Sabtu, 21 Januari 2012

REZIM FASIS SBY BIANG KELADI TERJADINYA MONOPOLI TANAH DAN PERAMPASAN TANAH RAKYAT DENGAN CARA KEKERASAN

A)    Monopoli dan Perampasan Tanah Rakyat
        Indonesia yang memiliki luas daratan lebih dari 1,9 juta KM2  dan luas lautan lebih dari 3,3 juta KM2  serta terdapat di jalur pegunungan api dunia. Kondisi geografis sepertinya menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara di dunia yang mempunyai kekayaan sumber daya alam baik berupa migas, batubara, barang tambang, mineral, perikanan dan kesuburan tanah. Kenyataan ini sudah dibuktikan sejak era kolonial Belanda yang mampu meraup keuntungan yang amat besar ketika menerapkan sistem tanam paksa atau dikenal dengan culture stelsel selama lebih dari 40 tahun (1830-1870). Bahkan keuntungan yang didapatkan oleh Imperialis Belanda mampu menutupi hutang perang terhadap Perancis, membangun sarana seperti waduk atau bendungan dan menjadikan Belanda sebagai salah satu kekuatan kapitalisme dunia pada awal abad 20. Bahkan, kondisi (perampokan sumber daya agraria) tersebut masih berlangsung hingga abad 21 yang hari ini Indonesia sejak tahun 2004 dipimpin oleh SBY sebagai rezim penguasa tunggal dalam politik nasional.
Kata “agraria” berasal dari bahasa latin yaitu “ager” yang artinya lapangan, wilayah dan tanah. Agraria secara terminologi memilik makna tentang apa yang terkandung di dalam tanah dan apa yang berada di atas tanah. Kedua hal tersebut meliputi air, lautan, sungai, daratan dan sumber-sumber yang ada di dalam perut bumi, udara dan angkasa. Hal yang melingkupi agraria disebut sumber agraria. Dengan mengetahui konsep dasar dari agraria maka sudah jelas bahwa apapun yang terkandung di dalam dan di atas akan selalu berhubungan dengan tanah. Sumber daya agraria yang dimiliki oleh Indonesia seperti tanah yang subur cocok untuk lahan pertanian skala besar, perkebunan skala besar, pertambangan migas, batubara dan mineral lainnya akan melahirkan keuntungan bagi pihak yang mampu menguasai sumber daya agraria tersebut. Bagi pihak agar keuntungan maksimal (baca: super profit) tersebut dapat diraihnya. Salah satu syarat wajib yang harus dipenuhi berupa monopoli tanah secara besar. Namun untuk melakukan monopoli atas tanah dalam skala atau jumlah yang sangat besar membutuhkan legitimasi dari penguasa negeri ini (baca: rezim SBY). Pihak yang memiliki kepentingan untuk memonopoli lahan merupakan borjuasi yang mendapatkan suntikan modal baik berupa pinjaman/joint venture dari Imperialis atau dikenal dengan borjuasi komprador yang masuk dalam jenis tuan tanah tipe 3, selain itu juga ada pihak yang tidak berhubungan dengan modal asing alias mandiri atau dikenal dengan borjuasi nasional yang masuk dalam kategori tuan tanah tipe 2, serta representasi negara melalui perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN) ikut ambil bagian yang masuk dalam kategori tuan tang tipe 4. Sedangkan tuan tanah klasik yang sifatnya personal atau tuan tanah yang didasarkan atas keturunan raja/bangsawan disebut dengan tuan tanah tipe 1. Akan tetapi, pada perkembangannya tuan tanah tipe 2,3 dan 4-lah yang mampu memonopoli tanah di Indonesia dan berhasil mendapatkan keuntungan yang maksimal dari hasil penjualan komoditi yang diproduksi oleh tuan tanah-tuan tanah besar tersebut baik berupa hasil pertanian, perkebunan, kehutanan dan pertambangan.
Kondisi tersebut sangat dimungkinkan terjadi karena tuan tanah-tuan tanah yang sudah berbentuk koorporasi baik swasta dan atau milik negara sudah berselingkuh dengan rezim penguasa hari ini yakni SBY.  Hal ini dapat kita lihat bahwa SBY hari ini merupakan rezim boneka Imperialisme (yang hari ini Imperialisme masih dipimpin oleh AS) dengan wujud pemerintahan yang mengedepankan adanya kebijakan-kebijakan untuk mempermudah terjadinya monopoli atas tanah dalam skala besar misalnya UU tentang Perkebunan, UU tentang Pertambangan Minerba, UU tentang sumber daya air, UU tentang Perlindungan Lahan Pangan yang Berkelanjutan, UU tentang Kehutanan terakhir yakni UU tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Kenyataan faktual Indonesia hari ini dengan maraknya monopoli lahan dalam jumlah yang sangat besar oleh tuan tanah-tuan tanah besar dan rezim SBY yang merupakan boneka Imperialis pimpinan AS maka Indonesia merupakan negeri yang terjebak/terbelenggu dalam sistem setengah jajahan setengah feodal atau SJSF.

          Kepentingan imperialis bersama tuan tanah-tuan tanah besar lainnya yakni mengeksploitasi sumber daya alam yang dimiliki oleh Indonesia agar memperoleh keuntungan yang sangat besar. Kenyataan ini dapat kita lihat dari jutaan hektar lahan yang digunakan untuk perkebunan skala besar, food estate dan areal pertambangan tidak memberikan kontribusi positif bagi Indonesia kecuali hanya dalam statistik semata (baca: pertumbuhan ekonomi dan PDB). Namun kondisi tersebut berlawanan dengan keadaan masyarakat Indonesia yang pada umumnya adalah buruh tani (landless peasant), tani miskin (small farmers) dan buruh manufaktur serta buruh jasa perdagangan (toko) yang  banyak menyumbang jumlah angka kemiskinan di Indonesia.

         Kedudukan Indonesia sebagai negeri SJSF yang dicirikan salah satunya monopoli tanah secara besar-besaran dapat kita lihat dari 6 tahun pemerintah SBY sebagai rezim boneka. Selama periode 2004-2010, SBY telah “berprestasi” dalam meningkatkan monopoli atas tanah yang dilakukan oleh tuan tanah tipe 2 dan tipe 3 dengan merampas tanah rakyat melalui berbagai macam cara. Dari data yang berhasil dikumpulkan dari Dirjen Perkebunan maupun catatan dari Sawit Watch, periode 2004-2010 total luas tanah perkebunan yang dikuasai oleh perkebunan swasta besar (PBS) seperti SinarMas Gorup, Bakrie Group, Lonsum Gorup, Wilmar Group, Raja Garuda Group, Salim Group dan Cargill Corp yang memproduksi 7 komoditas hasil perkebunan (sawit, karet, kakao, teh, tebu, kelapa, pulp and paper) adalah 21.267.510 hektar. Sementara total luas perkebunan yang dikuasai oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) yang memnghasilkan lebih dari 7 komoditas di luar Rajawali Group, adalah sebesar 1.729.251,48 hektar. Pada periode 2004-2010 ini pula, perampasan tanah yang terjadi di sektor perkebunan besar swasta dan milik negara meliputi 24,7 juta hektar tanah yang menyengsarakan lebih dari 11,4 juta orang kaum tani. Hal ini dikarenakan 44 juta lebih kaum tani di Indonesia yang diantaran 11,4 juta orang bergantung pada hasil perkebunan. Namun dengan adanya monopoli tanah yang disertai dengan perampasan tanah rakyat secara paksa maka rumlah rakyat yang menderita akibat perampasan tanah dalam sektor perkebunan, diperkirakan akan jauh lebih besar lagi. Karena ini baru merupakan jumlah petani yang hidup dari kebun kelapa sawit swadaya belum termasuk petani yang tidak memiliki lahan atau landless peasant. Dengan demikian, data ini belum mencakup jumlah petani yang hidup dan bekerja dari komoditas lainnya seperti palawija, padi dan tanaman pangan lainnya (Kompas, 28 Desember 2010). Sektor perkebunan swasta besar (PBS) terbukti semakin menguasai perkebunan di seluruh Indonesia dibandingkan dengan perusahaan milik negara (PTPN). Bila dipersentasekan, kepemilikan swasta besar dalam sektor perkebunan Indonesia adalah sebesar 92,5% untuk periode 2004-2010. Berarti dari total luas gabungan perkebunan yang dikuasai swasta dan negara selama periode 2004-2010 seluas kurang lebih 22,9 juta hektar itu adalah hasil perampasan tanah dari kaum tani dan rakyat Indonesia pada umumnya. Jadi, dengan bertambah dalam jumlah luasan tanah yang dimiliki perkebunan swasta dan milik negara pada satu sisi, berarti pada sisi lainnya adalah kehilangan tanah bagi kaum tan akibat monopoli atas tanah yang dilakukan oleh tuan tanah-tuan tanah dalam belum perusahaan swasta dan milik negara..

           Khusus upaya monopoli atas tanah yang berbentuk proyek MIFEE di Merauke, Papua yang banyak menyita perhatian. Proyek (food estate) ini dipastikan akan merusak hutan purba Papua, mengancam akses pangan rakyat, membangkitkan kembali program transmigrasi guna mendatangkan tenaga kerja proyek dari pulau-pulau di luar Papua, dan pembangunan infrastruktur proyek yang begitu luasnya (jalan-jalan baru, pabrik-pabrik pengolahan energi nabati, dan lain sebagainya). Jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menyokong proyek pertanian skala raksasa (pembangunan infrastruktur pendukung dan operasionalisasi produksi) ini adalah sekitar 6,4 juta orang atau tiga kali lipat dari jumlah penduduk Papua yang saat ini berjumlah 2,1 juta jiwa. Data Pemerintah Kabupaten Merauke menunjukkan, luas lahan untuk investasi proyek MIFEE adalah 2,823 juta hektar. Lahan yang berizin lokasi 670.659 hektar. Dengan MIFEE, Merauke dijadikan basis produksi pangan nasional Indonesia di bagian timur. Dalam konsepnya, masyarakat di Merauke tak akan jadi penonton. Mereka berkolaborasi menjadi petani plasma. Mereka tidak menjual lahan pertanian kepada pihak lain, tetapi menyewakan kepada para pengusaha (Kompas 4 Agustus 2010).
Selain disektor perkebunan, ada pula monopoli tanah dalam skala besar yakni disektor pertambangan. PT. Caltex Pacific Indonesia (CPI) atau PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI) saja mendapatkan jatah seluas kurang lebih 3,2 juta hektar atau sekitar 32.000 KM2. Di bidnag pertambangan batubara, pada tahun 2008 saja yang tersebar di pulau Sumatera dan Kalimantan terdapat 1,1 juta ha lahan konsesi untuk eksplorasi batubara yang dimiliki oleh PT. Kaltim, Prima Coal, PT. Adaro Indonesia, PT. Kideco Jaya Agung, PT. Arutmin Indonesia, PT. Berau Coal, PT. Indominco Mandiri, dan PT. Tambang Batubara Bukit Asam (Sumatera Selatan).  Konsentrasi pertambangan batubara tersebar hanya di tiga provinsi, yaitu Sumatera Selatan (39% dari total produksi nasional), Kalimantan Timur (34% dari total produksi nasional) dan Kalimantan Selatan (16% produksi nasional). Ketiga propinsi ini menguasai 89% dari semua cadangan batubara terukur di Indonesia. Pada tahun 2008, batubara dari ketiga propinsi ini menyumbang 98,2% dari total produksi batubara Indonesia.

       Dalam mempermudah upaya monopoli atas tanah, tentunya dilaksanakan dengan tidak secara baik-baik dalam realisasinya. Hal ini dikarenakan tanah yang diperuntukkan areal pertambangan, perkebunan, food estate dan lain-lain merupakan sumber kehidupan bagi jutaan rakyat Indonesia seperti untuk tempat tinggal dan tempat berproduksi (bertani, berkebun, berladang, berburu, meramu dsbnya). Maka, hal yang wajar jika banyak upaya yang dilakukan oleh tuan tanah besar untuk mempertahankan dan memperluas atas monopoli lahan yang dilegalkan oleh rezim SBY dalam 8 tahun terakhir.
Hal ini dapat kita lihat dari peristiwa atau aktivitas perampasan tanah rakyat yang dilakukan oleh perusahaan swasta dan atau miliki negara yang berselingkuh dengan rezim penguasa hari ini. Misalnya kasus penembakan petani dan warga alas tlogo di Pasuruan pada tahun 2007 yang mencoba mempertahankan tanahnya (4 orang meninggal). Namun pihak TNI yang menguasai tanah yang ditinggali dan dikelola oleh petani dan warga alas tlogo melakukan penyerangan dengan alasan telah melanggar hak kepemilikan dan penguasaan TNI atas tanah tersebut. Padahal pada kenyataan, tanah yang seharusnya dijadikan untuk tempat latihan tempur TNI AL malah disewakan untuk menjadi ladang bisnis yang mendatangkan keuntungan bagi TNI AL. Sumatera, pada pertengahan 2011 petani di Mandailing Natal juga menjadi korban PT PN II dengan menggunakan brimob untuk mengusir dari lahan yang dikuaasi oleh PT PN II. Padahal lahan ribuan ha yang dikelola  PT PN II terlantar dan tidak terurus dengan baik. Namun petani setempat mampu mengelola dengan baik walaupun demikian warga Mandailing Natal terpaksa harus digusur secara paksa dan beberapa orang menjadi korban kriminalisasi dengan berbagai macam tuduhan.
Pada bulan November 2009, di Jawa Tengah seorang nenek tua yang buta huruf harus menjadi korban kriminalisasi dari PT Rumpun Sari Antan (Anak perusahan dari PT Astra Agrolestari yang bekerja sama dengan Kodam Diponegoro) dengan tuduhan mencuri 3 buah biji kakao yang seharga Rp 20.000 dan harus merasakan tahanan rumah selama 3 bulan. Ratusan ha yang menjadi HGU dari PT RSA telah ditelantarkan dan warga sekitar yang berprofesi sebagai buruh tani telah mampu mengelola tanah tersebut menjad produktif. Namun, pihak PT RSA selalu melakukan pelaporan kepada kepolisian setempat untuk menangkap petani atau warga yang dinilai telah melanggar batas wilayah HGU PT RSA seperti yang dialami oleh nenek Minah. Lalu, penangkapan 3 orang yang dilakukan oleh Perhutani KPH Banyumas Timur pada tahun 2008 atas tuduhan pencurian kayu di wilayah Perhutani. Padahal warga sekitarlah yang sering menanam dan merawat pohon-pohon bernilai komoditi. Namun ketika pemanfaatan hasil kayu yang tidak diketahui oleh Perhutani, warga sekitar yang berprofesi sebagai buruh tani dan penderes (pengambil getah aren) ditangkap dengan tuduhan pencurian dan melakukan illegal logging.

           Ada pula kasus penembakan terhadap petani Senyerang, Jambi hingga 2 orang meninggal pada awal tahun 2011. Petani Senyerang, Jambi berusaha mempertahankan tempat tinggal dan tempat bertaninya malah diusir dan diberondong pentungan serta peluru dari brimob yang “dibayar” oleh perusahaan kelapa sawit setempat (PT WKS yang merupakan anak perusahan Sinarmas Group). PT Wira Karya Sakti menyerobot tanah adat seluas 27  ribu hektare. Bahkan dari kabar terakhir, puluhan brimob siap masuk kedalam untuk mengusir warga yang telah kembali melakukan pendudukan di atas tanah milik PT WKS sejak tragedi penembakan pada awal tahun 2011 dengan mendirikan bangunan semi permanen dan melakukan pengelolaan tanah melalui bercocok tanam. Dengan begitu, tidak menutup kemungkinan akan terjadi peristiwa berdarah dan memakan jatuh korban di phak petani dan warga di Senyerang, Jambi.
Masih di pulau Sumatera, di Mesuji baik di Provinsi Palembang dan Lampung. Total 30 petani menjadi korban kebiadaban dan keberingasan dari aparat kepolisian dan pamswakarsa yang didirikan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit setempat (PT Silva Inhutani). Puluhan ribu ha yang dikuasai oleh PT Silva Inhutani tidak memberikan kesejahteraan bagi warga sekitar khususnya di Mesuji (desa woro-woro di register 45). Puluhan ribu ha yang dikuasai oleh PT Silva Inhutani berdasarkan HGU yang mereka dapatkan, tidak mampu dijalankan secara maksimal atau masih banyak lahan yang ditelantarkan oleh perusahaan tersebut. Warga yang pada umumnya adalah dari pulau Jawa (transmigran) memiliki insiatif agar tanah yang ditelantarkan oleh PT Silva Inhutani  untuk dikelola denagn cara menanam tanaman palawija. Namun, aktivitas yang dilakukan oleh warga ini tidak diterima oleh PT Silva Inhutani dan pihak perusahaan bersama aparat kepolisian serta pamswakarsa sering melakukan penangkapan (kriminalisasi), pemukulan dan pengrusakan hingga berujung pada pembantaian 30 orang warga Mesuji.
Selain di sektor perkebunan, kasus perampasan tanah rakyat yang dilakukan oleh tuan tanah besar yang dibantu oleh aparat keamanan juga terjadi di sektor pertambangan. Hal ini terjadi di Bima, NTB ketika warga Bima yang notabene adalah petani akan dirugikan jika aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT Sumber Mineral Nusantara (anak perusahaan dari Australia). Surat Keputusan (SK) Nomor 188.45/357/004/2010 untuk izin usaha pertambangan eksplorasi tambang emas oleh PT Sumber Mineral Nusantara. Wilayah eksplorasi perusahaan itu sekitar 24.000 hektar.
Kerugian tersebut yakni pencemaran sumber mata air, kerusakan lingkungan, hilangnya sumber irigasi untuk pertanian. Dengan demikian sumber penghidupan yang selama ini menjadi tempat bergantung bagi warga Bima akan terancam jika rencana eksplotasi pertambangan emas dilakukan oleh PT Sumber Mineral Nusantara. Namun ketika warga Bima melakukan aksi protes penolakan atas pemberlakukan pertambangan emas sejak tahun 2010 sudah mendapatkan tindak kekerasan dari aparat brimob. Puncaknya pada tanggal 24 Desember 2011, ketika ratusan warga Bima yang mulai berdatangan untuk melanjutkan pemblokiran pelabuhan Sape, Bima, NTB. Pihak Brimob melakukan penyerangan yang brutal terhadap warga Bima hingga 3 orang meninggal akibat peluru tajam yang ditembakkan oleh aparat kepolisian dan puluhan lainnya terluka akibat diamuk oleh polisi yang sedang bertugas saat itu.
Masyarakat adat Dayak Paser terus menerus mengalami penggusuran dan pengusiran paksa dari tanah, termasuk tanah keramat, yang telah ditempati turun temurun untuk dijadikan areal pertambangan oleh PT.Kideco Jaya Agung. Sekitar 27.000 hektar lahan mereka digusur18 untuk lahan pertambangan, mereka bahkan dilarang melakukan kegiatan apapun diatas tanah keramat mereka sendiri. Nasib yang sama dialami oleh masyarakat adat Dayak Basap di Kecamatan Bengalon, Sangatta. Masyarakat adat Dayak Basap yang sejatinya terbiasa memenuhi kebutuhan hidup mereka dari hasil berburu dan berladang, kini kehilangan itu semua setelah PT. Kaltim Prima Coal mulai beroperasi di tanah mereka.

B)    Kekerasan Dalam Perampasan Tanah dan Rezim Fasis SBY
          Dengan melihat monopoli atas tanah yang dilakukan oleh tuan tanah besar yang berselingkuh dengan rezim penguasa hari ini telah melegalkan praktek perampasan tanah rakyat. Namun ada hal yang menarik disimak dalam praktek perampasan tanah rakyat yang dilegalkan oleh rezim SBY. Praktek perampasan atas tanah rakyat untuk mempermudah para tuan tanah besar dalam memonopoli tanah di Indonesia pasti melakukan tindak kekerasan baik berupa kriminalisasi, pemukulan dan penembakan yang berujung pada banyaknya korban jiwa yang berjatuhan dari pihak rakyat Indonesia. Tercatat tahun 2004 hingga Agustus 2008 (periode I SBY memimpin), di Jawa Timur tercatat 25 sengketa tanah yang melibatkan masyarakat dan militer. Luas tanah yang disengketakan adalah 15.374 hektar (Kompas, 1 Agustus 2008).
Dari tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap rakyat Indonesia untuk mempermudah dalam memonopoli lahan. Tindakan tersebut tentunya tidak terlepas kekuasaan dari rezim penguasa hari ini yakni SBY. Dalam struktur politik di Indonesia yang notabene merupakan negeri yang dibawah pengaruh dan dominasi Imperialisme pimpinan AS, tentunya segala sistem politik, pertahanan dan keamanan akan mengacu pada mekanisme yang “dicekoki” oleh Imperialisme AS. Sistem politik dan hankam di Indonesia selalu mengaju pada sistem autokrasi birokrasi yakni sistem birokrasi yang dikendalikan oleh rezim yang berkuasa hari ini (SBY). SBY yang dalam sistem politik membawahi kepolisian dan militer secara langsung tentunya memiliki kaitan yang sangat erat dengan komando dan perintah yang akan dilaksanakan oleh setiap jajaran dari kodam hingga korem (untuk militer) dan dari Polri hingga Polsek (kepolisian).
Kaitannya dengan tindak kekerasan dan represifitas yang dilakukan oleh militer dan kepolisian dalam hal praktek perampasan tanah merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari komando dan perintah dari SBY. Perintah dan komando tersebut berupa melakukan tindakan kekerasan dan represif untuk mendukung upaya monopoli atas tanah yang diperuntukkan bagi tuan tanah-tuan tanah besar. Walaupun dalam pidato politiknya, SBY selalu menggunakan kata persuasi dalam menanggani konflik agraria dan mengambil langkah cepat seperti pembentukan tim Independen. Akan tetapi, itu semua hanyalah lips service  semata yang hanya untuk menutupi kebusukan dan kebobrokan kebijakan yang represif dalam menyelesaikan konflik agraria di Indonesia.
          Kondisi ini tentunya merupakan tanda atau sinyal yang memperkuat bahwa SBY sedang menerapkan politik rezim fasis seperti yang dilakukan oleh Soeharto pada era orde baru. Dalam praktek politik rezim fasis di era SBY, memang ditutupi dengan penerapan sistem pseudo demokrasi berupa pemilu dan kebebasan yang relative terjaga. Namun, pada kenyataan pseudo demokrasi yang diterapkan oleh SBY selalu melibatkan pihak militer dan kepolisian dalam membungkam setiap gerakan rakyat dalam menuntut hak-hak demokratisnya. Fakta ini dapat kita lihat dari maraknya tindakan represif yang diterima oleh rakyat Indonesia yang mempertahankan hak atas tanahnya tapi harus dibayar dengan kriminalisasi, pemukulan dan bahkan penembakan.
Kata fasis sendiri berasal dari bahasa Romawi yakni fascio atau seikat batang yang menjadi satu oleh pemimpin. Dalam sejarah modern manusia praktek rezim fasis sudah dilakukan ketika era Hilter dan Mussolini. Kedua rezim tersebut selalu menggunakan kekuatan militer dan kepolisian serta mitos-mitos seperti bangsa arya adalah bangsa yang paling tinggi dan Italy harus bisa menjadi kuat layaknya bangsa Romawi. Upaya dan kebijakan rezim fasis tersebut ditujukan untuk memaksakan kepentingan rezim dapat terlaksana dengan baik tanpa ada perlawanan atau pertentangan dari pihak manapun.
Dengan demikian fasis dalam pengertian umum adalah kebijakan dari rezim untuk memaksakan kepentingan dari kelas yang berkuasa (hanya ada satu kepentingan) dan menggunakan kekuatan militer/kepolisian dalam proses memaksakan kepenitngan dari kelas yang berkuasa (untuk mengikat menjadi satu). Jika kita melihat politik dari rezim SBY yang melegalkan praktek monopoli atas tanah sudah sangat jelas bahwa seluruh kebijakan baik dalam bentuk regulasi dan atau komando untuk menangani persoalan konflik agrarian selalu melibatkan unsur militer dan kepolisian. Sedangkan mitos-mitos yang digembar-gemborkan oleh SBY untuk memuluskan praktek monopoli atas tanah yakni peningkatan atas pertumbuhan ekonomi dan PDB harus disertai dengan kemudahan-kemudahan dalam melakukan investasi baik disektor perkebunan, dan pertambangan, padahal pada kenyataannya, mitos tersebut hanya ditujukan untuk mengelabui rakyat atas praktek perampasan tanah dalam upaya mempermudah para tuan tanah besar untuk melakukan monopoli atas tanah.

     Kefasisan yang dipertontonkan oleh SBY bukanlah tindakan yang tidak memiliki alasan atau latarbelakang. Alasan yang melatarbelakangi SBY sering kali menggunakan militer dan kepolisian sebagai bentuk kefasisannya dalam proses penyelesaian konflik agraria sebagai upaya untuk mempermudah praktek monopoli atas tanah secara besar-besaran. Monopoli atas tanah yang digencarkan dan dilegalkan oleh rezim SBY merupakan bentuk kebijakan yang mendukung adanya eksploitasi atas kekayaan sumber daya alam (UU tentang pertambangan, perkebunan, sumber daya air, kehutanan, dan Perlindungan Lahan Pangan yang Berkelanjutan). Eksplotasi sumber daya alam ini merupakan kebutuhan dari Industri Imperialis untuk mendukung atau terjaminnya pasokan bahan mentah yang dihasilkan dari usaha perkebunan dan pertambangan. Dalam prakteknya, perusahaan-perusahaan swasta dalam negeri banyak memonopoli atas tanah secara besar-besaran telah mendapatkan bantuan investasi modal dari Imperialis (Sinarmas Group, Wilmar Gorup, Medco Corp dsbnya) dan atau perusahaan milik Imperialis yang mengeksekusi secara langsung praktek monopoli atas tanah baik di sektor perkebunan dan pertambangan (Lonsum Group, Cargill, Chevorn, Freeport, Newmount dsbnya).
Tentunya menjadi hal yang wajar, bagi SBY melakukan tindakan kekerasan dan represiftas terhadap rakyat Indonesia yang menghadang praktek monopoli atas tanah. Tindakan represifitas dan kekerasan digunakan SBY untuk merampas tanah rakyat secara paksa agar monopoli atas tanah yang diperuntukkan bagi tuan tanah besar di Indonesia. Dalam praktek perampasan tanah rakyat selalu menggunakan kekuatan militer dan kepolisian hingga rakyat menjadi korban baik berupa pemukulan, kriminalisasi dan penembakan. Jadi, inilah yang menjadikan REZIM SBY SEBAGAI REZIM FASIS DAN REZIM ANTI RAKYAT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar