Front
Mahasiswa Nasional (FMN)
RUU Kamnas dan Ormas adalah Paket Aturan
Keamanan Fasisme Negara dalam Menjaga Kepentingan Imprialisme
Tolak Sekarang juga!
“Lawan
segala bentuk kekerasan dan tindakan anti demokrasi terhadap rakyat!”
Seiring
perkembangan situasi akan kemerosotan hidup rakyat secara ekonomi, tekanan
secara politik dan keterbelakangan secara budaya, kebangkitan gerakan rakyat
nyaris tak terbendung hampir diseluruh wilayah nusantara negeri ini. Berbagai
bentuk gerakan rakyat bermunculan, baik yang terorganisir maupun spontan dan
sporadis dalam menuntut pemenuhan atas haknya.
Disisi
yang lain, sebagai upaya untuk terus melayani kepentingan dan memastikan
seluruh skema penghisapan tuan imperialis-nya di Indonesia, pemerintah tak putusnya
melahirkan berbagai kebijakan yang selalu direlevansikan dengan setiap
kepentingan Imperialisme (kapitalisme monopoli) maupun serangkaian kebijakan
yang telah diformulasikan langsung oleh Imperialisme. Di Indonesia yang berada
dalam kuasa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat ini, seluruh skema tersebut telah
berjalan dengan begitu mulus. Secara khusus untuk meng-Counter gerakan rakyat
yang terus bangkit dan semakin meluas, rejim SBY terus menghujani rakyat dengan
berbagai kebijakan fasis yang secara terang-terangan menindas rakyat. Setelah
Undang-undang (UU) Intelijen dan Penyelesaian Konflik Sosial (PKS), kini rakyat
bersiap-siap dipukul lagi lewat dua rancangan undang (RUU) sekaligus, yakni RUU
Keamanan Nasional (Kamnas) dan RUU Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).
Seperti
produk hukum sebelum-sebelumnya, kedua RUU tersebut bertujuan memperkuat
instrumen dan politik fasis, merampas kebebasan dan hak demokratis, memukul
gerakan demokratis dan perjuangan militant rakyat, sehingga terus dapat mengefektifkan
perampokan dan penindasan terhadap rakyat. Dalam Pasal 1 ayat 2, RUU Kamnas
menjadikan ideologi sebagai ancaman keamanan nasional. Ini setali tiga uang
dengan Pasal 50 ayat 4 RUU Ormas yang menyatakan ormas dilarang menyebarkan
ideologi marxisme, ateisme, kapitalisme, sosialisme serta ideology lain yang
bertentangan dengan dasar negara Pancasila dan UUD 1945.
Dilihat
dari aspek hak asasi manusia (HAM), pasal 1 ayat 2 RUU Kamnas tentang potensi
ancaman, secara lansung telah bertentangan dengan semangat penegakan hak asasi
manusia dan isi pokok dari deklarasi umum hak asasi manusia (DUHAM) yang telah
diratifikasi kedalam perundang-undangan, yakni
UU No 12. Th. 2005 tentang Hak-hak Sipil dan
Politik, Pasal 18: Hak atas kebebasan berpikir, beragama dan
berkeyakinan (menganut ideologi atau orientasi politik, memeluk agama dan
kepercayaan), Pasal 19: Hak atas kebebasan berpendapat
(termasuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi, dalam bentuk karya
seni/ekspresi atau melalui sarana lainnya). Dalam
Undang-undang tersebut, pemerintah sebagai pelaksana yang memiliki kewajiban
yang mengikat seharusnya secara konsisten dan bertanggungjawab dalam melaksanakan kewajibannya untuk menghormati (to
respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to
fulfill) hak-hak manusia tersebut.
Kaitannya
dengan aturan tersebut, Ideologi
merupakan pandangan dan keyakinan, sehingga tidak dapat dikriminalisasi.
Artinya, dengan definisi ancaman yang menjadikan Ideologi sebagai ancaman (pasal
1 ayat 2 tentang potensi ancaman) telah memberikan ruang yang luas bagi
pemerintah untuk melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Aturan
demikian akan membuat negara gampangan menuduh subversif dan merampas
kebebasan demokratis rakyat, persis kediktaturan fasis Soeharto.
Dalam kenyataan lainnya,
melalui serangkaian paket kebijakan disektor keamanan sesungguhnya menunjukkan
cara berfikir pemerintah yang tidak konsisten secara politik dan tidak efektif
dalam aspek pengelolaannya. Hal tersebut tampak dari banyaknya pasal-pasal
dalam RUU Kamnas ini yang sesungguhnya telah tertuang dalam peraturan dan
undang-undang tentang keamann lainnya. Adapun beberapa pasal tersebut
diantaranya: Pasal 10 RUU KAMNAS tentang status keamanan nasional, telah diatur
dalam UU No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya Darurat, sebanyak 62 pasal.
Pasal 20-22 tentang unsure dan peran penyelenggaraan keamanan nasional, telah
diatur dalam UU TNI, UU Polri, UU Intelijen, UU Pemda, UU Kementerian, UU
Penanggulangan Bencana dan, UU Pertahanan Negara.
Selanjutnya, dalam Pasal 23-25
tentang Dewan keamanan Nasional, sebelumnya juga telah diatur dalam UU No. 3
Tahun 2002 Pasal 15, yang memandatkan kepada pemerintah untuk membentuk Dewan
Pertahanan Nasional. Demikian juga dengan pasal 26 tentang pengaturan peran
menteri dan kepala daerah yang sudah diatur dalam UU Kementrian, UU Pemda dan
UU lainnya yang mengatur tentang peran menteri dan kepala daerah terkait
tentang keamanan nasional. Sedangkan kaitannya dengan posisi menteri pertahanan
dan kementerian lainnya, sudah diatur dalam UU Kementerian No. 39 Tahun 2008
dan UU Pertahanan Negara. Serta masih banyak lagi ketentuan yang telah diatur
dalam undang-undang lainnya, diatur kembali dalam RUU ini.
Secara khusus tentang
kewenangan Dewan Keamanan Nasional, secara politik dan praktisnya terdapat
kesalinghubungan yang erat antara UU PKS dan RUU Kamnas. Hal tersebut terlihat
pada mudahnya rejim menggunakan kewenangan pimpinan Dewan Kemanan Nasional untuk
menetapkan status konflik dengan darurat sipil atau militer. Konsekuensinya,
gerakan demokratis rakyat yang meluas akan dihadapi dengan tindakan khusus atas
nama hukum. Pastinya, gerakan aksi protes dan mogok buruh didalam pabrik,
perlawanan militant kaum tani dipedesaan, maupun gerakan protes pemuda dan
mahasiswa mulai dari didalam kampus hingga pusat-pusat pemerintahan dari pusat
hingga daerah akan dimasukkan sebagai kategori ancaman bagi Negara.
Sebagai upaya keras pemerintah
untuk menumpulkan kesadaran dan memberangus gerakan perlawanan rakyat saat ini,
dilihat dari aspek kedudukan dan orientasinya terdapat kesamaan antara RUU
Kamnas dengan UU PKS, UU Intelijen, UU Pemberantasan Teorisme, UU TNI, dll. Salah
satunya terletak pada segala usaha menghadapi ancaman yang meliputi: Pertama,
Pencegahan, menitikberatkan operasi intelijen (penggalian informasi,
disinformasi, interogasi, dll) termasuk penindakan dini. Kedua,
Penyelesaian atau penanggulangan menekankan pada mobilisasi kekuatan
bersenjata (pengerahan kekuatan TNI dan POLRI). Ketiga, Pemulihan
berarti langkah rehabilitasi dan konstruksi.
Artinya, dengan demikian sudah
pasti rejim memiliki keleluasaan subyektif menetapkan situasi, kemudian
dilanjutkan operasi bar-bar dengan menculik, menyiksa, dan membunuh. Intinya
adalah keleluasaan menghukum dan mengeksekusi mati tanpa melalui peradilan (extra-judicial).
Selain itu, rejim membatasi hak demokratis untuk berorganisasi dengan
dikeluarkannya RUU Ormas yang terdiri 57 pasal, mengatur legalitas organisasi
kemasyarakatan seperti bentuk, ciri, asas, tujuan, kegiatan, pengawasan
pemerintah, larangan, sanksi, dll. Ketentuan ini mengikat bagi ormas berbadan
hukum berupa perkumpulan dan yayasan (pasal 10 ayat 1) seperti LSM,
komunitas, organisasi adat dan keagamaan, dan pastinya organisasi massa.
Regulasi anti demokrasi tersebut,
secara lansung merampas kebebasan berorganisasi dan berpendapat bagi rakyat, karena
kenyataannya organisasi diwajibkan memiliki surat keterangan terdaftar (SKT) yang dapat
diperpanjang, dibekukan, bahkan dicabut. Konsekuensi SKT, organisasi diwajibkan
mendaftarkan kembali organisasinya berdasarkan aturan baru sebelum disahkan
secara sepihak oleh pemerintah. Pendirian organisasai berdasarkan tingkatannya
(nasional, provinsi, kabupaten) juga diberatkan oleh syarat administratif yang
men-verifikasi jumlah kepengurusan dan cakupan kegiatannya (penjelasan Pasal
7).
Menurut pemerintah,
latarbelakang RUU ini adalah maraknya tindakan kekerasan yang dilakukan
sejumlah ormas. Pernyataan ini merujuk kebrutalan dan banditisme kelompok-kelompok
preman dan ormas-ormas tertentu yang dikoordinasikan dan dididik melalui satuan
keamanan maupun badan tertentu pemerintah seperti halnya yang terjadi
diberbagai daerah sekarang ini. Ternyata pemerintah memakai tindakan provokasi
sebagai tunggangan untuk melegitimasi perlunya regulasi yang mengontrol penuh
seluruh organisasi rakyat dan kegiatannya.
Regulasi ini kelanjutan UU
No.8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang menjadi alat kontrol dan
represi melalui pewadahtunggalan segala jenis organisasi ke dalam satu jenis
format organisasi sehingga lebih mudah untuk dikontrol. Di masa Orde Baru,
banyak organisasi dilarang karena perlawanan terhadap rejim fasis, baik
organisasi dari sektor buruh, tani maupun gerakan pemuda dan mahasiswa, dll. Ke
depan, represifitas fasis tersebut akan semakin meningkat. Aktivitas dan kritik
rakyat akan dibungkam dengan cap subversif, kemudian, dilanjutkan pelarangan
organisasi dan penangkapan besar-besaran.
Secara praktis, seluruh RUU
dan UU keamanan sekarang ini sesungguhnya telah lama diterapkan oleh
pemerintah. Kepentingan pemerintah saat ini, semata-mata hanya untuk mendapatkan
legitimasi atas seluruh tindakan fasisnya yang selama ini dengan keji telah menindas rakyat.
Faktanya, sepanjang kekuasan SBY hingga periode kedua sekarang ini,
kekejamannya tak hanya menyebabkan jutaan kaum tani kehilangan tanahnya, mem-PHK-kan
dan mengkriminalkan kaum buruh, namun telah menyebabkan ratusan rakyat
kehilangan nyawa, ribuan korban luka dan tak terhitung jumlah penangkapan dan pemukulan
yang dilakukan dalam menghadapi setiap perlawanan rakyat diseluruh sektor.
Pemerintah tidak pernah ragu
untuk mengerahkan segenap satuan keamanan (TNI, POLRI) yang selama ini
dijadikan sebagai alat pemaksanya. Bahkan dalam banyak kasus, pemerintah tidak
segan menggunakan kekuatan sipil, seperti polisi pamong praja (POL-PP), satpam,
pamswakarsa hingga preman dan ormas-ormas tertentu yang berada dibawah
konsolidasi dan bimbingannya. Melalui satuan inteligen-nya, pemerintah juga
telah banyak menciptakan provokasi ditengah masyarakat, hingga melahirkan
berbagai konflik horizontal atas nama ras, agama maupun perebutan hak, dll.
Dalam keadaan demikian,
pemerintah telah memposisikan diri sebagai mediator “seolah-olah” menjadi
pengayom dan pelindung sejati bagi rakyat. Dengan cara demikian, pemerintah tak
hanya mendapatkan legitimasi dan keleluasaan untuk bertindak kejam terhadap
rakyat, namun lebih jauh lagi sejatinya pemerintah telah berupaya memecah belah
persatuan rakyat, membiaskan aspirasi persatuan dan menumpulkan kesadaran
politik rakyat untuk berlawan.
Secara khusus disektor
pendidikan, akan berdampak pada semakin terkungkungnya mahasiswa dan civitas
akademik lainnya dalam ketakutan dan depresi yang tinggi dalam menyuarakan
haknya, dimana aparat keamanan (tak hanya satuan keamanan kampus-SKK, namun
juga TNI, POLRI, Intelijen maupun preman) dapat semakin leluasa hilir-mudik
keluar masuk kampus. Bahkan dalam banyak kasus, atas nama eksistensi
organisasi, fakultas ataupun jurusan, atas nama ras, suku dan agama, mahasiswa
masih sering dibenturkan dengan sesama mahasiswa. Lebih picik lagi, pemerintah
masih menebarkan satuan intelijen dan informan didalam kampus, secara terbuka bahkan
pemerintah menggunakan organisasi mahasiswa seperti resimen mahasiswa (MENWA)
yang selama ini dikoordinasikan melalui TNI, tak hanya sebagai informan,
melainkan sebagai kekuatan tersendiri yang juga kerap dimanfaatkan untuk
menghadang aksi protes dan bentuk perlawanan mahasiswa lainnya didalam kampus.
Dalam situasi demikian,
mahasiswa yang terus dijejali dengan kurikulum anti rakyat dan jauh dari
kenyataan sosial masyarakat, dengan system pendidikan yang secara sistematis
membentuk watak individualis dan anti kenyataan bagi mahasiswa. Situasi
tersebut dipadukan dengan berbagai peraturan dan kebijakan didalam kampus, pelarangan
berorganisasi, mengeluarkan pendapat dimuka umum, mimbar akademik dan
kebijakan-kebijakan anti demokrasi lainnya, mahasiswa telah semakin kehilangan
daya kritis, kehilangan semangat dan aspirasi persatuan serta budaya
kollektifitas. Mahasiswa telah dijebak dalam kebudayaan Individualis, membuntut
dan anti solidaritas.
Kini, teranglah sudah bahwa
rancangan undang-undang baru ini (RUU Kamnas dan RUU Ormass) harus ditolak dan
tidak bisa dibiarkan untuk menyusul setiap peraturan dan undang-undang keamanan
serta kebijakan-kebijakan anti rakyat yang telah disahkan sebelumnya. Lebih
tegas lagi, dari semangat dan seluruh isi rancangan undang-undang tersebut
telah secara terang menunjukkan kadar fasisnya yang sangat tinggi.
Dengan didasarkan pada
pandangan yang objektif atas semangat dan seluruh isi RUU tersebut, serta
fakta-fakta tindakan fasis yang ditunjukkan oleh pemerintah dalam menindas
rakyat secara kejam selama ini, kami dari Front Mahasiswa Nasional (FMN)
Menyatakan sikap bahwa “RUU Kamnas dan Ormas adalah Paket Aturan Keamanan
Fasisme Negara-Tolak Sekarang juga! Bersama ini, FMN juga mengajak kepada
pemuda, mahasiswa dan seluruh rakyat Indonesia untuk bersatu padu “melawan
segala bentuk kekerasan dan tindakan anti demokrasi terhadap rakyat!” dan
konsisten dalam persatuan dan perjuangan melawan segala bentuk penidasan
terhadap rakyat.
Hidup Rakyat Indonesia!
Jayalah perjuangan Rakyat!
Referensi:
1. Draft RUU
Kamnas 16 Oktober 2012
2. Draft RUU
Ormass
3. Daftar Isian
Masalah (DIM) RUU Kamnas 16 Oktober 2012-Koalisi Masyarakat Sipil untuk
Reformasi Sector Keamanan
4. Daftar Isian
Masalah (DIM) dan Analisis RUU Kamnas dan RUU Ormas Pimpinan Pusat FMN
5. Analisis RUU
Kamnas dan RUU Ormass, Institute for National and Democracy Studies (INDIES)
6. Hak-hak sipil
dan Politik,- Yosep Adi Prasetiyo (Stenley Adi Prasetiyo: Wakil) 2010
7. UU No 12 Tahun 2005, Ratifikjasi terhadap kovenan
internasional tentang hak sipil-politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar