Senin, 09 April 2012

TOLAK KENAIKAN HARGA BBM




FRONT MAHASISWA NASIONAL (FMN)
“Pemuda dan Mahasiswa, Berjuang bersama Rakyat-Tolak Kenaikan Harga BBM, Lawan Pemerintah Komprador anti Rakyat SBY-Boediono”
Naikkan Upah Buruh, Laksanakan Reforma Agraria Sejati dan, Realisasikan 20% Anggaran Pendidikan Untuk Rakyat!!


A.     Pendahuluan
Di tengah badai krisis ekonomi dunia yang semakin akut dan krisis dalam negeri yang semakin kronis, rakyat Indonesia telah dihantam dengan berbagai bentuk kebijakan dan regulasi yang hanya menguntungkan Imperialisme, borjuasi komprador dan Tuan tanah didalam negeri serta Rezim boneka itu sendiri yang juga telah mengambil keuntungan besar sebagai kapitalisme birokrat. Sementara itu, rakyat selalu menjadi korban atas setiap kebijakan tersebut. Dalam situasi dan kenyataan demikian, saat ini rakyat Indonesia kembali mendapatkan pukulan telak melalui kebijakan terbaru dari rezim saat ini, yaitu kebijakan akan akan rencananya untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang akan ditetapkan pada tanggal 1 April mendatang.

Kebijakan tersebut tentunya jelas akan sangat merugikan bagi Rakyat dan berdampak luas bagi penderitaan mayoritas rakyat Indonesia yang miskin. Terlebih kebijakan tersebut kemudian akan disusul dengan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) dalam waktu yang tidak lama. Harus menjadi catatan kita bahwa, rencana kenaikan harga BBM saat ini akan menjadi kenaikan yang keempat kalinya dalam dua Periode/selama pemerintahan rezim boneka anti rakyat yang bernama “Susilo Bambang Yudhoyono” saat ini, yakni pada: Maret 2005, Oktober 2005, dan Mei 2008  yang tujuannya tidak lain adalah penghapusan subsidi kepada rakyat.

Secara umum, dengan alasan bahwa naiknya harga minyak dunia telah memberikan dampak besar pada harga minyak dalam Negeri. Pemerintah kemudian telah dengan sigap memberikan respon lansung (Menaikkan  harga minyak dalam negeri) dengan dalih untuk menyelamatkan anggaran yang membengkak karena tingginya subsidi yang ditanggung oleh Negara dan untuk meningkatkan pertumbuhan Ekonomi, sehingga tampak Negara seakan berada di jalan buntu dan tidak ada jalan lain selain menaikkan harga dan pemotongan subsidi BBM tersebut. Dengan cara demikian tersebut (Salah satunya), Rakyat kemudian dipaksa untuk “Nerimo dan Legowo”  Kebijakan sesat yang mencekik tersebut.

Sampai sekarang bahkan pemerintah terus berupaya dengan berbagai cara untuk merasionalkan alasannya, termasuk upaya-upaya untuk meredam bangkitnya gerakan rakyat yang semakin meluas menolak kenaikan harga BBM tersebut. Namun apapun alasan dan dasar pikirnya kebijakan tersebut adalah kebijakan anti-rakyat yang harus dilawan oleh seluruh rakyat Indonesia. Sebab kenyataannya (Dari pengalaman 3 kali kenaikan harga BBM yang telah lalu) kebijakan tersebut telah mengantarkan rakyat semakin jauh terperosok kedalam jurang kemiskinan dan penderitaan. Bagaimana tidak, dengan Total prosentase rata-rata angka kenaikan harga tersebut menunjukkan angka yang sangat fantastis yaitu ± 183,76% hanya dalam rentang waktu tiga tahun (2005-2008), dengan perincian tiap-tiap angka kenaikannya yaitu Maret 2005 ± 29%, Oktober 2005 ± 126,06%, dan Mei 2008 ± 28,7%.

Kebijakan SBY sebagai rezim anti-rakyat yang keras kepala menaikkan harga BBM saat ini, tidak mungkin dipisahkan dari perkembangan situasi internasional yang memicu kenaikan harga minyak dunia, sebagai skema umum imperialisme di Indonesia terkait penguasaan sumber-sumber energi (migas) dan dasar kebijakan atas politik anggaran (APBN). Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa perusahaan tambang minyak di Indonesia telah didominasi oleh perusahaan asing khususnya milik imperialis AS. Situasi ini mencerminkan kedudukan imperialis AS sebagai kekuatan monopoli tunggal dunia yang paling rakus dan barbar dalam menguasai sumber energi terpenting seperti minyak. Dengan jalan damai atau perang, imperialis AS telah terbukti menjadi perampok terbesar sumber kekayaan alam dunia bernama minyak dan tanpa saingan yang sepadan. Tak terkecuali di Indonesia, perusahaan besar milik kapitalis monopoli dunia dari AS telah menjadi penguasa tunggal di sektor pertambangan di Indonesia seperti emas, minyak, gas bumi, dsb.
 
Selama dalam kekuasaannya, pemerintah SBY sebagai pemerintah boneka AS, tidak terhitung jasanya dalam memastikan kepentingan kapitalis monopoli AS semakin intensif dalam mengeksploitasi alam dan rakyat Indonesia, termasuk monopoli atas tambang minyak. Pengesahan dan perpanjangan kontrak karya kuasa pertambangan minyak seperti terhadap Chevron dan Exxon Mobile juga terjadi pada masa pemerintah SBY yang membuktikan pengabdian besar SBY terhadap majikannya, imperialis AS. Selama berkuasa, budak imperialis ini (SBY) telah menunjukkan konsistensinya sebagai pemerintah boneka dalam melayani dan menyelamatkan perekonomian negeri imperialis dari badai krisis yang mereka derita akibat kerakusannya sendiri. Dan sebaliknya, SBY bertindak sebagai musuh nomer 1 bagi rakyat Indonesia melalui seluruh tindakan politiknya yang semakin menjauhkan rakyat dan negeri dari kemandirian dan kedaulatannya.

Sementara kebijakan menghapuskan subsidi atas BBM, tidak lebih hanya akal bulus SBY dalam mengutak-atik politik anggarannya agar sesuai dengan kepentingan klik-nya yang sedang berkuasa dan skema yang dikehendaki oleh imperialis. Seluruh dasar pikir dan kebijakan yang diterapkan dalam mengawal kenaikan BBM ini, secara tak terbantahkan pada akhirnya adalah meningkatnya penderitaan rakyat; semakin meluasnya kemiskinan dan pengangguran. Kenaikan BBM membawa dampak umum kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok yang jauh dari daya jangkau upah buruh maupun pendapatan kaum tani Indonesia yang mayoritas miskin. Kebijakan kenaikan BBM ini semakin menyerang kepentingan klas buruh, semi-proletar, kaum tani Indonesia, pengusaha kecil dan menengah, suatu kebijakan yang dijalankan di atas kebijakan politik upah buruh murah,  perampasan tanah besar-besaran dan pemberian hak-hak istimewa terhadap seluruh perusahaan asing.

Atas dasar pendirian dan sikap yang terang bahwa kebijakan SBY menaikkan BBM adalah melawan kepentingan rakyat umum, maka seluruh rakyat memiliki kepentingan obyektif dan tunggal secara nasional dengan menolak dan melawan kebijakan menaikkan BBM ini. Demikian pula bagi Pemuda dan Mahasiswa, selain sebagai salah satu golongan yang juga tidak dapat menghindar dari dampak kebijakan tersebut, juga harus secara aktif dan dengan kesadaran yang tinggi harus ambil bagian dalam gerakan tersebut.
 
B.     Membantah Alasan Palsu Pemerintah SBY di Balik Kenaikan Harga BBM
Apa alasan utama pemerintah SBY menaikkan harga BBM?
Alasan pertama), Membengkaknya jumlah subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akibat naiknya harga minyak dunia. Dalam menghitung APBN 2012, (Berdasarkan asumsi harga Minyak Indoneisa/Indonesian Crude Price “ICP”) pemerintah dan DPR menyepakati harga minyak mentah Indonesia sebesar US$ 90 per barel sebagai patokan. Kenyataannya, selama Februari rata-rata harga minyak mentah Indonesia saat ini sudah US$ 122,17 per barel. Sedangkan konsumsi solar dan premium juga meningkat dari 35,8 juta kiloliter pada 2010 menjadi 38,5 juta kiloliter pada 2011 lalu. Akibatnya, subsidi untuk solar dan premium sepanjang 2012 akan melonjak dari Rp 123,6 triliun menjadi 191,1 triliun. Jika harga minyak dunia terus naik, subsidi akan membengkak diluar kemampuan anggaran negara. Padahal, pengeluaran akan lebih bermanfaat bila dipakai untuk keperluan lain seperti pembangunan jalan, jembatan, dermaga, atau pelayanan pendidikan.

Alasan kedua), Masyarakat yang kurang mampu akan menikmati manfaat lebih besar jika harga premium dan solar lebih tinggi. Sebab masyarakat kurang mampu bukan konsumen premium maupun solar yang terbesar. Pemerintah SBY juga senantiasa menyebutkan bahwa subsidi BBM tidak tepat sasaran, karena 77% konsumsi BBM bersubsidi digunakan oleh kelas menengah ke atas atau yang memiliki mobil pribadi. Sehingga asumsi yang dibangun pemerintah atas kenaikan BBM agar subsidi BBM lebih tepat sasaran.

Alasan ketiga), Harga jual solar dan premium yang terlalu rendah dibanding harga diluar negeri juga cenderung mendorong penyelundupan dan penyelewengan solar dan premium yang seharusnya diperuntukkan konsumen dalam negeri. Mereka yang mendapatkan manfaat dari subsidi adalah para penyelundup dan penyeleweng.

Alasan keempat), Penerimaan dari migas semakin kecil karena produksinya menurun sementara subsidinya justru makin meningkat karena konsumsi semakin besar.

Demikianlah alasan kenaikan harga BBM sekaligus menjelaskan cara berpikirnya pemerintah SBY yang anti-rakyat dan dangkal, sepotong dan tidak konsisten. Bagaimana kita membantah semua kebohongan ini?

Bantahan Pertama), Dasar kenaikan harga BBM terkait dengan kebijakan subsidi yang membengkak karena kenaikan harga minyak dunia adalah omong kosong besar karena Indonesia adalah termasuk negara produsen yang seharusnya diuntungkan dengan kenaikan harga minyak dunia. Selama ini pemerintah menutup-nutupi berapa keuntungan tambahan yang didapat dari naiknya harga minyak dunia. Bila masalahnya adalah patokan harga minyak mentah Indonesia yang dipatok sebesar US$ 90 per barel, dan harus disesuaikan dengan kenaikan harga yang baru, kebijakan ini bisa ditetapkan tanpa harus menaikkan harga BBM yang sangat merugikan rakyat umum. Artinya, dasar alasan menaikkan harga BBM bila dihubungkan dengan defisit anggaran APBN tidak menemukan alasan yang obyektif bila didasarkan pada kenaikan keuntungan yang didapat oleh Indonesia sebagai negara produsen minyak mentah. Masalahnya adalah pemerintah SBY tidak bisa dipercaya, manipulatif dan tidak berpihak pada kepentingan umum rakyat Indonesia.

Bantahan kedua), Bahwa rakyat kecil bukan konsumen utama premium dan solar, sehingga subsidi bahan bakar ini hanya menguntungkan orang kaya Indonesia. Apakah benar rakyat Indonesia yang pada umumnya adalah rakyat miskin tidak diuntungkan oleh subsidi BBM? Bila alasannya adalah subsidi yang tidak tepat sasaran, mengapa kenaikan BBM tidak mengarah pada mempertahankan subsidi bagi konsumen rakyat miskin dan menghapus subsidi pada warga kaya, namun menaikkan secara pukul rata kemudian dampaknya yang menderita rakyat umum yang mayoritas miskin?

Dari data yang terhimpun, konsumsi BBM paling besar diduduki oleh sektor transportasi dengan kecenderungan yang terus meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun. Konsumen di sektor transportasi yang mengalami peningkatan pesat adalah kendaraan bermotor kemudian disusul oleh mobil (lihat, tabel. 1). Patut dicatat bahwa pengguna terbesar kendaraan bermotor adalah mayoritas rakyat dengan pendapatan yang minim; mereka yang mayoritas membeli kendaraan dengan cara kredit. Artinya, kenaikan BBM akan dengan segera memukul pendapatan mayoritas rakyat pengguna kendaraan motor yang sangat bergantung pada BBM. Sementara pengguna solar yang tidak kalah besar adalah mayoritas nelayan tradisional yang miskin di negeri maritim ini. Pembelian BBM bagi operasional nelayan mencapai 50-60 persen dari biaya produksi. Kenaikan harga solar secara pasti memukul kaum nelayan miskin.

Sedangkan sektor industri bahkan mengalami kecenderungan menurun, menurut data yang dihimpun hingga tahun 2009. Karakter industri dalam masyarakat setengah feodal yang didominasi oleh industri milik asing, mengalami pasang surut yang tidak menentu sebagai akibat krisis keuangan global yang memukul negeri-negeri imperialis seperti AS dan Uni Eropa; sementara banyak industri nasional yang mengalami kebangkrutan akibat badai krisis ekonomi kronis yang terjadi di dalam negeri dan dampak dari krisis keuangan yang terjadi sejak tahun 2008.


Tabel I: Penjualan Mobil dan Motor (2008-2011)
No
Tahun
Mobil
Motor
Jumlah
1
2008
603.774
6.215.831
6.819.605
2
2009
486.061
5.881.777
6.367.838
3
2010
764.710
6.881.893
7.646.603
4
2011
813.856
7.580.104
8.393.960
Sumber : Kompas, 12 Maret 2012


Bantahan ketiga), Menurut pemerintah, harga jual premium dan solar yang terlalu rendah di dalam negeri telah mendorong kecenderungan penyelundupan dan penyelewengan, sehingga subsidi BBM hanya menguntungkan para penyelundup dan penyeleweng. Sungguh alasan dangkal dan tak bertanggung jawab yang menunjukkan Pemerintah SBY tidak memiliki kapasitas dalam penegakkan hukum untuk menangkap dan menindak para penyelundup dan penyeleweng BBM di dalam negeri. Sungguh argumen yang tak tahu malu bila ketidakmampuan Pemerintah SBY ini dicarikan solusi dengan menaikkan harga BBM. Lantas apa pekerjaan aparat hukum dari intelejen, kepolisian, tentara di wilayah perbatasan bila mereka tidak sanggup menangkap para penyelundup dan penyeleweng BBM ke luar negeri? Sekali lagi kita menemukan dasar argumen yang paling dangkal dan solusi yang justru merugikan rakyat pada umumnya.

Bantahan keempat), Pemerintah beralasan bahwa kenaikan BBM disebabkan oleh semakin kecilnya pendapatan dari sektor migas karena produksinya yang menurun, sementara jumlah subsidi semakin besar. Masalah ini mengemukakan sebagai akibat dari kebijakan Pemerintah SBY sendiri yang membudak pada imperialis dengan menyerahkan bulat-bulat seluruh kekayaan alam minyak dan gas kepada pihak asing. Penurunan produksi sangat berkaitan erat dengan siapa yang memonopoli sumber minyak kita. Apakah Pemerintah SBY pernah melakukan langkah politik untuk menyelamatkan migas nasional dengan jalan menghambat perusahaan migas asing, atau menasionalisasi perusahaan asing yang merampok dan merugikan rakyat Indonesia tersebut? Terdengar seperti ratapan hina seorang pengemis, Pemerintah SBY yang membuka lebar-lebar investasi asing untuk menguasai migas nasional, kemudian dia sendiri yang meratapi penurunan jumlah pendapatan dan produksi migas nasional. Dan lebih hina lagi, omong kosong inilah yang dijadikan alasan untuk menaikkan harga BBM dan bukan dengan melakukan kebijakan penguasaan kembali seluruh sumber minyak nasional untuk kepentingan nasional sebagai solusi dengan jalan melawan dominasi asing.

Tabel 2, Jumlah dan Penghasil Produksi Minyak Bagi Indonesia
No.
Perusahaan Penghasil Minyak
Jumlah Produksi Barrel
per Hari
1.
PT Chevron Pacific Indonesia
357.000
2.
PT Pertamina (EP)
135.000
3.
Total Indonesia E&P (Kaltim)
86.000
4.
ConocoPhillips Blok B (Natuna)
45.000
5.
CNOOC. SES
38.000
6.
Chevron Indonesia Co
28.300
7.
PHE (ONWJ)
35.000
8.
Medco Sumatera (Rimau & SSE)
22.960
9.
BOB Sumatera-Bumi Siak Pusako
17.000
10.
Petrochina International (Jabung)
17.300
11.
Mobil Cepu Ltd (Pertamina dan Exxon Mobile Oil)
22.000
12.
Vico (Sanga-Sanga)
15.000
13.
PHE West Madura Offshore
23.000
14.
ConocoPhillips Sumatera (Corridor Blok)
12.200
15.
JOB PetroChina East Java (Tuban)
11.000
16.
Kondur Petroleum
7.600
17.
PetroChina Bermuda (Papua)
6.190
18.
BP Indonesia Tangguh
5.400
19.
Star Energy (Kakap)
4.500
20.
ExxonMobil Oil (Aceh)
2.420
Keterangan:
Angka yang ditunjukkan pada kolom tiga dalam tabel diatas (Jumlah Produksi minyak per Barrel per Hari) adalah Jatah pembelian yang diberikan kepada Indonesia dari setiap perusahaan minyak asing yang beroperasi di dalam Negeri, yang kemudian dijelaskan oleh Pemerintah sebagai hasil produksi minyak dalam Negeri (Ada pada bagian berikutnya) yang mencapai sekitar 910.000 – 920.000 barel per hari. Sehingga harus melakukan Imprort sebesar 400.000 Barrel/hari, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi minyakdalam Negeri yang mencapai 1,3 juta barrel/hari.


C.      Monopoli minyak dalam negeri oleh perusahaan asing milik imperialis adalah sebab utama kenaikan harga BBM
Selama ini pemerintah Indonesia melakukan impor minyak sebesar 400.000 barel/hari untuk menutup kekurangan konsumsi minyak harian Indonesia yang mencapai 1,3 juta barel per hari, sedangkan produksi minyak dalam negeri selama ini hanya sekitar 910.000 – 920.000 barel per hari. Hal tersebut menjadi alasan kenaikan harga BBM di dalam negeri sebesar Rp 1.500 untuk premium dan solar, karena tingginya harga minyak dunia. Monopoli atas produksi hingga distribusi minyak telah menyebabkan harga minyak naik, dan bukan sekedar akibat turunnya volume produksi maupun ulah spekulan di pasar minyak internasional.

Monopoli telah menyebabkan produksi dan penentuan harga sepenuhnya dikendalikan oleh kartel–kartel besar milik imperialis, bahkan negara penghasil atau produsen minyak pun tidak akan sanggup mengubah kebijakan harga di luar ketentuan dari kartel milik imperialis tersebut. Minyak sebagai komoditas penting terutama untuk industri dan transportasi telah sejak lama berada di bawah kendali kapitalisme monopoli. Kebutuhan super besar untuk menggerakan industri dan transportasi milik imperialis sesungguhnya dibarengi dengan pengendalian sepenuhnya atas industri minyak di seluruh dunia.

Dimulai dari proses produksi dan penguasaan cadangan minyak yang selama ini dipegang oleh perusahaan–perusahaan minyak milik Imperialis terutama melalui AS, dahulu ada istilah 7 sisters (Standard Oil of New Jersey, Royal Dutch Shell, Anglo Anglo Persian Oil Company (sekarang BP), Standard Oil of New York (Exxon Mobile), Standard Oil of California (Chevron), Gulf Oil dan Texaco) yang menguasai lebih dari sepertiga produksi dan cadangan minyak dunia yang seiring dengan krisis yang berkepanjangan yang menghasilkan merger, maka seven sisters terus berkurang dan hanya menyisakan Exxon Mobil, Shell, BP, Chevron dan Conocco Phillips.

Meskipun banyak pihak yang menyebutkan bahwa seiring berdirinya OPEC dan munculnya “new seven sisters” yang terdiri dari Saudi Aramco (Arab Saudi), Gazprom (Rusia), CNPC (China), NIOC (Iran), PDVSA (Venezuela), Petrobras (Brazil) dan Petronas (Malaysia) meruntuhkan dominasi imperialis AS atas monopoli minyak di dunia. Kenyataannya tidaklah demikian, apalagi dominasi bukan sekedar hanya dari proses produksi semata,  monopoli telah dilakukan imperialis dari hulu hingga hilir.

Exxon Mobil saja memiliki cabang hampir di seluruh dunia, dengan pegawai mencapai lebih dari 120.000 dan enam divisi besar yang masuk dalam tiga kategori Upstream, Downstream dan Chemical  yang bergerak dari hulu hingga hilir. Penghasilan Exxon di tahun 2005 saja sebesar US$ 36,13 miliar, sedikit lebih kecil dari PDB Azerbaijan, sedangkan pendapatannya lebih besar dari PDB Arab Saudi. Sedangkan tahun 2010, Exxon Mobil meraup keuntungan sebesar US$ 19,28 Miliar yang didapat dari total revenue sebesar US$275,56 Miliar. Termasuk di Indonesia, perusahaan minyak imperialis seperti Exxon, Shell, BP, ConoccoPhillip dan Chevron telah menggurita.

Sesungguhnya instrumen kekuasaan imperialis AS untuk memonopoli industri minyak dunia tidak hanya sebatas melalui perusahaan–perusahaan minyaknya saja. Bahkan imperialis AS menggunakan pasar sebagai intrumen pengendali industri minyak dunia, melalui pasar minyak terbesar NYMEX (New York Merchantile Exchange) di New York dan ICE (Intercontinental Exchange) Future di London (pemilik ICE ini merupakan perusahaan yang berbasiskan di Atlanta AS) serta DME di Dubai. Di mana spekulan minyak terbesar justru untuk “memainkan” harga minyak juga dikuasai oleh perusahaan keuangan dan perbankan terkemuka di AS, tercatat empat perusahaan yaitu Goldman Sachs, Morgan Stanley, sebagai firma dagang terkemuka serta Citigroup dan JP Morgan Chase yang  menguasai lebih dari 75% spekulasi dan harga minyak dunia.

Lembaga keuangan seperti Goldman Sachs, Morgan Stanley, Citigroup maupun JP Morgan Case inilah yang selama ini “memainkan” harga minyak dalam transaksi–transaksi derivatif dalam kertas–kertas yang sesungguhnya jauh melebihi nilai riil dari harga minyak itu sendiri, semua itu dilakukan untuk mendapatkan serta memutarkan kapital super besar di tengah krisis. Fakta ini menunjukan bahwa harga minyak sesungguhnya dikontrol oleh Wall Street, dan bukan oleh OPEC. 

Selama ini pertukaran minyak internasional dilakukan di NYMEX terutama untuk jenis WTI dan di ICE Future terutama untuk jenis Brent, sekaligus menetapkan patokan (Benchmark) atas harga kargo minyak yang diperdagangkan bebas. Peran kedua pasar minyak tersebut dominan atas pembentukan patokan harga (Benchmark) minyak khususnya untuk jenis crude oil West Texas Intermediate (WTI) dan North Sea Brent (Brent), selain itu DME juga memiliki peranan yang sama sebagai kepanjangan tangan dari NYMEX. Sekedar catatan, jenis Brent merupakan konsumsi pasar di Eropa dan Asia, sedangkan WTI merupakan konsumsi di AS. Kedua jenis minyak ini terutama jenis Brent, untuk penyempurnaan penyulingannya selama ini dilakukan di pantai timur AS.

Sudah menjadi pemahaman umum bahwa ICE selama ini merupakan partner sejati bagi penguasa – penguasa perdagangan minyak seperti Chevron, Exxon, BP hingga Conocco Philip serta pedagang berjangka minyak raksasa seperti Goldman Sachs, Morgan Stanley hingga Citigroup. Bahkan tidak seperti umumnya perdagangan kertas berharga yang harus tercatat dan teregulasi, perdagangan di ICE selama ini tidaklah teregulasi dan diserahkan pada para pelaku pasar yang dengan seenaknya bisa memainkan harga minyak di pasar bursa. Selama ini ICE yang juga dikenal sebagai gerombolan kriminal atau mafia minyak selalu berlindung pada NYMEX, dan melalui OTC (over the counter) atau perdagangan surat melalui elektronik inilah bahkan pemalsuan transaksi seperti halnya “skandal Enron” dilakukan oleh imperialis untuk memonopoli minyak di pasar dunia.

Sehingga dari sinilah terlihat bahwa masalah kenaikan harga minyak tidak semata–mata diakibatkan oleh berbagai sebab yang selama ini dipropagandakan oleh imperialis maupun pemerintah bonekanya. Masalah tersebut hanyalah sekedar pemantik bagi munculnya spekulasi yang kemudian digiring oleh mafia minyak imperialis untuk mendapatkan keuntungan yang berlebih. Bahkan untuk lebih mendorong ekspektasi, perbaikan ekonomi AS sebagai konsumen minyak terbesar di dunia pun dijadikan ukuran atas naik atau turunnya harga minyak di pasar internasional.

Sesungguhnya monopoli imperialisme atas minyak dunia tidak akan berjalan mudah tanpa bantuan rejim komprador di berbagai negeri, mulai dari rejim negeri–negeri produsen minyak dunia di Timur Tengah hingga Afrika tunduk di bawah dominasi Imperialisme pimpinan AS. Hal yang sama juga berlaku di berbagai negeri di Asia, termasuk di dalamnya Indonesia yang sekarang berada di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Seperti pada umumnya pemerintah boneka di berbagai negeri, termasuk Indonesia, memiliki peranan untuk membantu eksploitasi dan penindasan terhadap rakyat dan merampok sumber bahan mentah bagi kepentingan imperialisme. Operator utama tentu saja adalah borjuasi besar komprador yang dibantu kapitalisme birokrat dan tuan tanah yang seolah olah menjadi pengusaha nasional akan tetapi aslinya tidak lebih dari makelar atau calo penjual kekayaan negeri seperti Indonesia.

D.     Kenaikan BBM:Konsekwensi Pengabdian Pemerintah SBY Terhadap Imperialis
Fakta bahwa selama ini kebijakan dari rejim SBY tidak lebih dari sekedar pengabdian yang loyal terhadap imperalis telah banyak diketahui oleh rakyat Indonesia. Kebijakan yang senantiasa merugikan rakyat telah banyak membuktikan bahwa SBY adalah rejim anti rakyat. Hal tersebut berjalan seiring kekuasaan yang hanya berorientasi atas kekayaan pribadi dan klas atau golongan semata, yang terwujud pada akumulasi keuntungan melalui berbagai penggelapan, perampokan, penipuan serta korupsi kekayaan negara, dengan dalih pembangunan untuk rakyat.

Di balik kebijakan kenaikan harga BBM ini pun sesungguhnya merupakan bagian dari skenario rejim SBY untuk melayani kepentingan imperialis di Indonesia. Sejak awal berkuasa SBY telah menjalankan serangkaian kebijakan yang jelas–jelas merugikan rakyat Indonesia. Khusus di kebijakan kenaikan harga BBM yang telah ditetapkan per 1 April 2012 merupakan skenario untuk semakin menghisap rakyat Indonesia dan menghabisi segala potensi ekonomi rakyat yang ingin berkembang. Sejak pemerintah merencanakan pembatasan BBM bersubsidi dua tahun lalu, di sektor hilir antrian untuk pembukaan SPBU asing yang menjual BBM non subsidi telah antre panjang. Data BP-Migas mengungkapkan, dari lima perusahaan migas terbesar di Indonesia, empat di antaranya adalah milik asing. Rangking pertama produksi dipegang oleh PT Chevron Pacific Indonesia (Amerika Serikat), diikuti PT Pertamina milik Indonesia, PT Total Indonesia E&P (Prancis), PT CoconoPhilips (Amerika Serikat), dan perusahaan asal China, CNOOC, SES. Tentu semua 'pemain dunia' itu bakal tergiur untuk main di sektor hilir, mengingat keuntungan yang berlipat ganda.

Sehingga ketika terjadi kenaikan harga BBM maka sudah tentu Pertamina akan dikepung oleh perusahaan asing. Meskipun sampai sekarang DPR masih membatasi SPBU asing, tetapi dengan hukum dagang milik imperialis yang berlaku, pendirian SPBU asing yang bebas hanya tinggal menunggu waktu saja. Rencana pencambutan subsidi memang sesuai dengan kepentingan imperialis. Sekretaris Jenderal Organizations for Economic Co-operation and Development (OECD) Angel Guria pada 1 November 2010, dihadapan petinggi Indonesia, telah mendesak Indonesia untuk mencabut subsidi yang dianggap tidak efektif. Dikatakan bahwa Indonesia berkomitmen untuk mencabut subsidi energi dan mulai memenuhi target pembangunan jangka menengah. Dengan dalih bahwa Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi terbaik ketiga di G 20, maka sudah selayaknya Indonesia mencabut subsidi BBM.

Hal tersebut semakin terbukti jika melihat postur anggaran antara APBN 2012 dan APBN-P 2011 dimana ternyata bukanlah subsidi (termasuk subsidi energi) yang paling membebani anggaran negara, tetapi justru jumlah pembayaran utang yang meliputi utang pokok dan bunga hutang. Dalam APBN 2012, total subsidi ener­gi sebesar Rp 168,6 T dengan rincian subisidi BBM Rp 123,6 triliun dan subsidi listrik Rp 45 triliun. Adapun pembayaran utang sebesar Rp 170,4 triliun dengan rincian bunga utang Rp 123,1 triliun dan cicilan pokok utang luar negeri Rp 47,3 triliun. Sampai di sini saja terlihat anggaran pembayaran utang luar negeri masih lebih besar Rp 1,8 miliar jika dibandingkan dengan anggaran subsidi ener­gi. Akan terlihat semakin jomplang jika dibandingkan dengan APBN-P 2011. Dalam APBN 2012 total subsidi energi Rp 168,6 triliun lebih kecil daripada total subsidi energi dalam APBN-P 2011 yang sebesar Rp 195,3 triliun. Dari angka tersebut menunjukkan total subsidi energi APBN 2012 mengalami penurunan 13,7 % atau senilai Rp26,7 tri­liun dari total subsidi dalam APBN-P 2011. Nah, bandingkan dengan pembayaran utang yang justru mengalami peningkatan singnifikan dari APBN-P 2011 sebesar Rp 154 triliun menjadi Rp 170,4 trilli­un pada APBN 2012 atau terdapat selisih kenaikan Rp 16,4 Triliun[1].

Bahkan gembar–gembor penghematan anggaran sesungguhnya hanyalah sebuah kebohongan besar di hadapan rakyat, karena faktanya selain korupsi yang akut, rejim SBY sesungguhnya paling pandai menghamburkan uang rakyat demi keuntungan kliknya semata. Mulai dari renovasi Istana kepresidenan sebesar 10,6 M, Pengembangan gedung Setneg yang menelen biaya sebesar Rp 41,3 M, pengembangan rumah negara 14,7 M, perawatan gedung DPR senilai Rp 500 M,  Renovasi ruang rapat banggar DPR dan toilet DPR yang masing–masing menelan dana Rp 20,3 Miliar dan 1,3 M, bahkan untuk parkiran saja membutuhkan biaya Rp 3 Miliar serta pengadaan mesin foto copy di gedung parlemen membutuhkan dana hingga Rp 4 Miliar dan, yang terakhir kita semua ingat betul adalah harga pesawat kepresidenan senilai Rp 525 Miliar.

Dalam keadaan seperti ini, tentu rakyat akan semakin paham bahwa komprador seperti SBY dan kroni–kroninya akan tetap memperoleh keuntungan yang besar, sekalipun berada di tengah–tengah kemiskinan dan penderitaan rakyat. Komprador besar akan semakin senang menjual segala kekayaan alam Indonesia untuk mendapatkan limpahan receh dan keuntungan yang diberikan oleh tuan imperialisnya, melalui share profit, Kontrak Karya dan berbagai kemitraan dalam pertambangan minyak di Indonesia. Lihat saja bahkan selain melakukan import BBM memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia masih harus membeli kebutuhan konsumsi BBM kepada berbagai perusahaan minyak yang sebagian besar merupakan perusahaan minyak milik imperialis, seperti yang terlihat di bawah ini.

Hal tersebut semakin miris jika dibandingkan bahwa sampai tahun 2011, Pertamina hanya mampu memproduksi minyak sebesar 132.000 barel per hari dari 2.054 sumur yang dimilikinya. Sangat jauh bila dibandingan dengan produksi Chevron yang memiliki 7.762 sumur dengan total produksi mencapai 370.000 barel per hari, untuk kebutuhan minyak dalam negeri.

Susah untuk diterima akal sehat, di tanah yang begitu kaya akan sumber energi ini kita masih harus membeli dari pihak asing yang jelas–jelas “numpang” hidup di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan energi bagi rakyat. Penjualan konsesi atau kontrak karya atas ladang–ladang minyak yang ada di Indonesia jelas hanya akan untuk mencari keuntungan semata bagi komprador seperti SBY. Disisi lain hal tersebut akan semakin memberikan keuntungan bagi berbagai perusahaan minyak milik imperialis yang beroperasi di Indonesia. 

Klas–klas yang diuntungkan di balik kenaikan harga BBM, yaitu:
1.      Kapitalis Birokrat, seperti SBY dan anggota kabinetnya serta pejabat tinggi negara lainnya yang telah memimpin berbagai kebijakan yang anti-rakyat, seperti pencabutan subsidi publik dan memberikan keuntungan yang begitu besar bagi imperialis untuk beroperasi di Indonesia. Memberikan perlindungan pada perusahaan imperialis melalui serangkaian instrumen, mulai dari UU jaminan investasi (UUPM) untuk menjamin kontrak karya dan operasinya di Indonesia, Privatisasi sumber daya alam Indonesia, jaminan keamanan dan kemudahan investasi (berwujud keringanan pajak, bea impor & ekspor murah dll). Kemudian tetap mempertahankan kebijakan Import BBM yang jelas telah merugikan keuangan negara sebagai konsekwensi dari penurunan produksi minyak dalam negeri akibat monopoli perusahaan asing.

2.      Borjuasi Besar Komprador (Pedagang Besar Kompardor), yang terdiri dari mereka yang diuntungkan melalui banyak cara, memanfaatkan keuntungan di tengah isu kenaikan BBM. Baik yang bekerjasama langsung dalam industri ekstraktif minyak bumi bersama perusahaan milik imperialisme, seperti halnya Medco, PT SAS dan lain sebagainya.

Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa masuknya perusahaan imperialis ke Indonesia selalu dengan menggandeng pengusaha Indonesia, baik sebagai partnership, join venture hingga mendudukkan para jenderal militer baik TNI dan Polri, pengusaha, hingga pejabat ke dalam dewan komisaris maupun jajaran direksi. Model penyuapan untuk keamanan dan kelancaran bisnis imperialis di Indonesia.

Tidak heran, jika diberbagai sektor industri selain perusahaan milik monopoli kapitalis (TNC/MNC) selalu terdapat unsur dari Indonesia, baik itu sebagai mitra di lapangan, pemilik saham, operator hingga jajaran pimpinanan. Hal itu tidak lebih untuk menipu, dengan mengatakan kemandirian, industri nasional hingga alih teknologi yang semuanya adalah palsu dan menyesatkan.

3.      Tuan tanah, terutama terkait berbagai proyek konsesi dan pembukaan ladang baru untuk minyak yang seolah untuk menutupi target produksi. Termasuk industri gas, pembukaan ladang baru gas sekarang telah menjadi primadona yang begitu menggiurkan atas dalih diservikasi energi yang tentu akan menguntungkan imperialisme, komprador dan tuan tanah.

Selain mereka, masih ada segelintir golongan yang mendapatkan keuntungan terutama para spekulan di pasar berjangka atau pasar saham yang diuntungkan dengan berbagai isu untuk mengail keuntungan berlipat ditengah kenaikan harga minyak. Akan tetapi semua hal tersebut tetap saja berpangkal pada bagaimana operasi kapitalis monopoli dalam bidang energi yang begitu dalam dan jahat dalam memonopoli sumber energi dunia.

Sekali lagi, diberbagai negara termasuk Indonesia, skenario tersebut niscaya tidak akan dapat berjalan dengan baik jika tidak memiliki pelaksana atau operator yang loyal, seperti halnya rejim Susilo Bambang Yudhoyono.

E.      Dampak Kenaikan Harga BBM Memberikan Beban Berlipat Ganda Bagi Rakyat
Sangat jelas, kenaikan harga BBM tidak memberikan keuntungan sedikit pun bagi rakyat kecuali klas-klas penghisap. Krisis yang berwatak kronis di negeri setengah jajahan dan setengah feudal (SJSF) seperti Indonesia akan semakin parah dan berdampak semakin terhisapnya rakyat, peningkatan tindasan politik dan fasisme, serta meningkatnya kemiskinan. Beban krisis yang ditanggung rakyat hakekatnya berlipat ganda dibandingkan rakyat di negeri-negeri imperialis karena harus menanggung beban penyelesaian krisis yang melanda negeri-negeri imperialis.

Beban itu dapat dilihat dari dampak rencana kenaikan harga BBM terhadap penghidupan rakyat secara umum dan sektor-sektor penting dalam ekonomi.
Pertama, Ekonomi. Dampak kenaikan ini telah mendongkrak kenaikan harga kebutuhan pokok rakyat (sembako), ongkos transportasi, memukul usaha kecil-menengah, menurunkan daya beli masyarakat, meningkatkan pengangguran dan kemiskinan.

Kenaikan harga BBM menjadikan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok masyarakat seperti beras, minyak goreng, telur, sayur-sayuran, cabai, daging, dan lain-lain. Meski pelaksanaan tarif baru berlangsung per 1 April 2012, faktanya harga sembako saja sudah naik. Di PD Pasar Jaya Jakarta (per 16 Maret 2012), kenaikan harga mencapai satu sampai 30 persen dari harga semula. Contoh: Gula pasir naik menjadi Rp 10.900/kg dari 10.800, daging sapi naik menjadi 79.223/kg dari Rp 78.329/kg, cabai mereh naik 30 persen menjadi Rp 25.867/kg, minyak goreng naik menjadi Rp 11.240/kg dari Rp 10.819/kg.

Beberapa komponen sembako masih bertahan di harga semula, tetapi perubahan dapat terjadi setiap hari dan cenderung untuk naik meski pelaksanaan tarif BBM baru belum berlaku. Dampak kenaikan tersebut sangat memberatkan bagi masyarakat di pedesaan atau pedalaman yang mengalami kesulitan akses transportasi dan infrastruktur. Harga barang-barang di daerah itu sudah mahal sebelumnya yang dipengaruhi biaya transportasi yang besar. Di Papua, harga eceran bensin mencapai antara Rp 10.000 sampai Rp 50.000 per liter sudah sangat memberatkan rakyat, apalagi ditambah kenaikan per 1 April nanti pasti akan melesat naik.

Di sektor transportasi, pemerintah mengakui dampak kenaikan harga BBM adalah peningkatan biaya transportasi sebesar 19,6 persen. Peningkatan biaya transportasi akan memaksa rakyat  menambah pengeluaran hariannya yang sudah cekak sebelumnya.

Pemerintah berencana akan memberikan subsidi suku cadang dan pajak kendaraan bagi usaha transportasi, tetapi hal itu hanya ditujukan bagi pengusaha transportasi.  Padahal, instrumen utama penggerak angkutan adalah sopir yang harus menanggung pengeluaran untuk BBM. Ini membebani para sopir angkutan (semi proletar) karena akan menambah beban setoran yang baru dan mengurangi pendapatan mereka. Contoh, sopir taksi di Jakarta harus mengejar target minimal Rp 500 ribu per hari  yang dialokasikan untuk setoran ke pemilik armada (perusahaan taksi) sebesar Rp 300 ribu per hari dan bensin sebesar Rp 200 ribu per hari. Upah sopir didapatkan dari selisih jumlah pemasukan selama operasi per hari dikurangi target minimal tersebut. Jadi, sopir tidak mendapatkan upah yang pasti dan selalu kecil yang berkisar rata-rata Rp 50 ribu per hari. Jika harga BBM naik, maka akan semakin mengurangi pendapatan mereka. Dilain sisi, Sopir (Sopir taksi sebagai Contoh awal) juga dihadapkan dengan tekanan psychology yang tinggi, dimana ketika tidak mampu memberikan setoran sesuai target, yakni Rp. 300.000/hari, maka Ia terancam Skors (Tidak dipekerjakan samapi target setoran dapat dipenuhi).

Di sektor industri, khususnya Industri kecil dan menengah, banyak pengusaha akan mengalami kebangkrutan akibat meningkatnya harga bahan baku, listrik, transportasi pengangkutan, dan lain-lain. Mereka memiliki keterbatasan akses pasar di level nasional akibat dominasi imperialis dan ditekan oleh borjuasi komprador. Karena itu, kenaikan harga BBM mempengaruhi produksi dan distribusi mereka yang tidak mendapatkan perlindungan (regulasi, insentif, pasar) sehingga akan mengalami kebangkrutan. 

Kenaikan harga tentu akan merampas upah buruh karena terpotongnya nilai riil pendapatan yang didapatkan. Kenaikan nominal upah mereka tidak berarti apa-apa dan tidak berhubungan dengan kenaikan nilai riil upah yang diterima. Kenaikan nominal upah buruh sekitar tujuh sampai delapan persen di tahun 2012 tidak sebanding dengan kenaikan harga-harga barang dan kebutuhan penting lainnya yang naik oleh kenaikan harga BBM sebesar 33 persen.

Selain itu, kenaikan harga berdampak pada meningkatnya angka PHK akibat kebijakan efesiensi tenaga kerja oleh perusahaan yang harus menanggung kenaikan biaya produksi. Cara-cara lain perampasan upah yang dilakukan akibat tersebut adalah peningkatan jam kerja lembur buruh dan penundaan pembayaran upah. Untuk itu semua, pengusaha dan pemerintaha akan semakin mengekang kebebasan berserikat dan pemogokan buruh.

Struktur industri Indonesia yang didominasi oleh imperialis yang bekerjasama dengan kaki tangannya yakni borjuasi komprador dan tuan tanah menjadikan tidak adanya industri nasional yang mandiri. Keadaan ini telah menjadikan Indonesia menjadi lautan pengangguran yang mencapai lebih dari 40 juta dan semakin bertambah akibat dampak kenaikan harga BBM. Pengangguran itu merupakan tumpukan orang yang tidak terserap di industri ditambah dengan korban PHK  oleh perusahaan yang melakukan efesiensi.

Sementara itu, kaum tani menjadi klas mayoritas rakyat yang menderita akibat kenaikan harga BBM. Akibat penghisapan feodalisme dan dominasi imperialisme, mereka menanggung beban kerja berlipat akibat semakin tingginya biaya sewa tanah yang ditanggung, pemotongan upah, dan terjerat hutang lintah darat. Kenaikan harga menjadikan biaya produksi yang harus ditanggung petani miskin dan buruh tani untuk input pertanian yakni benih, pupuk, obat-obatan dan alat kerja.
Contoh, di desa Sukamulya Rumpin (Jawa Barat) harga pupuk kandang pasca kenaikan harga BBM tahun 2008 meningkat menjadi Rp 4.000 per karung (20 kg) dari harga sebelumnya Rp 2.700 per karung. Kenaikan ini akibat biaya transportasi dan harga karung. Di Cirebon, pasca kenaikan harga BBM tahun 2008 juga telah meningkatkan harga sewa tanah naik 100 persen menjadi Rp 10 juta/hektar per tahun.

Kaum nelayan juga sangat menderita oleh kenaikan harga BBM di tengah penggunaan solar yang merupakan komponen terbesar biaya produksi yang mencapai 60 persen lebih. Mayoritas nelayan di Indonesia  dari 2,6 juta  adalah nelayan pengguna kapal kecil yang bobotnya di bawah 30 GT (gross ton). Para nelayan kecil, biasaya, membeli solar eceran yang harganya dapat mencapai dua kali lipat per liter. Tentunya, para nelayan semakin membatasi aktivitasnya atau terjerat oleh tengkulak dan lintah darat sebagai sumber pembiayaan aktivitasnya.

Jelas, tarif baru BBM akan menjadikan penurunan daya beli masyarakat. Inflasi saja sudah menjadikan harga-harga barang meningkat apalagi ditambah kenaikan tarif baru nanti.  Keadaan itu akan menambah inflasi yang diperkirakan mencapai 6,5 persen sehingga nilai uang serta upah diterima pasti terpangkas lagi. Penghidupan kaum borjuasi kecil (Intelektuil: Guru, Dosen, Profesional, Pegawai rendahan, dan Pedagang Kecil, dll) akan semakin menurun seiring terpotongnya upah kerja dan berkurangnya pemasukan usaha produksi dan dagang mereka.

Kenaikan harga-harga barang dan jasa sudah pasti menjadikan angka kemiskinan meningkat. Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi memperkirakan kenaikan harga BBM sebesar 30 persen berpotensi mengakibatkan orang miskin bertambah sebesar 8,55 persen atau sekitar 15,68 juta jiwa dan pengangguran diprediksikan meningkat 16,92 persen dari angka pengangguran resmi yang dilansir BPS sebesar 10,11 juta. Pemerintah selalu membanggakan keberhasilan palsunya dalam menurunkan angka kemiskinan sebesar satu juta orang atau menjadi 30,5 juta orang pada tahun lalu. Akan tetapi, ia tidak bisa menjelaskan peningkatan sasaran bantuan tunai langsung (BLT) setiap kenaikan harga BBM melebihi angka rakyat miskin hasil rekayasa Badan Pusat Statistik (BPS). Mereka hanya bermain dengan kategori-kategori palsu tentang kemiskinan seperti tingkatan kemiskinan dan ukuran minimum rakyat miskin yakni hidup kurang dari Rp 7.000 per hari.

Kedua, Politik. Demi menjaga skema imperialis dalam mengatasi krisisnya yang berujung berlipatgandanya penghisapan terhadap rakyat, maka rezim boneka SBY akan meningkatkan politik fasisme. Penghidupan rakyat yang semakin merosot pasti akan memercikan api perlawanan dan semakin meluas sehingga rezim merasa terancam dan bertindak fasis untuk menjaga stabilitas dan jaminan bagi tuannya, imperialis AS. Rezim reaksi sekarang ini telah memberi ancaman bagi gerakan rakyat yang menolak kenaikan harga BBM dengan menyebarkan isu “makar” dan cap anti kemajuan negara. Bahkan pemerintah, oleh Presiden SBY secara lansung menyatakan “Akan Menindak Tegas” setiap demonstrasi atau gerakan-gerakan lain yang menolak rencana kebijakan tersebut.

Ketiga, Kebudayaan. Sudah pasti, kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya pendidikan. Pemerintah selalu bersembunyi di balik topeng pengalihan biaya subsidi harga BBM yakni penambahan subsidi bagi pendidikan bagi keluarga miskin. Faktanya, harga biaya pendidikan semakin mahal sehingga meningkatkan angka putus sekolah.

Sebagai contoh, dari kenaikan harga BBM pada tahun 2005 dan tahun 2008, subsidi pendidikan akibat kenaikan harga BBM diwujudkan dalam bentuk kompensasi yang dikenal dengan “Bantuan Operasional Sekolah (BOS)” untuk siswa SD dan SMP. Sementara itu, dalam Implementasinya tidak pernah menyentuh angka 50-40% dari total jumlah peserta didik dari keluarga Miskin. Dilain sisi, penyaluran atas kompensasi tesebutpun masih melalui Beasiswa dengan sistem subsidi silang yang sarat dengan diskriminasi dan manipulasi. Dampak lain dari itu, justeru mengurangi tanggungan wajib pemerintah (20% Anggaran pendidikan dari APBN), dimana anggaran BOS kemudian dimasukkan menjadi bagian dari Anggaran 20% tersebut yang juga tidak pernah terealisasi secara utuh, meskipun pemerintah telah dengan bangga mengumumkan bahwa angaran tersebut sudah terpenuhi, bahkan lebih dari 20%, yaitu 20,02%. Kenyataannya, setelah dibagi dengan berbagai kementerian dan terlebih lagi anggaran tersebut didalamnya termasuk dana BOS dan gaji guru, sehingga secara nominal pastilah tampak menjadi lebih besar, padahal sesungguhnya, realisasi anggaran tersebut masih tidak lebih dari hanya 11%.

Dampak lansung, dari kenaikan harga BBM saat itu (Th. 2005 dan 2008) juga menambah angka putus sekolah dan pengangguran yang semakin tinggi. Sampai dengan tahun 2009, terhitung jumlah siswa putus sekolah untuk Sekolah Dasar (SD) setiap tahunnya rata-rata berjumlah 600.000-700.000 siswa. Sedangkan siswa SMP yang harus mengakhiri sekolah sebelum tamat setiap tahunnya rata-rata berjumlah 150.000 sampai 200.000 siswa. Sementara akses ke pendidikan tinggipun sangat rendah, bahkan menunjukkan kesenjangan yang sangat tinggi. Dari jumlah pemuda usia kuliah (18-25 tahun), yang dapat mengenyam pendidikan tinggi hanya mencapai 5,6 Juta jiwa dari kurang lebih 25 juta jiwa, dan dari angka tersebut menunjukkan angka putus kuliah yang tidak kurang dari 150.000 Mahasiswa setiap tahun.

Selain dampak lansung terhadap biaya pendidikan yang semakin tinggi, bagi pemuda Indonesia secara umum, angka putus sekolah/kuliah akibat biaya tersebut kemudian menambahkan angka pengangguran di Indonesia yang semakin tinggi. Dari total jumlah pemuda usia 16-30 tahun (versi Pemerintah), data yang di release BPS tahun 2011 menunjukkan angka pengangguran mencapai 60,5%. Sektor pendidikan juga telah menyumbangkan angka pengangguran yang cukup tinggi. Tercatat, Pengangguran dengan Pendidikan Rata-rata SD-SMP, per-Agusus 2008 berjumlah 4.073.954, naik menjadi 4.198.429 pada periode Februari 2009. Sedangkan pengangguran dari pendidikan tinggi berjumlah 961.001 pada Agustus 2008, menjadi 1.113.020 pada Februari 2009.

Artinya bahwa kenaikan harga BBM kali inipun pasti akan menyebabkan akan semakin naiknya biaya pendidikan, terlebih pemerintah sendiri oleh Presiden SBY lansung menyampaikan bahwa “Angaran Pendidikan dan Kesehatan” menjadi salah satu sektor yang masuk prioritas pemotongan subsidi yang akan dialihkan untuk Alokasi Subsidi (Kompensasi BBM 2012). Menurut forum rektor yang bersentuhan lansung dengan lembaga pendidikan tinggi, juga telah menyepakati bahwa biaya pendidikan harus naik menyesuaikan kenaikan harga BBM. UNPAD akan menghitung ulang biaya kuliah dan akan menaikkannya sesuia dengan kenaikan BBM.

Dilihat dari sisi lainpun, tentu dampak kenaikan harga BBM disektor Pendidikan, tidak hanya pada meningkatnya biaya yang akan dibayarkan lansung oleh peserta didik dan keluarganya, namun selain itu, peserta didik juga harus menyiapkan anggaran sendiri yang lebih tinggi untuk sarana prasana pendidikan dan memenuhi kebutuhan belajar mengajar lainnya, seperti untuk pembelian seragam sekolah, buku, bolpoin, bahan praktikum, biaya potocopy, transportasi, akses internet, dll.

Begitu juga dengan keadaan kesehatan masyarakat yang makin makin memburuk akibat mahalnya biaya kesehatan dan pelayanan yang buruk. Sejak Januari 2012, harga obat telah naik  hingga 10 persen, bahkan obat yang mengandung parasetamol mencapai 43 persen. Kenaikan itu semakin memberatkan karena pemerintah tidak menanggung semua obat dalam program jaminan kesehatan yang diberikan bagi keluarga miskin. Keadaan gizi masyarakat akan menurun akibat mahalnya harga makanan dan nutrisi yang semakin menjadi-jadi akibat kenaikan harga BBM.

F.      Solusi palsu Pemerintah SBY untuk menjawab kenaikan harga BBM
Sedangkan untuk menjawab tuntutan rakyat atas imbas kenaikan harga BBM, Pemerintah SBY menerapkan skema yang sama dangkal dan klise seperti tahun-tahun sebelumnya. Kenaikan BBM tahun 2005 dan 2008, ada beberapa kebijakan yang diklaim mengurangi dampak kenaikan harga BBM yaitu 1) Pemberian kompensasi berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT), 2) Konversi minyak tanah ke gas dan 3) Pemberian Raskin. Faktanya, harga berbagai kebutuhan pokok dan ongkos transportasi yang membumbung tinggi tetap tidak mampu diatasi dan dikurangi dampaknya dengan skema BLT maupun raskin.

Bahkan kebijakan pemberian paket Raskin tidak lebih dari proyek penghinaan terhadap rakyat di tengah kemiskinan yang akut. Diskriminasi dengan beras berkualitas buruk, bahkan tidak layak konsumsi dengan dalih tanggung jawab sosial negara terhadap rakyat. Faktanya skema raskin, bahkan seperti menabur garam di lautan, karena antara tahun 2005 hingga 2009, menunjukan angka kemiskinan rakyat Indonesia di atas 33 juta jiwa, atau jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok sasaran BLT dan Raskin. SBY seperti tidak malu dengan kenyataan bahwa sebagian rakyat Indonesia masih makan nasi aking, tiwul serta akrab dengan penyakit busung lapar maupun gizi buruk. Bank Dunia mengatakan bahwa rakyat Indonesia, 50 persen lebih merupakan kelompok yang rentan terhadap kemiskinan terutama akibat kenaikan bahan pokok atau sembako.

Skema konversi minyak ke gas pun sesungguhnya lebih kental muatan politisnya dibandingkan dengan kebijakan efisiensi energi. Sudah menjadi pengetahuan umum kalau kebijakan tersebut tidak lebih merupakan upaya mengeruk keuntungan komprador di Indonesia seperti Muh. Jusuf Kalla (JK), Abu Rizal Bakrie (Ichal) dan berbagai perusahaan gas imperialis di Indonesia seperti Exxon, BP dan Chevron. Bahkan jauh sebelum kebijakan menaikan harga BBM, telah direncanakan pembatasan BBM bersubsidi dan, bagi angkutan umum bahan bakarnya akan di konversi ke gas. Lagi–lagi sebuah proyek yang akan menguntungkan industri komprador maupun milik imperialis.

Untuk menangani keadaan ini, pemerintah masih menggunakan politik “pro-rakyat” palsu yang digunakan sejak kebijakan kenaikan harga BBM diluncurkan pada tahun 2005 dan 2008. Pemerintah berusaha menggelontorkan bantuan langsung untuk menekan dampak kenaikan terhadap masyarakat miskin yakni: Pertama, Bantuan langsung sementara (BLSM) sebesar Rp 150 ribu per keluarga yang dibagikan kepada 18,5 keluarga miskin dengan anggaran Rp 25,6 triliun. Kedua, Tambahan subsidi beras miskin selama dua bulan (dari 12 bulan menjadi 14 bulan). Proyek ini memiliki anggaran sebesar Rp 5,3 triliun. Ketiga, Subsidi penambahan jumlah beasiswa untuk pelajar dan mahasiswa dari keluarga miskin sebesar Rp 3,4 triliun. Keempat, Subsidi angkutan umum massal seperti kapal penumpang, kereta api, dan bus umum sebesar Rp 5 triliun.

Apa artinya itu semua? Pemerintah tidak perlu mengeluarkan dana untuk subsidi atas satu liter BBM dan mengubah bahasa subsidi menjadi dana kompensansi kenaikan harga BBM. Alasan pemerintah adalah merombak subsidi yang justru banyak dimanfaatkan orang kaya sebagai pengguna terbesar BBM. Kompensasi merupakan imbalan pemerintah kepada rakyat miskin yang terkena dampak yang jumlahnya ditentukan melalui rumus “khusus” ala pemerintah yang penuh kesesatan dan kepalsuan. Demikian cara pemerintah yang pasti sia-sia dan tidak menjawab masalah rakyat, bahkan semakin menderitakan rakyat.

G.     Solusi jangka panjang dan tuntutan Rakyat
Berdasarkan pada analisis di atas, maka Front Mahasiswa Nasional (FMN) Menyatakan Sikap “Tolak Kenaikan Harga BBM”, Dan menyerukan kepada anggota disetiap levelan Organisasi disetiap daerah untuk menggalang kekuatan dan merangkul seluruh Elemen Mahasiswa dan seluruh rakyat Indonesia untuk menolak dan melawan sekuat tenaga kebijakan Pemerintah SBY menaikkan harga BBM, dengan berbagai bentuk perlawanan dan menuntut:

1.      Tolak Kenaikan Harga BBM
2.      Cabut UU Migas no. 22/2001, UU no. 11/1967 dan UU Penanaman Modal  no. 25/2007 yang mengabdi pada imperialis! 
3.      Turunkan Harga-harga Kebutuhan Pokok Rakyat
4.      Naikkan Upah Buruh, Pegawai Rendahan dan pekerja lainnya
5.      Hentikan Perampasan tanah dan Laksanakan Reforma Agraria Sejati
6.      Berikan jamina kesejahteraan dan penuhi hak penhidupan rakyat lainnya
7.      Berantas korupsi dan sita hasil Korupsi untuk Rakyat
8.      Berikan Jaminan kebebasan Berorganisasi dan mengeluarkan pendapat bagi Rakyat
9.      Hentikan Komersialisasi pendidikan dan realisasi 20% anggaran pendidikan untuk rakyat


Hidup Mahasiswa!
Bersatulah Rakyat Indonesia!
Lawan Seluruh Kebijakan Pemerintah SBY yang Anti-Rakyat!
Jayalah Perjuangan Massa!




[1] Data pokok APBN 2006-2012 Kemenkeu RI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar