Selasa, 22 November 2011

"Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tingig dan Nasib Pendidikan Tinggi di Indonesia"

   UU BHP memang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, tapi praktek komersialisasi pendidikan yang merupakan salah satu liberalisasi pendidikan tinggi masih dijalankan oleh rezim SBY-Boediono. Fenomena ini ditandai dengan semakin meningkatnya biaya pendidikan dari tahun ke tahun dan semakin mencoloknya komposisi mahasiswa mampu (94%) dengan mahasiswa tidak mampu (6%) yang dapat mengakses pendidikan tinggi. Namun, demikian wacana untuk tetap meliberalisasi pendidikan tinggi dan melanggengkan praktek komersialisasi pendidikan masih tetap berlangsung. Hal ini ditandai dengan adanya pembahasan tentang RUU Pendidikan Tinggi yang akan menjadi pengganti dari UU BHP yang sudah dibatalkan sebelumnya.

            RUU Pendidikan Tinggi memang secara substansi sama dengan UU BHP, hal ini terlihat dengan isi secara implisit dari pasal-pasal yang tertuang dalam RUU tersebut. Bentuk-bentuk pengelolaan pendidikan tinggi yang memberikan peluang untuk melancarkan kebijakan liberalisasi pendidikan tinggi, seperti  diperbolehkan mendirikan badan usaha dan membuka portofolio untuk membiayai kebutuhan operasional, investasi, bantuan dana  pendidikan tinggi, dan lain-lain. Selain itu, peserta didik juga dibebankan sebesar 30% dari total kebutuhan biaya operasional dan suatu perguruan tinggi diperbolehkan menetapkan jenis dan besar tariff layanan pendidikan tinggi. Dengan melihat konsep pelaksanaan dari RUU Pendidikan Tinggi, bukanlah isapan jempol belaka bahwa RUU tersebut akan melanggengkan praktek komersialisasi pendidikan yang merupakan wujud dari kebijakan liberalisasi pendidikan  tinggi di Indonesia.

           Tekanan untuk segera membuat UU pengganti UU BHP memang sudah sangat terasa dari desakan para rektor yang di PTN khususnya UI, UNAIR, USU, IPB, ITB, UPI, dan UGM agar adanya payung hukum yang jelas bagi ke-7 PTN yang hingga kini masih dibawah Peraturan Pemerintah tentang BHMN. Namun untuk sistem pengelolaan keuangan mengikuti Peraturan Pemerintah tentang Badan Layanan Umum. Tentunya, semangat yang dikedepankan oleh para rektor Indonesia dan rezim SBY-Boediono yakni memberikan otonomi secara penuh atas pengelolaan keuangan. Para petinggi PTN tersebut beralasan bahwa tujuan dari diberikannya pengelolaan keuangan secara mandiri akan mempermudah suatu PTN untuk mengembangkan institusinya dengan dana yang sudah didapatkan secara mandiri dan dipergunakan secara mandiri pula. Alasannya yakni, bagi 7 PTN yang masih dalam payung PP tentang PT BHMN akan dibawah PP tentang BLU. Dengan demikian perjanjian-perjanjian yang menghasilkan uang segar, profit dari badan usaha dan atau portofolio yang diselenggarakan oleh ke 7 PTN tersebut akan menjadi kekayaan negara. Serta tata cara penentuan jenis dan tariff layanan tidak dapat ditentukan secara sepihak dari Pimpinan PTN namun butuh pengesahan dari Menteri Keuangan. Dari titik inilah, sudah sangat jelas sekali bahwa RUU Pendidikan Tinggi akan didesak untuk disahkan sebelum tanggal 31 Desember 2012 untuk mempermudah kebijakan atas liberalisasi pendidikan tinggi dan melanggengkan praktek komersialisasi pendidikan.

Liberalisasi Pendidikan dan Praktek Komersialisasi Akan Semakin Gila Jika RUU Pendidikan Tinggi Disahkan

               Kebijakan  untuk meliberalisasi pendidikan merupakan salah satu amanat dari kesepakatan GATS (General Aggrement Trade and Service) yang ketika itu ditandatangani oleh rezim facis Soeharto. Dalam kesepakatan tersebut, pendidikan dimasukkan dalam kategori jasa yang harus diliberalisasi oleh negara-negara yang meratifikasi perjanjian tersebut dan salah satunya Indonesia. Kebijakan untuk meliberaliasi pendidikan memang sudah dapat dilihat sejak adanya PP no 61 tentang PT BHMN, UU no tahun 2003 tentang Sisdiknas dan UU no 9 tahun 2009 tentang BHP (sudah dibatalkan). Namun, upaya untuk meliberalisasi disektor pendidikan khususnya di pendidikan tinggi masih dapat kita rasakan dengan adanya RUU Pendidikan Tinggi yang sedang dibahas oleh pemerintah dibawah rezim SBY-Boediono.

               Salah satu contoh efek dari liberalisasi pendidikan yakni tingkat inflasi biaya pendidikan tinggi dari tahun 2001 hingga tahun 2010 hampir 1,5 kali inflasi kebutuhan pokok. Walaupun tingkat akses masyarakat (menengah ke atas) untuk menikmati bangku kuliah mengalami peningkatan. Kondisi ini didorong dengan dibukanya jalur mandiri yang diberlakukan oleh setiap PTN, tapi bagi calon peserta didik harus harus merogoh kocek mereka lebih dalam dari kisaran jutaan hingga ratusan juta. Bahkan hari ini jalur yang diselenggarakan oleh pemerintah atau dikenal dengan SNMPTN juga dikenakan biaya yang hampir sama dengan jalur mandiri. Biaya yang harus dibayarkan pun ditentukan dengan level, baik level satu hingga level empat yang nominalnya dimasing-masing level berbeda tergantung fakultas mana yang dituju oleh para peserta didik.

          Begitu juga, bagi calon mahasiswa yang memilih untuk menempuh ke Perguruan Tinggi Swasta atau PTS. Calon mahasiswa dibujuk dengan biaya SPP yang murah namun dengan uang SKS yang mahal dan tiap tahun mengalami kenaikkan. Selain itu, diperparah dengan minimnya fasilitas yang menunjang kegiatan belajar mengajar. Jika pun ada fasilitas yang cukup memadai, bagi setiap calon mahasiswa pun dikenakan biaya pembangunan atau sejenisnya dengan jumlah yang cukup besar pula walaupun tidak ada level seperti di PTN.

         Kedok atau topeng yang mereka gunakan untuk menjalankan praktek komersialisasi pendidikan yakni bentuk subsidi silang bagi mahasiswa yang tidak mampu, mencegah diskriminasi bagi mahasiswa yang masuk melalui jalur mandiri dengan jalur SNMPTN dan disesuaikan dengan kemampuan membayar dari calon mahasiswa. Padahal dari total 5,2 juta mahasiswa hampir 94% berasal dari golongan masyarakat menengah ke atas dan hanya 6% dari golongan menengah kebawah. Maka hal yang wajar saja untuk pemandangan di kampus-kampus negeri atau swasta sudah sangat jarang sekali kita akan melihat anak-anak (mahasiswa) yang berasal dari keluarga buruh pabrik, petani miskin/buruh tani, pedagang asongan, sopir angkot dan lain sebagainya.

           Selain itu, biaya sangat besar yang dikeluarkan oleh setiap peserta didik dijadikan tameng oleh rezim SBY-Boediono untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam membantu suatu PTN atau PTS agar dapat menyediakan sarana/fasilitas yang mendukung kegiatan belajar mengajar. Padahal jika berkaca dengan kondisi rakyat Indonesia yang masih hampir 50% masih hidup dibawah dan diambang garis kemiskinan. Tentu dengan kenyataan tersebut, pendidikan tinggi hanya akan dapat dimanfaatkan oleh sebagian kecil masyarakat Indonesia. Serta cita-cita negeri ini untuk mencetak tenaga kerja yang ahli dan terdidik sebagai salah satu syarat untuk memajukan negara ini hanya menjadi bualan semata. Kondisi ini sangat dimungkinkan dengan besarnya biaya pendidikan tinggi di Indonesia maka angkatan kerja Indonesia maksimal hanya akan menempuh pendidikan menengah saja. Dengan demikian, hanya akan menciptakan tenaga kerja murah yang memiliki kemampuan atau tingkat pendidikan yang rendah bukannya tenaga kerja yang mampu mengembangkan dan memanfaatkan kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah untuk memakmurkan rakyat Indonesia.

         Kebijakan-kebijakan palsu pun akan semakin digelorakan oleh rezim anti rakyat (SBY-Boediono) untuk menutup kebusukan dari penerapan liberalisasi dan praktek komersialisasi pendidikan. Gejala ini sudah dapat kita ketahui bersama bahwa rezim boneka imperialis yakni SBY-Boediono mendengungkan bahwa pemerintah telah menyediakan 20% dari total APBN yang salah satunya berupa pemberian beasiswa. Namun jika kita lihat lagi lebih dalam, pemberiaan beasiswa ini juga tidak memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap akses masyarakat Indonesia agar dapat melanjukan ke jenjang pendidikan tinggi. Pemberian beasiswa bidik misi atau sejenisnya hanya mampu menjangkau 64.921 calon peserta didik dari 1,5 juta lulusan SMA/K/MA dan memberikan beasiswa bagi mahasiswa sebanyak 257.812  dari total 4.010.015 mahasiswa baik PTN, PTS PTAI dibawah kemendiknas dan kemenag (diluar UT dan Kedinasan). Pastinya angka-angka tersebut tidak menjamin bagi rakyat Indonesia yang berada di usia pendidikan tinggi (Diploma 1 hingga Strata 1) 19-24 tahun sebanyak 25,3 juta jiwa. Selain itu, anggaran yang dialokasi hampir Rp 35,2 Triliyun hampir 55%-nya habis untuk membayar gaji tenaga pendidik (dosen) dan tenaga kependidikan (karyawan).

        Dengan adanya RUU Pendidikan Tinggi yang sedang dibahas oleh Komisi X DPR-RI, akan semakin melegitimasi kebijakan liberalisasi dan praktek komersialisasi pendidikan tinggi. Keadaan ini sangat dimungkinkan dengan banyaknya pasal-pasal yang mengakomodir adanya kebijakan dan praktek liberalisasi serta komersialisasi seperti, setiap PTN yang berbentuk Badan Hukum dan Mandiri dapat membuka badan usaha dan portofolio, mahasiswa dibebankan sebesar 1/3 dari biaya operasional, hanya akan ada 20% dari miskin tapi berprestasi, lalu biaya pendidikan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun dengan mekanisme level 1-4 dan masih banyak lagi.

        Dilain pihak, kebijakan liberalisasi dan masih berjalannya praktek komersialisasi pendidikan merupakan bentuk dari lepasnya tanggung jawab negara yang dijalankan oleh rezim anti rakyat SBY-Boediono. Bukti sudah dapat kita lihat dari pemaparan diatas, bahwa rezim SBY-Boediono tidak memiliki visi yang cukup tegas untuk memajukan kualitas tenaga kerja Indonesia. Tentu dengan bukti-bukti tersebut, SBY-Boediono harus bertanggung jawab atas kondisi pendidikan tinggi di Indonesia yang semakin tidak berpihak pada rakyat Indonesia. Serta, SBY-Boediono harus mencegah adanya pengesahan RUU Pendidikan Tinggi dan menghentikan kebijakan liberalisasi dan praktek komersialisasi di pendidikan tinggi.

Dominasi Kepentingan Negeri-Negeri Imperialis (Asing) Dalam RUU Pendidikan Tinggi

        Keberadaan RUU Pendidikan Tinggi tentunya tidak terlepas dari kondisi Indonesia yang masih dibelenggu oleh sistem setengah jajahan dan setengah feodal yang salah satunya ditandainya masih dominannya kepentingan negeri-negeri imperialis (kapital monopoli asing) dibawah pimpinan Amerika Serikat. Dominasi kepentingan negeri-negeri Imperialis dalam RUU Pendidikan Tinggi ini dapat kita ketahui dengan adanya pasal yang memperbolehkan kerjasama dibidang pendidikan (kurikulum) dengan perguruan tinggi asing. Dengan adanya kerjasama dibidang pendidikan, bukan hal yang tidak mungkin akan masuk teori atau pengetahuan yang bersifat eksploitatif atau destruktif terhadap pembangunan negeri ini. Teori atau pengetahuan akan membentuk pola pikir yang jauh dari kenyataan dan tidak memberikan solusi atas persoalan yang dihadapi oleh Indonesia.

            Fenomena ini terlihat dari monopoli sumber daya agraria baik diatas tanah maupun yang terkandung dalam tanah oleh tuan tanah besar berkedok perusahaan swasta asing-domestik dan milik negara. Fenomena ini tentunya tidak lahir begitu saja, namun berasal dari teori dan pengetahuan tentang liberalisasi dan kapitalisasi modal milik negeri-negeri Imperialis. Wujudnya dapat kita lihat dari peraturan-peraturan yang mendukung adanya liberalisasi ekonomi. Konsep bahkan hingga teknis adminitratif yang menopang praktek liberalisasi pendidikan. Contoh lainnya dari dominasi teori dan pengetahuan yang membelenggu rakyat Indonesia yakni, rakyat Indonesia dipaksa untuk mengkonsumsi barang dan jasa yang dihasilkan oleh negeri Imperialis dengan mengatasnamakan tingkat daya beli masyarakat. Serta, masih dominan investasi asing dalam pembangunan ekonomi Indonesia yang mengklaim untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Padahal dari semua penerapan teori dan pengetahuan milik negeri-negeri Imperialis khususnya Amerika Serikat hanya membawa kesengsaraan, kerusakan lingkungan, beban hutang, krisis ekonomi bagi rakyat Indonesia.

        Memang dominasi dalam ranah kebudayaan, tidak dapat kita sadari oleh semua rakyat Indonesia. Fenomena ini merupakan tanda bahwa kita sudah terhegemoni dengan teori, pengetahuan dan budaya yang dilahirkan oleh negeri-negeri Imperialis. Untuk membongkar hegemoni tersebut dapat dilakukan dengan menciptakan toeri, pengetahuan dan budaya yang merupakan hasil dari penyelenggaraan pendidikan tinggi yang berpihak pada rakyat bukan segelintir orang. Hal ini dikarenakan berkualitasnya dan berpihaknya penyelenggaraan pendidikan tinggi bukanlah hal yang tidak mungkin bagi rakyat Indonesia untuk mandiri dalam pembangunan negeri ini melalui pemanfaatan sumber daya yang tidak eksploitatif, akumulatif dan ekspansif seperti yang diajarkan oleh teori-teori dari negeri-negeri Imperialis.

      Selain dominasi kebudayaan, ada pula kepentingan negeri-negeri Imperialis pimpinan Amerika Serikat yakni ingin memanfaatkan tenaga kerja murah. Hal ini dikarenakan dengan sulitnya rakyat Indonesia untuk mengakses pendidikan tinggi maka akan semakin menambah angkatan kerja yang dimiliki oleh Indonesia yang berpendidikan rendah. Dengan rendahnya pendidikan, tentu angkatan kerja kita hanya menjadi buruh-buruh murah. Hal ini sudah dapat kita lihat dengan kenyataan bahwa banyak angkatan kerja yang lulusan SMA/K/MA hanya menjadi receptionist, cleaning service, sales marketing, buruh pabrik, pelayan hotel, buruh konstruksi, buruh migran dan lain sebagainya. Dengan jenis pekerjaan tersebut dan diperparah dengan rendahnya upah yang sesuai dengan KHL tentunya hanya akan me(re)produksi bahwa anak dari keluarga buruh atau cleaning service hanya akan mengikuti jejak orang tuanya. Serta tingkat penghidupan atau kesejahteraan pun menambah panjang deret angka kemiskinan yang ada di Indonesia.
Dengan demikian secara langsung, tenaga kerja yang produktif akan hancur karena buruknya penyelenggaraan pendidikan tinggi yang hanya mempraktekkan komersialisasi pendidikan hingga rakyat Indonesia tidak mampu mengakses pendidikan tinggi. Hancurnya tenaga produkif, tentunya menjadi kerugian bagi negeri ini yang memiliki cita-cita untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera menjadi hanya mimpi belaka. Serta, hanya menambah panjang waktu penderitaan yang dialami oleh rakyat Indonesia.

         Berlangsungnya dominasi kepentingan dalam ranah kebudayaan dan tenaga kerja, tentunya tidak akan berjalan tanpa adanya rezim boneka dalam negeri (SBY-Boediono) yang mempermudah untuk merealisasikan kepentingan negeri-negeri Imperialis pimpinan Amerika Serikat. SBY-Boediono megang peranan penting sebagai rezim boneka Imperialis AS dengan memberlakukan seperangkut peraturan, menyiapkan tenaga-tenaga administratif, menerapkan teori-teori kapitalistik, serta hukuman bahkan penegak hukum jika ada rakyat yang memberikan perlawanan untuk menuntut hak-hak demokratisnya. Fenomena tersebut sudah didepan mata kita, ketika puluhan mahasiswa dari UNM yang melakukan aksi untuk menurunkan biaya pendidikan di UNM mendapatkan hukuman berupa DO bagi 19 mahasiswa. Tidak ketinggalan ketika puluhan mahasiswa UTY yang menggelar aksi untuk kebebasan berorganisasi mendapatkan pukulan dari satpam dan preman yang dibayar oleh kampus dan 8 mahasiswa UTY juga menjadi korban DO secara sepihak. Alasan dari pihak rektorat mengeluarkan mahasiswa yakni mereka bukan berasal dari organisasi yang disahkan oleh statuta Universitas dan dalam RUU Pendidikan Tinggi juga mengatur bahwa organisasi yang diperbolehkan beraktivitas baik akademik, sosial maupun politik (menyampaikan pendapat dan aspirasi) hanya organisasi yang diakui oleh statuta universitas.(###)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar