salah satu kebijakan anti rakyat yang sedang dirancang adalah Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT). Keberadaan RUU PT sendiri ialah sebagai pengganti dari Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), dimana keberadaan Undang-Undang tersebut hakekatnya penuh dengan muatan privatisasi dan liberalisasi. Kaitannya dengan hal tersebut, meskipun telah menuai protes dan perlawanan dari berbagai kalangan, Pemerintah tetap kekeh untuk Mengesahkan UU tersebut, terbukti dengan berbagai rasionalisasi dan pembelaan yang dilakukan oleh Pemerintah untuk tetap mendorong RUU tersebut, bahkan  sampai saat ini RUU tersebut sudah mengalami Revisi hingga kesekian kalinya.

Namun yang harus menjadi catatan bahwa berkaitan dengan RUU PT persoalannya bukanlah semata-mata pada pasal per-pasal, malainkan pada persoalan Perspketif dan Orientasi dari Undang-undang tersebut yang sudah sangat terang secara Hitoris bahwa RUU tersebut sebagai Pengganti UU BHP yang telah menjauhkan Rakyat dari Akses pendidikan Tinggi. Secara Ekonomi, pastinya dengan RUU tersebut jika tetap disahkan akan semakin memberikan ruang bagi Lembaga kampus untuk mengkomersilkan Pendidikan baik melalui kurikulum, dan distribusi Output sebagai tenaga kerja murah, kerjasama pembangunan dan pengembangan Usaha. Secara Politik, tentunya RUU tersebut akan bertententangan dengan UU SISDIKNAS dan UU 1945.

Disamping itu juga bahwa RUU tersebut kemudian akan menjadi Legitimasi dari pemerintah untuk melepaskan tanggungjawabnya atas pendidikan, khususnya Pendidikan tinggi. Selanjutnya, diaspek kebudayaan, melalui kurikulum yang akan diterapkan, selain hanya akan mewakili kepentingan dari Imperialisme atas tenaga Kerja, maka kurikulum yang akan diterapkan juga tidak akan jauh dari kepentingan tersebut, bahkan yang paling buruk adalah dimana kurikulum yang akan dijalankan akan semakin luas memberikan ruang transpormasi ide dan kebudayaan dari Imperialis yang sangat jauh dari relaitas hidup Rakyat Indonesia. Hal tersebut juga sudah sejak lama diterangkan dari program kerjasama pemerintah dikancah Internasional khususnya dilapangan Kebudayaan, seperti US-Indo Komprehensif ataupun kesepakatan-kesepakatan yang dibangun di regional tingkat ASEAN maupun Asia Timur, dimana akan diberlakukan keseragaman dalam Sistem Pendidikan, baik dari keseragaman kurikulum, sistem penyelenggaraan hingga pembiayaan.

Kampus Sebagai Pusat Konsolidasi Teori Untuk Mempertahankan Kepentingan Imperialisme dan Rezim Boneka.
Sebagai lembaga penyelenggara pendidikan tinggi, tentu kampus memiliki peran penting dalam ranah kemajuan bangsa, karena kampus adalah merupakan instrument untuk melakukan pengkajian  atas persoalan yang dihadapi rakyat indonesia. Sehingga berangkat dari hal tersebut kampus menjadi ibu yang akan melahirkan tenaga ahli yang mengabdi atas kemajuan bangsa dan rakyat indonesia. Akan tetapi kenyataannya lembaga Pendidikan Tinggi/Kampus selalu terlibat dalam setiap skema kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah boneka imperialisme di indonesia yaitu Susilo Bambang Yudoyono.

Dalam praktiknya, lembaga pendidikan tinggi selalu terlibat dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh rezim boneka untuk menyelamatkan beban krisis yang kian hari semakin meyulitkan imperialisme dalam upaya penyelesaiannya, Oleh karenanya, imperialisme akan menggunakan berbagai macam cara untuk melepaskan dirinya dari jeratan krisis tersebut. salah satunya adalah program Counter Insurgency (CO-IN) dilapangan kebudayaan, dimana imperialisme mempromosikan budaya individualisme, anti nasionalisme, tidak ilmiah dan anti rakyat tentunya. Demi melancarkan dominasinya dilapangan kebudayaan, imperialisme telah melakukan kerjasama komprehensif antara pemerintahan Amerika Serikat dengan Pemerintahan Indonesia (US-INDO), dimana AS telah menginfestasikan dana sebesar USD 165 juta selama 5 tahun.

Berangkat dari program-program kerjasama inilah yang kemudian menguatkan posisi kampus untuk terus berlomba-lomba melakukan praktik komersialisasi pendidikan, tidak sedikit kampus-kampus besar di indonesia melakukan kerjasama secara langsung dengan negara-negara imperialisme lainnya, secara setahap demi setahap kampus-kampus di indonesia kehilangan orientasinya dalam memajukan ekonomi, politik dan kebudayaan bangsa. Kampus-kampus akan berubah menjadi warung siap saji yang menyediakan paket menu yang telah ditentukan besaran harganya, menu yang disediakanpun adalah menu pesanan dari negeri-neri imperialisme, tidak heran jika kampus telah jauh dari nilai-nilai budaya ilmiah rakyat, jauh dari setiap kenyataan yang dihadapi bangsa indonesia.

Para tokoh akademisi, Guru besar berpangku tangan ketika melihat persoalan bangsa indonesia yang tiada henti-hentinya diterpa persoalan. Untuk memahami persoalan bangsa saja, para tokoh Akademisi dan Guru Besar yang dilahirkan oleh kampus-kampus siap saji tidak tau menahu apa yang menjadi persoalan bangsa indonesia. Sehingga wajar kemudian merka dangkal pemikiran dan pandangannya atas keadaan bangsa dan persoalan rakyat indonesia, yang mereka pahami adalah budaya negara-negra Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia dan lain sebagainya. Mereka hanya bisa berbual membanding-bandingkan negara indonesia dengan negara maju. 

Hal inilah yang melatar belakangi mahasiswa saat ini kehilangan semangat belajar, kehilangan semangat pengabdiannya terhadap bangsa dan rakyat indonesia, karena sedari dini telah di didik dan dicengkoki dengan teori-teori yang tidak bisa di ilmiahkan kebenarannya dalam praktik sosial kebangsaan.

Selain itu juga, kampus tidak memberikan jaminan kepada mahasiswa dalam melakukan percobaan ilmiah, kebebesan mengeluarkan pendapat. Kebijakan-kebijakan kampus telah membatasi gerak demokrasi mahasiswa, tidak sedikita mahasiswa yang terkena skorsing, dipersulit nilai akademik, bahkan ancaman droup out (DO) karena memperjuangakan hak-hak sosial ekonomi dikampus. Dari beberapa ulasan inilah kita bisa simpulkan tentang karekteristik perguruan tinggi indonesia yang masih menjujung tinggi budaya-budaya feodal, tidak heran jika kampus-kampus besar di indonesia adalah cerminan eksisnya budaya feodal (anti kemajuan tenaga produktif) seperti Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Pajajaran Bandung (UNPAD), Universitas Sriwijaya Palembang (UNSRI), dimana kampus-kampus tersebut adalah wujud nyata dari nama-nama kerajaan feodal di indonesia.  

Mutu Pendidikan Indonesia tidak berkualitas Sepanjang Masa
Sudah menjadi ketetapan dalam sebuah negara setengah jajahan-setengah feodal seperti indonesia yang anti kemajuan tenaga produktif, dibawah kepemimpinan rezim boneka imperialisme, pendidikan justru diorientasikan untuk menjaga kepentingan imperialisme dalam memonopoli sendidi-sendi kehidupan rakyat dinegara setengah jajahan dan setengah feodal. Pendidikan layaknya barang dagangan pada umumnya, untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas, maka rakyat harus bersedia untuk membayar dengan biaya yang mahal.

Berdasarkan data yang dimuat harian kompas pada tanggal 23 Maret 2011. Harian kompas melaporkan bahwa sampai saat ini 88,8% sekolah di indonesia, mulai dari tingkat SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar pelayanan minimal. Dari 201.557 sekolah di indonesia 40,31% berada dibawah standar pelayanan minimal, dan 48,89% berada pada posisi standar pelayanan minimal, hanya 10,15 yang memenuhi standar pelayanan nasional pendidikan. Dengan keadaan demikian pemerintah justru gencar mengalokasikan dana bagi RSBI (kompas, 31/3/2011).

Peringkat kualitas pendidikan indonesia di Asia Tenggara berada pada urutan ke-12 dari 12 negara yang ada di Asia tenggara, hal ini di sampaikan oleh badan survey Political and Economic Risk (PERC). Bahkan kualitas pendidikan indonesia masih dibawah veatnam, sementara hasil survey Word Competitiveness Year Book tahun 2007, daya saing pendidikan indonesia berada pada urutan 53 dari negara yang disurvey, dan data ini diperkuat dengan data yang diterbitkan oleh Time Higher Education Supplement (THES). Peringkat Perguruan Tinggi (PT) terkemuka di indonesia seperti Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gajah Mada (UGM) berada pada peringkat ke-77 dari 77 Perguruan Tinggi dikawasan Asia-Pasifik, meskipun kampus-kampus tersebut sudah membuka program internasional dan melakukan kerjasama dengan berbagai lembaga pendidikan asing. 

Dalam meningkatkan kualitas pendidikan indonesia, pemerintah justeru menggunakan cara-cara yang pragmatis dengan menetapkan standar kelulusan nasional melalui Ujian Nasional (UN). Dari data hasil ujian nasional, tiap tahunnya menunjukkan hasil yang memprihatinkan, berdasarkan data yang ada terdapat 267 sekolah dengan tingkat kelulusan nol persen, secara keseluruhan terdapat 154.051 siswa yang dinyatakan tidak lulus mengikuti ujian nasional tahun 2010.
Dalam menyikapi persoalan tersebut, pemerintah justeru menyalahkan pihak sekolah dan para siswa yang dianggap tidak serius menghadapi ujian nasional, benar adanya, ketika memajukan kualitas pendidikan harus diukur secara kongkrit, akan tetapi yang menjadi persoalannya adalah faktor-faktor pendukung untuk menopang kualitas pendidikan tersebut, seperti soal anggaran, fasilitas, dan kaulifikasi tenaga pendidik dimasing-masing daerah, pada kenyataannya berbeda-beda. Daerah yang anggaran pendidikannya rendah, fasilitas yang minim dan sedikitnya tenaga pendidik yang belum memenuhi syarat-syarat kualifiaksi, hal ini tentu tidak bisa disamakan dengan daerah yang alokasi anggarannya relatif lebih tinggi, fasilitas yang jauh lebih bagus, dan jumlah tenaga pendidik yang lebih banyak serta memenuhi syarat kualifikasi.

Meskipun ada beberapa sekolah yang memilki prestasi bagus ditengah keterbatasan sumber daya yang dimiliki, akan tetapi hal tersebut tidak menjadi situasi yang umum terjadi, dengan demikian sudah seharusnya standar kelulusan ditentukan oleh masing-masing sekolah atau masing-masing daerah. Selain itu, kualitas pendidikan seharusnya tidak diukur secara formal melalui nilai-nilai tersebut, melainkan kualitas pendidikan seharusnya diukur dari seberapa besar peran pendidikan dalam menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat. Dengan demikian hakikat pendidikan dapat memajukan tenaga produktif dan kebudayaan bangsa indonesia sehingga mampu membebaskan diri dari berbagai persoalan yang dilahirkan oleh sistem setengah jajahan dan setengah feodal.    

Tingginya Angka Penganguran adalah Cerminan Negara Setengah Jajahan Setengah Feodal
Pendidikan yang mahal ternyata juga tidak sebanding dengan ketersediaan lapangan pekerjaan. Berdasarkan data BPS, hingga Februari 2010 jumlah penduduk yang bekerja mencapai 107,41 juta orang dari 116 juta angkatan kerja di Indonesia. Maka jumlah pengangguran mencapai 8,59 juta orang atau sekitar 7,41%. Dan berdasarkan identifikasi yang dilakukan BPS, yang bekerja di sektor formal hanya sebanyak 33,74 juta orang atau 31,42%, sedangkan bekerja pada sektor informal mencapai 73,67 juta orang atau 68,58%. Maka jumlah pengangguran di Indonesia bisa saja lebih dari 8,59 juta orang karena yang bekerja di sektor informal jauh lebih besar, yang bisa kapan-kapan saja kehilangan pekerjaannya.

Begitupun dengan jumlah pengangguran terdidik yang masih sangat besar. Dari jumlah penduduk yang bekerja, sebesar 55,31 juta orang atau 51,50% adalah yang berpendidikan SD ke bawah, SMP 20,30 juta atau 18,9%, SMA 15,63 juta atau 14,5%, SMK 8,34 juta atau 7,8%, sedangkan Diploma I, I, III 2,89 juta atau hanya 2,7%, dan Sarjana 4,94 juta atau hanya 4,6%. Berdasarkan data Bapenas 2012, diantra 237,6 juta penduduk indonesia, 26,8% atau 64 juta jiwanya adalah remaja dengan usia 15-24 tahun.

Belum lagi keadaan pekerja Indonesia semakin memprihatikan karena politik upah murah yang diterapkan oleh berbagai perusahaan dan pemerintah, serta tidak adanya jaminan kepastian kerja dengan diberlakukannya sistem outsourcing.Demikian halnya dengan jaminan kesehatan, keamanan, dan keselamatan kerja (K3), serta jaminan sosial lainnya.

Rendahnya Kulitas Pendidikan Tidak Terlepas dari Peran Guru
Berbicara tentang kualitas peandidikan tentu tidak terlepas dari peranan guru yang merupakan salah satu komponen yang tidak bisa dipisahkan dari persoalan pendidikan. Selogan tentang “pahlawan tanpa tanda jasa” dimana pemerintah menagrtikannya secara harafiah, pengabdian guru sama sekali tidak dihargai, kenyataan ini bisa kita lihat dari rendahnya pendapatan guru, khususnya guru honorer, guru kontrak dan guru bantu.

Jika mengacu pada Depdiknas tahun 2010, jumlah guru yang berstatus PNS (termasuk PNS pada Depertement Agama dan PNS yang diperbantukan disekolah swasta) berjumlah 1.579.381 orang, Guru tetap yayasan: 225.667 orang, Guru honorer daerah: 68.157 orang, serta guru tidak tetap dan guru bantu: 734.106 orang. Nasib yang memprihatinkan terjadi pada guru tidak tetap yang diperjakan tanpa ada jaminan hukum atas pemenuhan hak-haknya, hanya sebatas surat keputusan (SK) kepala sekolah. Itu artinya bahwa, mereka bisa diberhentikan berdasarkan keputusan kepala sekolah kapan saja berdasarkan keinginan kepala sekolah. Sementara gaji mereka juga sangat rendah, hanya sebesar Rp. 200.000/bulan, sehingga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak mencukupi. Selain itu mereka juga sering mendapatkan tindakan diskrinatif seperti tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan di sekolah.

Persoalan lainnya juga terkait dengan persoalan guru adalah perbandingan yang tidak merata antara guru sekolah negeri dengan guru sekolah swasta. Berdasarkan data Direktorat jendral Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikant (Dirjen PMPTK), hingga tahun 2009 jumlah guru indonesia mencapai 2.607.311 orang dengan rincian; guru sekolah negeri mencapai 1.972.735 orang atau sebesar 75,66%, sedangkan guru sekolah swasta hanya mencapai 634.576 orang atau 24,34%. Begitupun dengan perbandingan perseberan guru dikota dengan guru didesa, dimana guru yang bekerja diwilayah pedesaan masih sangat sedikit, bahkan dibeberapa sekolah terpencil masih ada satu guru untuk masing-masing sekolah. 

Jumlah Guru Berdasarkan Status Kepegawaian
No.
Guru Berdasarkan Status Kepegawaian 
Jumlah
I.
Sekolah Negeri


Pegawai Negeri Sipil (PNS )
1.433.474

Pegawai Negeri Sipil Depag (PNSDPG)
8.602

Guru Tidak Tetap (GTT)
464.083

Guru Bantu (GB)
9.429

Guru Honorer Daerah (GHD)
57.147

Total Guru disekolah Negeri
1.972.735



II.
Sekolah Swasta


Guru PNS yang diperbantukan
134. 757.

Pegawai Negeri Sipil Depag (PNSDPG)
2.548

Guru Tetap Yayasan (GTY)
225.667

Guru Tidak Tetap (GTT)
252.485

Guru Bantu (GB)
8.109

Guru Honorer Daerah (GHD)
11.010   

Total Guru disekolah Swasta
634.576
Sumber: Litbang Majalah Komunitas/Ditjen PMPTK tahun 2009

Sitem SJ-SF Menjadi Akar Persoalan Kehancuran Pendidikan Indonesia
Jika mengacu pada penjelasan diatas, telah menjelaskan kepada kita semua akan peranan pemerintah yang tidak pernah memenuhi tanggung jawabnya atas pendidikan bagi seluruh rakyat indonesia, justru dengan berbgai macam skema pemerintah terus berupaya keras melanggengkan praktik liberalisasi pendidikan yang tidak akan pernah mampu menjawab persoalan rakyat indonesia. Rakyat tidak akan pernah berdaulat atas kemerdekaannya selama masih dipimpin ileh rezim boneka.

Dibawah cengkraman dominasi imperialisme pendidikan indonesia akan terus didorong jauh dari keadaan kongrit rakyat, pendidikan akan terus dikendalikan lewat berbagai  budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai individualis.









Rabu, 25 April 2012

Peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei 2012; (May-Day)






Melawan Perampasan Upah, Tanah, Kerja dan Menolak Kenaikan Harga BBM-Hentikan Pemberangusan Serikat dan Berbgai Bentuk Kekerasan Terhadap Rakyat; Pemuda-Mahasiswa Berjuang Bersama Rakyat!!


Diterbitkan
Oleh:

 PP-FMN
Front Mahasiswa Nasional


I. Latar Belakang
Dalam tekanan luar biasa, baik tekanan upah yang semakin rendah, kesejahtraan dan tekanan dalam aspek demokratisasi dalam memperjuangkan haknya, dinamika perjuangan buruh terus berkembang dan semakin meluas diberbgai daerah, seakan saling sahut menyahut bak permainan musik Orkestra, atau merbak  musim bunga yang tumbuh dan berkembang indah di musim semi tiba.
 
Ditahun 2012 ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, gerakan buruh bersama gerakan rakyat disektor lainnya, penuh antusias menyiapkan peringatan Hari Buruh Internasional (May-Day), dimana momentum tersebut adalah merupakan tonggak perjuangan Buruh diseluruh penjuru Dunia. Hari besar buruh yang diperingati setiap tanggal 1 Mei tersebut, tidak terkecuali di Indonesia selalu dirayakan secara meriah dengan berbagai bentuk kegiatan oleh kaum buruh dunia dan indonesia khususnya rakyat disektor lain juga bersimbah ruah memperingati moment ini, guna memperjuangkan aspirasi dan tuntutan dari buruh dan rakyat secara umum. Karenanya, momentun may-day bukan hanya menjadi milik kaum buruh semata, akan tetapi semangat momentum may-day sudah menjadi semangat persatuan bersama rakyat Dunia dalam menghancurkan sistem kapitalisme monopoli global. Maka berangkat dari semangat persatuan inilah, materi propaganda ini disusun untuk menyatukan pemahaman, pandangan dan sikap atas bentuk-bentuk ketertindasan rakyat dan akar persoalannya yang mengharuskan adanya persatuan kuat dalam gerakan pembebasan.

Dalam materi propaganda ini akan mengulas tentang risalah utama kaum Buruh Indonesia dan kaitannya dengan persoalan Rakyat diberbgai disektor. Yaitu persoalan yang disebabkan oleh dominasi Imperialime yang terus melakukan penghisapan atas seluruh sumber daya dan kekayaan (Alam dan Manusia) yang ditopang penuh oleh Tuan tanah dan rezim Boneka dalam Negeri, teruama dalam upaya menyelesaikan krisis imperialisme yang semakin akut saat ini.

Bahan propaganda ini selain diperuntukkan bagi seluruh anggota FMN, juga ditujukan kepada pemuda-mahasiswa dan rakyat indonesia secara umum. Untuk dapat memahami secara mendalam atas keterkaitan antara krisis imperialisme dengan persoalan Buruh dan persoalan rakyat indonesi, sehingga penyajian materi ini juga akan memaparkan secara singkat perkembangan situasi umum nasional dan internasional, khususnya perkembangan situasi krisis imperialisme.

II. Krisis Imperialisme dan Terpuruknya Kehidupan Rakyat
Imperialisme Semakin Memperkokoh Dominasinya diberbagai Negeri Guna Melimpahkan Beban Krisis yang Terus Bergulir Tiada Henti;
Krisis ekonomi dan keuangan Global yang terjadi di AS pada tahun 2008 akibat Over-Produksi; Kredit macet perumahan (Subprime Mortage), komoditas berteknologi canggih, seperti industri persenjataan, industri kendaraan bermotor dan lain sebagainya. Selain itu juga, imperialisme AS juga mengalami krisis energi sebagai salah satu unsur terpenting dalam aktifitas produksinya. Sementara agresi AS terhadap Irak dan Afganistan pada tahun 2003  juga telah menelan anggaran sebesar USD 3 trilliun. Krisis ini sesungguhnya telah terjadi pada tahun 2000, dan oleh pemerintah Amerika Serikat  sendiri diakui sebagai krisis terparah sepanjang krisis hebat (Great Depression) yang terjadi pada tahun 1930an. Krisis inilah yang kemudian berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi AS, dampak dari krisis ini telah mengantarkan perusahaan-perusahaan besar dunia masuk kejurang kebangkrutan dahsyat sepanjang jaman, sehingga telah memaksakan lembaga-lembaga keuangan dunia menghamburkan dana publik dalam jumlah besar dan secara langsung memerosotkan ekonomi dunia ke lembah stagnasi. 

Overproduksi atas barang-barang komoditas merupakan penyebab utama krisis yang tidak akan bisa diselesaikan oleh sistem kapitalisme monopoli. Barang-barang komoditas produksi massal yang dihasilkan semakin menumpuk di tengah perkembangan pasar yang semakin menyempit dan merosotnya daya beli rakyat. Situasi ini membuat negeri-negeri imperialis memaksakan liberalisasi perdagangan melalui berbagai skema seperti WTO maupun perjanjian perdagangan bebas (FTA) bilateral maupun regional agar kepentingan imperialis bisa mengikat. Selain ekspor barang komoditas, imperialis juga berkepentingan atas ekspor kapital supaya terhindar dari pembusukan kapital.

Berbagai paket kebijakan penyelamatan dilakukan oleh pemerintah negara-negara imperialis melalui skema dana talangan (bail-out) dan dana stimulus sebagai bentuk subsidi keuangan terhadap perusahaan-perusahaan besar yang dibiayai dengan menggunakan dana publik untuk menyelamatkan kerakusan dan kesalahan yang telah mereka perbuat hingga naraca keuntungan perusahaan-perusahaan besar kembali stabil, pasar saham kembali bekerja dan bisnis berjalan seperti biasa (bussiness as usual). Sementara itu, Negara sebagai alat kepentingan klas telah benar-benar menjalankan fungsinya melayani borjuis besar dunia dan kaki tangannya. Namun, skema dana talangan (Bail-out) dan dana stimulus yang selalu menjadi solusi utama (andalan) dalam menyelesaikan krisisnya, sejak fase perkembangan dari system kapitalisme hingga zaman Imperialisme saat ini, tidak pernah terbukti mampu menyelesaikan krisis yang dideritanya.

Krisis susulan pasca krisis keuangan 2008-2009 yang menimpa perusahaan-perushaan besar kini menjelma krisis utang yang menimpa negeri-negeri besar seperti AS dan Uni Eropa seperti Yunani, Portugal, Spanyol, Italia, Irlandia, dan Hongaria. Krisis utang ini meliputi masalah pembengkakan utang publik yang telah melewati batas wajar karena melebihi PDB suatu negeri dan masalah ancaman gagal bayar (default). Pembengkakan utang yang melebihi PDB secara pasti menandakan kebutuhan yang lebih besar dari kemampuan produktif ekonomi nasional suatu negeri.

Krisis utang publik seperti yang kini dialami oleh AS dan negeri-negeri di wilayah Uni -Eropa telah membawa dampak serius terhadap moneter, perbankkan, kemerosotan ekonomi, tingginya anggka pengangguran dan kemiskinan. Kemerosotan ekonomi yang menimpa dunia sekarang ini menandakan ketidakberdayaan seluruh negeri imperialis (G-8) beserta institusi keuangan dunia bentukan imperialis (IMF, Bank Dunia, EOCD, ADB). Kebijakan fiskal dan moneter yang telah mereka terapkan untuk mengatasi krisis keuangan 2008 justeru telah memperdalam krisis sistem produksi, keuangan, perdagangan imperialis dan sekarang melahirkan krisis utang.

Dalam situasi demikian, Imperialisme terus melimpakan beban tersebut diatas pundak Rakyat diseluruh dunia dengan berbagai skema penghisapan yang dibentuknya. Melalui perjanjian-perjanjian dan kerjasama baik bilateral maupun multilateral, skema-skema tersebut dititipkan kepada Rezim boneka yang telah dibentuknya untuk diimplementasikan dan dijalankan secara maksimal di Negara-negara yang berada dibawah dominasinya, terutama Negara-negara Setengah jajahan dan setengah feudal seperti Indonesia. Bahkan imperialisme sanggup menggunakan cara bar-bar jika ada negara yang berani menentang kebijakan busuknya.

Selain dengan upaya-upaya tersebut, Imperialisme juga melakukan Konsolidasi atas negara-negara kawasan baik di Kawasan Eropa maupun Asia untuk memperkuat pengaruh dan dominasinya guna memaksakan Negara-negara dalam kawasan tersebut ikut bertanggungjawab atas krisis yang dialaminya. Melalui konsolidasi-konsolidasi tersebut telah melahirkan berbagai kesepakatan yang akan diterapkan secara liberal dan brutal terhadap Rakyat diberbagai sector. Kongkritnya, selain pemaksaan untuk melakukan pemotongan subsidi Publik, menaikkan pajak dan menjalankan kebijakan neo Liberal yang manifes dalam bentuk Komersialisasi dan privatisasi atas berbagai sector public dan jasa, Negara-negara tersebut juga tetap akan dijadikan sebagai sumber penghisapan bahan mentah, sumber tenaga kerja murah dan pasar yang luas bagi pasar produksi Imperialisme yang telah lama tertimbun dan terus menumpuk.

Di Asia sendiri, melalui ASEAN dengan Negara-negara yang kaya akan sumber daya alam didalamnya tentu dapat menjamin terpenuhinya bahan mentah yang dibutuhkan Imperialisme. Selanjutnya, populasi yang besar sebagai jaminan tersedianya tenaga kerja murah dan sekaligus sebagai pangsa pasar yang besar, sehingga konsolidasi ASEAN terus diperluas dan dikembangkan. Untuk konsolidasi Asia timur dan membangun Komunitas Asia timur yang dipuncaki pada pertemuan (KTT ASEAN dan ASIA Timur) Internasional di Bali pada bulan November 2011 lalu, telah disandarkan pada empat Negara besar yang memiliki jaminan atas bahan mentah dan populasi tersebut yaitu, China, India, Australia dan Indonesia. Keterhubungan empat kawasan tersebut secara letak geografis sangat strategis, sehingga akan  lebih mudah dalam meningkatkan kerjasama ekonomi. Komposisi keanggotaan Asia Timur yang begitu penting dalam ekonomi dunia, membuat Amerika Serikat semakin agresif dalam melakukan dominasi dan memegang kendali atas Asia Timur.

Dalam perkembangan saat ini, konsolidasi-konsolidasi tersebut telah terbukti berhasil memperkuat Dominasi Imperialisme didalam Negeri. Hal tersebut terbukti dengan semakin loyalnya Pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dalam memberikan pelayanan dan memfasilitasi Imperialisme melakukan penghisapan atas seluruh sumber daya (Kekayaan Alam dan tenaga Manusia) didalam Negeri melalui berbagai kebijakan Anti Rakyatnya yang dibungkus dalam topeng ”ILUSI” Demokrasi berwujud Perundang-undangan dan berbagai peraturan lainnya.

Selain dengan skema-skema perjanjian ekonomi, Politik dan Kebudayaan tersebut, Imperialisme AS juga terus melakukan promosi dan membangun kerjasama militer dan pertahanan dengan menggunakan isu terorisme. Dalam aspek tersebut sesungghnya, selain kepentingannya atas perdagangan senjata, Imperailisme AS sangat berkepentingan untuk membangun persatuan dan kerjasama Militer untuk meng-counter gerakan Rakyat anti Imperialisme yang terus meluas. Bahkan Imperialisme AS sendiri telah menjalankan program Counter Insurgency-nya (COIN) dan telah menerbitkan buku panduan (Guide Book) untuk menjalankan COIN tersebut diberbagai Negeri. Artinya bahwa, segala upaya akan dilakukan oleh Imperialisme dalam melakukan penghisapan dan upaya penyelamatan dirinya atas krisis yang tengah diderita, baik dengan penghisapan melalui jalan damai (Perjanjian kerjasama) maupun jalan kekerasan bahkan agresi militer.

Pemerintah SBY-BudhionoMerupakan Rezim Fasis dan Korup
Dalam berbagai kenyataan, melalui perjanjian dan kerjasama serta kebijakan-kebijakan yang dibentuknya didalam negeri, SBY-Budiono telah menunjukkan ketidak berpihakannya terhadap rakyat. Dari berbagai tindakan reaksinya terhadap rakyat secara lansung, Rezim ini terus membuktikan loyalitasnya kepada Sang Tuan (Imperialis), bahkan dengan tanpa ragu menjadikan rakyat sebagai tumbalnya. Melalui forum-forum Internasional, Regional maupun Bilateral yang melahirkan berbagai perjanjian kerjasama bilateral dan multilateral telah menciptakan penderitaan rakyat yang semakin hebat. Melalui pertemuan Bilateral Barrack Husein Obama dengan Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta pada akhir tahun 2010 lalu, menghasilkan Kerjasama Komprehensif US-Indo diseluruh sector dan dalam berbagai aspek kehidupan rakyat.

Program-program tersebut diantaranya adalah upaya-upaya penghapusan bea Eksport-Import secara bertahap yang ditargetkan hingga titik “NOL” untuk menjamin terbukanya pasar didalam negeri dan terlaksananya perdagangan bebas,  kerjasama untuk fleksibelitas pasar tenaga kerja (Labor Market Flexibility) untuk mendapatkan tenaga kerja murah, dan dilapangan kebudayaan tetap melakukan efisiensi dan relevansi pendidikan (Terutama pendidikan Tinggi) yang diorientasikan untuk mencetak tenaga-tenaga kerja berketrampilan rendah yang hanya dapat dijadikan sebagai buruh murah pelayan Imperialisme, serta Program yang saat ini sedang digencarkan oleh Pemerintah, yaitu Program “Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)” yang akan semakin mensyaratkan terjadinya perampasan tanah rakyat dalam skala besar dan penggusuran terhadap rakyat miskin diperkotaan dengan dalih untuk pembangunan dan kepentingan umum. Esensi program tersebut sesungguhnya akan semakin intensifnya penghisapan Imperialisme atas seluruh sumberdaya alam Indonesia dan sebagai upaya untuk mempermudah (Efisiensi) produktifitas Industri Imperialis yang bercokol didalam negeri.

Untuk melegitimasi seluruh skema penghisapannya, Pemerintah telah melahirkan berbagai bentuk kebijakan dan regulasi yang semakin mengancam Rakyat. Dalam mengintensifkan perampasan dan monopoli atas Tanah, Pemerintah telah membentuk Undang-Undang Pengadaan Tanah yang telah di sahkan pada akhir 2011 lalu. Selain itu, Pemerintah juga telah Membentuk RUU Intelejin (Telah di Sahkan 11 Oktober 2011 menjadi UU) sebagai legitimasi tindak kekerasan dan upaya untuk menghambat dan memberangus gerakan Rakyat. Selain itu, Untuk Melegitimasikan Privatisasi dan Disorientasi Pendidikan, serta berbagai bentuk Liberalisasi lainnya, Pemerintah juga telah membentuk RUU Pendidikan Tinggi yang kini semakin Mengancam Sektor Pendidikan, khususnya Pendidikan Tinggi. Masih banyak lagi kebijakan anti rakyat lainnya.

Secara khusus terhadap kaum buruh, pemerintah juga telah membentuk berbagai produk perundang-undangan untuk terus menjalankan skema politik upah murah dan berbagai bentuk upaya pemberangusan terhadap gerakan buruh yang semakin intensif melakukan perjuangannya.

III. Nasib Klas Pekerja Indonesia dibawah Cengkraman Politik Upah-Murah
Dengan berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini, semakin terang menunjukkan bahwa penderitaan yang begitu hebat dialami oleh rakyat saat ini adalah akibat dari dominasi Imperialisme baik secara ekonomi, politik, militer dan kebudayaan di Indonesia. Dominasi Imperialisme masih tetap kokoh berdiri atas bantuan dan sokongan dari para perpanjangan tangannya yaitu  borjuasi besar komperador dan tuan tanah besar di bawah kuasa Susilo Bambang Yudhoyono.

Kita memahami bahwa Imperialisme AS sangat bernafsu pada kekayaan yang dimiliki Indonesia, mulai dari bahan mentah untuk Industri, lahan yang luas terutama untuk pertambangan dan perkebunan-perkebunan besar, sampai pada jumlah penduduk yang sangat cocok untuk pasar bahkan untuk penyedia tenaga kerja/buruh yang sangat murah. Di bawah rejim penghamba Imperialis (SBY-Boediono) inilah rakyat Indonesia terus dihimpit dengan berbagai penghisapan dan penindasan, akibat berbagai kebijakan yang dikeluarkan hanya diorientasikan untuk melayani kepentingan sang tuan untuk terus memperkuat dominasinya didalam negeri. Ditengah penghisapan Imperialisme yang demikian hebat tersebut, Persoalan utama yang dihadapi oleh kaum buruh di Indonesia saat ini adalah “Perampasan Upah, Kerja kontrak dan Outsourcing, serta Pemberangusan serikat (Union Busting)”.

Susilo Bambang Yudoyono (SBY) Rezim Perampas Upah dan Kerja Kaum Buruh Indonesia
Lewat kolaborsi tiga poros utama (Borjuasi besar komperador, Tuan Tanah dan kapitalis birokrat) di bawah kepemimpinan SBY-Budiono inilah Imperialisme dengan leluasa menggerakkan roda penindasannya terhadap rakyat di Indonesia. Buruh dihargai dengan upah yang sangat rendah dengan sistem kerja yang fleksibel dengan kondisi kerja yang sangat buruk. Kaum tani di singkirkan dari tanah–tanahnya, sehingga mengakibatkan jutaan petani hidup dalam kemiskinan, padahal Indonesia selama ini dikatakan sebagai Negara agraris, tetapi dalam kenyataannya tanah di Indonesia sama sekali tidak mampu menghidupi rakyatnya sendiri. Rakyat miskin perkotaan yang terus di gusur tempat tinggalnya dengan alasan pembangunan, dan masih banyak lagi persoalan-persoalan rakyat lainnya yang hampir tidak pernah berhenti.

SBY–Budiono lebih memilih memperluas tanah untuk perkebunan dan pembangunan industri dari pada harus memberikan tanah untuk kaum tani yang pada hakekatnya untuk kesejahteraan dan pembangunan industri nasional. Disisi lain industri di Indonesia dengan karakternya yang masih sangat terbelakang (Manufaktur) tidak mampu memberikan nilai apapun untuk kesejahteraan rakyat. Untuk memenuhi kepentingan perusahaan-perusahaan besar Imperialis, Buruh Indonesia selain dihadapkan dengan skema politik upah murah yang dijalankan dan terus dipertahankan oleh rezim, Buruh juga mengahadapi berbagai macam bentuk perampasan Upah yang semakin  besar dan intensif, baik dengan secara terang terangan maupun terselubung.

Selain dihadapkan dengan upah murah dan pemotongan upah dengan berbagai cara, Buruh Indonesia juga masih dihadapkan dengan ancaman  PHK yang bisa datang setiap saat. PHK massal dan tanpa ada kompensasi, penggunaan sistem kerja kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu) dan outsourching yang sangat menindas buruh, pemberangusan serikat (Union Busting) yang semakin nyata dan meluas. Penghapusan berbagai macam tunjangan adalah salah satu bentuk nyata dari perampasan upah, sedangkan untuk mempertahankan hidupnya buruh Indonesia dipaksa harus bekerja dengan jam kerja yang sangat panjang,  kondisi kerja yang sangat buruk tanpa ada perlindungan keselamatan kerja yang memadai dan masih banyak persoalan-persoalan lainnya.

Pada tahun 2010 pemerintahan SBY atas kepentingan dan desakan imperialis, kembali merencanakan untuk melakukan revisi UUK 13/2003, yang isinya jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan yang ada sekarang, Draf revisi UUK tersebut isinya justru akan memangkas hak-hak pekerja seperti diantaranya adalah mengurangi hak buruh atas uang pesangon dan penghargaan masa kerja. Hal ini tidak terlepas dari tekanan dari  negara-negara Imperialis, dengan dalih menciptakan iklim yang ramah investasi. Padahal, sebenarnya hanya ingin mendapatkan tenaga kerja murah. Terang dalam kebijakan seperti Revisi UUK, diorientasikan tiada lain hanya untuk menghilangkan hambatan-hambatan dalam rangka penciptaan fleksibilitas pasar tenaga kerja (flexibility labor market).

Hal tersebut di antaranya dibuktikan dengan pengaturan kontrak kerja jangka pendek (perjanjian kerja waktu tertentu dan penggunaan outsourcing yang sangat bebas). Padahal, praktik outsourcing tersebut, jelas-jelas merupakan bentuk praktik perbudakan modern (modern slavery). Pengaturan perjanjian outsourcing-antara perusahaan outsourcing dengan pekerja- dianggap sebagai hubungan perdata biasa yang dinilai tidak perlu diatur dalam UUK. Begitu pun dalam hal penggunaan  tenaga kerja asing yang akan semakin bebas tanpa pendamping untuk menggantikan tenagakerja asing tersebut.

Sejatinya UUK No. 13 Tahun 2003 adalah undang-undang yang pro Imperialis (Kapitalis Monopoli) dan anti buruh. Sebab Undang-undang tersebut adalah merupakan undang-undang yang melegalkan perampasan upah, dan kerja bagi buruh. Pasal yang mengatur tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Outsourcing adalah bentuk nyata dari perampasan upah dan kerja bagi buruh. Besaran pesangon yang selalu di keluhkan oleh pengusaha hanyalah merupakan bualan semata, karena mustahil saat ini buruh bisa mendapatkan hak atas pesangon dan penghargaan sesuai dengan ketentuan, umumnya buruh hanya mendapatkan setengah atau bahkan jauh lebih kecil dari aturan yang ada di dalam UUK No. 13 Tahun 2003.

Dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), rejim boneka pelayan imperialisme SBY-Budiono berusaha untuk memuluskan kepentingan kapitalis monopoli untuk memecat buruh sesuka hatinya. Dalam skema UU nomor 2 tahun 2004, perselisihan perburuhan diringkas dalam serangkaian prosedur yang pada intinya menekankan maksimalisasi peranan bipartit dalam penyelesaiannya. Dalam konteks itu, UU mengidamkan buruh dan pengusaha berada dalam posisi sejajar dan memiliki kesempatan untuk saling mempengaruhi dalam negosiasi selayaknya di negeri-negeri imperialis, sesuatu hal yang mustahil dapat terjadi di Indonesia.

Akibat diterapkannya sistem perburuhan yang fleksibel maka buruh akan akan sangat mudah di PHK, sehingga akan berdampak pada semakin lemahnya peranan serikat pekerja/serikat buruh didalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan dan hak-hak dasar (normatif) buruh. Melemahnya peranan serikat sama dengan rusaknya “benteng terakhir” pertahanan dari buruh. Jumlah buruh yang di PHK dan dirumahkan terus mengalami kenaikan. Sepanjang periode Januari – Maret 2010 saja PHK mencapai 68.332 orang dan 27.860 yang dirumahkan atau naik dari jumlah 37.909 diperiode yang sama tahun 2009.

Skema Politik Upah Murah adalah Bentuk Legitimasi Rezim Penghamba Imperialisme
Dasar penentuan Upah di Indonesia saat ini adalah UUK No. 13 Tahun 2003 psl 88 dan psl 89 serta Permenaker No. 17 Thn. 2005 tentang “Komponen dan pelaksanaan tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak Untuk buruh”. Sistem Penentuan Upah (pengupahan) yang berlaku di Indonesia adalah sistem yang berbasis indeks biaya hidup dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per Kapita sebagai proksi dari tingkat kemakmuran, dengan kata lain berbasiskan angka hidup layak (KHL) dan tingkat inflasi. Sistem pengupahan di Indonesia juga mendasarkan penentuannya melalui mekanisme konsultasi tripartit dalam menetapkan upah minimum antara wakil pengusaha, wakil pekerja dan wakil dari pemerintahan. Wakil pemerintah selain dalam fungsinya sebagai fasilitator dan mediator namun pada akhirnya juga akan berperan sebagai pengambil kebijakan sekaligus mengesahkannya secara hukum.

Di dalam Permenaker No. 17 Tahun 2005, penentuan upah hanya di tujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup buruh lajang, artinya kebutuhan hidup bagi para buruh yang berkeluarga, tidak masuk dalam hitungan, jangankan untuk kebutuhan pendidikan anak, untuk kebutuhan makan keluarga saja tak masuk dalam komponen kebutuhan hidup buruh, (Lihat 46 komponen KHL yang diatur dalam kepmen no 17 th 2005). Fakta yang lain di dalam permen 17 Th 2005 adalah nilai KHL hasil survey dewan pengupahan hanya dijadikan salah satu pertimbangan dalam penetapan UMK/UMP, sehingga wajar kemudian di hampir semua kota/kabupaten atau Provinsi di Indonesia tidak ada yang UMK/UMP-nya sesuai dengan hasil survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Jika di hitung rata-rata upah minimum yang di tetapkan oleh pemerintah provinsi hanya sekitar 80 % dari nilai KHL.

Ditahun 2012 ini, setelah mengalami desakan yang keras dan massif bahkan hingga terjadi pemogokan-pemogokan melalui perjuangan panjang kaum buruh diberbagai daerah, Pemerintah baru merealisasikan kenaikan upah bagi buruh, itupun masih sangat terbatas bahkan masih jauh dari standar upah layak jikapun mengcu pada KHL yang telah ditetapkan. Sebagai contoh, Kenaikan upah buruh di DKI saja hanya mencapai kurang lebih 15% atau dari 1,3 juta menjadi 1,5 juta, atau rata-rata kenaikan upah buruh secara Nasional hanya mencapai 6-8% saja. Sementara itu, inflasi terus terjadi bahkan melebihi kenaikan upah. Saat ini, sejak awal bulan maret sampai sekarang, kenaikan harga kebutuhan pokok sudah mencapai 30-33%.

Selain upah yang sangat minim dan jauh dari setandart KHL,  pemerintah hari ini tidak pernah serius dalam menjalankan keputusannya mengenai upah, sebab upah yang sudah di tetapkan oleh pemerintah melalui SK Gubernur di masing-masing Provinsi ternyata tidak mengikat sepenuhnya agar dapat di laksanakan oleh pengusaha, melalui Kepmenaker Nomor 231 Tahun 2003 pengusaha dengan alasan tidak mampu membayar upah sesuai dengan UMK/UMP dapat mengajukan penangguhan pelaksanaan upah dengan sangat mudah, sehingga banyak pengusaha hari ini terbebas dari kewajibannya membayar upah buruh sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Padahal sudah sangat terang dan jelas bahwa didalam Permenaker 17 Th 2003 penetapan UMK/UMP salah satu dasar pertimbangannya selain hasil survey KHL yang dilakukan oleh dewan pengupahan, juga mempertimbangkan kemampuan usaha kecil (marginal), maka seharusnya tidak ada alasan lagi  bagi pemerintah untuk mengeluarkan aturan lain yang membolehkan penangguhan membayar upah.

Upah buruh yang sangat minim masih harus di rampas lagi oleh pemerintah, hal ini tampak dari upaya pemerintah SBY-Budiono terus menggenjot APBN terutama di sector perpajakan. Pemberlakuan PPH 21 adalah merupakan bukti nyata bahwa rezim hari ini merupakan rezim perampas upah buruh. Didalam undang-undang PPh Nomor 36 tahun 2008 dan sesuai dengan  aturan pelaksanaan UU yaitu Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 21. Dengan demikian, maka beban pajak yang di tanggung oleh buruh tidak hanya untuk upah pokok saja, akan tetapi seluruh penghasilan/upah buruh yang di terima, baik berupa tunjangan maupun THR juga di kenakan pajak sebesar 5 hingga 6%.

Melalui Kebijakan Fiskal (Anggaran), Pemerintah SBY terus berusaha memaksimalkan perolehan pajak dari pajak penghasilan (PPh) yang merupakan pajak yang wajib dibayarkan oleh perorangan. Target penerimaan pajak negara tahun 2011 mencapai Rp 708 trilliun atau  naik Rp 102 trilliun dari target tahun 2010 sebesar Rp 606 trilliun. Bahkan pada tahun 2014 penerimaan Negara dari pajak ditargetkan mencapai lebih dari Rp. 1000 trilliun, tujuannya adalah agar pembiayaan anggaran kebutuhan pemerintah bisa dipenuhi dari pajak sehingga dapat mengurangi nilai hutang negara.

Dijalankannya UU No 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan juga menambah beban perampasan upah buruh, meskipun didalam undang-undang tersebut menyatakan bahwa proses penyelesaian perkara murah, cepat, dan efisian akan tetapi faktanya sama sekali tidak demikian. Buruh untuk dapat menyampaikan gugatannya harus dikenai beban biaya yang sangat mahal, biaya leges, uang pendaftaran gugatan dll. membutuhkan biaya yang sangat besar untuk ukuran buruh yang upahnya sangat minim, belum lagi di tambah dengan celah hukum yang memberi peluang bagi pengusaha dapat menangguhkan pembayaran upah. Dengan demikian, maka dapat di pastikan buruh tidak akan mendapatkan keadilan, karena buruh tidak akan kuat menanggung seluruh biaya yang harus dikeluarkan selama proses persidangan, yang sangat panjang dan lama. Umumnya kemudian kasus-kasus perburuhan diselesaikan dengan cara konsesi yang sangat merugikan buruh.

Selain bentuk-bentuk perampasan upah yang di legalkan oleh negara, upah buruh juga masih harus dirampas oleh pengusaha dengan berbagai macam cara, diantaranya adalah :
1.       Tanpa melalui mekanisme panangguhan upah pengusaha dengan mudah membayar upah buruh di bawah UMK/UMP;
Mayoritas pengusaha tidak menjalankan UMK/UMP yang sudah di tetapkan oleh pemerintah, mereka dengan berbagai macam alasan terutama karena perusahaan tidak mampu, telah sengaja membayarkan upah buruh di bawah ketentuan, sedangkan pihak pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi meskipun mengetahuinya tidak ada tindakan tegas terhadap pengusaha yang melakukan pelanggaran upah, bahkan seolah tidak bisa berbuat apa-apa, dan ketika mendapat tekanan dari buruh agar upah dibayar sesuai dengan aturan yang berlaku maka pemerintah justru menyarankan agar buruh bersedia menerima begitu saja dari pada tidak mendapatkan pekerjaan.
2.       Kebijakan perusahaan yang meningkatkan target kerja produksi;
Kenaikan upah biasanya segera di susul dengan kenaikan target kerja produksi, situasi ini umum dialami oleh buruh terutama perusahaan-perusahaan padat karya seperti perusahaan garmen, tekstile, sepatu, rokok dll. Artinya buruh dipaksa untuk bekerja lebih keras lagi agar dapat mencapai target, dan ketika buruh tidak mencapai target maka dia harus bekerja lebih lama lagi melebihi jam kerja yang telah di tentukan tanpa diberikan upah lembur. Bahkan tidak jarang banyak pengusaha menggunakan alasan tersebut melakukan mutasi atau melakukan PHK terhadap buruh karena dinilai tidak mampu bekerja dengan baik, padahal faktanya hampir dapat di pastikan tiap tahun seiring dengan kenaikan upah maka target kerja produksi selalu naik.
3.       Lembur yang tidak dibayar atau dibayar akan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan upah lembur;
Banyak pengusaha yang tidak memberikan upah lembur sesuai dengan ketentuan, juga di temukan di banyak perusahaan yang menetapkan upah lembur berlaku tetap, sehingga berapapun jam kerja lembur yang dijalankan buruh upahnya akan tetap. hal ini disebabkan tidak semata-mata buruh tidak mengetahui penghitungan upah lembur, akan tetapi kondisi ini terjadi karena pengusaha mengancam tidak akan memberikan lemburan/menghapuskan lemburan apabila buruh mempersoalkannya. Sehingga buruh dengan terpaksa harus mengikuti peraturan perusahaan karena di tuntut agar bisa mencukupi kebutuhan hidupnya.
4.      Pengusaha tidak memberikan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) atau di berikan akan tetapi tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan atau JPK adalah merupakan Hak buruh yang wajib di berikan oleh pengusaha terhadap buruh dan sudah diatur pelaksanaannya didalam pasal 16 Undang-undang No. 3 Tahun 1992 yang menyebutkan bahwa ayat (1) “Tenaga kerja, suami atau isteri, dan anak berhak memperoleh Jaminan Pemeliharaan Kesehatan”. Ayat (2) “Jaminan Pemeliharaan Kesehatan meliputi: rawat jalan tingkat pertama, rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap, pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan, penunjang diagnostic,  pelayanan khusus, pelayanan gawat darurat”.
Dari hasil investigasi ditemukan bahwa mayoritas perusahaan tidak memberikan JPK kepada buruhnya, sebagian perusahaan mengelola sendiri akan tetapi di dalam pengelolaannya sangat buruk dan tidak memenuhi standar minimum yang sudah di tetukan sebagaiman diatur dalam Permen no. 12 Tahun 2007.
5.      Penghapusan dan atau pengurangan uang bonus, premi dan tunjangan-tunjangan lainnya
Karena alasan kenaikan UMK/UMP, banyak perusahaan melakukan pengurangan bahkan menghapuskan upah dalam bentuk tunjangan seperti tunjangan uang makan, transport, bonus, premi hadir dan tunjangan-tunjangan yang biasa mereka dapat sebelumnya. Sehingga meskipun upah pokok dinaikkan sesuai dengan ketentuan UMK/UMP yang berlaku, akan tetapi pendapatan buruh tetap bahkan cenderung mengalami penurunan, kondisi semacam ini sangat umum terjadi di banyak perusahaan.

Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing adalah Bentuk Perampasan Upah
1)     Kenapa sistem kerja kontrak (PKWT) dan Outsourcing adalah merupakan bentuk perampasan upah?
Sebab Buruh dengan status kontrak dengan perjanjian kerja waktu tertentu tidak mendapatkan lagi hak atas uang pesangon, uang penghargaan serta uang ganti rugi jika di PHK oleh perusahaan/di putus kontraknya. Mereka juga tidak mendapatkan jaminan sosial tenaga kerja baik itu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT) maupun Jaminan Kematian (JK), dan hampir semua buruh kontrak jangka pendek (PKWT) tidak mendapatkan THR, kalaupun ada jauh di bawah aturan. Mereka juga tidak mendapatkan tunjangan-tunjangan ataupun bonus, bahkan buruh dengan status PKWT dipaksa untuk bekerja lebih keras agar bisa di perpanjang kontrak kerjanya.

Sedangkan buruh dengan status Outsourcing kondisinya jauh lebih parah lagi, mereka selain dirampas upahnya oleh pengusaha yang memberikan pekerjaan dengan status kontrak mereka juga harus di rampas lagi upahnya oleh pihak yayasan atau perusahaan penyalur tenaga kerja. Jika dibandingkan dengan buruh tetap, buruh kontrak dan outsourcing mengalami perampasan upah mencapai 30% s/d 40% tiap bulannya dari upah yang seharusnya mereka terima.
2)     Apa motif dan latar belakang di terapkannya sistem kerja kontrak dan outsourcing di Indonesia?
Penggunaan sistem ini di latar belakangi atas kepentingan Imperialis agar dapat menciptakan tenaga kerja murah dan flaksibel, sudah menjadi tren di dunia bahwa pasar tenaga kerja yang flaksibel di terapkan di hampir seluruh negara-negara di dunia. Namun Sistem ini sangat tidak relevan di jalankan di Indonesia, sebab Indonesia adalah negeri yang masih terbelakang dengan karakter Industri manufaktur tanpa ditopang dengan industry dasar. Persoalan lainnya yang paling pokok adalah meluasnya monopoli atas tanah dan sumber-sumber kekayaan alam Indonesia oleh tuan tanah besar komprador dan Imperialis yang seharusnya menjadi dasar utama terbangunnya Industri Nasional yang mandiri. Kenyataan demikianlah yang menyebabkan terjadinya penumpukan tenaga kerja yang semakin melimpah atau angka pengangguran yang sangat tinggi karena tidak terserap dalam lapangan kerja yang masih sangat terbatas.
Kondisi demikian mengakibatkan posisi buruh yang sangat lemah di hadapan pengusaha. Motif di terapkannya sistem ini sesungguhnya adalah merupakan bagian dari sekema politik upah murah rezim dan merupakan bagian nyata dari bentuk perampasan upah yang dipertahankan oleh negara. Dan untuk memenuhi kebuasan dan kerakusan Imperialis agar mendapatkan tenaga buruh murah serta sumber bahan baku dan kekayaan alam yang melimpah dan murah.

Berdasarkan data hasil investigasi yang di lakukan oleh DPP-GSBI menunjukkan bahwa buruh kontrak dan Outsourcing mengalami peningkatan rata-rata sebesar 5 % tiap tahun. Pada tahun 2010 saja jumlah buruh kontak dan outsourcing di Indonesia diperkirakan mencapai 66,425%, sektor yang paling banyak menggunakan sistem kerja kontrak dan outsourcing adalah pertama sektor/industri Jasa (Satpam, Caining service, ritel, perbankkan dll) jumlahnya mencapai 85 %, kedua sektor/industri Garment-Tekstil dan Sepatu jumlahnya diperkirakan mencapai 65%, sektor industri metal dan elektronik diperkirakan sekitar 60,7%, Sektor/Industri dasar dan pertambangan diperkirakan mencapai 55%. Data ini lebih besar bila dibandingkan dengan data yang pernah di keluarkan oleh Bank dunia dan ILO pada akhir tahun 2010.

Data hasil riset yang dilakukan oleh Bank Dunia dan Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization/ILO) menunjukkan bahwa Jumlah pekerja atau buruh berstatus tetap hanya tinggal 35 % dari 33 juta buruh formal di Indonesia. Padahal, lima tahun lalu jumlahnya mencapai 70 persen, artinya sebanyak 65% adalah buruh dengan status outsourcing dan buruh kontrak.

Buruh dengan status kontrak dan outsourcing tidak mendapatkan hak atas uang pesangon, uang penghargaan serta uang ganti rugi jika di PHK oleh perusahaan. Mereka juga tidak mendapatkan JAMSOSTEK, tidak mendapatkan THR, Mereka juga tidak mendapatkan tujangan-tunjangan ataupun bonus, selain juga harus membayar yayasan penyalur tenaga kerja.

Pemerintah Mempertahankan Stabilitas Angka Pengangguran Sebagai Cadangan Tenaga Kerja Murah yang Melimpah
Dengan berbagai persoalan atas hilangnya kedaulatan rakyat atas sumber daya alam dan seluruh kekayaan Indonesia telah menjebak rakyat dalam berbagai skema penghisapan oleh Imperialisme melalui perpanjangan tangannya didalam negeri, yaitu borjuasi besar komprador dan Rezim boneka. Sudah menjadi persoalan pokok rakyat Indonesia hingga saat ini, yaitu perampasan dan monopoli atas tanah baik yang dilakukan oleh Perusahaan-perusahaan swasta milik Imperialisme ataupun oleh Negara Sendiri telah mengantarkan rakyat Indonesia dalam jurang kemiskinan yang mendalam. Dengan kenyataan bahwa mayoritas (Mencapai 65%) populasi Indonesia adalah kaum tani, seiring perampasan dan monopoli atas tanah yang kian massif diseluruh wilayah Indonesia secara terus menerus menambah angka buruh tani yang semakin besar, bahkan menduduki jumlah terbesar dari total jumlah petani yang ada.

Dengan kondisi demikian, sudah pasti mengakibatkan semakin hilangnya mata pencaharian sebagian besar rakyat Indonesia, ditambah lagi dengan persoalan sistem pendidikan di Indonesia yang sama sekali taidak mampu mengakomodir kepentingan Rakyat untuk dapat memecahkan persoalannya secara mandiri dengan seluruh potensi yang dimiliki dan kekayaan alam Indonesia. Dimana pendidikan sebagai topangan mendasar akan maju dan berkembangnya kebudayaan suatu bangsa yang tercermin dalam kemampuannya memecahkan setiap persoalan yang ada disekitarnya baik secara politik, ekonomi maupun kebudayaan, kenyataan pendidikan di Indonesia sudah sangat jauh dari perspektif dan Orientasinya untuk memajukan budaya dan mensejahterakan Rakyat Indonesia. Hal tersebut, tampak dari sistem penyelenggaraan, pembiayaan dan kurikulum yang jauh dari kenyataan hidup Rakyat.

Sementara itu, ditengah perampasan dan monopoli tanah yang meluas dan Disorientasi pendidikan yang menghambat berkembangnya sumberdaya manusia yang ada, Pemerintah juga tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang merata dan dapat diakses oleh seluruh Rakyat sebagai jaminan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, telah menciptakan angka pengangguraan yang melimpah. Besarnya angka pengangguran tersebutlah yang kemudian menjadi salah satu primadona akan dgangan pemerintah untuk menarik investasi ataupun perdagangan tenaga kerja murah baik didalam negri maupun diluar Negeri.

Untuk tenaga kerja yang dijual keluar Negeri (BMI), telah ditargetkan oleh pemerintah untuk  dapat melakukan Eksport tenaga kerja dengan jumlah yang besar (Minimal 1 juta pertahun) dengan dalih untuk mengurangi angka pengangguran dan meretas kemiskinan. Buruh migrant yang telah disebarkan keberbagai negeri (Kurang lebih 40 Negara) telah memberikan devisa yang besar bagi Negara (menempati urutan kedua tertinggi) dalam sumber pendapatan Negara. Saat ini Indonesia berhasil meningkatkan ekspor buruh migran hingga lebih dari 8 juta orang di Luar Negeri dengan kontribusi remitansi sebesar Rp 100 triliun per tahun. Mayoritas dari buruh migran yang diekspor dari Indonesia adalah perempuan dengan pekerjaan mayoritas Pekerja Rumah Tangga (PRT).

Dilain sisi, Buruh migrant juga tidak terbebaskan dari persoalan perampasan atas upah dan tidak adanya jaminan perlindungan dari pemerintah, karenanya tidak heran jika banyak BMI yang pulang dengan tangan kosong, meninggalkan hutang, bahkan tidak sedikit yang pulang tak bernyawa kaibat tindak kekerasan ataupun penyiksaan yang dilakukan oleh majikan diluar Negeri. Hal tersebut terjadi karena Pemerintah memang tidak memberikan jaminan perlindungan apapun bagi BMI dan keluarganya. Sementara itu, pemerintah justeru terus berupaya melakukan percepatan peningkatan ekspor buruh migran dengan rencana mengubah Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri No. 39 tahun 2004(UUPPTKILN No.39/2004) yang dianggap belum mampu merealisasikan peningkatan ekspor buruh migran untuk mencapai keuntungan yang lebih besar.

Dari berbagai kasus yang ada, pemerintahan SBY-Boediono tidak pernah memberikan pertanggungjawaban yang kongkrit atas persoalan-persoalan yang dialami BMI dan keluarganya. Pemerintah justeru jauh lebih sibuk menunjukkan pertanggung jawabannya dengan politik pencitraan dan pembenaran yang sudah dilakukan oleh pemerintah, pembentukan satgas-satgas yang hanya menghabiskan anggaran negara dan tidak berhenti melakukan perampasan uapah terhadap BMI. Bentuk-bentuk perampasan upah yang dilakukan oleh pemerintah terhadap BMI antara lain seperti pemotongan upah melalui biaya penempatan yang tinggi, pemaksaan untuk mengikuti program Asuransi yang secara prosedural samasekali tidak dipahami oleh BMI bai secara definitif, klaim keanggotaan, kegunanaan dan transparansi. Sehingga, hal semacam ini dimanfaatkan oleh negara, perusahaan asuransi dan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, juga PJTKI dalam memanfaatkan BMI untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari pembodohan dan pemiskinan tersebut yang mengatas namakan perlindungan bagi BMI.

Apresiasi Atas Perjuangn BMI Untuk Pengesahan Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran Indonesia dan Keluarga
Dengan desakan dan perjuangan yang dilakukan oleh BMI dan rakyat lainnya selama bertahun-tahun, pada tanggal 12 April 2012 DPR dan Pemerintah Indonesia yang diwakili Kementrian Luar Negeri, Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kementrian Hukum dan HAM,  mengesahkan RUU Ratifikasi Konvensi Internastional mengenai Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya  (Konvensi Migran 1990). Dengan demikian Indonesia menjadi negara pihak ke 46 negara dari Konvensi ini di dunia dan negara pihak ke- 2 di antara Negara anggota ASEAN setelah Filipina.

Dengan demikian, maka Pemerintah harus segera medeklarasikan keputusan Pengesahan Konvensi PBB 1990 dimuka internasional. Pemerintah tidak boleh lagi menggunakan alasan utnuk penyesuaian iklim dalam negeri dan luar negeri untuk tidak mengimplentasi Konvensi PBB 1990 terhadap Undang-Undang Perlindungan Sejati. Langkah konkret yang harus dilakukan segera oleh pemerintah adalah membuat kontrak standar yang melindungi hak buruh migrant dan keluarganya, penghapusan biaya penempatan (overcharging), memperbolehkan kontrak mandiri dengan syarat yang mudah, penghapusan sistim KUR (Kredit Usaha Rakyat), KTKLN dan berbagai skema perampasan upah dengan berkedok perlindungan.

Dengan disahkannya Konvensi PBB 1990, patutlah kemudian kita semua memberikan apresiasi setinggi-tingginya atas perjuangan keras yang dilakukan buruh migran Indonesia untuk mendapatkan perlindungan sejati melalui pendesakan pengesahan Konvensi PBB 1990 dan dengan berbagai upaya, melalui ajakan dialog dengan pemerintah dan aksi-aksi besar baik yang dilakukan di dalam Negeri maupun di Luar Negeri serta berbagai bentuk presure lainnya.  Hal tersebut juga harus menjadi inspirasi bagi gerakan rakyat disektor lainnya dalam memperjuangkan persoalannya secara sektoral ataupun persoalan lainnya yang paling mendasar yang dialami oleh seluruh Rakyat Indonesia.

Pemberangusan Serikat (Union Busting) Pertajam Perampasan Upah
Dalam upaya menjamin terpenuhinya kesejahteraan dan memperjuangkan berbagai persoalan yang dialaminya, Kebebasan berserikat, menyampaikan pendapat dan berunding adalah merupakan hak dasar bagi kaum buruh Indonesia. Hal tersebut adalah hak buruh yang dilindungi dan diatur didalam peraturan perundang-undangan di Indonesia serta peraturan Internasional seperti yang terurai dalam UUD 1945 jo Pasal 28 UU No. 21 tahun 2000; UU No. 13 tahun 2003 serta Konvensi ILO No. 87 jo Konvensi ILO No. 98. Akan tetapi kenyataannya hak tersebut belum dinikmati oleh kaum buruh di Indonesia, karena sampai saat ini masih banyak permasalahan yang dihadapi oleh buruh ketika menggunakan haknya dalam berorganisasi, perlakuan intimidasi, diskriminasi bahkan sampai pada pemecatan terhadap buruh yang berorganisasi umum terjadi di Indonesia, penyebabnya adalah karena rezim SBY belum sepenuhnya memberikan ruang kebebasan untuk berorganisasi bagi buruh.

Praktek-prketek anti serikat, berunding dan menyampaikan pendapat hampir dapat kita temukan di setiap perusahaan, tindakan yang di lakukan oleh pengusaha ketika buruhnya membentuk serikat buruh diantaranya adalah melakukan intimidasi, tidak diberi pekerjaan, tidak memberikan lembur, memaksa untuk mengundurkan diri, dan apabila dengan cara-cara tersebut tidak efektif, maka pengusaha dengan berbagai macam alasan segera melakukan PHK, bahkan tidak jarang pengusaha meloporkan buruhyan kepada pihak kepolisian (kriminalisasi kasus perburuhan).

Meskipun Undang-Undang tentang Serikat Buruh telah disahkan, akan tetapi buruh sampai saat ini tidak secara otomatis dapat menikmatinya. Kenyataannya dilapangan membuktikan bahwa Pengusaha telah melakukan berbagai macam cara untuk menghambat pembentukan atau perkembangan serikat  buruh  yang sering disebut sebagai tindakan anti serikat  buruh  (union busting), Tindakan PHK terhadap pengurus/pimpinan dan anggota  serikat  buruh  adalah cara ampuh untuk memberangus aktivitas serikat buruh. Cara yang umum  dilakukan oleh pengusaha terhadap buruh tersebut, tetap saja dibiarkan oleh negara.

Berbagai bentuk pemberangusan serikat yang dilakukan oleh perusahaan secara terang-terangan diantaranya adalah  dengan bentuk intimidasi, tidak memberikan akses pada pimpinan serikat yang ingin menemui anggotanya, tidak diberikan lembur kepada para anggota dan pengurus serikat, mutasi pengurus serikat, memberikan SP, scorsing, dikucilkan di dalam lingikungan kerja sampai pada bentuk-bentuk penawaran pensiun muda bagi anggota dan pimpinan serikat buruh yang kritis dan lain sebagainya. Sedangkan cara-cara terselubung yaitu dengan memberikan suap terhadap para pimpinan serikat dengan menawarkan sejumlah posisi jabatan dan memberikan tambahan bonus agar perjuangan serikat menjadi kaku dan tidak secara bebas melakukan pembelaan terhadap anggota, mengadu domba antar serikat, membentuk serikat tandingan, mengubah status tetap menjadi kontrak dan lain sebagainya.

Motif terjadinya pemberangusan serikat pada umumnya di latar belakangi oleh perjuangan buruh dalam mendapatkan hak normatif-nya yang dilanggar oleh pengusaha. sehingga dampak dari pemberangusan serikat adalah hilangnya hak-hak buruh, terutama hak dalam mendapatkan upah, karena ketika para pimpinan atau anggota serikat di PHK maka mereka tidak lagi mendapatkan upah.  Dalam kenyatan demikian, Pemerintahan secara kongkrit tidak berusaha memberikan perlindungan dan kebebasan bagi buruh untuk berserikat, akan tetapi justru sebaliknya SBY telah menjalankan politik anti demokrasi dalam perburuhan di Indonesia dengan cara melakukan praktek pembrangusan kebebasan berserikat atau Union Busting. Kebijakan paling nyata adalah dengan penerapan UU no 39 tahun 2009 tentang kawasan ekonomi khusus (KEK) yang salah satu pointnya hanya memperbolehkan satu serikat buruh dalam satu kawasan.

IV. Kebijakan Sesat Susilo Bambang Yudhoyono adalah Derita Bagi Rakyat Indonesia
Seiring badai krisis yang terus menyelimuti perekonomian Global telah memperlihatkan kualitas penderitaan rakyat diberbgai dunia, aksi-aksi protes yang dilakukan rakyat diberbgai dunia semakin memperjelas kedudukan imperialisme yang rapuh seiring dengan perkembangan jaman. Aksi-aksi menentang kebijakan imperialisme juga turut mewarnai gerakan rakyat di indonesia dalam menentang kebijakan imperialisme melalui rezim bonekanya didalam negeri (SBY) yang berperan besar dalam membantu krisis yang diderita imperialisme. Ditengah situsi itupula, rakyat indonesia telah dihantam dengan berbgai bentuk kebijakan dan regulasi yang hanya menguntungkan imperialisme, Borjuasi Komparador  dan Tuan tanah dalam Negeri serta rezim boneka itu sendiri, yang telah mengambil keuntungan besar sebagai kapitalisme birokrat. Sementara rakyat hanya menjadi tumbal dari kebijikan busuk tersebut, kondisi tersebut semakin diperparah dengan rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).

Dengan segala upaya, pemerintah terus berupaya keras untuk menaikkan BBM untuk keempat kalinya selama kepemimpinan “Susilo Bambang Yudoyono” memimpin indonesia, terhitung sejak Maret 2005, Oktober 2005, dan Mei 2008, yang tujuannya adalah penghapusan subsidi publik rakyat, dengan berbgai kampanyenya, rakyat selalu dibingungkan atas persoalan tersebut, rakyat dibuat tidak memahami secara esensial persoalan mendasar dan sebab utama dari kenaikan BBM tersebut. Kenaikan harga didalam Negeri, persoalan utamanya bukanlah karena seperti alasan-alasan yang dikemukakan oleh Pemerintah, yaitu karena “naiknya harga minyak dunia sehingga akan menyebabkan jebolnya Anggaran dalam APBN karena pembengkakan subsidi BBM”, Padahal kenyataannya Indonesia adalah termasuk negara produsen yang seharusnya diuntungkan dengan kenaikan harga minyak dunia. Pemerintah juga mengatakan bahwa “subsidi BBM salah sasaran karena rakyat kecil bukan konsumen utama premium dan solar, sehingga subsidi bahan bakar ini hanya menguntungkan orang kaya Indonesia”. Jika demikian, mengapa kenaikan BBM tidak mengarah pada mempertahankan subsidi bagi konsumen rakyat miskin dan menghapus subsidi pada warga kaya, namun menaikkan secara pukul rata kemudian dampaknya yang menderita rakyat umum yang mayoritas miskin?.

Pemerintah juga memberikan alasan bahwa “maraknya penyelundupan dan penyelewengan BBM karena harga jual premium dan solar yang terlalu rendah di dalam negeri, sehingga subsidi BBM hanya menguntungkan para penyelundup dan penyeleweng”. Alasan tersebut menunjukkan betapa tidak berdayanya SBY dalam melakukan penegakan hukum untuk menangkap dan menindak para penyelundup dan penyeleweng BBM di dalam negeri. Lantas apa pekerjaan aparat hukum dari intelejen, kepolisian, tentara di wilayah perbatasan bila mereka tidak sanggup menangkap para penyelundup dan penyeleweng BBM ke luar negeri? Alasan tersebut adalah dasar argumen yang paling dangkal dan solusi yang justru merugikan rakyat pada umumnya.

Pemerintah juga memperkuat alasannya dengan mengatakan bahwa kenaikan BBM disebabkan oleh “Semakin kecilnya pendapatan dari sektor migas karena produksinya yang menurun, sementara jumlah subsidi semakin besar”. Alasan tersebut sesungguhnya telah mengungkapkan akibat dari kebijakan Pemerintah SBY sendiri yang membudak pada imperialis dengan melepaskan kedaulatan rakyat atas sumberdaya alam didalam negeri dengan menyerahkan bulat-bulat seluruh kekayaan alam, minyak dan gas kepada pihak asing.

Jadi, persoalan utama kenaikan harga BBM tersebut adalah karena tidak adanya kedaulatan rakyat atas minyak dan seluruh sumber daya alam didalam Negeri. Selebihnya kemudian disebabkan karena terjadinya monopoli mulai dari bahan baku, proses dan alat produksi hingga pasarnya oleh kapitalisme monopoli (Imperialisme) melalui berbagai instrument yang dikuasainya. Penguasaan minyak dunia saat ini dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar milik Imperialis, terutama oleh Exxon Mobile, Chevron, Shell, BP, dan Conocco Phillips.

Selanjutnya, instrumen kekuasaan imperialis AS untuk memonopoli minyak dunia tidak hanya sebatas melalui perusahaan–perusahaan minyaknya saja. Bahkan imperialis AS menggunakan pasar sebagai intrumen pengendali industri minyak dunia, melalui pasar minyak terbesar seperti NYMEX (New York Merchantile Exchange) di New York dan ICE (Intercontinental Exchange) Future di London (pemilik ICE ini merupakan perusahaan yang berbasiskan di Atlanta AS) serta DME di Dubai, dimana spekulan minyak terbesar justru untuk “memainkan” harga minyak. Selain itu, untuk mempermudah dan memperlancar proses produksi dan distribusinya keberbagai negeri, Imperialisme juga melakukan kerjasama dengan perusahaan keuangan dan perbankan terkemuka di AS, tercatat empat perusahaan yaitu Goldman Sachs, Morgan Stanley, sebagai firma dagang terkemuka serta Citigroup dan JP Morgan Chase yang  menguasai lebih dari 75% spekulasi dan harga minyak dunia.

Lembaga keuangan seperti Goldman Sachs, Morgan Stanley, Citigroup maupun JP Morgan Case inilah yang selama ini “memainkan” harga minyak dalam transaksi–transaksi derivatif dalam kertas–kertas yang sesungguhnya jauh melebihi nilai riil dari harga minyak itu sendiri, semua itu dilakukan untuk mendapatkan serta memutarkan kapital super besar di tengah krisis. Yang harus menjadi catatan penting kita kemudian adalah bagaimana memahami bahwa sesungguhnya monopoli imperialisme atas minyak dunia dan seluruh sumber daya didalam negeri tidak akan berjalan mudah tanpa bantuan rejim komprador di berbagai negeri, mulai dari rejim negeri–negeri produsen minyak dunia di Timur Tengah hingga Afrika tunduk di bawah dominasi Imperialisme pimpinan AS. Hal yang sama juga berlaku di berbagai negeri di Asia, termasuk di dalamnya Indonesia yang sekarang berada di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Seperti pada umumnya pemerintah boneka di berbagai negeri, termasuk Indonesia, memiliki peranan untuk membantu eksploitasi dan penindasan terhadap rakyat dan merampok sumber bahan mentah bagi kepentingan imperialisme. Operator utama tentu saja adalah borjuasi besar komprador yang dibantu kapitalisme birokrat dan tuan tanah yang seolah olah menjadi pengusaha nasional akan tetapi aslinya tidak lebih dari makelar atau calo penjual kekayaan negeri seperti Indonesia.

V. Dampak Kenaikan Harga BBM Memberikan Beban Berlipat Ganda Bagi Buruh dan Rakyat secara umum
Sangat jelas, kenaikan harga BBM tidak memberikan keuntungan sedikit pun bagi rakyat kecuali klas-klas penghisap. Krisis yang berwatak kronis di negeri setengah jajahan dan setengah feudal (SJSF) seperti Indonesia akan semakin parah dan berdampak semakin terhisapnya rakyat, peningkatan tindasan politik dan fasisme, serta meningkatnya kemiskinan. Beban krisis yang ditanggung rakyat hakekatnya berlipat ganda dibandingkan rakyat di negeri-negeri imperialis karena harus menanggung beban penyelesaian krisis yang melanda negeri-negeri imperialis.

Beban itu dapat dilihat dari dampak rencana kenaikan harga BBM terhadap penghidupan rakyat secara umum dan sektor-sektor penting dalam ekonomi.  Pertama, Ekonomi. Dampak kenaikan ini telah mendongkrak kenaikan harga kebutuhan pokok rakyat (sembako), ongkos transportasi, memukul usaha kecil-menengah, menurunkan daya beli masyarakat, meningkatkan pengangguran dan kemiskinan.

Kenaikan harga BBM menjadikan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok masyarakat seperti beras, minyak goreng, telur, sayur-sayuran, cabai, daging, dan lain-lain. Dampak kenaikan tersebut juga sangat memberatkan bagi masyarakat di pedesaan atau pedalaman yang mengalami kesulitan akses transportasi dan infrastruktur. Harga barang-barang di daerah itu sudah mahal sebelumnya yang dipengaruhi biaya transportasi yang besar. Di Papua misalnya, harga eceran bensin sudah mencapai antara Rp 10.000 sampai Rp 50.000 per liter sudah sangat memberatkan rakyat, apalagi ditambah penaikan harga BBM yang sudah pasti ditetapkan  oleh Pemerintah dalam rentang waktu 6 (Enam) bulan sekarang ini.

Di sektor transportasi, pemerintah mengakui dampak kenaikan harga BBM adalah peningkatan biaya transportasi sebesar 19,6 persen. Peningkatan biaya transportasi akan memaksa rakyat menambah pengeluaran hariannya yang sudah cekak sebelumnya. Pemerintah berencana akan memberikan subsidi suku cadang dan pajak kendaraan bagi usaha transportasi, tetapi hal itu hanya ditujukan bagi pengusaha transportasi. Padahal, instrumen utama penggerak angkutan adalah sopir yang harus menanggung pengeluaran untuk BBM. Ini membebani para sopir angkutan (semi proletar) karena akan menambah beban setoran yang baru dan mengurangi pendapatan mereka. Contoh, sopir taksi di Jakarta harus mengejar target minimal Rp 500 ribu per hari  yang dialokasikan untuk setoran ke pemilik armada (perusahaan taksi) sebesar Rp 300 ribu per hari dan bensin sebesar Rp 200 ribu per hari. Upah sopir didapatkan dari selisih jumlah pemasukan selama operasi per hari dikurangi target minimal tersebut. Jadi, sopir tidak mendapatkan upah yang pasti dan selalu kecil yang berkisar rata-rata Rp 50 ribu per hari. Jika harga BBM naik, maka akan semakin mengurangi pendapatan mereka. Dilain sisi, Sopir (Sopir taksi sebagai Contoh awal) juga dihadapkan dengan tekanan psychology yang tinggi, dimana ketika tidak mampu memberikan setoran sesuai target, yakni Rp. 300.000/hari, maka Ia terancam Skors (Tidak dipekerjakan samapi target setoran dapat dipenuhi).

Di sektor industri, khususnya Industri kecil dan menengah, banyak pengusaha akan mengalami kebangkrutan akibat meningkatnya harga bahan baku, listrik, transportasi pengangkutan, dan lain-lain. Mereka memiliki keterbatasan akses pasar di level nasional akibat dominasi imperialis dan ditekan oleh borjuasi komprador. Karena itu, kenaikan harga BBM mempengaruhi produksi dan distribusi mereka yang tidak mendapatkan perlindungan (regulasi, insentif, pasar) sehingga akan mengalami kebangkrutan. 

Kenaikan harga tentu akan merampas upah buruh karena terpotongnya nilai riil pendapatan yang didapatkan. Kenaikan nominal upah mereka tidak berarti apa-apa dan tidak berhubungan dengan kenaikan nilai riil upah yang diterima. Kenaikan nominal upah buruh sekitar tujuh sampai delapan persen di tahun 2012 tidak sebanding dengan kenaikan harga-harga barang dan kebutuhan penting lainnya yang naik oleh kenaikan harga BBM sebesar 33 persen.

Selain itu, kenaikan harga berdampak pada meningkatnya angka PHK akibat kebijakan efesiensi tenaga kerja oleh perusahaan yang harus menanggung kenaikan biaya produksi. Cara-cara lain perampasan upah yang dilakukan akibat tersebut adalah peningkatan jam kerja lembur buruh dan penundaan pembayaran upah. Untuk itu semua, pengusaha dan pemerintaha akan semakin mengekang kebebasan berserikat dan pemogokan buruh.

Struktur industri Indonesia yang didominasi oleh imperialis yang bekerjasama dengan kaki tangannya yakni borjuasi komprador dan tuan tanah menjadikan tidak adanya industri nasional yang mandiri. Keadaan ini telah menjadikan Indonesia menjadi lautan pengangguran yang mencapai lebih dari 40 juta dan semakin bertambah akibat dampak kenaikan harga BBM. Pengangguran itu merupakan tumpukan orang yang tidak terserap di industri ditambah dengan korban PHK  oleh perusahaan yang melakukan efesiensi.

Sementara itu, kaum tani menjadi klas mayoritas rakyat yang menderita akibat kenaikan harga BBM. Akibat penghisapan feodalisme dan dominasi imperialisme, mereka menanggung beban kerja berlipat akibat semakin tingginya biaya sewa tanah yang ditanggung, pemotongan upah, dan terjerat hutang lintah darat. Kenaikan harga menjadikan biaya produksi yang harus ditanggung petani miskin dan buruh tani untuk input pertanian yakni benih, pupuk, obat-obatan dan alat kerja.

Kaum nelayan juga sangat menderita oleh kenaikan harga BBM di tengah penggunaan solar yang merupakan komponen terbesar biaya produksi yang mencapai 60 persen lebih. Mayoritas nelayan di Indonesia  dari 2,6 juta  adalah nelayan pengguna kapal kecil yang bobotnya di bawah 30 GT (gross ton). Para nelayan kecil, biasaya, membeli solar eceran yang harganya dapat mencapai dua kali lipat per liter. Tentunya, para nelayan semakin membatasi aktivitasnya atau terjerat oleh tengkulak dan lintah darat sebagai sumber pembiayaan aktivitasnya.

Jelas, tarif baru BBM akan menjadikan penurunan daya beli masyarakat. Inflasi saja sudah menjadikan harga-harga barang meningkat apalagi ditambah kenaikan tarif baru nanti.  Keadaan itu akan menambah inflasi yang diperkirakan mencapai 6,5 persen sehingga nilai uang serta upah diterima pasti terpangkas lagi. Penghidupan kaum borjuasi kecil (Intelektuil: Guru, Dosen, Profesional, Pegawai rendahan, dan Pedagang Kecil, dll) akan semakin menurun seiring terpotongnya upah kerja dan berkurangnya pemasukan usaha produksi dan dagang mereka.

Kenaikan harga-harga barang dan jasa sudah pasti menjadikan angka kemiskinan meningkat. Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi memperkirakan kenaikan harga BBM sebesar 30 persen berpotensi mengakibatkan orang miskin bertambah sebesar 8,55 persen atau sekitar 15,68 juta jiwa dan pengangguran diprediksikan meningkat 16,92 persen dari angka pengangguran resmi yang dilansir BPS sebesar 10,11 juta. Pemerintah selalu membanggakan keberhasilan palsunya dalam menurunkan angka kemiskinan sebesar satu juta orang atau menjadi 30,5 juta orang pada tahun lalu. Akan tetapi, ia tidak bisa menjelaskan peningkatan sasaran bantuan tunai langsung (BLT) setiap kenaikan harga BBM melebihi angka rakyat miskin hasil rekayasa Badan Pusat Statistik (BPS). Mereka hanya bermain dengan kategori-kategori palsu tentang kemiskinan seperti tingkatan kemiskinan dan ukuran minimum rakyat miskin yakni hidup kurang dari Rp 7.000 per hari.

Kedua, Politik. Demi menjaga skema imperialis dalam mengatasi krisisnya yang berujung berlipatgandanya penghisapan terhadap rakyat, maka rezim boneka SBY akan meningkatkan politik fasisme. Penghidupan rakyat yang semakin merosot pasti akan memercikan api perlawanan dan semakin meluas sehingga rezim merasa terancam dan bertindak fasis untuk menjaga stabilitas dan jaminan bagi tuannya, imperialis AS. Rezim reaksi sekarang ini telah memberi ancaman bagi gerakan rakyat yang menolak kenaikan harga BBM dengan menyebarkan isu “makar” dan cap anti kemajuan negara. Bahkan pemerintah, oleh Presiden SBY secara lansung menyatakan “Akan Menindak Tegas” setiap demonstrasi atau gerakan-gerakan lain yang menolak rencana kebijakan tersebut.

Ketiga, Kebudayaan. Sudah pasti, kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya pendidikan. Pemerintah selalu bersembunyi di balik topeng pengalihan biaya subsidi harga BBM yakni penambahan subsidi bagi pendidikan bagi keluarga miskin. Faktanya, harga biaya pendidikan semakin mahal sehingga meningkatkan angka putus sekolah.

Sebagai contoh, dari kenaikan harga BBM pada tahun 2005 dan tahun 2008, subsidi pendidikan akibat kenaikan harga BBM diwujudkan dalam bentuk kompensasi yang dikenal dengan “Bantuan Operasional Sekolah (BOS)” untuk siswa SD dan SMP. Sementara itu, dalam Implementasinya tidak pernah menyentuh angka 50-40% dari total jumlah peserta didik dari keluarga Miskin. Dilain sisi, penyaluran atas kompensasi tesebutpun masih melalui Beasiswa dengan sistem subsidi silang yang sarat dengan diskriminasi dan manipulasi. Dampak lain dari itu, justeru mengurangi tanggungan wajib pemerintah (20% Anggaran pendidikan dari APBN), dimana anggaran BOS kemudian dimasukkan menjadi bagian dari Anggaran 20% tersebut yang juga tidak pernah terealisasi secara utuh, meskipun pemerintah telah dengan bangga mengumumkan bahwa angaran tersebut sudah terpenuhi, bahkan lebih dari 20%, yaitu 20,02%. Kenyataannya, setelah dibagi dengan berbagai kementerian dan terlebih lagi anggaran tersebut didalamnya termasuk dana BOS dan gaji guru, sehingga secara nominal pastilah tampak menjadi lebih besar, padahal sesungguhnya, realisasi anggaran tersebut masih tidak lebih dari hanya 11%.

Dampak lansung, dari kenaikan harga BBM saat itu (Th. 2005 dan 2008) juga menambah angka putus sekolah dan pengangguran yang semakin tinggi. Sampai dengan tahun 2009, terhitung jumlah siswa putus sekolah untuk Sekolah Dasar (SD) setiap tahunnya rata-rata berjumlah 600.000-700.000 siswa. Sedangkan siswa SMP yang harus mengakhiri sekolah sebelum tamat setiap tahunnya rata-rata berjumlah 150.000 sampai 200.000 siswa. Sementara akses ke pendidikan tinggipun sangat rendah, bahkan menunjukkan kesenjangan yang sangat tinggi. Dari jumlah pemuda usia kuliah (18-25 tahun), yang dapat mengenyam pendidikan tinggi hanya mencapai 5,6 Juta jiwa dari kurang lebih 25 juta jiwa, dan dari angka tersebut menunjukkan angka putus kuliah yang tidak kurang dari 150.000 Mahasiswa setiap tahun.

Selain dampak lansung terhadap biaya pendidikan yang semakin tinggi, bagi pemuda Indonesia secara umum, angka putus sekolah/kuliah akibat biaya tersebut kemudian menambahkan angka pengangguran di Indonesia yang semakin tinggi. Dari total jumlah pemuda usia 16-30 tahun (versi Pemerintah), data yang di release BPS tahun 2011 menunjukkan angka pengangguran mencapai 60,5%. Sektor pendidikan juga telah menyumbangkan angka pengangguran yang cukup tinggi. Tercatat, Pengangguran dengan Pendidikan Rata-rata SD-SMP, per-Agusus 2008 berjumlah 4.073.954, naik menjadi 4.198.429 pada periode Februari 2009. Sedangkan pengangguran dari pendidikan tinggi berjumlah 961.001 pada Agustus 2008, menjadi 1.113.020 pada Februari 2009.

Artinya bahwa kenaikan harga BBM kali inipun pasti akan menyebabkan akan semakin naiknya biaya pendidikan, terlebih pemerintah sendiri oleh Presiden SBY lansung menyampaikan bahwa “Angaran Pendidikan dan Kesehatan” menjadi salah satu sektor yang masuk prioritas pemotongan subsidi yang akan dialihkan untuk Alokasi Subsidi (Kompensasi BBM 2012). Menurut forum rektor yang bersentuhan lansung dengan lembaga pendidikan tinggi, juga telah menyepakati bahwa biaya pendidikan harus naik menyesuaikan kenaikan harga BBM. UNPAD akan menghitung ulang biaya kuliah dan akan menaikkannya sesuia dengan kenaikan BBM.

Dilihat dari sisi lainpun, tentu dampak kenaikan harga BBM disektor Pendidikan, tidak hanya pada meningkatnya biaya yang akan dibayarkan lansung oleh peserta didik dan keluarganya, namun selain itu, peserta didik juga harus menyiapkan anggaran sendiri yang lebih tinggi untuk sarana prasana pendidikan dan memenuhi kebutuhan belajar mengajar lainnya, seperti untuk pembelian seragam sekolah, buku, bolpoin, bahan praktikum, biaya potocopy, transportasi, akses internet. Begitu juga dengan keadaan kesehatan masyarakat yang makin makin memburuk akibat mahalnya biaya kesehatan dan pelayanan yang buruk. Sejak Januari 2012, harga obat telah naik  hingga 10 persen, bahkan obat yang mengandung parasetamol mencapai 43 persen. Kenaikan itu semakin memberatkan karena pemerintah tidak menanggung semua obat dalam program jaminan kesehatan yang diberikan bagi keluarga miskin. Keadaan gizi masyarakat akan menurun akibat mahalnya harga makanan dan nutrisi yang semakin menjadi-jadi akibat kenaikan harga BBM.

VI. Penundaan penaikan harga BBM oleh Pemerintah adalah akal-akalan untuk menipu dan membawa rakyat pada Ilusi yang menyesatkan
Ditengah bangkitnya gerakan rakyat yang kian meluas dan terus menunjukkan peningkatan eslkalasinya secara kualitas dan kuantitas yang semakin tinggi dalam upaya menolak penaikan harga BBM , Pemerintah kembali menunjukkan sikapnya yang anti-rakyat. Kepemimpinan atas negara yang buruk, licik dan penuh konspirasi diperlihatkan di Parlemen yang sebagian besar merupakan penyokong setia pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono yang anti-rakyat.

Hal tersebut ditunjukkan dalam keputusan yang diambil oleh Parlemen (DPR) dalam Sidang Paripurna membahas harga BBM tanggal 30 Maret lalu. DPR seolah-olah menolak kebijakan kenaikan harga BBM pada tanggal 1 April 2012, akan tetapi hal tersebut hanyalah penundaan sementara melalui skenario untuk membohongi rakyat yang terus berjuang menolak kenaikan harga BBM, yang dilakukan dengan gagah berani di seluruh penjuru negeri. Perlu dicatat bahwa besarnya arus penolakan rakyat yang kemudian memaksakan penundaan kenaikan harga BBM. Suara anggota DPR yang kemudian berbondong-bondong mengubah “suaranya” ikut menolak meskipun itu semua merupakan cermin kepalsuan sikap anggota DPR terhadap penderitaan rakyat.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah terlibat dalam pembohongan dan pengkhianatan terhadap rakyat. Selama SBY berkuasa, DPR telah menorehkan prestasi sebagai benteng klas reaksi yang anti-rakyat, sebagai lembaga yang secara aktif mendukung segala kebijakan yang dikeluarkan dan dijalankan oleh pemerintahan boneka imperialis Susilo Bambang Yudhoyono. Secara kontroversial DPR telah menambahkan ayat dalam UU APBN P 2012 yang tidak memiliki landasan hukum jelas, yaitu bahwa DPR menerima penambahan pasal 7 ayat 6a yang isinya adalah “Memperbolehkan pemerintah mengubah harga BBM jika harga minyak mentah  mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata 15% dalam waktu 6 bulan”.  Sebuah hal yang secara nyata menunjukan bagaimana akal licik dari DPR dalam mendukung rejim komprador SBY dalam melakukan liberalisasi energi termasuk minyak dan gas di Indonesia, karena keputusan tersebut artinya telah menyerahkan harga eceran terendah BBM di Indonesia sesuai mekanisme pasar Internasional. 

Untuk menyesatkan rakyat, SBY melalui kaki-tangannya yang loyal, baik di Parlemen, Kabinet, maupun Setgab juga terus melakukan propaganda omong kosong tentang kompensasi bagi rakyat jika BBM dinaikan seprti BLSM, subsidi pendidikan dan transportasi serta pembagian beras bagi keluarga miskin.  Selama ini SBY selalu menyembunyikan fakta bahwa sebagian besar kekayaan energi Indonesia, baik minyak maupun gas dieksploitasi habis-habisan oleh perusahaan imperialis. Dalam ketentuan kontrak karya, bahkan kewajiban untuk memenuhi pasar domestik bagi perusahaan minyak imperialis hanya 25% dari total produksi minyak di perusahaan tersebut. Sehingga perusahaan seperti Chevron, BP, Chonocco Phillips, ExxonMobile menguasai sumber energi seperti minyak di Indonesia hingga sebesar 75%. Bahkan, sekalipun terjadi konversi bahan bakar minyak ke gas sekalipun, tidak akan mungkin kedaulatan rakyat atas sumber energi akan terjadi.

Selama ini, tambang gas di Indonesia memiliki nasib yang sama dengan minyak bumi yang berada di bawah cengkeraman kapitalis monopoli asing. Sementara itu, SBY dengan seluruh mesin politik yang dikuasainya, terus memberikan peluang bahkan dengan sengaja membuka secara luas jalur monpoli dan penguasaan atas seluruh kekayaan negeri ini. SBY terus menunjukkan kesetiaan dan loyalitasnya kepada sang tuan dalam memberikan pelayanan yang super ekstra. Sehingga tidak heran jika dalam menghadapi aksi protes dari rakyat, SBY menyikapi dengan sangat berlebihan, brutal dan kejam. Sejak awal rencana kenaikan harga BBM, SBY telah menunjukan bahwa aksi dari rakyat akan ditindak dengan kejam. Mulai dari intimidasi tentang adanya gerakan penggulingan pemerintah yang syah, pelibatan TNI dalam pengamanan demonstrasi, pelarangan kendaraan umum untuk mengangkut demonstran, hingga pemberitaan luas soal demontrasi yang anarkhis. SBY selalu berdalih bahwa keamanan dan kestabilan politik harus ditegakkan untuk memberikan kepercayaaan terhadap ekonomi, pasar dan investasi. Slogan tersebut menunjukan bahwa karakter SBY tidaklah berbeda jauh dengan jenderal fasis Soeharto.
Pujian SBY terhadap aparat TNI dan Polri telah diperlihatkan saat pidato merespon keputusan DPR pada tanggal 31 maret 2012 yang dianggap sukses menegakan keamanan dan kestabilan politik di Indonesia. Promosi gembar–gembor keamanan dan kestabilan politik dilakukan di atas darah dan luka rakyat yang menolak kenaikan harga BBM. Ratusan demonstran harus mengalami tindakan kejam dan brutal dari aparat kemanan baik Polri maupun TNI. Di Jakarta, Medan, Surabaya hingga Makassar telah membuktikan bagaimana selama ini represifitas dan intimidasi yang selalu dilakukan oleh aparat keamanan untuk menghentikan aksi protes rakyat.

Karakter fasis seperti yang diperlihatkan oleh pemerintahan SBY merupakan karakter klas yang melekat erat pada dirinya sebagai rejim kaki-tangan imperialis. Sebuah karakter klas yang mencerminkan tuan imperialis-nya yang getol akan kekerasan, perang, penjarahan dan perampokan terhadap berbagai negara demi untuk menguasai sumber daya yang ada di negara tersebut. Sehingga wajar jika SBY akan melakukan segalanya demi terjaminnya keselamatan dan kepentingan imperialis di Indonesia, seperti yang dilakukannya untuk meliberalisasi harga minyak di Indonesia dengan cara menembak, menyiksa dan pembubaran paksa demonstrasi di Indonesia. 
VII. Simpulan dan Arahan
Perampasan upah yang dialami oleh kaum buruh saat ini dengan berbagai skema politik upah murah yang dijalankan oleh pemerintah yang tanpa malu menunjukkan wataknya sebagai rezim penghamba pada Imperialisme tidak terlepas dari situasi umum dunia yang tengah dilanda krisis panjang yang menyentuh seluruh sektor dan meluas diberbagai negeri.

Kekalutan Imperialisme dalam menyelesaikan krisis tersebut, selain dengan watak dasarnya yang “Eksploitatif, Akumulatif dan Ekspansif” , situasi tersebut telah mendorong imperialisme untuk terus melemparkan beban yang dideritanya diatas pundak rakyat diberbagai negeri dengan melakukan berbagai bentuk penghisapan atas seluruh aspek penghidupan rakyat. Karenanya, melalui rezim boneka yang dibentuknya diberbagai Negeri, terutama di negera-negara jajahan, setengah jajahan dan setengah feodal seperti Indonesia, Imperialisme terus berupaya memperkuat dominasinya baik secara ekonomi, Politik dan kebudayaan.

Dengan seluruh kekayaan yang dimiliki Indonesia, baik ketersediaan bahan mentah yang melimpah, kawasan yang luas dan populasi yang besar selalu menjadi primadona Indonesia dalam kacamata dunia, yang menunjukkan ketersediaan bahan mentah untuk bahan baku produksinya, tenaga kerja murah dan pasar yang luas. Kenyataannya, melalui berbagai fasilitas yang desediakan oleh rezim boneka didalam negeri, terutama dengan berbagai bentuk produk perundang-undangan dan berbagai bentuk regulasi lainnya yang melegitimasi segala bentuk penghisapan terhadap rakyat didalam negeri. Imperialisme semakin bar-bar dalam melakukan penguasaan dan perampasan atas tanah rakyat dalam skala yang luas dan telah mengakibatkan kemiskinan dan pengangguran yang semakin tinggi seiring hilangnya sandaran hidup kaum tani atas tanahnya.

Tingginya angka pengangguran tersebutlah yang kemudian dijadikan sebagai landasan utama bagi Pemerintah dalam menjalankan politik upah murah untuk merampas upah buruh. Kondisi tersebut kemudian semakin diperparah dengan berbagai skema yang dibangun melalui berbagai bentuk perjanjian dan kerjasama baik secara bilateral maupun multilateral, salah satunya adalah kerjasama pasar tenaga kerja “Labor Market Flexibility” yaitu konsolidasi tenaga kerja yang diperjual belikan dengan harga yang murah baik didalam maupun diluar negeri melalui berbagai jalur perdagangan tenaga kerja seperti lembaga-lembaga outsourching ataupun PJTKI.

Intinya bahwa persoalan mendasar kaum buruh dan rakyat Indonesia secara umum saat ini adalah Hilangnya kedaulatan atas hidup dan penguasaan atas seluruh sumberdaya yang tersedia di negeri ini. Hal tersebut dikarenakan atas kuatnya dominasi Imperialisme, rakusnya feodalisme dan Loyalnya rezim boneka didalam negeri yang terus mempertahankan sistem usang “Setengah jajahan dan stengah feodal”. Dengan segala keterbelakangan yang dilahirkan atas sistem tersebut telah secara sistematic menghantarkan rakyat dalam keterbelakangan secara politik, ekonomi dan kebudayaan. Sementeara itu, ketika rakyat berupaya memperjuangkan haknya, Pemerintah justeru tak ragu menghadapi Rakyat dengan berbagai bentuk tindak kekerasan dan tindakan anti demokrasi, bahkan dalam perkembangan saat ini, pemerintah Indonesia dibawah kekuasaan SBY telah secara terang-terangan menunjukkan wataknya yang fasis.

Derajat fasis SBY saat ini, sudah sangat terang ditunjukkan dari berbagai kasus perampasan tanah atau konflik-konflik agraria lainnya yang melibatkan aparat keamanan (TNI,POLRI, maupun SIPIL), Sementara itu, Rakyat selalu menjadi korban atas keganasan dan kebrutalan aparat selaku alat pemaksanya. Hal demikian juga tampak dari konflik – konflik perburuhan, di mana aparat kepolisian dan militer, dengan mudahnya melakukan intimidasi, teror, penangkapan serta kriminalisasi para pimpinan/aktivis buruh, ataupun pembubaran-pembubaran paksa yang dilakukan dalam meghadapi aksi-aksi protes ataupun pemogokan buruh dengan cara-cara keji dan brutal. Bahkan kenyataan-kenyataan demikian tersebut juga dialami oleh rakyat diberbagai sektor ddiseluruh daerah.

Diaspek politik, kenyataan fasis dari rezim penghamba saat ini tampak dari upaya-upaya yang dilakukannya dalam memaksakan kehendaknya dengan melahirkan berbagai produk perundang-undangan dan kebijakan-kebbijakan anti rakyat lainnya. Sperti halnya dalam kebijakan baru-baru ini, pemerintah memaksakan kehendaknya untuk menaikkan harga BBM serta tipu daya penundaan penaikan harga BBM yang hanya akal-akalan semata untuk meredam perlawanan rakyat.

Maka dalam situasi demikian, tiada lain jawaban bagi klas buruh rakyat tertindas lainnya, kecuali memperluas dan memperkuat persatuan, memperhebat perlawanan, berjuang secara teguh, dan mendidik diri lebih keras, memperkuat persatuan, dan memperbanyak aktivis-aktivis massa yang sungguh-sungguh mengabdikan diri guna membebaskan diri dari segala bentuk penghisapan dan penindasan yang dilakukan oleh imperialisme, feodalisme dan Kapitalis Birokrat.

Buruh Indonesia telah menunjukkan keteladannya sebagai klas paling maju dalam masyarakat. Penuh pengorbanan karena bekerja untuk kepentingan masyarakat, tapi dihargai murah dan diperlakukan layaknya sapi perahan oleh si kapitalis. Klas buruh bekerja secara kolektif, disiplin dan memiliki persamaan nasib yang tinggi akibat tindasan dari sang kapitalis. Di tengah penderitaan yang dihadapinya, klas buruh tetap menjadi kekuatan paling depan dalam memperjuangkan nasibnya dan rakyat tertindas lainnya.

Berdasarkan pada analisis di atas, FrontMahasiswa Nasional (FMN) akan melakukan aksi serentak dalam memperingati Hari Kebangkitan Gerakan Buruh Internasional, termasuk mendukung sepenuhnya gerakan Buruh Indonesia dalam memperjuangkan Upah sesuai dengan kebutuhan hidup, serta mengecam segala bentuk kebijakan yang dikeluarkan SBY-Budiono. Berangkat dari kenyataan tersebut Front Mahasiswa Nasional menghimbau kepada seluruh rakyat indonesia untuk ikut serta dalam perjuangan pembebasan rakyat indonesia dari jeratan penghisapan Imperialisme, Feodalisme dan Kapitalisme Birokrat. Melalui momentum hari Buruh sedunia (May-Day)