Senin, 09 April 2012

Analisis terbaru "Penolakan" RUU PT


PENOLAKAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN TINGGI
SEBAGAI UPAYA MENYELAMATKAN PENDIDIKAN
DARI SKEMA LIBERALISASI KAPITALIS MONOPOLI INTERNASIONAL
 
Pendidikan tinggi merupakan salah satu jenjang dalam penyelenggaraan pendidikan yang bertujuan untuk membangun taraf kebudayaan rakyat baik dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyelenggaraan pendidikan tinggi yang melahirkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tentunya dapat dimanfaatkan oleh rakyat untuk mendayagunakan segala macam potensi alam yang ada disekitarnya baik untuk pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan, perindustrian dan  pertambangan. Selain itu, kemajuan tersebut juga dapat dipergunakan untuk pengembangan telekomunkasi dan transportasi yang bisa dimanfaatkan rakyat dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam menyukseskan untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa tentunya dibutuhkan kebijakan yang mampu mewujudkan hal tersebut. Namun, pendidikan tinggi sejak adanya GATS (General Agreement on Trade and Services) yang ditanda tangani oleh puluhan negara termasuk Indonesia merupakan satu bentuk dominasi dan kooptasi yang dilakukan oleh kapitalis monopoli internasional (Impeiarialisme). Dalam kesepakatan tersebut, pendidikan tinggi dijadikan salah satu komoditas dari 12 komoditas jasa yang dapat diperdagangkan dalam bentuk jasa penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Tujuan Imperialisme dalam mengkooptasi dan mendominasi penyelenggaraan pendidikan tinggi adalah meraih keuntungan dari hasil penyelenggaraan pendidikan yakni, 1) hasil temuan terapan yang dapat mendukung industri mereka, 2) mendapatkan keuntungan finansial dari hasil penarikan biaya penyelenggaraan pendidikan, dan yang tidak kalah penting adalah 3) melakukan dominasi atas kebudayaan suatu negara termasuk Indonesia dalam bentuk teori-teori, ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesungguhnya bertentangan dengan kepentingan rakyat.
Imperialisme membutuhkan rezim boneka dalam negeri untuk merealisasikan hal tersebut dengan salah satu caranya yakni mengeluarkan kebijakan yang melapangan tujuan Imperialisme tersebut. Kondisi tercermin dari kebijakan yang sejak tahun 1999 dengan dikeluarkannya PP no 61 tahun 1999 tentang PT BHMN, UU no 20 tahun 2003 tentang sisdiknas, UU no 9 tahun 2009 tentang BHP, PP no 17 dan 66 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan tinggi. Terakhir berupa RUU tentang Pendidikan Tinggi yang menggantikan UU BHP, dan beberapa pasal dalam UU no 20 tahun 2003 yang sudah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat atau tidak berlaku lagi.
RUU Pendidikan Tinggi yang digulirkan oleh rezim Boneka yakni SBY melalui legislatif (DPR-RI), merupakan salah satu bentuk kebijakan yang mengakomodasi kepentingan Imperialis dan wujud  realisasi dari GATS yang sudah ditanda tangani oleh Indonesia. Hal inilah yang yang menjadi latar belakang utama mengapa kita harus menolak RUU Pendidikan Tinggi. Tidak ketinggalan pula, ada alasan secara sosiologis dan politis yang menjadi landasan dalam upaya penolakan RUU Pendidikan Tinggi. Karena, jika kita terjebak pada soal yang bersifat normatif semata atau hanya membahas pada pasal-pasal yang tercantum dalam rancangan undang-undang tersebut dalam kacamata hukum positif, maka kita akan mengalami kebuntuan dalam menganalisis penyebab dan mencari jalan keluar dalam upaya penolakan RUU Pendidikan Tinggi. Dengan demikian,  dalam menganalisis pasal-pasal yang tercantum dalam RUU Pendidikan Tinggi, disamping yang bersifat normatif kita juga harus melihat keterkaitannya dengan historis lahirnya RUU Pendidikan Tinggi, politik kepentingan yang terkandung dalam RUU Pendidikan Tinggi, dan dampal sosial jika diberlakukannya RUU Pendidikan Tinggi.
Berikut penjelasan dan analisa tentang RUU Pendidikan Tinggi (draf RUU Pendidikan Tinggi per 4 April 2012) dengan menggunakan berbagai macam perspektif baik historis, politik kepentingan, dampak sosiologis, kontradiksi normatif antara RUU Pendidikan Tinggi dengan Konvenan Ekosob dan UUD 1945 serta potensi komersialisasi pendidikan tinggi :
  1. Sejarah Lahirnya RUU Pendidikan Tinggi
Suatu undang-undang  tidak lahir begitu saja sebelum melewati masa pembahasan dalam bentuk RUU untuk oleh DPR yang memiliki kewenangan legislasi. Adapun beberapa motif yang mendorong terbentuknya suatu undang-undang yakni, 1) Amanat dari Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang, 2) Perjanjian Internasional, 3) Kebutuhan Masyakarat atas Hukum. Motif pertama dapat kita ketahui bersama dengan lahirnya UU no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 31 ayat  atau UU tentang APBN yang merupakan amanat dari UUD 1945 pasal 31 ayat 4 dan UU BPJS yang merupakan amanat dari UU SJSN. Motif kedua dapat kita ketahui dengan adanya UU no 39 tahun 1999 tentang HAM yang merupakan amanat dari Konvensi tentang HAM Sipil dan Politik dan UU no 12 tahun 2005 tentang ratifikasi HAM Ekonomi, Sosial dan Budaya, UU no 1 tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang merupakan amanat dari WTO. Sedangkan untuk motif ketiga sering disalah gunakan oleh pemerintah untuk membentuk UU yang sesungguhnya tidak menjawab persoalan atau kebutuhan masyarakat. Motif yang inilah sering dijadikan kedok oleh pemerintah untuk membentuk suatu Undang-Undang.
Sejarah lahir RUU Pendidikan Tinggi memiliki keterkaitan dengan kepentingan kapitalis monopoli internasional yang mendesak negara-negara berkembang atau dunia ketiga seperti Indonesia untuk melakukan liberalisasi disegala sektor termasuk pendidikan dengan melakukan pencabutan subsidi publik, deregulasi dan privatisasi. Fakta tersebut merupakan manifestasi dari SAP (structural adjustment program) yang dipakaskan kepada negara-negara berkembang melalui rezim boneka dalam negeri. SAP dikenal sebagai bentuk kebijakan neoliberal yang merupakan jalan atau wadah bagi Imperialis atau kapitalis monopoli internasional untuk mendominasi negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Salah satu wujud dari SAP melalui lembaga perdagangan Internasional yang bernama WTO. Pada tahun 1995, menjerumuskan negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk meratifikasi GATS. Dalam GATS diatur bahwasanya bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia harus meliberalisasikan 12 sektor jasa yang salah satunya adalah pendidikan tinggi agar menjadi komoditas yang diperdagangkan secara internasional. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan pencabutan subsidi atas pendidikan, penghapusan peraturan perundan-undangan dan digantikan dengan yang baru agar dapat mempermudah realisasi atas liberalisasi pendidikan atau yang lebih dikenal sebagai deregulasi dan melakukan privatisasi lembaga pendidikan.
Pemerintahan boneka yakni rezim fasis Soeharto, telah bekerja sama dengan lembaga keuangan internasional (IMF) untuk mempermulus arus liberalisasi sektor publik termasuk pendidikan yang tertuang dalam letter of intent. Pada tahun 1999, pemerintah melalui PP no 61 tahun 1999 tentang PT BHMN telah mengubah 5 PTN menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (UI, ITB, IPB, UGM dan UNAIR). Akhirnya dengan PP tersebut, ke lima PT BHMN melakukan pencarian dana secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan biaya penyelenggaraan pendidikan di masing-masing institusi.
Dalam perkembangannya, kondisi tersebutlah yang kemudian melahirkan praktek komersialisasi pendidikan tinnggi hingga menjadikan dunia pendidikan tinggi semakin sulit diakses oleh rakyat Indonesia yang berpenghasilan rendah seperti anak yang berasal dari buruh, petani, pegawai rendahan, pedagang asongan dll. Kondisi tersebut juga mendorong PTN-PTN lainnya untuk melakukan hal yang sama karena PT BHMN memiliki otonomi yang luas baik dalam bidang akademik dan non akademik. Hal inilah menjadi latar belakang adanya UU no 20 tahun 2003 tentang sisdiknas yang di pasal-pasalnya mengamanatkan bahwa penyelenggaraan pendidikan harus berbentuk bahan hukum pendidikan (pasal 53) dan penyelenggaraan pendidikan tinggi harus otonom (pasal 24 dan pasal 50 ayat 1) [i].
Pada perjalanannya, pasal 53 UU no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional melahirkan UU no 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Pelaksanaan dari UU no 9 tahun 2009 telah melahirkan dua PTN yang berubah menjadi BHP yakni USU dan UPI. Selain itu, banyak pula PTN-PTN yang berlomba-lomba ingin menjadi PT BHP. Dan banyak pula PTN yang ingin menjadi PT BLU berdasarkan PP no 17 tahun 2010 tentang penyelenggaraan pendidikan dan PP no 23 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan BLU. Baik BHP maupun BLU memiliki sifat otonom dalam bidang pendidikan dan non pendidikan yang hanya melahirkan praktek komersialisasi pendidikan dengan ditandai mahalnya biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh setiap peserta didik.
Selain itu, salah satu bentuk privatisasi pendidikan tinggi juga dapat kita lihat banyaknya PTS-PTS yang berdiri dengan bentuk yayasan yang bersifat Nirlaba. Pendirian PTS-PTS merupakan salah satu model pengaplikasian dari privatisasi pendidikan yang tercantum dalam UU no 20 tahun 2003 dengan dalih peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan atau dalam hal ini pendidikan tinggi yang bersifat nirlaba. Namun, pada perkembangannya PTS-PTS yang bermunculan sebagai manifestasi dari pasal 50 UU no 20 tahun 2003 tentang sisdiknas juga melahirkan praktek komersialisasi pendidikan yang ditandai tingginya biaya pendidikan. Praktek komersialisasi pendidikan di PTS yang dibawah naungan pasal 50 UU no 20 tahun 2003 dapat kita lihat dari besarnya biaya SPP, biaya per sks, biaya masuk (sumbangan) dan biaya praktikum. Dengan tingginya biaya pendidikan di PTS-PTS dan konsep penerapan nirlaba pada PTS-PTS tentunya sudah kontradiktif. Hal ini dikarenakan setiap penerimaan dan pengeluaran ditetapkan oleh badan hukum tertentu atau yayasan lalu dilaksanakan oleh PTS sebagai institusi pelaksana. Yayasan inilah yang sering memanfaatkan posisinya sebagai pendiri untuk mengeruk pendapatan dengan menetapkan biaya pendidikan yang akan dikenakan kepada peserta didik dan dikumpulkan uang dari biaya pendidikan oleh PTS tersebut.
Kewenangan yang dimiliki oleh PTS atau dalam hal ini yayasan pendiri PTS yakni dalam bentuk otonomi baik dalam bidang akademik maupun non akademik yang membuka keran potensi peluang adanya praktek komersialisasi pendidikan sebagaimana yang terjadi di PTN-PTN baik yang berbentuk BHMN, BHP maupun BLU. Pada perjalanan berikutnya pada akhir bulan maret 2010, UU no 9 tahun 2009 tentang BHP dibatalkan oleh MK dan PP no 17 tahun 2010 pun diubah menjadi PP no 66 tahun 2010 yang isinya tentang perubahan status pengelolaan keuangan bagi PT BHMN ataupun PT BHP menjadi PTN BLU atai PTN biasa. Akan tetapi, pada akhir tahun 2010 DPR RI bersam kemendikbud merancang secara bersama-sama RUU Pendidikan Tinggi yang kelaka akan mengatur lebih spesifik tentang penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Adapun salah satu landasan filosofi dibentuk RUU Pendidikan Tinggi yang termuat dalam naskah akademik RUU Pendidikan Tinggi per maret 2011 yang sedang disusun oleh DPR dan kemendiknas adalah Otonomi Perguruan tinggi menjadi salah satu prasyarat utama agar peran yang diharapkan dapat dijalankan dengan baik dan dapat menunjukkan akuntabilitas yang baik pula yang dapat diterima oleh masyarakat luas sesuai dengan perannya dan sedangkan peran salah satu landasan yuridis utnuk menyusun RUU Pendidikan Tinggi adalah Pengaturan lebih lanjut tentang otonomi perguruan tinggi ini perlu dituangkan dalam undang-undang yang dapat mewadahi otonomi di bidang akademik maupun non akademik yang diperlukan oleh perguruan tinggi dalam menjalankan perannya, dan yang dapat diterima oleh masyarakat luas sebagai bagian dari akuntabilitas perguruan tinggi sebagaimana yang diatur dalam pasal 24 ayat 2 dan 3 serta pasal 50 ayat 6 UU no 20 tahun 2003 tentang sisdiknas[ii].
Landasan filosofi dan yuridis tersebut tertuang di beberapa pasal dalam RUU Pendidikan Tinggi per 4 April 2012 yang digunakan sebagai bahan raker antara Komisi X DPR-RI dengan Kemendikbud. Pasal-pasal yang merupakan manifestasi dari pemberiaan otonomi yakni pasal 64 hingga 69 yang masuk dalam bagian ke empat tentang pengelolaan perguruan tinggi. (pembahasan tentang otonomi perguruan tinggi akan dibahas pada poin poliik kepentingan RUU Pendidikan Tinggi)
  1. Politik Kepentingan Kapitalis Monpoli Internasional Dalam RUU Pendidikan Tinggi
Banyak upaya yang dilakukan oleh kapitalis monopoli Internasional atau Imperialis baik melalui WTO, IMF dan World Bank yang dikenal sebagai unholy trinity. Ketiga lembaga tersebut digunakan oleh imperialis sebagai tentakel-tentakel untuk negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia yang juga disokong oleh rezim boneka dalam negeri yang saat ini dipimpin oleh SBY. Banyak program yang dilakukan oleh Bank Dunia agar institusi pendidikan dapat berubah menjadi salah satu sektor jasa yang dapat diperdagangkan. Higher Education for Compt Project (HECP) pada awal tahun 2000an lalu berubah menjadi Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency atau dikenal dengan program IMHERE. Bank dunia pun menjelaskan bahwasanya untuk menyukseskan tersebut harus ada UU (legal structure) yang melandasi pelaksaanaan liberilasasi pendidikan tinggi agar dapat membentuk institusi pendidikan yang otonom (institutional autonomy).
Program yang memakan jutaan dolar ini mencekoki rakyat Indonesia melalu rezim boneka dalam negeri yakni SBY agar secara mengeluarkan kebijakan dalam bentuk UU agar terbentuknya sebuah pendidikan tinggi yang effiesien. Pendidikan tinggi yang efisien yang dimaksudkan adalah pendidikan tinggi yang tidak memakan uang negara dan mampu secara otonom melaksanakan fungsi akademik serta non akademik. Maka pada tahun 2009, dibawah pemerintahan boneka yang dipimpin oleh SBY, Indonesia melahirkan UU BHP dan pada akhirnya dibatalkan oleh MK pada tahun 2010. Akan tetapi, dalam perkembangannya pemerintahan Indonesia dibawah kepemimpinan SBY tidak tinggal diam agar upaya untuk meliberalisasikan pendidikan tinggi melalui rancangan pendidikan tinggi.
Wujud dari politik kepentingan kapitalis monopoli dalam RUU Pendidikan Tinggi sangatlah jelas dalam pasal-pasal yang tercantum dalam RUU tersebut. Manifesasi dari liberalisasi pendidikan yakni, dengan minimnya subsidi dari negara untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi. Hal ini dapat kita lihat dari pasal 89 ayat 3 yang menjelaskan pemerintah paling sedikit mengalokasikan 2,5% dari anggaran fungsi pendidikan untuk dana bantuan operasional. Bantuan dana operasional di PTN meliputi untuk membiayai  investasi, pegawai, operasional, dan pengembangan institusi dan di PTS meliputi untuk investasi[iii] dan pembangunan.
Kenyataan tersebut terwujud dalam APBN-P 2012 anggaran pendidikan adalah Rp 285 Triliun. Kurang lebih 137 Triliun dari 285 Triliun adalah untuk gaji. Sebanyak 100 Triliun lebih anggaran ditransfer ke daerah untuk BOS, dana bagi hasil, gaji guru, dan pembangunan sekolah. Sebanyak Rp 50 Triliun untuk kementrian lainnya. Sebanyak 57,8 Triliun anggaran dikelola Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, sementara anggaran untuk pendidikan tinggi hanya 5 Triliun. Anggaran 5 Triliun sangatlah sedikit jumlahnya, karena jumlah perguruan tinggi di Indonesia adalah 3150 perguruan tinggi. Apalagi dengan adanya penetapan minimal 30% dari total anggaran untuk penelitian akan semakin minimnya dana yang dimiliki oleh setiap PTN dan PTS untuk memenuhi kebutuhan biaya operasional penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Dengan minimnya, dana yang diberikan oleh pemerintah kepada setiap PTN dan PTS maka hal wajar, pemerintah SBY yang merupakan kaki tangan dari kapitalis monopoli internasional memberikan otonomi dalam bidang non akademik atau dalam hal ini keuangan. Dengan adanya otonomi ini, setiap PTN dan PTS memiliki kewenangan dalam hal menetapkan jenis biaya pendidikan di luar biaya penyelenggaraan pendidikan yang tercantum dalam pasal 88 ayat 1 atau lebih dikenal dengan SPP. Kondisi biaya pendidikan diluar SPP sudah lama terapkan oleh setiap PTN dan PTS untuk menarik dana dari masyarakat atau dalam hal ini mahasiswa dan atau orang tua mahasiswa dengan nilai yang sangat tinggi agar dapat menutupi kekurangan dana untuk pembiayaan operasionalisasi penyelenggaraan pendidikan tingg di Indonesia.
Penerapan menarik dana dari masyaraka selain SPP, dapat kita lihat di UI ada Admission Fee yang mulai diterapkan sejak tahun 2004 dan Biaya Operasional Pendidikan Berkeadilan, disingkat BOP-B. Kondisi ini juga terjadi di UNSRI, ada Dana Pengembangan Pendidikan dan Dana Pengembangan Lembaga, di Unibraw ada Sumbangan Pengembangan Fasilitas Pendidikan, dan biaya lain-lain, di UPI ada Dana Pengembangan Lembaga dan Biaya Peningkatan Mutu Akademik, dan di UGM ada Biaya Operasional Pendidikan serta Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik. Varian-varian biaya kuliah inilah yang tidak diatur dalam RUU PT dan nilai dari biaya diluar SPP ini sangatlah besar.

Untuk mendukung hal tersebut, maka pemerintah memberikan otonomi khusus kepada setiap PTN juga dapat kita lihat pada pasal 67 yang menjelaskan bahwasanya PTN dapat berbentuk PPK BLU (sesuai dengan PP no 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU) dan Badan Hukum yang ditentukan secara selektif oleh pemerintah. Bentuk pengelolaan PPK BLU, setiap PTN memiliki otonomi dalam menentukan jenis tarif dan besar tarif sebagai biaya atas jasa yang telah diberikan berdasarkan pasal 19 PP no 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU.
Sedangkan, PTN yang berbentuk badan hukum memiliki otonomi untuk mengelola dan secara mandiri baik yang bersumber dari pemerintah maupun masyarakat yang berasal dair SPP dan non SPP seperti yang dijelaskan pada pasal 67 ayat 3 huruf c. Serta, khusus untuk PTN yang berbentuk badan hukum juga dapat mendirikan badan usaha yang dimana laba tersebut digunakan untuk menutupi kekurangan pembiayaan operasionalisasi pendidikan tinggi seperti yang dijelaskan pada pasal 67 ayat 3 huruf e. kondisi tersebut juga dapat dimungkinkan terjadi di PTS karena berdasarkan pasal 68, pola pengelolaan keuangan diserahkan kepada badan penyelenggara pendidikan atau dalam hal ini yayasan pendiri. Praktek pembukaan badan usaha baik PTN yang berbadan hukum dan PTS dapat kita lihat kebijakan IPB yang mendirikan Botani Square yang dijadikan sebagai sarana rekreasi dan penelitian, IPB juga mendirikan hotel berbintang 5. UPI membangun stadion sepak bola yang disewakan kepada salah satu klub sepak bola, UGM mendirikan GAMA Multi Usaha, UAD juga juga mendirikan ADI TV, UNRAM mendirikan rumah sakit pendidikan UNRAM dan UII juga membuka JIH (Jogja Internasional Hospital). Dari pendirian badan usaha ini, diharapkan mampu menutupi kekurangan biaya operasional berdasarkan laba yang dihasilkan oleh masing-masing lembaga. Namun, pada kenyataan hal tersebut tidak berpengaruh terhadap aksesbilitas masyarakat untuk melanjutkan pendidikan tinggi karena biaya pendidikan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi tersebut sangatlah mahal.
Sedangkan otonomi di dalam hal penelitian (bidang akademik), sangat membuka peluang bahwasanya hasil dari penelitian yang dilakukan oleh setiap peserta didik/mahasiswa dan dosen dapat dipergunakan untuk sarana komersil. Hal ini dikarenakan hasil penelitian tersebut “diperjualbelikan” kepada dunia industri dan dunia usaha. Apalagi, dengan adanya dominasi kapitalis monopoli asing maka hasil penelitian baik dalam penelitian terapan dan murni yang dilakukan di setiap PTN dan PTS hanya digunakan untuk mengeruk keuntungan atau profit bagi mereka.
Dengan minimnya anggaran untuk pendidikan tinggi dalam ranah penelitian. Perguruan tinggi juga memiliki otonomi untuk melakukan kerjasama dan kemitraan dengan dunia usaha dan dunia industri yang hasilnya akan digunakan untuk kepentingan usaha dan industri. Tentunya dari hasil kerjasama dan kemitraan tersebut, perguruan tinggi mendapatkan dana untuk melakukan penelitian dan menjual hasil penelitiannya kepada dunia usaha/industri. Untuk itu, dalam RUU Pendidikan Tinggi juga diatur dalam pasal 47 ayat 1.
Hal ini diperkuat dengan pernyataan dari rektor IPB yang menjelaskan bahwasanya orienstasi dari hasil penelitian memang harus diarahkan ke hal yang komersil agar menutupi kekurangan dana yang dibutuhkan oleh setiap institusi pendidikan tinggi[iv]. Maka, kondisi ini sangat membuka peluang bahwasanya hasil penelitian akan digunakan untuk perusahaan-perusahan besar milik borjuasi komprador dan atau perusahaan-perusahaan milik kapitalis monopoli Internasional. Dengan demikian landasan hasil penelitian yang dapat diabdikan untuk kepentingan rakyat Indonesia atau dapat membangun industri nasional akan ternegasikan dengan kepentingan perusahaan-perusahaan raksasa yang hanya mengutamakan profit semata.
Pemberian otonomi dalam ranah keuangan yang masuk dalam bidang non akademik kepada PTN merupakan konsekuensi yang harus dijalankan berdasarkan skema milik kapitalis monopoli internasional dalam hal pencabutan subsidi pendidikan sebagai upaya untuk meliberalisasikan pendidikan tinggi di Indonesia. Peran negara dalam membiayai penyelenggaraan pendidikan tinggi akan tergantikan oleh peran masyarakat. Dengan demikian proses liberalisasi pendidikan tinggi dapat berjalan sukses di Indonesia.
Dilain pihak, keberadaan RUU Pendidikan Tinggi yang menjadi manifestasi dari liberalisasi pendidikan yang ditelurkan oleh kapitalis monopoli internasional melalui rezim boneka dalam negeri yakni SBY. Dalam RUU Pendidikan Tinggi seperti yang tertuang dalam naskah akademik RUU Pendidikan Tinggi per maret 2011 menjelaskan bahwasanya seluruh dosen dan tenaga kependidikan akan menjalankan dua pola yakni 1) diangkat oleh pemerintah yang kelak sebagai PNS dan 2) diangkat oleh badan penyelenggaraan atau perguruan tinggi yang bersangkutan yang kelak akan disebut sebagai pegawai perguruan tinggi. Dengan demikian, pola kedua merupakan manifestasi dari skema labour market flexibellity (LMF) atau dikenal kenal fleksibelitas pasar tenaga kerja.
Skema LMF ini tentunya akan menempatkan dosen dan tenaga kependidikan dalam jurang sistem kerja kontrak dan outsourcing. Penerapan skema ini dilahirkan oleh IMF dan Bank Dunia untuk mengakali tingkat pengangguran yang tinggi di negara-negara berkembang. Namun, jaminan atas masa depan bagi tenaga kerja yang terjebak skema ini sangatlah suram. Hal ini dikarenakan kontrak kerja dapat diputus secara sepihak, minimnya jaminan sosial yang didapatkan dan hubungan industrial yang selalu merugikan pegawai non PNS. Praktek pembukaan outsourcing di dalam kampus pun sudah berjalan misalnya UI. Lembaga outsourcing ini pun menjadi salah satu sumber pendapatan bagi UI, UPI, dan UGM yang masih berstatus PT BHMN.
Kondisi tersebut, termanifestasikan dari skema tersebut dapat kita lihat dari pasal 70 ayat 4 dan 6. Dalam pasal tersebut dijelaskan bagi dosen dan tenaga kependidikan dapat diangkat oleh badan penyelenggara pendidikan yang bersangkutan dan memberikan gaji pokok dan tunjangan peraturan yang berlaku. Khusus untuk tenaga kependidikan seperti pustakawan, tenaga administrasi, laboran dan teknisi, serta pranata teknik informasi sebagai pegawai rendah akan membuka peluang praktek outsourcing di dalam tubuh pendidikan tinggi. Dengan demikian, nasib tenaga kependidikan akan mengikuti UU no 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan. Gaji dan tunjangan yang didapatkan oleh tenaga kependidikan pun akan berbeda dengan dosen PNS maupun non PNS karena harus mengikuti peraturan dengan UMK/R berdasarkan lokasi badan penyelenggaraan pendidikan yang bersangkutan dilaksanakan. Kondisi tersebut, juga salah satu praktek otonomi yang diberikan kepada perguruan tinggi di ranah kepegawaian dalam bidang non akademik.
Selain itu, dalam RUU Pendidikan Tinggi kali ini juga membuka peluang adanya persaingan yang tak seimbang antara PTS didalam negeri dengan PT yang berasal dari negara-negara lain. Dalam RUU Pendidikan Tinggi juga diatur tentang pendirian Perguruan Tinggi Asing di Indonesia yang termaktub dalam pasal 90. Dengan adanya pendirian PTA di Indonesia akan membuka peluang adanya penutupan PTS-PTS di Indonesia. Hal ini dikarenakan PTA-PTA yang dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di Indonesia memiliki prasyarat tertentu, seperti adanya akreditasi dari pemerintah PTA yang bersangkutan. Dengan masih rendahnya kualitas akreditasi PTS-PTS yang ada di Indonesia, maka peran PTS-PTS tersebut tergantikan. Hal ini dikarenakan PTA-PTA yang akan menyelenggarakan pendidikan tinggi di Indonesia memiliki kualitas yang tentunya lebih baik daripada PTS-PTS di Indonesia. Di satu sisi lainnya, PTA-PTA tersebut juga juga establish atau mapan dalam hal pengelolaan keuangan. Hal ini berbeda dengan kondisi PTS-PTS di Indonesia yang sering bermasalah dengan pengelolaan keuangan.
Selain itu, PTA-PTA tersebut, juga tidak menutup kemungkinan akan menjadi alat bagi kapitalis monopoli internasional untuk mendominasi dan menghegemoni kebudayaan rakyat Indonesia secara langsung melalui ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka kembangan di Indonesia. Kondisi ini dapat kita lihat, dari banyaknya tenaga-tenaga ahli yang dipekerjakan di perusahaan-perusahaan milik kapitalis monopoli Internasional seperti Chevron, Adaro, Freeport, Exxon yang sejatinya hanya mengeksploitasi dan memonopoli kekayaan alam milik Indonesia. Dari sinilah kita melihat adanya politik kepentingan kapitalis monopoli internasional atau imperialis berupa persaingan yang tidak sehat antara PTS-PTS dengan PTA dan upaya dominasi serta hegemoni yang dihasilkan oleh PTA yang diselenggarakan di Indonesia.
Dari sekian penjelasan diatas maka kita dapat melihat bersama secara terang tentang politik kepentingan kapitalis monopoli internasional melalui struktur politik di dalam negeri Indonesia yang dijalankan oleh SBY sebagai kaki tangan pada periode ini.
  1. Dampak Sosiologis RUU Pendidikan Tinggi
Pemuda Indonesia yang berusia 19-24 tahun dengan jumlah 25,404 juta jiwa tentunya diantara mereka masuk dalam keluarga miskin atau dari kalangan menengah kebawah. Berdasarkan data yang dilansir oleh BPS, bahwa jumlah penduduk yang masuk dalam kategori miskin per Maret 2011 mencapai 30,5 juta jiwa. Mereka yang masuk dalam kategori miskin memliki pendapatan perkapita selama sebulan sebesar Rp 233.740 perkapita tiap bulannya (PBB menetapkan garis kemiskinan $2 perhari sedangkan Indonesia Rp 7791 perhari, atau samadengan kurang dari $1).
Sedangkan penduduk yang memiliki pendapatan antara Rp 233.740 hingga Rp 280.488 masuk dalam kategori penduduk hampir miskin[v] pada Maret 2011 berjumlah 27,12 juta jiwa atau 11,28% dari total penduduk atau mengalami peningkatan yang pada tahun lalu berjumlah 22,99 juta atau 9,88%[vi]. Jadi total penduduk miskin dan hampir miskin sejumlah 53,49 juta jiwa. Dengan demikian bagi calon peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu dan tidak memiliki prestasi secara akademik sudah dapat dipastikan tidak akan bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
Selanjutnya kita menggunakan variabel pekerjaan yang dikeluarkan oleh BPS periode Agustus 2011. Menurut BPS secara dominan rakyat Indonesia berprofesi sebagai petani dan nelayan sebesar 42,8 juta jiwa, lalu diikuti oleh pekerja atau buruh pabrik dan pertambangan dengan total 14,24 juta jiwa serta masyarakat yang berwiraswasta sebanyak 22,1 juta jiwa. Dengan jumlah petani dan nelayan sebesar 42,8 juta jiwa atau 33,88% dari total angkatan kerja di Indonesia tentu merekalah yang secara umum merasakan efek jika RUU PT ini diberlakukan atau disahkan. Hal ini dikarenakan pendapatan mereka selama sebulan tidak lebih dari Rp 550.000 – Rp 750.000 perkapita perbulannya.
Dengan kondisi masyarakat Indonesia dengan jumlah biaya pendidikan tinggi yang harus dibayarkan (lihat table I) oleh setiap peserta didik. Maka menjadi hal yang wajar jika tidak semua lulusan atau peserta didik yang telah menyelesaikan pendidikan tingkat menengah baik SMA, MA atapun SMK melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Hal ini tergambar dari data yang dirilis oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan tentang angka partispasi kasar pendidikan tinggi sejak tahun ajaran 2003/2004 hingga 2010/2011 dibawah ini :

Tabel I
Aksesibilitas Pendidikan Tinggi[vii]
No
Akhir Tahun Ajaran

Jumlah Lulusan Tingkat
Menengah
Melanjutkan ke PT
Tidak Melanjutkan ke PT
Putus Kuliah
Jumlah Mahasiswa
1
2003/2004
1.799.764
1.240.549 (68,93%)
559.215 (31,07%)
219.335 (6,37%)
4.343.288
2
2004/2005
1.831.326
976.877 (53,34%)
854.449 (46,66%)
281.933 (7,86%)
3.585.728
3
2005/2006
1.914.584
865.802 (45.22%)
1.048.802 (54,78%)
468.586 (12,79% )
3.663.435
4
2006/2007
1.943.378
875.695 (45,06%)
1.067.683 (54,94%)
470.219 (12,52%)
3.755.187
5
2007/2008
1.997.150
1.224.098 (61,29%)
773.053 (38,71%)
530.293 (12,12%)
4.375.354
6
2008/2009
1.841.531
960.652 (52.16%)
880.879 (47,83%)
-
4.281.695
7
2009/2010
1.988.429
1.024.379 (51,52%)
964.050 (48,48%)
-
4.337.039
8
2010/2011
2.388.541
-
-
-
4.581.351

  1. Kontradiksi Normatif Antara RUU Pendidikan Tinggi Dengan Konvenan Ekosob dan UUD 1945
Kovenan Ekosob pasal 13 ayat (2) huruf a sampai c, dimana Negara wajib menyediakan pendidikan secara gratis untuk pendidikan dasar serta pengadaan pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi cuma-cuma secara bertahap. Dengan demikian, terdapat dua dimensi kewajiban Negara, yang pertama adalah bahwa kewajiban itu harus dilakukan dengan melakukan tindakan aktif. Sementara yang kedua, Negara justru harus pasif dan tidak melakukan intervensi untuk menghormati hak atas pendidikan itu sendiri. Sehingga, terdapat aspek dimana dibutuhkan campur tangan dan peran serta aktif Negara dalam pemenuhan hak atas pendidikan. Keberlakuan Kovenan Eksosob ini adalah sama dan setara dengan Undang-undang, sejak diratifikasinya melalui UU No. 11 Tahun 2005. Artinya, semua pasal yang ada di Kovenan Ekosob bersifat mengikat dan harus dipatuhi layaknya Undang-undang yang dibuat DPR dan Presiden. Dengan demikian, kewajiban Negara terhadap penyediaan pendidikan, tidak hanya berhenti pada pendidikan dasar atau menengah, namun juga pada pendidikan tinggi.  
Kewajiban bagi Negara pihak untuk mengusahakan pendidikan tinggi yang gratis itu jelas harus dilaksanakan. Dengan kata lain, pemerintah sebagai mebuat kebijakan sama sekali tidak dapat membentuk kebijakan yang justru menegasikan perannya dalam penyediaan pendidikan tinggi secara gratis, dan mengalihkan tanggung jawab pendanaan pendidikan tinggi kepada masyarakat.  Sebagaimana disebutkan dalam The Limburg Priciples on The Implementation of The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights[viii] kegagalan negara dalam pemenuhan hak atas pendidikan dapat  dikarenakan tindakan aktif (acts of commision) atau tindakan pasif (acts of ommisison) dimana pelanggaran terjadi ketika negara tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sehingga hak tersebut tidak dapat diwujudkan.
Berdasarkan Panduan Maastricht[ix] (Maastricht Guidliness on Violation of Economic, Social, and Cultural Rights) kewajiban negara dalam Hak Ekosob meliputi kewajiban untuk memenuhi, kewajiban untuk melindungi, dan kewajiban untuk menghormati. Menurut Panduan Maastricht, kegagalan untuk menjalankan satu atau semua kewajiban tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak-hak EKOSOB.
Namun, amanat yang telah dituangkan oleh Konvenan Ekosob tidaklah terlihat dari upaya pemerintahan dibawah pimpinan SBY. Hal ini dapat kita ketahui bersama sejak RUU Pendidikan Tinggi digulirkan pada awal tahun 2011 hingga sekarang, pemerintah tidak memiliki semangat atau upaya secara bertahap untuk mewujudkan pendidikan tinggi yang cuma-cuma. Kondisi tergambar dari tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam RUU Pendidikan Tinggi malah melahirkan potensi komersialisasi pendidikan yang ditandai dengan mahalnya biaya pendidikan dengan berbagai macam varian jenis sumbangan yang harus dibayarkan oleh setiap calon peserta didik. Hal ini dikarenakan pendanaan dan alokasi untuk pembiayaan dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi baik untuk PTN dan PTS sangatlah kecil. Apalagi PTS mendapatkan dana dari pemerintah lebih kecil dari PTN. Dengan demikian, keberadaan RUU Pendidikan Tinggi per 4 april 2012 ini bertentangan dengan Konvenan Internasional yang sudah diratifikasi dan di Undangkan sendiri oleh SBY sendiri. Inilah watak dari rezim boneka yang hanya mementingkan kepentingan kapitalis monopoli internasional.
Sedangkan, pelanggaran pun dapat terjadi jika RUU Pendidikan Tinggi disahkan karena bertentangan dengan UUD 1945. Diksriminasi dalam akses pendidikan yang terpesan secara eksplisit dalam RUU Pendidikan Tinggi pada pasal 73 ayat 1, Setiap PTN wajib menerima calon mahasiswa Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi tetapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% dari jumlah seluruh mahasiswa baru yang tersebar pada semua program studi. Sedangkan untuk di PTS, diserahkan pada mekanisme yang ditetapkan oleh badan penyelenggara yang bersangkutan seperti yang termuat dalam pasal 72 ayat 6.
Dari pasal 73 ayat 1 tersebut, secara jelas bahwasanya pemerintah telah melakukan pelanggaran konstitusional. Hal ini dikarenakan dalam pasal 31 ayat 1 UUD secara tegas menegaskan bahwasanya setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan. Namun, dalam pasal yang tercantum dalam RUU PT tersebut pemerintah telah menegasikan calon peserta didik yang kurang mampu secara ekonomi dan lemah dalam akademik. Padahal sejatinya pendidikan merupakan proses pengembangan potensi dan kapabilitas setiap peserta didik di setiap penyelenggaraan pendidikan. Jika hal tersebut diterapkan mak, penyelenggaraan pendidikan tinggi tak ubahnya sebuah pabrik yang hanya memilih bahan-bahan baku yang berkualitas agar outputnya pun berkualitas. Namun, hal tersebut sekali lagi telah mencederai semangat dari UUD 1945 pasal 31 yang menginginkan setiap warga negara Indonesia dapat berpartisipasi dalam pengembangan kebudayaan dan teknologi bangsa dengan mengikuti setiap jenjang penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Terakhir, perihal penyimpangan UUD 1945 pasal 31 ayat 4 tentang tanggung jawab pemerintah dalam membiayai penyelenggaraan pendidikan. Hal ini termuat dengan pasal 75 ayat 1 huruf c yang menjelaskna bahwa pemerintah memberikan pinjaman tanpa bunga kepada mahasiswa untuk biaya pendidikan dan dikembalikan setelah mendapatkan pekerjaan. Upaya tersebut tentu sangat bertentangan dengan UUD 1945 pasal ayat 4. Padahal senyatanya jika pemerintah memang konsisten ingin membiayai penyelenggaraan pendidikan khususnya kepada peserta didik yang sedang menempuh jenjang pendidikan tinggi harusnya dalam bentuk subsidi secara langsung tanpa harus dikembalikan. Konsep pemberian pinjaman kepada mahasiswa untuk membayar biaya kuliah
  1. Potensi Komersialisasi di Dalam Tubuh Pendidikan Tinggi
Komersialisasi secara diksi mengandung makna adanya pertukaran atas kesepakatan (dalam hal diperdagangkan) untuk menikmati barang atau jasa dengan sejumlah uang atau barang sebagai pengganti dari pemakaian barang dan jasa. Dengan menggunakan diksi komersialisasi pada dunia pendidikan di Indonesia tentunya merupakan yang sangat tepat. Hal ini dikarenakan sekarang untuk menikmati jasa pelayanan publik seperti pendidikan haruslah memberikan balasan berupa uang atas pemakaian jasa yang bernama pendidikan.
Dalam RUU Pendidikan Tinggi sangat jelas dan kentara sekali akan praktek komersialisasi pendidikan tinggi di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan adanya pengikutsertaan masyarakat dalam mendanai penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia dalam bentuk sumbangan[1]. Selain sumbangan, juga ada SPP, Pratikum dan biaya-biaya lainnya yang dibayarkan setiap semester yang memiliki tendensi kenaikan jumlah atau besaran tiap tahunnnya atau tiap ajaran baru.
Berdasarkan data yang kami himpun dari tahun ajaran 2009/2010 hingga tahun ajaran 2011/2012 biaya pendidikan untuk perguruan tinggi nominal yang harus dibayarkan cukup besar. Berikut data biaya pendidikan untuk Strata 1 (S1) yang berhasil kami peroleh:

Tabel II
Biaya Pendidikan di Sejumlah Perguruan Tinggi

No
Nama Universitas
Nominal Biaya Pendidikan (registrasi ulang)
Nominal Biaya Pendidikan (per semester)
Keterangan
1
Universitas Negeri Malang
Rp 6 juta – Rp 12 juta
Rp 1,5 juta – Rp 2 juta
Tahun ajaran 2010/2011
2
Universitas Andalas
Rp 3 juta – Rp 27 juta
Rp 1,5 juta – Rp 3 juta
Tahun ajaran 2010/2011
3
Universitas Sriwijaya
Rp 3,6 – 68 juta
Rp 1,1 juta – 6,7 juta
Tahun ajaran 2009/210
4
Universitas Brawijaya
Rp 13 juta – 168 juta
Rp 1,6 juta – Rp 8,5 juta
Tahun ajaran 2011/2012
5
Universitas Pendidikan Indonesia
Rp 12 juta – Rp 14 juta
Rp 3,4 juta hingga Rp 6,2 juta
Tahun ajaran 2010/2011
6
Universitas Negeri Mataram
Rp 5 juta – Rp 7 juta
Rp 1 juta hingga Rp 2 juta
Tahun ajaran 2010/11
7
Universitas Gajah Mada
Rp 4,6 Juta – Rp 100 juta
Rp 1,7 juta – Rp 2,5 juta
Tahun ajaran 2011/2012
8
Universitas Jenderal Soedirman
Rp 2,5 juta – Rp 250 Juta
Rp 1,2 juta – Rp 4 juta
Tahun ajaran 2010/2011
9
Universitas Negeri Jakarta
Rp 4 juta – Rp 30 juta
Rp 1,8 juta –Rp 3,1 juta
Tahun ajaran 2009/2010
10
Universtias Padjajaran
Rp 5 juta – Rp 70 juta
Rp 2 juta – Rp 10 juta
Tahun ajaran 2009/2010
11
Universitas Diponegoro
Rp 5 juta – Rp 100 juta
Rp 1 juta – Rp 5 juta
Tahun ajaran 2009/2010
12
Univeritas Negeri Yogyakarta
Rp 3,5 Juta – Rp 30 juta
Rp 1,5 juta – 4 juta
Tahun ajaran 2009/2010
13
Institut Teknologi Surabaya
Rp 5 juta – Rp 75 juta
Rp 1 juta – Rp 10 juta
Tahun Ajaran 2009/2010
14
Universitas Negeri Medan
Rp 5 juta – Rp 55 juta
Rp 1,5 juta – Rp 3,5 juta
Tahun ajaran 2009/2010
15
Universitas Indonesia
Rp 11,2 juta – Rp 33,2 juta
Rp 5,1 juta – Rp 7,6 juta
Tahun ajaran 2010/2011
16
Universitas Sumatera Utara
Rp 7,5 juta – Rp 80 juta
Rp 2 juta – Rp 7,5 juta
Tahun ajaran 2010/2011
* Sumber diolah dari surat keterangan tentang biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh masing-masing Rektor.
Dari biaya pendidikan yang harus dibayar oleh peserta didik yang nominal terbilang cukup besar tentunya akan mempengaruhi akses masyarakat untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Dengan keberadaan RUU PT akan semakin melegalkan bentuk, ragam dan besaran nominal biaya pendidikan yang cukup bahkan sangat memberatkan bagi calon peserta didik atau orang tua mahasiswa yang ingin mengkuliahkan anak-anaknya. Dengan demikian, akan semakin memunculkan pola pikir pada masyarakat bahwa perguruan tinggi hanya untuk golongan masyarakat yang mampu. Serta, melanggengkan paradigma yang ada dimasyarakat bahwa pendidikan khususnya perguruan tinggi harus mahal dan masyarakat harus bertanggung jawab untuk mendanai biaya operasional perguruan tinggi. Hal ini tentunya dengan jumlah peserta didik di jenjang Perguruan tinggi yang saat ini hanya sebanyak 4,2 juta jiwa. Malah akan memperbesar jurang akses pendidikan tinggi bagi masayarakat yang tidak mampu secara ekonomi.
  1. Jalan Keluar Atas Penolakan RUU Pendidikan Tinggi
Sistem pendidikan nasional merupakan satu kesatuan rangkain penyelenggaraan pendidikan nasional (pendidikan formal) yang dimulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Penyelenggaraan pendidikan tinggi tidak terlepas dengan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah. Hal ini dikarenakan penyelenggaraan pendidikan tinggi merupakan satu kesatuan dari sistem pendidikan nasional yang tidak bisa dipisahkan secara khusus dalam bentuk jenjang pendidikan. Dengan mengacu pada UUD 1945 pasal 31 ayat 3 yang mengamanatkan bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan nasional haruslah dalam satu sistem yang utuh dan berkesenambungan. Jika RUU Pendidikan Tinggi disahkan maka bukanlah jawaban atas persoalan-persoalan yang ingin diselesaikan seperti minimnya partisipasi pendidikan tinggi, pengelolaan perguruan tinggi, sumber dan alokasi pendanaan serta pembiayaan penyelenggaraan pendidikan tinggi, rendahnya lulusan perguruan tinggi, minimnya kontribusi pendidikan tinggi terhadap perkembangan kebudayaan dan teknologi bangsa dan sebagainya.
Namun, perlu kita sadari bersama keberadaan UU no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional belumnya mampu menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini. Untuk itu, UU no 20 tahun 2003 perlulah direvisi agar persoalan-persoalan yang dihadapi secara khusus dalam penyelengaraan pendidikan tinggi dapat terakomodir dalam satu UU yang juga melingkupi jenjang pendidikan dasar dan menengah sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Sebagai upaya untuk menyelesaikan persoalan pendidikan secara umum dan komprehensif maka dalam UU Sisdiknas yang baru harus diperhatikan pada beberapa aspek pendukung penyelenggaraan pendidikan nasional (dasar hingga tinggi). Aspek tersebut yakni : a) fasilitas, b) kurikulum, c) sumber dan alokasi pendanaan, d) metode pembelajaran, e) tenaga pengajar dan karyawan, f) pengelolaan, g) beban/tanggung jawab masyarakat, h) orientasi, g) perangkat hukum turunan (PP). Tentunya dalam pelaksanaan revisi atas sistem pendidikan nasional harus mampu mengedepankan kepentingan nasional dan rakyat yang terbebas dari kepentingan asing atau dalam hal ini pengaruh dari hasil ratifikasi GATS. Upaya ini ditujukan agar penyelenggaraan pendidikan tinggi yang diatur dalam UU sisdiknas yang baru mampu menciptakan tenaga-tenaga ahli yang dapat mengembangkan kebudayaan dan teknologi bangsa, meningkatkan partisipasi masyarakat, tingginya kontribusi lulusan perguruan tinggi terhadap masyarakat dan lain-lain.



[1] Sumbangan masuk mulai dilakukan ketika UI, ITB, IPB dan UGM menjadi PT BHMN. Lalu diikuti oleh PTN-PTN lainnya sejak tahun 2003 hingga sekarang. Sumbangan biasanya dikenakan kepada orang tua peserta didik ketika akan mendaftarkan setelah diterima melalui ujian mandiri. Sumbangan ini pula dilakukan dengan mengkelas-kelaskan seperti tingkat 1 harus membayar Rp 1 juta – Rp 5 juta, tingkat 2 harus membayar Rp 5 juta hingga 10 juta dan seterusnya. Namun pada perkembangannya bagi calon peserta didik yang diterima melalui ujian secara nasional pun dikenakan sumbangan yang serupa atas dasar prinsip persamaan dan subsidi silang.


[i] Muhammad Rifa’I, Sejarah Pendidikan Nasional, Cet. I. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011. Hal, 265.
[ii] Naskah akademik RUU Pendidikan Tinggi per 22 maret 2011 yang dikeluarkan oleh Kemendikbud.
[iii] Biaya investasi meliputi pengadaan sarana dan prasarana dan sumber belajar.
[iv] Lihat Kompas tanggal 2012
[v] Penduduk hampir misikin merupakan penduduk yang bisa jatuh dalam penduduk miskin akibat tidak mampu memenuhi garis kemiskinan yakni pada periode Maret 2011 sebesar Rp 233.740.
[vi] Lihat Kompas tanggal 6 Juli 2011
[vii] Sumber dari Kemendikbud
[viii] The Limburg Principles on The Implementation of The International Covenant on Economic, Social, and Cultural rights”. Human Quarterly vol 9 (1987). hal 121-135
[ix] Audrey R Chapman. ”Indikator dan Standar Untuk Pemantauan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya”, Jurnal HAM vol 1 (Oktober 2005) hal 72

Tidak ada komentar:

Posting Komentar