Selasa, 22 November 2011

PERNYATAAN SIKAP FMN TENTANG RUU PT

PERNYATAAN SIKAP
PIMPINAN PUSAT FRONT MAHASISWA NASIONAL
TERHADAP PENOLAKAN RUU PENDIDIKAN TINGGI KARENA RUU PENDIDIKAN TINGGI BENTUK KEBIJAKAN LIBERALISASI DAN PRAKTEK KOMERSIALISASIPENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA


       Latar belakang kepentingan adanya liberalisasi pendidikan tinggi tidak terlepas dengan kesepakatan yang sudah diratifikasinya GATS (General Agreement on Trade Service) oleh pemerintah pada tahun 1995. Salah satu isi kesepakatan tersebut adalah meliberalisasikan pendidikan tinggi karena pendidikan tinggi dijadikan salah satu komoditas perdagangan jasa. Dengan menjadikan pendidikan tinggi sebagai salah satu komoditas perdagangan jasa maka setiap input, proses dan output penyelanggaraan pendidikan tinggi harus melahirkan profit atau keuntungan terhadap institusi pendidikan. Hal ini terlihat sejak pemerintah mengesahkan PP no 61 tentang PT BHMN pada tahun 1999 dan menetapkan 5 PTN sebagai PT BHMN seperti UI, UGM, ITB, IPB, dan UNAIR. Sejak ditetapkannya ke lima PTN tersebut sebagai wujud kebijakan liberalisasi pendidikan tinggi yang melahirkan praktek komersialisasi pendidikan.

          Tentu menetapkan kebijakan liberalisasi pendidikan tinggi akan mendatangkan keuntungan bagi pihak institusi pendidikan. Keuntungan tersebut, seperti penjualan hak cipta, kerjasama, perjanjian, penelitian, penyewaan fasilitas, biaya pendidikan yang tinggi, pendirian badan usaha dan atau portofolio. Dengan bentuk-bentuk tersebutlah suatu perguruan tinggi akan mendanai kebutuhan atas pembiayaan suatu perguruan tinggi. Padahal sudah seperti yang kita ketahui bersama bahwa penyelenggaraan pendidikan merupakan tanggung jawab Negara. Dengan demikian baik pendidikan dasar, menengah maupun tinggi merupakan tanggung jawab Negara baik dalam hal aspek pendanaan, penyediaan fasilitas dan sebagainya yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pendidikan.

        Dengan adanya RUU Pendidikan Tinggi yang dicetuskan oleh DPR-RI pada awal bulan April 2011 merupakan bentuk kebijakan liberalisasi pendidikan tinggi secara menyeluruh sejak UU BHP batalkan. Hak inisiatif yang dimiliki oleh DPR-RI untuk merancang suatu Undang-Undang yang mengatur tentang Pendidikan Tingg. Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi ini harapannya akan dijadikan sebagai payung hukum pengganti  UU BHP yang sudah dibatalkan oleh MK pada akhir Maret 2010. Keberadaan RUU Pendidikan Tinggi ini lahir atas desakan 7 rektor Perguruan Tinggi (UI, UGM, ITB, IPB, USU, UNAIR dan UPI) yang menginginkan diberlakukannya otonomi kampus secara menyeluruh. serta 7 rektor Perguruan Tinggi Negeri  menginginkan agar penyusunan RUU Pendidikan Tinggi dapat segera disahkan hingga akhir tahun 2011 dan harus meminimalisir adanya peluang untuk dibatalkan ketika diuji ke MK seperti kasus UU BHP.
          Dengan melihat kondisi objektif dan kenyataan yang ada dilapangan terhadap pendidikan tinggi sejak tahun 2001 hingga sekarang mengalami degradasi tujuan utama penyelenggaran pendidikan yang merupakan akibat dari pendidikan tinggi. Hal ini ditandai dengan tinggi biaya pendidikan tinggi yang harus bayar oleh rakyat Indonesia. Kondisi tergambar pada tahun ajaran 2011/2012 untuk registrasi setelah melewati ujidan baik yang diselenggarakan secara nasional (SNMPTN) maupun melalui ujian mandiri setiap peserta didik harus membayar Rp 7.500.000 hingga Rp 250.000.000.

          Tingginya biaya pendidikan tinggi merupakan konsekuensi dari kebijakan liberalisasi pendidikan tinggi yang melahirkan praktek komersialisasi pendidikan tinggi. Dengan adanya RUU Pendidikan Tinggi yang akan disahkan oleh rezim SBY-Boediono sebagai rezim yang anti rakyat. Maka praktek komersialisasi pendidikan tinggi dan kebijakan liberalisasi pendidikan akan semakin “beringas” dan tak terkendali. Hal ini dikarenakan dalam RUU Pendidikan Tinggi mengatur tentang kewajiban pesertai didik yang ikut menanggung beban biaya operasional penyelenggaraan pendidikan tinggi, diperbolehkannya Perguruan Tinggi Asing terselenggara di Indonesia, diperbolehkannya suatu PTN menyelenggarakan badan usaha, portofolio untuk mendanai kebutuhan penyelenggaraan pendidikan tinggi, tidak adanya tanggung jawab pemerintah dalam menyediakan fasilitas dan sarana yang mendukung kegiatan perkualiahan, berubah PTN menjadi PTN mandiri dan atau PTN berbadan hukum yang merupakan ciri dari privitatisasi pendidikan, adanya diskriminasi dalam hal pemberian bantuan biaya investasi dan biaya operasional antara PTN dan PTS, dan adanya diskriminasi atas penerimaan bantuan pendidikan atau beasiswa bagi peserta didik. Serta tidak adanya demokratisasi kampus dalam kebebasan berorganisasi dan mimbar akademik kepada mahasiswa. Hal ini dikarenakan organisasi dan mimbar akademik hanya diperbolehkan oleh pihak rektorat saja dan bagi mahasiswa yang melakukan aktivitas organisasi dan mimbar akademik diluar ketentuan yang diberlakukan oleh pihak rektorat akan dikenakan sanksi berdasarkan statuta di masing-masing perguruan tinggi.

           Akibat dari kebijakan liberalisasi pendidikan dan praktek komersialisasi pendidikan sudah dapat  kita ketahui bahwa adanya diskriminasi dalam akses pendidikan tinggi. Kondisi ini tergambar dari 94% mahasiswa berasal dari kalangan menengah ke atas dan 6%nya berasal dari kalangan ekonomi ke bawah. Selain itu, juga pemanfaatan atas fasilitas kampus pun semakin dijadikan objek untuk mendapatkan keuntungan semata dengan membayar uang sewa bagi mahasiswa yang akan menggunakan untuk kegiatan-kegiatan di kampus.

          SBY-Boediono sebagai rezim yang berkuasa hari ini tentunya harus bertanggung jawab atas persoalan atas komersialisasi dan penerapan liberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia. Hal ini ditandai dengan sejak SBY memerintah pada tahun 2004 banyak kebijakan yang melanggengkan praktek komersialisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi seperti, pengesahan UU BHP, penggabungan gaji guru, dosen dan karyawan dalam anggaran pendidikan, memberikan kebebasan terhadap suatu PTN untuk menentukan tariff biaya pendidikan yang sangat tinggi, dan lain-lain. Padahal, dengan kondisi masyarakat Indonesia yang sebagian besar adalah petani and buruh dengan pendapatan yang sangat rendah. Maka, dengan biaya pendidikan tinggi yang semakin melambung tinggi tentunya akan melahirkan ketimpangan dalam akses pendidikan tinggi di Indonesia.

          Selain itu, dengan adanya RUU Pendidikan Tinggi yang sedang disusun juga merupakan salah bentuk dari kebijakan yang hanya menguntungkan kepentingan negeri-negeri Imperialis. Hal ini dikarenakan dengan adanya rencana pengesahan RUU Pendidikan Tinggi maka Imperialis akan mendapatkan keuntungan yang berkali-kali lipat. Keuntungan tersebut yakni, a) dominasi kebudayaan melalui teori atau pengetahuan yang bersifat destruktif dan eksploitatif melalui pendirian Perguruan Tinggi Asing dan kerjasama-kerjasama dengan perguruan tinggi di Indonesia, b) meningkatnya kesenjangan atas akses pendidikan tinggi yang akan melahirkan tenaga kerja murah dengan rendahnya tingkat pendidikan tinggi yang mampu dilalui oleh rakyat Indonesia, dan d) Imperialis akan meraih keuntungan dengan melakukan perjanjian kerjasama baik di bidang akademik maupun non akademik. Dengan demikian maka semakin menegaskan bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil oleh SBY merupakan rezim yang anti rakyat dan rezim boneka Imperialis.

Maka, kami dari Front Mahasiswa Nasional sebagai ormas mahasiswa yang memiliki tujuan untuk mewujudkan pendidikan ilmiah, demokratis, dan mengabdi pada rakyat. Kami menyatakan sikap “MENOLAK ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN TINGGI” yang sedang disusun. Hal ini dikarenakan RUU Pendidikan Tinggi bentuk kebijakan liberalisasi dan praktek komersialisasi pendidikan tinggi di Indonesia. Selain itu, kami juga menuntut pada Rezim SBY Boediono :
1)      Merealisasikan anggaran pendidikan diluar gaji guru, dosen dan karyawan.
2)      Menurunkan biaya pendidikan tinggi yang semakin melambung tinggi
3)      Menyediakan sarana dan fasilitas yang menunjang penyelenggaran pendidikan tinggi
4)      Memberikan kebebasan berorganisasi, berpendapat, mimbar akademik dan berekspresi
5)      Menghentikan tindakan kekerasan terhadap mahasiswa yang menuntut hak-hak demokratisnya seperti skorsing, pemukulan, intimidasi, dan DO.


JAKARTA, 26 OKTOBER 2011
PIMPINAN PUSAT
FRONT MAHASISWA NASIONAL


L.MUH. HASAN HARRY SANDY.AME
SEKRETARIS JENDERAL

Tidak ada komentar:

Posting Komentar