FRONT MAHASISWA NASIONAL (FMN)
“Pemuda dan
Mahasiswa, Berjuang bersama Rakyat-Tolak Kenaikan Harga BBM, Lawan Pemerintah Komprador anti
Rakyat SBY-Boediono”
Naikkan Upah
Buruh, Laksanakan Reforma Agraria Sejati dan, Realisasikan 20% Anggaran
Pendidikan Untuk Rakyat!!
A.
Pendahuluan
Di tengah badai krisis ekonomi dunia yang semakin akut dan krisis
dalam negeri yang semakin kronis, rakyat Indonesia telah dihantam dengan
berbagai bentuk kebijakan dan regulasi yang hanya menguntungkan Imperialisme, borjuasi
komprador dan Tuan tanah didalam negeri serta Rezim boneka itu sendiri yang
juga telah mengambil keuntungan besar sebagai kapitalisme birokrat. Sementara
itu, rakyat selalu menjadi korban atas setiap kebijakan tersebut. Dalam situasi
dan kenyataan demikian, saat ini rakyat Indonesia kembali mendapatkan pukulan
telak melalui kebijakan terbaru dari rezim saat ini, yaitu kebijakan akan akan
rencananya untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang akan ditetapkan
pada tanggal 1 April mendatang.
Kebijakan
tersebut tentunya jelas akan sangat merugikan bagi Rakyat dan berdampak luas
bagi penderitaan mayoritas rakyat Indonesia yang miskin. Terlebih kebijakan
tersebut kemudian akan disusul dengan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) dalam
waktu yang tidak lama. Harus menjadi catatan kita bahwa, rencana kenaikan harga
BBM saat ini akan menjadi kenaikan yang
keempat kalinya dalam dua Periode/selama pemerintahan rezim boneka anti
rakyat yang bernama “Susilo Bambang
Yudhoyono” saat ini, yakni pada: Maret 2005, Oktober 2005, dan Mei 2008 yang
tujuannya tidak lain adalah penghapusan subsidi kepada rakyat.
Secara umum, dengan alasan bahwa naiknya harga
minyak dunia telah memberikan dampak besar pada harga minyak dalam Negeri. Pemerintah
kemudian telah dengan sigap memberikan respon lansung (Menaikkan harga minyak dalam negeri) dengan dalih untuk
menyelamatkan anggaran yang membengkak karena tingginya subsidi yang ditanggung
oleh Negara dan untuk meningkatkan pertumbuhan Ekonomi, sehingga tampak Negara
seakan berada di jalan buntu dan tidak ada jalan lain selain menaikkan harga dan
pemotongan subsidi BBM tersebut. Dengan cara demikian tersebut (Salah
satunya), Rakyat kemudian dipaksa untuk “Nerimo dan Legowo”
Kebijakan sesat yang mencekik tersebut.
Sampai sekarang bahkan pemerintah terus berupaya dengan berbagai
cara untuk merasionalkan alasannya, termasuk upaya-upaya untuk meredam
bangkitnya gerakan rakyat yang semakin meluas menolak kenaikan harga BBM
tersebut. Namun apapun alasan dan dasar pikirnya kebijakan tersebut adalah kebijakan
anti-rakyat yang harus dilawan oleh seluruh rakyat Indonesia. Sebab kenyataannya (Dari pengalaman
3 kali kenaikan harga BBM yang telah lalu)
kebijakan tersebut telah mengantarkan rakyat semakin jauh terperosok kedalam
jurang kemiskinan dan penderitaan. Bagaimana tidak,
dengan Total prosentase rata-rata angka
kenaikan harga tersebut menunjukkan angka yang sangat fantastis yaitu ± 183,76% hanya dalam rentang waktu
tiga tahun (2005-2008), dengan
perincian tiap-tiap angka kenaikannya yaitu Maret 2005 ± 29%, Oktober 2005 ± 126,06%, dan Mei 2008 ± 28,7%.
Kebijakan SBY sebagai rezim anti-rakyat yang keras kepala
menaikkan harga BBM saat ini, tidak mungkin dipisahkan dari perkembangan
situasi internasional yang memicu kenaikan harga minyak dunia, sebagai skema
umum imperialisme di Indonesia terkait penguasaan sumber-sumber energi (migas)
dan dasar kebijakan atas politik anggaran (APBN). Sudah menjadi pengetahuan
umum bahwa perusahaan tambang minyak di Indonesia telah didominasi oleh
perusahaan asing khususnya milik imperialis AS. Situasi ini mencerminkan
kedudukan imperialis AS sebagai kekuatan monopoli tunggal dunia yang paling
rakus dan barbar dalam menguasai sumber energi terpenting seperti minyak.
Dengan jalan damai atau perang, imperialis AS telah terbukti menjadi perampok
terbesar sumber kekayaan alam dunia bernama minyak dan tanpa saingan yang
sepadan. Tak terkecuali di Indonesia, perusahaan besar milik kapitalis monopoli
dunia dari AS telah menjadi penguasa tunggal di sektor pertambangan di
Indonesia seperti emas, minyak, gas bumi, dsb.
Selama dalam kekuasaannya, pemerintah SBY sebagai pemerintah
boneka AS, tidak terhitung jasanya dalam memastikan kepentingan kapitalis
monopoli AS semakin intensif dalam mengeksploitasi alam dan rakyat Indonesia,
termasuk monopoli atas tambang minyak. Pengesahan dan perpanjangan kontrak
karya kuasa pertambangan minyak seperti terhadap Chevron dan Exxon Mobile juga terjadi
pada masa pemerintah SBY yang membuktikan pengabdian besar SBY terhadap
majikannya, imperialis AS. Selama berkuasa, budak imperialis ini (SBY) telah menunjukkan
konsistensinya sebagai pemerintah boneka dalam melayani dan menyelamatkan
perekonomian negeri imperialis dari badai krisis yang mereka derita akibat
kerakusannya sendiri. Dan sebaliknya, SBY bertindak sebagai musuh nomer 1 bagi
rakyat Indonesia melalui seluruh tindakan politiknya yang semakin menjauhkan
rakyat dan negeri dari kemandirian dan kedaulatannya.
Sementara kebijakan menghapuskan subsidi atas BBM, tidak lebih
hanya akal bulus SBY dalam mengutak-atik politik anggarannya agar sesuai dengan
kepentingan klik-nya yang sedang berkuasa dan skema yang dikehendaki oleh
imperialis. Seluruh dasar pikir dan kebijakan yang diterapkan dalam mengawal
kenaikan BBM ini, secara tak terbantahkan pada akhirnya adalah meningkatnya
penderitaan rakyat; semakin meluasnya kemiskinan dan pengangguran. Kenaikan BBM
membawa dampak umum kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok yang jauh dari
daya jangkau upah buruh maupun pendapatan kaum tani Indonesia yang mayoritas
miskin. Kebijakan kenaikan BBM ini semakin menyerang kepentingan klas buruh,
semi-proletar, kaum tani Indonesia, pengusaha kecil dan menengah, suatu
kebijakan yang dijalankan di atas kebijakan politik upah buruh murah, perampasan tanah besar-besaran dan pemberian
hak-hak istimewa terhadap seluruh perusahaan asing.
Atas dasar pendirian dan sikap yang terang bahwa kebijakan SBY
menaikkan BBM adalah melawan kepentingan rakyat umum, maka seluruh rakyat
memiliki kepentingan obyektif dan tunggal secara nasional dengan menolak dan
melawan kebijakan menaikkan BBM ini. Demikian pula bagi Pemuda dan Mahasiswa,
selain sebagai salah satu golongan yang juga tidak dapat menghindar dari dampak
kebijakan tersebut, juga harus secara aktif dan dengan kesadaran yang tinggi
harus ambil bagian dalam gerakan tersebut.
B.
Membantah Alasan Palsu Pemerintah
SBY di Balik Kenaikan Harga
BBM
Apa alasan utama pemerintah
SBY menaikkan harga BBM?
Alasan pertama), Membengkaknya jumlah subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) akibat naiknya harga minyak dunia. Dalam menghitung APBN
2012, (Berdasarkan
asumsi harga Minyak Indoneisa/Indonesian Crude Price “ICP”) pemerintah dan DPR menyepakati
harga minyak mentah Indonesia sebesar US$ 90 per barel sebagai patokan.
Kenyataannya, selama Februari rata-rata harga minyak mentah Indonesia saat ini
sudah US$ 122,17 per barel. Sedangkan konsumsi solar dan premium juga meningkat
dari 35,8 juta kiloliter pada 2010 menjadi 38,5 juta kiloliter pada 2011 lalu.
Akibatnya, subsidi untuk solar dan premium sepanjang 2012 akan melonjak dari Rp
123,6 triliun menjadi 191,1 triliun. Jika harga minyak dunia terus naik,
subsidi akan membengkak diluar kemampuan anggaran negara. Padahal, pengeluaran
akan lebih bermanfaat bila dipakai untuk keperluan lain seperti pembangunan
jalan, jembatan, dermaga, atau pelayanan pendidikan.
Alasan kedua), Masyarakat yang kurang mampu
akan menikmati manfaat lebih besar jika harga premium dan solar lebih tinggi.
Sebab masyarakat kurang mampu bukan konsumen premium maupun solar yang
terbesar. Pemerintah SBY juga senantiasa menyebutkan bahwa subsidi BBM tidak tepat
sasaran, karena 77% konsumsi BBM bersubsidi digunakan oleh kelas menengah ke atas atau yang memiliki
mobil pribadi. Sehingga asumsi yang dibangun pemerintah atas kenaikan BBM agar
subsidi BBM lebih tepat sasaran.
Alasan ketiga), Harga jual solar dan premium
yang terlalu rendah dibanding harga diluar negeri juga cenderung mendorong
penyelundupan dan penyelewengan solar dan premium yang seharusnya diperuntukkan
konsumen dalam negeri. Mereka yang mendapatkan manfaat dari subsidi adalah para
penyelundup dan penyeleweng.
Alasan keempat),
Penerimaan dari migas semakin kecil karena produksinya menurun sementara
subsidinya justru makin meningkat karena konsumsi semakin besar.
Demikianlah alasan kenaikan harga BBM sekaligus menjelaskan cara
berpikirnya pemerintah SBY yang anti-rakyat dan dangkal, sepotong dan tidak
konsisten. Bagaimana kita membantah semua kebohongan ini?
Bantahan Pertama), Dasar kenaikan harga BBM terkait
dengan kebijakan subsidi yang membengkak karena kenaikan harga minyak dunia
adalah omong kosong besar karena Indonesia adalah termasuk negara produsen yang
seharusnya diuntungkan dengan kenaikan harga minyak dunia. Selama ini pemerintah
menutup-nutupi berapa keuntungan tambahan yang didapat dari naiknya harga
minyak dunia. Bila masalahnya adalah patokan harga minyak mentah Indonesia yang
dipatok sebesar US$ 90 per barel, dan harus disesuaikan dengan kenaikan harga
yang baru, kebijakan ini bisa ditetapkan tanpa harus menaikkan harga BBM yang
sangat merugikan rakyat umum. Artinya, dasar alasan menaikkan harga BBM bila
dihubungkan dengan defisit anggaran APBN tidak menemukan alasan yang obyektif
bila didasarkan pada kenaikan keuntungan yang didapat oleh Indonesia sebagai
negara produsen minyak mentah. Masalahnya adalah pemerintah SBY tidak bisa
dipercaya, manipulatif dan tidak berpihak pada kepentingan umum rakyat
Indonesia.
Bantahan kedua), Bahwa rakyat kecil bukan
konsumen utama premium dan solar, sehingga subsidi bahan bakar ini hanya
menguntungkan orang kaya Indonesia. Apakah benar rakyat Indonesia yang pada
umumnya adalah rakyat miskin tidak diuntungkan oleh subsidi BBM? Bila alasannya
adalah subsidi yang tidak tepat sasaran, mengapa kenaikan BBM tidak mengarah
pada mempertahankan subsidi bagi konsumen rakyat miskin dan menghapus subsidi
pada warga kaya, namun menaikkan secara pukul rata kemudian dampaknya yang menderita
rakyat umum yang mayoritas miskin?
Dari data yang terhimpun, konsumsi BBM paling besar diduduki oleh
sektor transportasi dengan kecenderungan yang terus meningkat secara signifikan
dari tahun ke tahun. Konsumen di sektor transportasi yang mengalami peningkatan
pesat adalah kendaraan bermotor kemudian disusul oleh mobil (lihat, tabel. 1).
Patut dicatat bahwa pengguna terbesar kendaraan bermotor adalah mayoritas
rakyat dengan pendapatan yang minim; mereka yang mayoritas membeli kendaraan
dengan cara kredit. Artinya, kenaikan BBM akan dengan segera memukul pendapatan
mayoritas rakyat pengguna kendaraan motor yang sangat bergantung pada BBM.
Sementara pengguna solar yang tidak kalah besar adalah mayoritas nelayan
tradisional yang miskin di negeri maritim ini. Pembelian BBM bagi operasional
nelayan mencapai 50-60 persen dari biaya produksi. Kenaikan harga solar secara
pasti memukul kaum nelayan miskin.
Sedangkan sektor industri bahkan mengalami kecenderungan menurun,
menurut data yang dihimpun hingga tahun 2009. Karakter industri dalam
masyarakat setengah feodal yang didominasi oleh industri milik asing, mengalami
pasang surut yang tidak menentu sebagai akibat krisis keuangan global yang
memukul negeri-negeri imperialis seperti AS dan Uni Eropa; sementara banyak
industri nasional yang mengalami kebangkrutan akibat badai krisis ekonomi
kronis yang terjadi di dalam negeri dan dampak dari krisis keuangan yang
terjadi sejak tahun 2008.
Tabel I: Penjualan Mobil dan
Motor (2008-2011)
No
|
Tahun
|
Mobil
|
Motor
|
Jumlah
|
1
|
2008
|
603.774
|
6.215.831
|
6.819.605
|
2
|
2009
|
486.061
|
5.881.777
|
6.367.838
|
3
|
2010
|
764.710
|
6.881.893
|
7.646.603
|
4
|
2011
|
813.856
|
7.580.104
|
8.393.960
|
Sumber : Kompas, 12 Maret 2012
Bantahan ketiga), Menurut pemerintah, harga jual
premium dan solar yang terlalu rendah di dalam negeri telah mendorong
kecenderungan penyelundupan dan penyelewengan, sehingga subsidi BBM hanya
menguntungkan para penyelundup dan penyeleweng. Sungguh alasan dangkal dan tak
bertanggung jawab yang menunjukkan Pemerintah SBY tidak memiliki kapasitas
dalam penegakkan hukum untuk menangkap dan menindak para penyelundup dan
penyeleweng BBM di dalam negeri. Sungguh argumen yang tak tahu malu bila
ketidakmampuan Pemerintah SBY ini dicarikan solusi dengan menaikkan harga BBM.
Lantas apa pekerjaan aparat hukum dari intelejen, kepolisian, tentara di
wilayah perbatasan bila mereka tidak sanggup menangkap para penyelundup dan
penyeleweng BBM ke luar negeri? Sekali lagi kita menemukan dasar argumen yang
paling dangkal dan solusi yang justru merugikan rakyat pada umumnya.
Bantahan keempat), Pemerintah beralasan bahwa
kenaikan BBM disebabkan oleh semakin kecilnya pendapatan dari sektor migas
karena produksinya yang menurun, sementara jumlah subsidi semakin besar.
Masalah ini mengemukakan sebagai akibat dari kebijakan Pemerintah SBY sendiri
yang membudak pada imperialis dengan menyerahkan bulat-bulat seluruh kekayaan
alam minyak dan gas kepada pihak asing. Penurunan produksi sangat berkaitan erat
dengan siapa yang memonopoli sumber minyak kita. Apakah Pemerintah SBY pernah
melakukan langkah politik untuk menyelamatkan migas nasional dengan jalan
menghambat perusahaan migas asing, atau menasionalisasi perusahaan asing yang
merampok dan merugikan rakyat Indonesia tersebut? Terdengar seperti ratapan
hina seorang pengemis, Pemerintah SBY yang membuka lebar-lebar investasi asing
untuk menguasai migas nasional, kemudian dia sendiri yang meratapi penurunan
jumlah pendapatan dan produksi migas nasional. Dan lebih hina lagi, omong
kosong inilah yang dijadikan alasan untuk menaikkan harga BBM dan bukan dengan
melakukan kebijakan penguasaan kembali seluruh sumber minyak nasional untuk
kepentingan nasional sebagai solusi dengan jalan melawan dominasi asing.
Tabel 2, Jumlah dan Penghasil Produksi Minyak Bagi Indonesia
No.
|
Perusahaan Penghasil Minyak
|
Jumlah Produksi Barrel
per Hari
|
1.
|
PT Chevron
Pacific Indonesia
|
357.000
|
2.
|
PT
Pertamina (EP)
|
135.000
|
3.
|
Total
Indonesia E&P (Kaltim)
|
86.000
|
4.
|
ConocoPhillips
Blok B (Natuna)
|
45.000
|
5.
|
CNOOC. SES
|
38.000
|
6.
|
Chevron
Indonesia Co
|
28.300
|
7.
|
PHE (ONWJ)
|
35.000
|
8.
|
Medco
Sumatera (Rimau & SSE)
|
22.960
|
9.
|
BOB
Sumatera-Bumi Siak Pusako
|
17.000
|
10.
|
Petrochina
International (Jabung)
|
17.300
|
11.
|
Mobil Cepu
Ltd (Pertamina dan Exxon Mobile Oil)
|
22.000
|
12.
|
Vico
(Sanga-Sanga)
|
15.000
|
13.
|
PHE West
Madura Offshore
|
23.000
|
14.
|
ConocoPhillips
Sumatera (Corridor Blok)
|
12.200
|
15.
|
JOB
PetroChina East Java (Tuban)
|
11.000
|
16.
|
Kondur
Petroleum
|
7.600
|
17.
|
PetroChina
Bermuda (Papua)
|
6.190
|
18.
|
BP
Indonesia Tangguh
|
5.400
|
19.
|
Star
Energy (Kakap)
|
4.500
|
20.
|
ExxonMobil
Oil (Aceh)
|
2.420
|
(Sumber: Kementrian
ESDM http://www.esdm.go.id/berita/migas/40-migas/4921-20-kkks-tumpuan-produksi-minyak-2012.html, tanggal 13 September 2011)
Keterangan:
Angka yang ditunjukkan pada kolom tiga dalam
tabel diatas (Jumlah Produksi minyak per Barrel per Hari) adalah Jatah
pembelian yang diberikan kepada Indonesia dari setiap perusahaan minyak asing
yang beroperasi di dalam Negeri, yang kemudian dijelaskan oleh Pemerintah
sebagai hasil produksi minyak dalam Negeri (Ada pada bagian berikutnya) yang
mencapai sekitar 910.000 –
920.000 barel per hari. Sehingga
harus melakukan Imprort sebesar 400.000 Barrel/hari, untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi minyakdalam Negeri yang mencapai 1,3 juta barrel/hari.
C.
Monopoli minyak dalam negeri oleh perusahaan asing milik imperialis adalah
sebab utama kenaikan harga BBM
Selama ini
pemerintah Indonesia melakukan impor minyak sebesar 400.000 barel/hari untuk
menutup kekurangan konsumsi minyak harian Indonesia yang mencapai 1,3 juta
barel per hari, sedangkan produksi minyak dalam negeri selama ini hanya sekitar
910.000 – 920.000 barel per
hari. Hal
tersebut menjadi alasan kenaikan harga BBM di dalam negeri sebesar Rp 1.500
untuk premium dan solar, karena tingginya harga minyak dunia. Monopoli atas produksi
hingga distribusi minyak telah menyebabkan harga minyak naik, dan bukan sekedar
akibat turunnya volume produksi maupun ulah spekulan di pasar minyak
internasional.
Monopoli
telah menyebabkan produksi
dan penentuan harga sepenuhnya dikendalikan oleh kartel–kartel besar milik imperialis,
bahkan negara penghasil atau produsen minyak pun tidak akan sanggup mengubah kebijakan harga di
luar
ketentuan dari kartel milik imperialis tersebut. Minyak sebagai komoditas
penting terutama untuk industri dan transportasi telah sejak lama berada di bawah kendali
kapitalisme monopoli. Kebutuhan super besar untuk menggerakan industri dan
transportasi milik imperialis sesungguhnya dibarengi dengan pengendalian
sepenuhnya atas industri minyak di seluruh dunia.
Dimulai dari
proses produksi dan penguasaan cadangan minyak yang selama ini dipegang oleh
perusahaan–perusahaan minyak milik Imperialis terutama melalui AS, dahulu ada
istilah 7 sisters (Standard Oil of New Jersey, Royal
Dutch Shell, Anglo Anglo Persian Oil Company (sekarang BP), Standard Oil of
New York (Exxon Mobile), Standard Oil of California (Chevron), Gulf Oil dan
Texaco) yang menguasai lebih dari sepertiga produksi dan cadangan minyak dunia
yang seiring dengan krisis yang berkepanjangan yang menghasilkan merger, maka
seven sisters terus berkurang dan hanya menyisakan Exxon Mobil, Shell, BP,
Chevron dan Conocco Phillips.
Meskipun
banyak pihak yang menyebutkan bahwa seiring berdirinya OPEC dan munculnya “new seven sisters” yang terdiri dari Saudi Aramco (Arab Saudi), Gazprom (Rusia), CNPC (China),
NIOC (Iran), PDVSA (Venezuela), Petrobras (Brazil) dan Petronas (Malaysia) meruntuhkan dominasi imperialis AS atas monopoli minyak di dunia.
Kenyataannya tidaklah demikian, apalagi dominasi bukan sekedar hanya dari
proses produksi semata, monopoli telah
dilakukan imperialis dari hulu hingga hilir.
Exxon Mobil saja memiliki cabang hampir
di seluruh dunia, dengan pegawai
mencapai lebih dari 120.000 dan enam divisi besar yang masuk dalam tiga
kategori Upstream, Downstream dan Chemical
yang bergerak dari hulu hingga hilir. Penghasilan Exxon di tahun 2005
saja sebesar US$ 36,13 miliar, sedikit lebih kecil dari PDB
Azerbaijan, sedangkan pendapatannya lebih besar dari PDB Arab Saudi. Sedangkan
tahun 2010, Exxon Mobil meraup keuntungan sebesar US$ 19,28 Miliar yang didapat
dari total revenue sebesar US$275,56 Miliar. Termasuk di Indonesia, perusahaan
minyak imperialis seperti Exxon, Shell, BP, ConoccoPhillip dan Chevron telah
menggurita.
Sesungguhnya instrumen kekuasaan
imperialis AS untuk
memonopoli industri minyak dunia tidak hanya sebatas melalui
perusahaan–perusahaan minyaknya saja. Bahkan imperialis AS menggunakan pasar sebagai intrumen
pengendali industri minyak dunia, melalui pasar minyak terbesar NYMEX (New York
Merchantile Exchange) di New York dan ICE (Intercontinental Exchange) Future di
London (pemilik ICE ini merupakan perusahaan yang berbasiskan di Atlanta AS)
serta DME di Dubai. Di mana spekulan minyak terbesar
justru untuk “memainkan” harga minyak juga dikuasai oleh perusahaan keuangan
dan perbankan terkemuka di AS, tercatat empat perusahaan yaitu Goldman Sachs, Morgan Stanley, sebagai
firma dagang terkemuka serta Citigroup dan JP Morgan Chase yang menguasai lebih dari 75% spekulasi dan harga
minyak dunia.
Lembaga
keuangan seperti Goldman Sachs, Morgan Stanley, Citigroup maupun JP Morgan Case
inilah yang selama ini “memainkan” harga minyak dalam transaksi–transaksi derivatif dalam kertas–kertas yang
sesungguhnya jauh melebihi nilai riil dari harga minyak itu sendiri, semua itu
dilakukan untuk mendapatkan serta memutarkan kapital super besar di tengah
krisis. Fakta ini menunjukan bahwa harga minyak sesungguhnya dikontrol oleh
Wall Street, dan bukan oleh OPEC.
Selama ini
pertukaran minyak internasional dilakukan di NYMEX terutama untuk jenis WTI dan
di ICE Future terutama untuk jenis Brent, sekaligus menetapkan patokan
(Benchmark) atas harga kargo minyak yang diperdagangkan bebas. Peran kedua
pasar minyak tersebut dominan atas pembentukan patokan harga (Benchmark) minyak
khususnya untuk jenis crude oil West Texas Intermediate (WTI) dan North Sea
Brent (Brent), selain itu DME juga memiliki peranan yang sama sebagai
kepanjangan tangan dari NYMEX. Sekedar catatan, jenis Brent merupakan konsumsi
pasar di Eropa dan Asia, sedangkan WTI merupakan konsumsi di AS. Kedua jenis
minyak ini terutama jenis Brent, untuk penyempurnaan penyulingannya selama ini
dilakukan di pantai timur AS.
Sudah menjadi pemahaman umum bahwa ICE
selama ini merupakan partner sejati bagi penguasa – penguasa perdagangan minyak
seperti Chevron, Exxon, BP hingga Conocco Philip serta pedagang berjangka
minyak raksasa seperti Goldman Sachs, Morgan Stanley hingga Citigroup. Bahkan
tidak seperti umumnya perdagangan kertas berharga yang harus tercatat dan
teregulasi, perdagangan di ICE selama ini tidaklah teregulasi dan diserahkan
pada para pelaku pasar yang dengan seenaknya bisa memainkan harga minyak di
pasar bursa. Selama ini ICE yang juga dikenal sebagai gerombolan kriminal atau
mafia minyak selalu berlindung pada NYMEX, dan melalui OTC (over the counter) atau perdagangan surat
melalui elektronik inilah bahkan pemalsuan transaksi seperti halnya “skandal
Enron” dilakukan oleh imperialis untuk memonopoli minyak di pasar dunia.
Sehingga dari sinilah terlihat bahwa
masalah kenaikan harga minyak tidak semata–mata diakibatkan oleh berbagai sebab
yang selama ini dipropagandakan oleh imperialis
maupun pemerintah bonekanya. Masalah
tersebut hanyalah sekedar pemantik bagi munculnya spekulasi yang kemudian
digiring oleh mafia minyak imperialis untuk mendapatkan keuntungan yang
berlebih. Bahkan untuk lebih mendorong ekspektasi, perbaikan ekonomi AS sebagai
konsumen minyak terbesar di dunia pun dijadikan ukuran atas naik atau turunnya
harga minyak di pasar internasional.
Sesungguhnya
monopoli imperialisme atas minyak dunia tidak akan berjalan mudah tanpa bantuan
rejim komprador di berbagai negeri, mulai dari rejim negeri–negeri produsen
minyak dunia di
Timur Tengah hingga Afrika
tunduk di bawah
dominasi Imperialisme pimpinan AS. Hal yang sama juga berlaku di berbagai
negeri di Asia, termasuk di
dalamnya
Indonesia yang sekarang berada di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Seperti pada
umumnya pemerintah boneka di
berbagai negeri, termasuk
Indonesia, memiliki
peranan untuk membantu eksploitasi dan penindasan terhadap rakyat dan merampok
sumber bahan mentah bagi kepentingan imperialisme. Operator utama tentu saja
adalah borjuasi besar komprador yang dibantu kapitalisme birokrat dan tuan tanah yang seolah
olah menjadi pengusaha nasional akan tetapi aslinya tidak lebih dari makelar
atau calo penjual kekayaan negeri seperti Indonesia.
D.
Kenaikan BBM:Konsekwensi Pengabdian Pemerintah SBY Terhadap Imperialis
Fakta bahwa
selama ini kebijakan dari rejim SBY tidak lebih dari sekedar pengabdian yang
loyal terhadap imperalis telah banyak diketahui oleh rakyat Indonesia.
Kebijakan yang senantiasa merugikan rakyat telah banyak membuktikan bahwa SBY
adalah rejim anti rakyat. Hal tersebut berjalan seiring kekuasaan yang hanya
berorientasi atas kekayaan pribadi dan klas atau golongan semata, yang terwujud
pada akumulasi keuntungan melalui berbagai penggelapan, perampokan, penipuan
serta korupsi kekayaan negara, dengan dalih pembangunan untuk rakyat.
Di balik kebijakan kenaikan
harga BBM ini pun
sesungguhnya merupakan bagian dari skenario rejim SBY untuk melayani
kepentingan imperialis di Indonesia. Sejak awal berkuasa SBY telah menjalankan
serangkaian kebijakan yang jelas–jelas merugikan rakyat Indonesia. Khusus di
kebijakan kenaikan harga BBM yang telah ditetapkan per 1 April 2012 merupakan
skenario untuk semakin menghisap rakyat Indonesia dan menghabisi segala potensi
ekonomi rakyat yang ingin berkembang. Sejak pemerintah merencanakan pembatasan
BBM bersubsidi dua tahun lalu, di sektor hilir antrian untuk pembukaan SPBU
asing yang menjual BBM non subsidi telah antre panjang. Data BP-Migas mengungkapkan, dari lima
perusahaan migas terbesar di Indonesia, empat di antaranya adalah milik asing.
Rangking pertama produksi dipegang oleh PT Chevron Pacific Indonesia (Amerika
Serikat), diikuti PT Pertamina milik Indonesia, PT Total Indonesia E&P
(Prancis), PT CoconoPhilips (Amerika Serikat), dan perusahaan asal China,
CNOOC, SES. Tentu semua 'pemain dunia' itu bakal tergiur untuk main di
sektor hilir, mengingat keuntungan yang berlipat ganda.
Sehingga
ketika terjadi kenaikan harga BBM maka sudah tentu Pertamina akan dikepung oleh
perusahaan asing. Meskipun sampai sekarang DPR masih membatasi SPBU asing,
tetapi dengan hukum dagang milik imperialis yang berlaku, pendirian SPBU asing
yang bebas hanya tinggal menunggu waktu saja. Rencana pencambutan subsidi
memang sesuai dengan kepentingan imperialis. Sekretaris Jenderal Organizations for Economic Co-operation and Development (OECD) Angel
Guria pada 1 November 2010, dihadapan petinggi Indonesia, telah mendesak Indonesia untuk mencabut
subsidi yang dianggap tidak efektif. Dikatakan bahwa Indonesia berkomitmen untuk mencabut subsidi energi
dan mulai memenuhi target pembangunan jangka menengah. Dengan dalih bahwa
Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi terbaik ketiga di G 20,
maka sudah selayaknya Indonesia mencabut subsidi BBM.
Hal tersebut
semakin terbukti jika melihat postur anggaran antara APBN 2012 dan APBN-P 2011
dimana ternyata bukanlah subsidi (termasuk subsidi energi) yang paling
membebani anggaran negara, tetapi justru jumlah pembayaran utang yang meliputi
utang pokok dan bunga hutang. Dalam APBN 2012, total
subsidi energi sebesar Rp 168,6 T dengan rincian subisidi BBM Rp 123,6 triliun dan subsidi listrik Rp 45 triliun. Adapun pembayaran utang sebesar Rp 170,4 triliun dengan rincian bunga utang Rp 123,1 triliun dan cicilan pokok utang luar negeri Rp 47,3 triliun. Sampai di sini saja terlihat anggaran
pembayaran utang luar negeri masih lebih besar Rp 1,8 miliar jika dibandingkan
dengan anggaran subsidi energi. Akan terlihat semakin jomplang jika
dibandingkan dengan APBN-P 2011. Dalam APBN 2012 total subsidi energi Rp 168,6 triliun lebih kecil daripada total subsidi energi dalam
APBN-P 2011 yang sebesar Rp 195,3 triliun. Dari angka tersebut menunjukkan total subsidi
energi APBN 2012 mengalami penurunan 13,7 % atau senilai Rp26,7 triliun dari
total subsidi dalam APBN-P 2011. Nah, bandingkan dengan pembayaran utang yang
justru mengalami peningkatan singnifikan dari APBN-P 2011 sebesar Rp 154 triliun menjadi Rp 170,4 trilliun pada APBN 2012 atau terdapat selisih kenaikan
Rp 16,4 Triliun[1].
Bahkan gembar–gembor penghematan
anggaran sesungguhnya hanyalah sebuah kebohongan besar di hadapan rakyat,
karena faktanya selain korupsi yang akut, rejim SBY sesungguhnya paling pandai
menghamburkan uang rakyat demi keuntungan kliknya semata. Mulai dari renovasi
Istana kepresidenan sebesar 10,6 M, Pengembangan gedung Setneg yang menelen
biaya sebesar Rp 41,3 M, pengembangan rumah negara 14,7 M, perawatan gedung DPR
senilai Rp 500 M, Renovasi ruang rapat
banggar DPR dan toilet DPR yang masing–masing menelan dana Rp 20,3 Miliar dan
1,3 M, bahkan untuk parkiran saja membutuhkan biaya Rp 3 Miliar serta pengadaan
mesin foto copy di gedung parlemen membutuhkan dana hingga Rp 4 Miliar dan,
yang terakhir kita semua ingat betul adalah harga pesawat kepresidenan senilai Rp
525 Miliar.
Dalam
keadaan seperti ini, tentu rakyat akan semakin paham bahwa komprador seperti
SBY dan kroni–kroninya akan tetap memperoleh keuntungan yang besar, sekalipun
berada di tengah–tengah kemiskinan dan penderitaan rakyat. Komprador besar akan
semakin senang menjual segala kekayaan alam Indonesia untuk mendapatkan limpahan receh dan
keuntungan yang diberikan oleh tuan imperialisnya, melalui share profit,
Kontrak Karya dan berbagai kemitraan dalam pertambangan minyak di Indonesia. Lihat saja bahkan selain
melakukan import BBM memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia masih harus
membeli kebutuhan konsumsi BBM kepada berbagai perusahaan minyak yang sebagian
besar merupakan perusahaan minyak milik imperialis, seperti yang terlihat di
bawah ini.
Hal tersebut semakin miris jika dibandingkan bahwa sampai
tahun 2011, Pertamina hanya mampu memproduksi minyak sebesar
132.000 barel per hari dari 2.054 sumur yang dimilikinya. Sangat jauh bila
dibandingan dengan produksi Chevron yang memiliki 7.762 sumur dengan total
produksi mencapai 370.000 barel per hari, untuk
kebutuhan minyak dalam negeri.
Susah untuk diterima akal sehat, di tanah yang begitu kaya akan sumber energi ini kita masih
harus membeli dari pihak asing yang jelas–jelas “numpang” hidup di Indonesia
untuk memenuhi kebutuhan energi bagi rakyat. Penjualan konsesi atau kontrak
karya atas ladang–ladang minyak yang ada di Indonesia jelas hanya akan untuk
mencari keuntungan semata bagi komprador seperti SBY. Disisi lain hal tersebut
akan semakin memberikan keuntungan bagi berbagai perusahaan minyak milik
imperialis yang beroperasi di Indonesia.
Klas–klas yang diuntungkan di balik kenaikan harga BBM, yaitu:
1. Kapitalis Birokrat, seperti
SBY dan anggota kabinetnya serta pejabat tinggi negara lainnya yang telah
memimpin berbagai kebijakan yang anti-rakyat, seperti pencabutan subsidi publik dan memberikan
keuntungan yang begitu besar bagi imperialis untuk beroperasi di Indonesia.
Memberikan perlindungan pada perusahaan imperialis melalui serangkaian
instrumen, mulai dari UU jaminan investasi (UUPM) untuk menjamin kontrak karya
dan operasinya di Indonesia, Privatisasi sumber daya alam Indonesia, jaminan
keamanan dan kemudahan investasi (berwujud keringanan pajak, bea impor &
ekspor murah dll). Kemudian tetap mempertahankan kebijakan Import BBM yang
jelas telah merugikan keuangan negara sebagai
konsekwensi dari penurunan produksi minyak dalam negeri akibat monopoli
perusahaan asing.
2. Borjuasi Besar Komprador (Pedagang Besar Kompardor), yang
terdiri dari mereka yang diuntungkan melalui banyak cara, memanfaatkan
keuntungan di tengah isu kenaikan BBM. Baik yang bekerjasama
langsung dalam industri ekstraktif minyak bumi bersama perusahaan milik
imperialisme, seperti halnya Medco, PT SAS dan lain sebagainya.
Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa masuknya perusahaan imperialis ke
Indonesia selalu dengan menggandeng pengusaha Indonesia, baik sebagai
partnership, join venture hingga mendudukkan para jenderal militer baik TNI dan Polri, pengusaha,
hingga pejabat ke dalam dewan komisaris maupun jajaran direksi. Model penyuapan
untuk keamanan dan kelancaran bisnis imperialis di Indonesia.
Tidak heran, jika diberbagai sektor industri selain perusahaan milik
monopoli kapitalis (TNC/MNC) selalu terdapat unsur dari Indonesia, baik itu
sebagai mitra di lapangan, pemilik saham, operator hingga jajaran
pimpinanan. Hal itu tidak lebih untuk menipu, dengan mengatakan kemandirian,
industri nasional hingga alih teknologi yang semuanya adalah palsu dan
menyesatkan.
3. Tuan tanah, terutama terkait berbagai proyek konsesi dan
pembukaan ladang baru untuk minyak yang seolah untuk menutupi target produksi.
Termasuk industri gas, pembukaan ladang baru gas sekarang telah menjadi
primadona yang begitu menggiurkan atas dalih diservikasi energi yang tentu akan
menguntungkan imperialisme, komprador dan tuan tanah.
Selain mereka,
masih ada segelintir golongan yang mendapatkan keuntungan terutama para
spekulan di pasar berjangka atau pasar saham yang diuntungkan dengan berbagai
isu untuk mengail keuntungan berlipat ditengah kenaikan harga minyak. Akan
tetapi semua hal tersebut tetap saja berpangkal pada bagaimana operasi
kapitalis monopoli dalam bidang energi yang begitu dalam dan jahat dalam
memonopoli sumber energi dunia.
Sekali lagi,
diberbagai negara termasuk Indonesia, skenario tersebut niscaya tidak akan
dapat berjalan dengan baik jika tidak memiliki pelaksana atau operator yang
loyal, seperti halnya rejim Susilo Bambang Yudhoyono.
E.
Dampak Kenaikan Harga BBM Memberikan Beban Berlipat Ganda
Bagi Rakyat
Sangat jelas, kenaikan harga BBM tidak memberikan
keuntungan sedikit pun bagi rakyat kecuali klas-klas penghisap. Krisis yang
berwatak kronis di negeri setengah jajahan dan setengah feudal (SJSF)
seperti Indonesia akan semakin parah dan berdampak
semakin terhisapnya rakyat, peningkatan tindasan politik dan fasisme, serta
meningkatnya kemiskinan. Beban krisis yang ditanggung rakyat hakekatnya
berlipat ganda dibandingkan rakyat di negeri-negeri imperialis karena harus
menanggung beban penyelesaian krisis yang melanda
negeri-negeri imperialis.
Beban itu dapat dilihat dari dampak rencana kenaikan
harga BBM terhadap penghidupan rakyat secara umum dan sektor-sektor penting dalam ekonomi.
Pertama, Ekonomi. Dampak kenaikan ini telah mendongkrak
kenaikan harga kebutuhan pokok rakyat (sembako), ongkos transportasi, memukul
usaha kecil-menengah, menurunkan daya beli masyarakat, meningkatkan pengangguran dan kemiskinan.
Kenaikan harga BBM menjadikan kenaikan harga bahan kebutuhan
pokok masyarakat seperti beras, minyak goreng, telur, sayur-sayuran, cabai,
daging, dan lain-lain. Meski pelaksanaan tarif baru berlangsung per 1 April 2012, faktanya harga sembako saja sudah naik. Di PD Pasar Jaya Jakarta (per 16 Maret
2012), kenaikan
harga mencapai satu sampai 30 persen dari harga semula. Contoh: Gula pasir naik
menjadi Rp 10.900/kg dari 10.800, daging sapi naik menjadi 79.223/kg dari Rp
78.329/kg, cabai mereh naik 30 persen menjadi Rp 25.867/kg, minyak goreng naik
menjadi Rp 11.240/kg dari Rp 10.819/kg.
Beberapa komponen sembako masih bertahan di harga semula, tetapi
perubahan dapat terjadi setiap hari dan cenderung untuk naik meski pelaksanaan
tarif BBM baru belum berlaku. Dampak kenaikan tersebut sangat memberatkan bagi masyarakat di pedesaan atau
pedalaman yang mengalami kesulitan akses transportasi dan infrastruktur. Harga
barang-barang di daerah itu sudah mahal sebelumnya yang dipengaruhi biaya
transportasi yang besar. Di Papua, harga eceran bensin mencapai antara Rp 10.000 sampai Rp
50.000 per liter sudah sangat memberatkan rakyat, apalagi ditambah kenaikan per
1 April nanti pasti akan melesat naik.
Di sektor transportasi, pemerintah mengakui dampak kenaikan harga BBM
adalah peningkatan biaya
transportasi sebesar 19,6 persen. Peningkatan biaya transportasi akan memaksa
rakyat menambah pengeluaran hariannya yang sudah cekak sebelumnya.
Pemerintah berencana akan memberikan subsidi suku cadang dan pajak
kendaraan bagi usaha transportasi, tetapi hal itu hanya ditujukan bagi
pengusaha transportasi. Padahal,
instrumen utama penggerak angkutan adalah sopir yang harus menanggung
pengeluaran untuk BBM. Ini membebani para sopir angkutan (semi
proletar) karena akan
menambah beban setoran yang baru dan mengurangi pendapatan mereka. Contoh,
sopir taksi di Jakarta harus mengejar target minimal Rp 500 ribu per hari yang dialokasikan untuk setoran ke pemilik
armada (perusahaan taksi) sebesar Rp 300 ribu per hari dan bensin sebesar Rp
200 ribu per hari. Upah sopir didapatkan dari selisih jumlah pemasukan selama
operasi per hari dikurangi target minimal tersebut. Jadi, sopir tidak
mendapatkan upah yang pasti dan selalu kecil yang berkisar rata-rata Rp 50 ribu
per hari. Jika harga BBM naik, maka akan semakin mengurangi pendapatan mereka. Dilain sisi, Sopir (Sopir taksi sebagai Contoh awal) juga
dihadapkan dengan tekanan psychology yang tinggi, dimana ketika tidak mampu
memberikan setoran sesuai target, yakni Rp. 300.000/hari, maka Ia terancam
Skors (Tidak dipekerjakan samapi target setoran dapat dipenuhi).
Di sektor industri, khususnya Industri kecil dan menengah, banyak
pengusaha akan mengalami kebangkrutan akibat meningkatnya harga bahan baku,
listrik, transportasi pengangkutan, dan lain-lain. Mereka memiliki keterbatasan
akses pasar di level nasional akibat dominasi imperialis dan ditekan oleh
borjuasi komprador. Karena itu, kenaikan harga BBM mempengaruhi produksi
dan distribusi mereka yang tidak mendapatkan perlindungan (regulasi, insentif,
pasar) sehingga akan mengalami kebangkrutan.
Kenaikan harga tentu akan merampas upah buruh karena terpotongnya nilai
riil pendapatan yang didapatkan. Kenaikan nominal upah mereka tidak berarti
apa-apa dan tidak berhubungan dengan kenaikan nilai riil upah yang diterima.
Kenaikan nominal upah buruh sekitar tujuh sampai delapan persen di tahun 2012
tidak sebanding dengan kenaikan harga-harga barang dan kebutuhan penting lainnya
yang naik oleh kenaikan harga BBM sebesar 33 persen.
Selain itu, kenaikan harga berdampak pada meningkatnya angka PHK akibat
kebijakan efesiensi tenaga
kerja oleh perusahaan yang harus menanggung kenaikan biaya produksi. Cara-cara lain
perampasan upah yang dilakukan akibat tersebut adalah peningkatan jam kerja
lembur buruh dan penundaan pembayaran upah. Untuk itu semua, pengusaha dan
pemerintaha akan semakin mengekang kebebasan berserikat dan pemogokan buruh.
Struktur industri Indonesia yang didominasi oleh imperialis yang
bekerjasama dengan kaki tangannya yakni borjuasi komprador dan tuan tanah menjadikan
tidak adanya industri nasional yang mandiri. Keadaan ini telah menjadikan
Indonesia menjadi lautan pengangguran yang mencapai lebih dari 40 juta dan semakin
bertambah akibat dampak kenaikan harga BBM. Pengangguran itu merupakan tumpukan
orang yang tidak terserap di industri ditambah dengan korban PHK oleh perusahaan yang melakukan efesiensi.
Sementara itu, kaum tani menjadi klas mayoritas rakyat yang menderita
akibat kenaikan harga BBM. Akibat penghisapan feodalisme dan dominasi
imperialisme, mereka menanggung beban kerja berlipat akibat semakin tingginya
biaya sewa tanah yang ditanggung, pemotongan upah, dan terjerat hutang lintah
darat. Kenaikan harga menjadikan biaya produksi yang harus ditanggung petani
miskin dan buruh tani untuk input pertanian
yakni benih, pupuk, obat-obatan dan alat kerja.
Contoh, di desa Sukamulya Rumpin (Jawa Barat) harga pupuk kandang pasca
kenaikan harga BBM tahun 2008 meningkat menjadi Rp 4.000 per karung (20 kg)
dari harga sebelumnya Rp 2.700 per karung. Kenaikan ini akibat biaya
transportasi dan harga karung. Di Cirebon, pasca kenaikan harga BBM tahun 2008
juga telah meningkatkan harga sewa tanah naik 100 persen menjadi Rp 10
juta/hektar per tahun.
Kaum nelayan juga sangat menderita oleh kenaikan harga BBM di tengah
penggunaan solar yang merupakan komponen terbesar biaya produksi yang mencapai
60 persen lebih. Mayoritas nelayan di Indonesia
dari 2,6 juta adalah nelayan
pengguna kapal kecil yang bobotnya di bawah 30 GT (gross ton). Para nelayan kecil, biasaya, membeli solar eceran yang
harganya dapat mencapai dua kali lipat per liter. Tentunya, para nelayan
semakin membatasi aktivitasnya atau terjerat oleh tengkulak dan lintah darat
sebagai sumber pembiayaan aktivitasnya.
Jelas, tarif baru BBM akan menjadikan penurunan daya beli masyarakat.
Inflasi saja sudah menjadikan harga-harga barang meningkat apalagi ditambah
kenaikan tarif baru nanti. Keadaan itu
akan menambah inflasi yang diperkirakan mencapai 6,5 persen sehingga nilai uang
serta upah diterima pasti terpangkas lagi. Penghidupan kaum borjuasi kecil (Intelektuil: Guru, Dosen, Profesional, Pegawai rendahan, dan
Pedagang Kecil, dll) akan semakin menurun seiring terpotongnya upah kerja dan berkurangnya
pemasukan usaha produksi dan dagang mereka.
Kenaikan harga-harga barang dan jasa sudah pasti menjadikan angka
kemiskinan meningkat. Lembaga Kajian Reformasi
Pertambangan dan Energi memperkirakan kenaikan harga BBM sebesar 30 persen
berpotensi mengakibatkan orang miskin bertambah sebesar 8,55 persen atau
sekitar 15,68 juta jiwa dan pengangguran diprediksikan meningkat 16,92 persen
dari angka pengangguran resmi yang dilansir BPS sebesar 10,11 juta. Pemerintah selalu membanggakan keberhasilan palsunya dalam menurunkan
angka kemiskinan sebesar satu juta orang atau menjadi 30,5 juta orang pada
tahun lalu. Akan tetapi, ia tidak bisa menjelaskan peningkatan sasaran bantuan
tunai langsung (BLT) setiap kenaikan harga BBM melebihi angka rakyat miskin
hasil rekayasa Badan Pusat Statistik (BPS). Mereka hanya bermain dengan
kategori-kategori palsu tentang kemiskinan seperti tingkatan kemiskinan dan
ukuran minimum rakyat miskin yakni hidup kurang dari Rp 7.000 per hari.
Kedua, Politik. Demi
menjaga skema imperialis dalam mengatasi krisisnya yang berujung
berlipatgandanya penghisapan terhadap rakyat, maka rezim boneka SBY
akan meningkatkan politik fasisme. Penghidupan rakyat yang semakin merosot
pasti akan memercikan api perlawanan dan semakin meluas sehingga rezim merasa terancam dan bertindak
fasis untuk menjaga stabilitas dan jaminan bagi tuannya, imperialis AS. Rezim
reaksi sekarang ini telah memberi ancaman bagi gerakan rakyat yang menolak
kenaikan harga BBM dengan menyebarkan isu “makar” dan cap anti kemajuan negara. Bahkan pemerintah, oleh Presiden
SBY secara lansung menyatakan “Akan Menindak Tegas” setiap demonstrasi atau
gerakan-gerakan lain yang menolak rencana kebijakan tersebut.
Ketiga, Kebudayaan. Sudah
pasti, kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya pendidikan. Pemerintah selalu
bersembunyi di balik topeng pengalihan biaya subsidi harga BBM yakni penambahan
subsidi bagi pendidikan bagi keluarga miskin. Faktanya, harga biaya pendidikan
semakin mahal sehingga meningkatkan angka putus sekolah.
Sebagai contoh, dari kenaikan harga BBM pada tahun 2005 dan tahun 2008, subsidi
pendidikan akibat kenaikan harga BBM diwujudkan dalam bentuk kompensasi yang dikenal
dengan “Bantuan Operasional Sekolah
(BOS)” untuk siswa SD dan SMP. Sementara itu, dalam Implementasinya tidak
pernah menyentuh angka 50-40% dari total jumlah peserta didik dari keluarga
Miskin. Dilain sisi, penyaluran atas kompensasi tesebutpun masih melalui Beasiswa dengan
sistem subsidi silang yang
sarat dengan diskriminasi dan manipulasi. Dampak lain dari itu, justeru
mengurangi tanggungan wajib pemerintah (20%
Anggaran pendidikan dari APBN), dimana anggaran BOS
kemudian dimasukkan menjadi bagian dari Anggaran 20% tersebut yang juga tidak
pernah terealisasi
secara utuh, meskipun pemerintah telah dengan bangga mengumumkan bahwa angaran
tersebut sudah terpenuhi, bahkan lebih dari 20%, yaitu 20,02%. Kenyataannya, setelah dibagi
dengan berbagai kementerian dan terlebih lagi anggaran tersebut didalamnya
termasuk dana BOS dan gaji guru, sehingga secara nominal pastilah tampak
menjadi lebih besar, padahal sesungguhnya, realisasi anggaran tersebut masih
tidak lebih dari hanya 11%.
Dampak
lansung, dari kenaikan harga BBM saat itu (Th. 2005 dan 2008) juga menambah
angka putus sekolah dan
pengangguran yang semakin tinggi. Sampai dengan tahun 2009, terhitung jumlah
siswa putus sekolah untuk Sekolah Dasar (SD) setiap
tahunnya rata-rata berjumlah 600.000-700.000 siswa. Sedangkan siswa SMP yang harus mengakhiri sekolah sebelum
tamat setiap tahunnya rata-rata berjumlah 150.000 sampai 200.000 siswa.
Sementara akses ke pendidikan tinggipun sangat rendah, bahkan menunjukkan
kesenjangan yang sangat tinggi. Dari jumlah pemuda usia kuliah (18-25 tahun),
yang dapat mengenyam pendidikan tinggi hanya mencapai 5,6 Juta jiwa dari
kurang lebih 25 juta jiwa, dan dari angka
tersebut menunjukkan angka putus kuliah yang tidak kurang dari 150.000
Mahasiswa setiap tahun.
Selain
dampak lansung terhadap biaya pendidikan yang semakin tinggi, bagi pemuda
Indonesia secara umum, angka putus sekolah/kuliah akibat biaya tersebut
kemudian menambahkan angka pengangguran di Indonesia yang semakin tinggi. Dari total jumlah pemuda usia 16-30 tahun (versi
Pemerintah), data yang di release BPS tahun
2011 menunjukkan angka pengangguran mencapai
60,5%. Sektor
pendidikan juga telah menyumbangkan angka pengangguran yang cukup tinggi.
Tercatat, Pengangguran dengan Pendidikan Rata-rata SD-SMP, per-Agusus 2008 berjumlah
4.073.954, naik menjadi 4.198.429 pada periode Februari 2009. Sedangkan pengangguran dari
pendidikan tinggi berjumlah 961.001 pada Agustus 2008, menjadi 1.113.020 pada
Februari 2009.
Artinya bahwa kenaikan harga BBM kali inipun pasti
akan menyebabkan akan semakin naiknya biaya pendidikan, terlebih pemerintah
sendiri oleh Presiden SBY lansung menyampaikan bahwa “Angaran Pendidikan dan
Kesehatan” menjadi salah satu sektor yang masuk prioritas pemotongan subsidi
yang akan dialihkan untuk Alokasi Subsidi (Kompensasi BBM 2012). Menurut forum
rektor yang bersentuhan lansung dengan lembaga pendidikan tinggi, juga telah
menyepakati bahwa biaya pendidikan harus naik menyesuaikan kenaikan harga BBM.
UNPAD akan menghitung ulang biaya kuliah dan akan menaikkannya sesuia dengan
kenaikan BBM.
Dilihat
dari sisi lainpun, tentu dampak kenaikan harga BBM disektor Pendidikan, tidak
hanya pada meningkatnya biaya yang akan dibayarkan lansung oleh peserta didik
dan keluarganya, namun selain itu, peserta didik juga harus menyiapkan anggaran
sendiri yang lebih tinggi untuk sarana prasana pendidikan dan memenuhi
kebutuhan belajar mengajar lainnya, seperti untuk pembelian seragam sekolah, buku,
bolpoin, bahan praktikum, biaya potocopy, transportasi, akses internet, dll.
Begitu juga dengan keadaan kesehatan masyarakat yang makin makin memburuk
akibat mahalnya biaya kesehatan dan pelayanan yang buruk. Sejak Januari 2012,
harga obat telah naik hingga 10 persen,
bahkan obat yang mengandung parasetamol
mencapai 43 persen. Kenaikan itu semakin memberatkan karena pemerintah tidak menanggung semua obat
dalam program jaminan kesehatan yang diberikan bagi keluarga miskin. Keadaan
gizi masyarakat akan menurun akibat mahalnya harga makanan dan nutrisi yang
semakin menjadi-jadi akibat kenaikan harga BBM.
F.
Solusi palsu Pemerintah SBY untuk menjawab
kenaikan harga BBM
Sedangkan untuk
menjawab tuntutan rakyat atas imbas kenaikan harga BBM, Pemerintah SBY menerapkan skema yang sama dangkal dan klise seperti
tahun-tahun sebelumnya. Kenaikan BBM tahun 2005 dan 2008, ada beberapa kebijakan yang diklaim
mengurangi dampak kenaikan harga BBM yaitu 1) Pemberian kompensasi berupa Bantuan
Langsung Tunai (BLT), 2) Konversi minyak tanah ke gas dan 3) Pemberian Raskin. Faktanya,
harga berbagai kebutuhan pokok dan ongkos transportasi yang membumbung tinggi tetap tidak
mampu diatasi dan dikurangi dampaknya dengan skema BLT maupun raskin.
Bahkan kebijakan pemberian paket Raskin tidak lebih dari proyek penghinaan
terhadap rakyat di tengah
kemiskinan yang akut. Diskriminasi dengan beras berkualitas buruk, bahkan tidak
layak konsumsi dengan dalih tanggung jawab sosial negara terhadap rakyat.
Faktanya skema raskin, bahkan seperti menabur garam di lautan, karena antara tahun 2005 hingga
2009, menunjukan angka kemiskinan
rakyat Indonesia di atas 33 juta
jiwa, atau jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok sasaran BLT dan
Raskin. SBY seperti tidak malu dengan kenyataan bahwa sebagian rakyat Indonesia
masih makan nasi aking, tiwul serta akrab dengan penyakit busung lapar maupun
gizi buruk. Bank Dunia mengatakan bahwa rakyat Indonesia, 50 persen lebih
merupakan kelompok yang rentan terhadap kemiskinan terutama akibat kenaikan
bahan pokok atau sembako.
Skema konversi minyak ke gas pun sesungguhnya lebih kental muatan
politisnya dibandingkan dengan kebijakan efisiensi energi. Sudah menjadi
pengetahuan umum kalau kebijakan tersebut tidak lebih merupakan upaya mengeruk
keuntungan komprador di Indonesia seperti Muh. Jusuf Kalla (JK), Abu Rizal Bakrie (Ichal) dan
berbagai perusahaan gas imperialis di Indonesia seperti Exxon, BP dan Chevron.
Bahkan jauh sebelum kebijakan menaikan harga BBM, telah direncanakan pembatasan
BBM bersubsidi dan, bagi
angkutan umum bahan bakarnya akan di konversi ke gas. Lagi–lagi sebuah proyek
yang akan menguntungkan industri komprador maupun milik imperialis.
Untuk menangani keadaan ini, pemerintah masih menggunakan politik
“pro-rakyat” palsu yang digunakan sejak kebijakan kenaikan harga BBM
diluncurkan pada tahun 2005 dan 2008. Pemerintah berusaha menggelontorkan
bantuan langsung untuk menekan dampak kenaikan terhadap masyarakat miskin
yakni: Pertama, Bantuan langsung sementara (BLSM) sebesar Rp 150 ribu
per keluarga yang dibagikan kepada 18,5 keluarga miskin dengan anggaran Rp 25,6
triliun. Kedua, Tambahan subsidi beras miskin selama dua bulan (dari 12 bulan menjadi 14 bulan). Proyek ini
memiliki anggaran sebesar Rp 5,3 triliun. Ketiga, Subsidi penambahan jumlah
beasiswa untuk pelajar dan mahasiswa dari keluarga miskin sebesar Rp 3,4
triliun. Keempat, Subsidi angkutan umum massal seperti kapal penumpang,
kereta api, dan bus umum sebesar Rp 5 triliun.
Apa artinya itu semua? Pemerintah tidak perlu mengeluarkan dana untuk
subsidi atas satu liter BBM dan mengubah bahasa subsidi menjadi dana
kompensansi kenaikan harga BBM. Alasan pemerintah adalah merombak subsidi yang
justru banyak dimanfaatkan orang kaya sebagai pengguna terbesar BBM. Kompensasi
merupakan imbalan pemerintah kepada rakyat miskin yang terkena dampak yang
jumlahnya ditentukan melalui rumus “khusus” ala pemerintah yang penuh kesesatan
dan kepalsuan. Demikian
cara pemerintah yang
pasti sia-sia dan tidak menjawab masalah rakyat, bahkan semakin menderitakan
rakyat.
G.
Solusi jangka panjang dan
tuntutan Rakyat
Berdasarkan pada analisis di atas, maka Front
Mahasiswa Nasional (FMN) Menyatakan Sikap “Tolak
Kenaikan Harga BBM”, Dan menyerukan kepada anggota disetiap levelan
Organisasi disetiap daerah untuk menggalang kekuatan dan merangkul seluruh
Elemen Mahasiswa dan seluruh rakyat Indonesia untuk menolak dan melawan sekuat
tenaga kebijakan Pemerintah SBY menaikkan harga BBM, dengan berbagai bentuk
perlawanan dan menuntut:
1. Tolak
Kenaikan Harga BBM
2.
Cabut UU Migas no. 22/2001, UU no. 11/1967 dan UU Penanaman
Modal no. 25/2007 yang mengabdi pada
imperialis!
3. Turunkan
Harga-harga Kebutuhan Pokok Rakyat
4. Naikkan Upah
Buruh, Pegawai Rendahan dan pekerja lainnya
5. Hentikan
Perampasan tanah dan Laksanakan Reforma Agraria Sejati
6. Berikan
jamina kesejahteraan dan penuhi hak penhidupan rakyat lainnya
7. Berantas
korupsi dan sita hasil Korupsi untuk Rakyat
8. Berikan
Jaminan kebebasan Berorganisasi dan mengeluarkan pendapat bagi Rakyat
9. Hentikan
Komersialisasi pendidikan dan realisasi 20% anggaran pendidikan untuk rakyat
Hidup Mahasiswa!
Bersatulah Rakyat Indonesia!
Lawan Seluruh Kebijakan Pemerintah SBY yang
Anti-Rakyat!
Jayalah Perjuangan Massa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar