Selasa, 22 November 2011

"MEMBONGKAR PERBUDAKAN MODERN TERHADAP BURUH MIGRAN INDONESIA"

Situasi Obyektif Dalam Negeri

         Indonesia terkenal dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah ruah menjadi daya tarik bagi negara-negara Imperialis. Daya tarik negeri Imperialis dapat kita liha dengan banyaknya eksploitasi sumber daya alam yang sejak ratusan lalu hingga sekarang masih berlangsung. Hal ini dapat kita lihat dengan pertambangan batubara, minyak bumi dan mineral lainnya digali dari bumi Indonesia tercinta. Selain itu, kita juga menyaksikan perluasan perkebunan besar di pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi dan Kalimantan yang dilakukan oleh tuan tanah dalam  bentuk perusahaan swasta maupun milik negara seperti Sinarmas Group, Rajawali Group, Wilmar Group, Bakrie Group, PT PN, Inhutani dan sebagainya. Serta, tidak pula ketinggalan pula proyek mega besar seperti MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) yang merupakan rencana kerjasama rezim SBY-Boediono dengan negara-negara Imperialis. MIFEE ini rencananya akan untuk membuka lahan pertanian dalam skala besar seluas 2,8 juta - 4 juta hektare di Merauke Papua. Kerjasama MIFEE juga merupakan perwujudan dari penyediaan bahan baku untuk melakukan pembukaan industri agrofeul sebagai pengganti bahan bakar fosil.

         Maraknya perampokan sumber daya alam yang seharusnya dapat dijadikan oleh negeri ini untuk modal pembangunan sumber daya manusia Indonesia tapi melahirkan kualitas sumber daya manusia yang rendah kualitasnya. Hal ini dikarenakan minimnya akses pendidikan yang dapat dirasakan oleh rakyat Indonesia.  Penyebab dari minimnya akses pendidikan lebih besar dipengaruhi oleh biaya pendidikan yang tidak mampu dijangkau oleh rakyat Indonesia, tidak meratanya sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan pendidikan di Indonesia dan rendahnya pendapatan atau upah yang diterima oleh rakyat Indonesia yang hanya mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia merupakan salah faktor pendukung dari merosotnya penghidupan oleh rakyat. Hal ini dikarenakan ilmu dan pengetahuan yang seharusnya mampu meningkatkan kapasitas dari manusia Indonesa. Akan tetapi, kenyataan dilapangan hanya melahirkan buruh murah yang siap kerja dan rendah kualitas hidupnya.

          Dengan tinggi kadar eksploitasi dan perampasan tanah baik dalam hal pertambangan dan perkebunan yang terjadi di Indonesia merupakan salah bentuk konsekuensi dari negeri setengah jajahan setengan feodal seperti Indonesia. Hal ini dikarenakan negeri Indonesia memiliki peran penting dalam memenuhi kebutuhannya Imperialisme yakni bahan mentah untuk mendukung industri mereka. Implikasi dari eksploitasi sumber daya alam Indonesia dengan ditandai monopoli lahan juga melahirkan angkatan kerja yang tidak memiliki peluang kerja atau lapangano pekerjaan yang layak bagi rakyat Indonesia. Hal ini dikarenakan dengan adanya monopoli lahan yang dilakukan oleh tuan tanah besar membuat para keluarga petani tidak memiliki pilihan lain untuk mencoba peruntungan lain yakni menjadi buruh migran.

Situasi Obyektif Buruh Migran

          Keberadaan buruh migran yang ada di Indonesia merupakan konsekuensi logis dari minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia di dalam negeri. Hal ini dapat kita lihat berdasarkan data BPS dari 107 juta angkatan kerja kita lebih dari 60% bekerja di sektor informal. Dengan minimnya lapangan kerja di dalam negeri yang melahirkan buruh migran karena rendahnya akses pendidikan rakyat Indonesia. Keadaan ini dapatk kita lihat, dari 107 juta angkatan kerja hanya 7-8,3 juta jiwa saja lulusan PT atau Diploma. Sedangkan hampir 50 juta jiwa merupakan lulusan SD dan selebihnya adalah lulusan SMP dan SMA.
Dengan realita dan keadaan obyektif yang dialami rakyat Indonesia. Hal yang sangat wajar jika keberadaan buruh migran di Indonesia semakin nyata dikehidupan sehari-hari kita. Hingga detik ini hampir 7,8 juta jiwa bekerja sebagai buruh migran hanya 4,3 juta jiwa yang memiliki dokumen lengkap atau legal dan sisanya adalah ilegal. Sering kali buruh mingran disebut sebagai pahlawan devisa negara. Hal ini dikarenakan setiap buruh migran yang ingin bekerja di luar negeri harus membayar visa kerja, remitansi dan dana-dana lainnya yang masuk dalam pendapatan negara. Namun, sedikit orang yang tahu dan mengerti teintang nasib dan keberadaan buruh migran yang sudah bekerja di luar negeri, yang masih di penampungan ataupun yang akan pulang ke Indonesia.

        Para calon buruh migran yang ada dipenampungan sebagian besar dijaring oleh para agen-agen penyalur swasta yang merupakan mandat dari Undang-Undang Penempatan Tenaga Kerja ke Luar Negeri no 39 tahun ... Undang-Undang mengatur tentang mekanisme rakyat Indonesia untuk menjadi buruh migran. Akan tetapi, UU tersebut tidaklah berpihak bagi buruh migran. Hal ini dikarenakan dalam UU tersebut buruh migran tidak memiliki jaminan keselamatan kerja dan hak-hak dasarnya. Hal ini diakibatkan oleh secaram umum para agen-agen penyalur tenaga kerja yang tidak bertanggung jawab atas keselamatan para buruh migran baik yang ada di luar negeri maupun dan di dalam penampungan sementara. Selain itu, pemerintah juga tidak memiliki peran dan tanggung jawab yang besar dalam memberikan perlindungan terhadap buruh migran. Serta, buruh migran yang sudah bekerja di luar negeri juga tidak mendapatkan perlindungan keselamatan kerja dari pihak agen penyalur. Agen penyalur juga sering melakukan perampasan upah terhadap buruh dengan cara memberikan kontrak kerja selama 1 atau 2 tahun kerja kepada buruh migran. Namun, 3 bulan atau bahkan hingga 8 bulan masa kerjanya upah yang seharunya didapatkan oleh buruh migran dirampas oleh agen penyalur dengan alasan pengganti biaya saat di penampungan.
Selain itu, derita yang dialami oleh buruh migran adalah tindak kekerasan dan tidak dipenuhinya hak-hak dasar buruh migran yang dilakukan oleh majikan. Dua permasalahan tersebut merupakan persoalan yang sejak dahulu masih menggeroti buruh migran Indonesia. Namun, dari sekian banyak kasus kekerasan dan tidak terpenuhinya hak-hak dasar buruh migran pemerintah dibawah rezim SBY-Boediono tidaklah pernah terselesaikan dan tidak pernah ada langkah konkret untuk mencegah tersebut terjadi kembali. Tentu kita ingat dan masih segar di otak kita dengan kasus Kikim Komalasari dan Sumiati buruh migran yang disiksa dan dianiyaya oleh majikannya. Namun, pemerintah SBY-Boediono tidak mampu menegakkan hak-hak dasar bagi buruh migran yakni keselamatan kerja dan pekerjaan yang layak serta tidak juga adanya tindakan tegas bagi majikan yang melakukan penganiyaan tersebut. Serta, tidak memberikan sanksi kepada agen penyalur dua buruh migran yang berasal dari Dombu, NTT. Buruh migran pun tidak memiliki kebebasan berorganisasi, berserikat dan menyatakan pendapat. Pahadal aspek ini haruslah dijamin oleh pemerintah agar setiap aspirasi yang diingikan oleh rakyat dapat tersampikan.
Terakhir, persoalan yang sering dihadapi oleh buruh migran Indonesia yakni biaya penempatan yang sangat besar atau lebih dikenal dengan istilah overcharging, dan pemberlakuan terminal 4 di bandara Soekarno-Hatta. Praktek penarikan biaya penempatan yang diterima oleh buruh migran biasa dilakukan oleh agen penyalur dan lembaga-lembaga pemerintahan terkait. Ganti atas biaya penempatan, biaya pelatihan dan izin tinggal, ini biasa dilakukan oleh para agen penyalur dan lembaga pemerintahan dengan cara memotong upah sebesar 10%-70% tiap bulannya kepada buruh migran dengan. Dengan adanya pemotongan upah berupa biaya penempatan dilakukan oleh para agen penyalur dan lembaga pemerintahan terkait merupakan bentuk perampasan upah yang diterima oleh buruh migran dan ini tentunya merupakan bentuk pelanggaran hak dasar yang dimiliki oleh buruh migran.
Selain overcharging, pemberlakukan terminal 4 di bandara Soekarno-Hatta juga merupakan salah satu bentuk perampasan hak buruh migran. Hal ini dikarenakan saat mencapai terminal 4 sering terjadi tindak pemerasan dan kekerasan yang dialami oleh buruh migran. tindakan kekerasan dan pemerasan ini dilakukan oleh pihak migrasi dengan cara meminta sejumlah jutaan rupiah dengan dalih uang keamanan dan juga menaikkan harga travel ataupun taksi hingga 5 kali lipat yang akan digunakan oleh buruh migran untuk pulang rumahnya. Jika buruh migran tidak memberikan uang kepada pihak migrasi maka paspor para buruh migran sering ditahan oleh pihak migrasi. Penahanan paspor oleh pihak migrasi juga sering berupa ancaman dan kekerasan yang diterima oleh buruh migran.

            Adapun kasus kekhususan yang terjadi di Taiwan berupa gerakan wajib menabung yang diserukan oleh pemerintah terhadap buruh migran. Gerakan wajib menabung yang diterima oleh buruh migran berupa pemotongan upah sebesar Rp 4 juta hingga- Rp 12 juta perbulan. Gerakan wajib menabung dipropagandakan oleh pemerintah adalah sebagai upaya perbaikan kesejahteraan buruh migran saat kontrak kerjanya berakhir. Namun, pada kenyataannya saat buruh migran yang bekerja di Taiwan habis masa kontraknya. Upah mereka yang dipotong tiap bulannya hanya bisa diambil oleh buruh migran tidak lebih dari seperempat total tabungan mereka. Praktek yang dilakukan oleh pemerintah ini merupakan salah satu bentuk perampasan upah secara legal oleh pemerintah.
Selain di Taiwan, ada pula persoalan yang dihadapi oleh buruh migran yang bekerja di Hongkong dan Malaysia berupa pemotongan upah. Pemotongan upah ini dilakukan oleh agen penyalur sebagai bentuk ganti atas KUR atau kredit usaha rakyat yang diberikan oleh pemerintah. KUR yang diberikan oleh pemerintah kepada buruh migran merupakan suatu bentuk hutang berupa pemberian pelatihan dan penyediaan penampung. Dalam hal ini buruh migran diposisikan sebagai warga negara yang tidak memiliki modal dalam bentuk uang dan keahlian. Untuk itu, negara memberikan KUR kepada buruh migran dan harus diganti oleh buruh migran dengan memotong upah mereka tiap bulannya dari 30%-60% tiap bulan selama masa kontrak kerja.

Rezim SBY-Boediono Bertanggung Jawab Atas Nasib Buruh Migran Indonesia

         Dengan banyaknya penindasan yang melahirkan penderitaan bagi buruh migran merupakan salah satu praktek dari perbudakan modern yang dilegalkan oleh Rezim SBY-Boediono. Praktek perbudakan modern dapat diketahui dengan menempatkan buruh migran sebagai tenaga yang dapat diperas tenaganya dan dirampas upahnya. Praktek perbudakan modern ini tidak lain memposisikan buruh migran sebagai komoditi atau barang dagangan selayaknya perbudakan zaman dahulu yang bisa diperjual-belikan manusia. Praktek perbudakan modern ini tentu sangat melanggar hak-hak dasar buruh migran sebagai manusia. Hal ini dikarenakan dengan contoh-contoh penindasan yang sudah dipaparkan sebelumnya, buruh migran tidak diposisikan sebagai manusia yang memiliki hak-hak dasar yang harus dipenuji dan dijamin oleh pemerintah.
Namun dengan watak rezim SBY-Boediono yang kepala batu dan tidak pernah berpihak pada rakyat. Buruh migran merupakan salah satu korban dari penindasan yang dilakukan oleh Rezim SBY-Boediono. Penindasan yang dilakukan oleh SBY-Boediono terhadap buruh migran dapat kita ketahui dengan kebijakan-kebijakan seperti penerapan gerakan wajib menabung, overcharging, pemberlakukan terminal 4, UU Penempatan Tenaga Kerja ke Luar Negeri dan sebagainya merupakan bentuk penindasan yang dilakukan oleh rezim SBY-Boediono dengan para kabir yang menjadi eksekutor kebijakan tersebut. Selain itu, tidak adanya penyelesaian dan pencegahan tindak kekerasan yang diterima oleh buruh migran. bentuk pembiaran dan berlarut-larutnya penyelesaian kasus kekerasana merupakan salah satu bentuk kebijakan dari SBY-Boediono yang tidak berpihak pada rakyat.
     Rezim SBY-Boediono juga tidak mampu memberikan lapangan pekerjaan yang layak bagi rakyat Indonesia. Tentu dengan tersedianya lapangan pekerjaan yang layak bagi rakyat. Rakyat akan lebih memilih bekerja di dalam negeri ketimbang bekerja di luar negeri. Serta, jumlah buruh migran akan sangat kecil jika ada lapangan pekerjaan yang layak bagi rakyat. Selain itu, rezim SBY-Boediono juga tidak dapat mendorong untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan memperbesar akses pendidikan bagi rakyat melalui penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas dan murah bahkan gratis bagi rakyat Indonesia. Dengan penyelenggaran pendidikan yang dapat diakses oleh rakyat  bukan hal yang tidak mungkin rakyat Indonesia akan mendapatkan tenaga kerja yang ahli dan handal yang berguna untuk pembangunan negeri ini menuju lebih baik.
        Tidak ketinggalan pula, rezim SBY-Boediono tidak mampu melakukan mencegah adanya monopoli lahan. Dengan terhapusnya praktek monopoli tanah yang dilakukan oleh tuan tanah besar akan membuka peluang bagi rakyat Indonesia untuk dapat mengolah sumber daya alam sendiri dan didukung dengan berkualitasnya tenaga kerja yang ada di Indonesia. Bukan hal yang tidak mungkin, kualita hidup rakyat Indonesia akan menjadi sangat baik dan dapat menciptakn kesejahteraan bagi seluruh rakyta Indonesia tanpa kecuali.
Namun, jika dilihat berbagai penjabaran dan penjelasan Rezim boneka SBY-Boediono dan watak rezim yang selalu tidak berpihak pada rakyat hal tersebut yang sangat kecil bahkan tidak mungkin terwujud. Hal ini dikarenakan rezm SBY-Boediono merupakan penyebab utama dari penindasan dan penderitaan yang dialami oleh buruh migran pada khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya.
        Untuk itu, kita perlu mendudukkan pentingan gerakan dan perjuangan rakyat yang berbasiskan pada persatuan kelas buruh dan kaum tani serta didukung oleh gerakan rakya lainnya agar dapat memperjuangkan hak-haknya. Hal ini dikarenakan jika kita berharap pada rezim saat ini untuk terjadi perubahan hanya akan melahirkan kekecewaan dan kegagalan yang kelak akan memperpanjang penindasan serta penderitaan rakyat Indonesia. Namun jika kita berpegang teguh pada perjuangan massa maka niscaya hal yang rakyat cita-citakan akan terwujud karena perubahan hanya dapat dilakukan oleh rakyat bukan dari rezim yang senyatanya hanya menindas rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar