FRONT
MAHASISWA NASIONAL (FMN)
Menyerap Semangat Sumpah Pemuda Untuk
Memaksimalkan Pengabdian Pemuda dan Mahasiswa pada Rakyat dan Peranannya dalam
Perjuangan Menghancurkan Imperialisme, Feodalisme dan Kapitalisme Birokrat
“Wujudkan Pendidikan Ilmiah, Demokratis dan
Mengabdi Pada Rakyat-Lawan segala bentuk tindakan Anti Demokrasi!”
Pemuda, Ialah salah satu golongan
dalam komposisi Masyarakat. Pemuda, Ialah salah satu golongan yang fleksibel,
hidup dan tersebar didalam berbagai sektor masyarakat, baik secara teritorial
maupun profesi. Pemuda, Ialah golongan yang memiliki mobilitas tinggi, energik
dan aktif. Pemuda, Ialah golongan yang memiliki kemampuan berfikir, nalar,
responsif dan peka atas setiap gejala, setiap hal yang ada disekitarnya.
Pemuda, Ialah golongan yang memiliki tenaga yang besar dan kuat.
Pengantar
Demikian gambaran
sederhana akan kelebihan dan potensi yang dimiliki oleh pemuda, yang
menempatkan posisinya sebagai salah satu tenaga produktif untuk mendorong
pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Rakyat. Merekalah tenaga produktif yang
memiliki peran strategis dalam mengembangkan kebudayaan rakyat. Merekalah
pemegang tongkat estapet harapan bangsa untuk merebut dan mempertahankan
kedaulatan bangsa dan negara.
Dalam sejarah
perkembangan masyarakat Indonesia, pemuda telah banyak menunjukkan prakarsa dan
keterlibatannya dalam perjuangan Rakyat. Di Masa kolonial, diinspirasikan
dengan kebangkitan gerakan buruh dan kaum tani diberbagai daerah, pemuda
khususnya kaum terpelajar dan intelektuil lainnya telah menunjukkan usaha
kerasnya dalam menyatukan diri antar pemuda. Berbagai hambatan dan tantangan
dalam setiap usaha pembangunan persatuan yang dilakukan pemuda saat itu, tidak
pernah luput dari berbagai bentuk pelarangan dan penindasan kejam kolonial
belanda.
Semangat persatuan yang
keras, telah membuat mereka tidak pernah patah semangat dan menyerah begitu
saja atas kekejaman kolonial. Belajar memahami kondisi objektif dan mengambil
pelajaran dari situasi tersebut adalah upaya yang tidak henti dilakukan sebagai
sandaran teoritis dan ilmiah dalam kerja-kerja penyatuan dan penyusunan taktik
perjuangannya. Alhasil, para pemuda berhasil membangun organisasi-orgnisasi
pemuda, mulai dari studyclub-studyclub, organisasi tradisionil hingga
organisasi modern (Ormass dan Organisasi politik) yang dikemudian hari sebagai alat
perjuangannya hingga berhasil menyatukan diri dengan seluruh rakyat dan
menjalankan revolusi 1945 bersama. Tepatnya, pada kongres pemuda ke II 27-28
Oktober tahun 1928, telah menjadi tonggak persatuan Pemuda Indonesia yang
tersebar diberbagai daerah dalam berbagai bentuk organisasi melakukan ikrar
bersama, yang hingga sekarang dikenal dengan ”Sumpah pemuda”.
Setiap upaya yang
dilakukan pemuda saat itu yang telah menumpahkan seluruh semangat, tenaga dan
pikirannya untuk menyatukan diri dan berjuang bersama mewujudkan kemerdekaan
bangsa Indonesia, telah menunjukkan kemampuan dan seluruh potensi yang dimiliki
oleh pemuda, dan harus dapat dijadikan pelajaran berharga dan inspirasi bagi
pemuda hari ini. Namun demikian, selain mengambil pelajaran dari semangat dan
setiap peristiwa dalam pengalaman tersebut, hal lain yang juga harus dipahami
oleh setiap kita saat ini bahwa setiap perkembangan di suatu negara, bahkan
kondisi khusus disetiap sektor akan selalu dipengaruhi oleh situasi dunia
(Internasional) yang tengah berkembang. Demikian pula dengan kondisi pemuda,
mahasiswa dan pendidikan secara umum saat ini, yang juga tidak terlepas dari
jeratan intervensi kebijakan imperialisme Amerika Serikat.
Hal tersebut ialah akibat
dari dominasi Imperialisme yang kian menguat di Indonesia, yang terus
mempertahankan sistem usang setengah jajahan dan setengah feodal (SJSF) bersama
tuan tanah dan borjuasi besar komprador sebagai sekutunya dan kapitalisme
birokrat sebagai rezim bonekanya didalam negeri. Karenanya, tidak dapat
dikompromikan bagi setiap kita yang menghendaki perubahan menuju penghidupan
yang lebih baik, untuk terus belajar dan memahami kondisi dan setiap
perkembangan situasi sektoral, nasional dan Internasional.
Keharusan memahami
kondisi tersebut tidaklah semata-mata didasarkan pada fikiran hanya sekedar
untuk mengetahui kondisi saja, melainkan agar setiap kita bisa memahami
kesaling hubungannya satu sama lain dan memahami akar dari setiap persoalan
yang dialami oleh Rakyat. Sehingga tidak
terjebak dalam gerakan-gerakan sporadis dan spontanitas, ataupun bentuk-bentuk
perjuangan yang membabi buta, tanpa memikirkan metode dan taktik perjuangan
yang tepat, target-target yang objektif dan konsekwensi-konsekwensi yang dapat
menjebak rakyat dalam situasi yang semakin terpuruk yang sudah pasti akan
merugikan massa dan perjuangan. Karenanya, di jaman Imperialisme saat ini,
setiap gerakan rakyat yang ada di Negeri setengah jajahan setengah feodal
(SJSF) seperti Indonesia sekarang ini, harus mampu memadukan keadaan objektif
(Situasi Sektoral, Nasional dan Internasional) dengan keadaan Subjektif
(keadaan Internal, yakni kekautan dan situasi gerakannya) dalam menjalankan
setiap bentuk perjuangannya.
Bagian I
A. Sejarah Sumpah Pemuda
1. Penindasan Keji
kolonial Belanda dan bangkitnya gerakan Rakyat sebagai sejarah lahirnya Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928.
Dalam sejarah
perkembangan masyarakat Indonesia dari masa ke masa, pemuda tidak pernah
terpisah dari segala kondisi penghidupan rakyat dan setiap upaya yang dilakukan
untuk perubahannya. Secara khusus peran dan kedudukannya ditengah masyarakat,
pemuda Indonesia telah mencatat sejarahnya yang terlibat aktif dalam setiap
bentuk perjuangan rakyat dalam menghadapi setiap bentuk penindasan yang
diwarnai dengan berbagai pergolakan politik, fenomena sosial-ekonomi dan
kebudayaan untuk mewujudkan kemerdekaan, keadilan sosial dan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Pada zaman kolonial
Belanda, ditengah tindasan kejam pemerintah kolonial, pemuda yang tersebar
diberbagai sektor (tani, buruh dan Intelektuil) terus berusaha
mempersatukan diri dengan membangun Organisasi-organisasi rakyat sesuai dengan
persebarannya diberbagai sektor. Kalangan pelajar, mahasiswa dan Intelektuil
lainnya yang medapatkan kesempatan belajar dari sekolah-sekolah yang
diselenggarakan oleh pemerintah kolonial (Politik Etis, Th. 1870)
berusaha membangun berbagai Organisasi, Group belajar dan bentuk-bentuk
perkumpulan lainnya. Hal ini merupakan wujud dari upaya untuk terus
mengkonsolidasikan diri dan membangun kekuatan untuk melawan penjajahan
kolonial Belanda.
Semangat persatuan pemuda
untuk melawan penjajahan kolonial dan mewujudkan kemerdekaan kemudian memuncak
dengan momentum sumpah bersama (Sumpah Pemuda). Sumpah Pemuda ini menyatakan
bahwa pemuda Indonesia Bertanah air,
berbangsa dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Deklarasi persatuan pemuda pada
tanggal 28 Oktober 1928, telah membuktikan semangat persatuan pemuda yang berwatak
patriotis (Cinta tanah Air dan Anti Penjajahan) serta komitmen perjuangan
bersama rakyat untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
2. Sumpah Pemuda cerminan semangat dan cita-tia persatuan
dan Perjuangan Pemuda Indonesia
Deklarasi sumpah pemuda 28
Oktober 1928 telah membuktikan semangat pemuda untuk menyatukan diri dalam
melawan penjajahan Kolonial Belanda dan mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Lahirnya sumpah pemuda, tentunya tidak terlepas dari situasi kongrit rakyat
Indonesia saat itu. Situasi kongkrit
rakyat Indonesia yang dibelenggu penindasan yang begitu hebat, baik
keterhisapan melalui perampasan hak-hak dasar secara universal maupun personal.
Perampasan kedaulatan dalam mengelola seluruh sumber daya alam sebagai sumber
penghidupannya, keterhisapan tenaga akibat paksaan kerja (Sistem tanam Paksa)
dengan siksaan-siksaan secara fisik yang dialami setiap hari selama ratusan
tahun dibawah kekuasaan kolonial belanda. Kondisi ini telah menjadi tempaan
setiap hari yang terakumulasi terus-menerus hingga melahirkan semangat
perlawanan yang kuat bagi seluruh rakyat Indonesia dalam menggencarkan
perjuangan pembebasan nasional dari jajahan kolonial.
Semangat perjuangan rakyat
Indonesia tersebut terus meluas diseluruh kawasan nusantara dan semakin
membesar baik dalam aspek kuantitas maupun kualitasnya yang semakin maju. Hal
tersebut ditandai dengan lahirnya kesadaran berorganisasi, berserikat dan
melakukan aksi-aksi protes dan bentuk-bentuk perjuangan yang lebih maju dan
terorganisir, mulai dari pemogokan sampai bentuk perjuangan yang paling maju yaitu
perjuangan bersenjata. Memasuki abad ke-20an, semangat perlawanan dan
perjuangan pembebasan nasional untuk mewujudkan kemerdekaan sebagai sebuah
bangsa yang berdaulat semakin menguat, berbagai organisasi dan perkumpulan kian
bermunculan dari bentuk yang paling tradisional hingga yang modern (ormas dan
partai politk) lahir sebagai alat perjuangan rakyat. Lahirnya organisasi-organisasi dan perkumpulan tersebut, banyak
dimotori oleh kaum muda terpelajar, terutama pemuda-pemuda dari golongan
priyayi yang menempuh kuliah di perguruan tinggi seperti STOVIA, IHS, bahkan ke
luar ngeri[1].
Kaum pemuda terpejalar ketika itu
kemudian banyak mempelajari teori-teori dari negeri-negeri barat tentang
berbagai bentuk dan sejarah perjuangan rakyat di berbagai negeri untuk
mendapatkan kemerdekaannya, seperti revolusi prancis, ataupun tentang revolusi
industri. Teori-teori maju dan perkembangan situasi internasional seperti
revolusi besar Oktober 1917 di Rusia juga memberikan inspirasi tersendiri bagi
kaum muda, terutama dalam upaya memahami kondisi sosial dan ekonomi rakyat
secara mendalam, upaya-upaya pembangunan gerakan dan dalam menyusun
taktik-taktik perjuangan yang semakin maju.
Selain itu, hal penting yang
harus disadari bahwa kelahiran organisasi-organisasi pemuda saat itu juga tidak
terlepas dari bangkitnya gerakan rakyat disektor lainnya, terutama dari
perjuangan klas buruh Indonesia yang memberikan inspirasi besar bagi bangkitnya
gerakan dan persatuan pemuda saat itu. Pada tahun 1905, lahir organisasi buruh
kereta api Staats Spoorwegen (SS) Bond, Th. 1908 didirikan VSTP (Vereniging van Spoor–en Tram Personeel)
dan, tulang punggungnya adalah dari gerakan buruh kereta api NIS (Nederlands
Indische Spoorwegenmaatschappij). Sesudah berdirinya VSTP.
Pada Th. 1908 kemudian lahir Budi
Utomo sebagai organisasi pemuda pertama dari kaum intelektual Indonesia. Namun
karena keanggotaannya terbatas pada kalangan priyai dan bangsawan saja,
sehingga Budi Utomo tidak dapat berkembang karena tidak mampu menjangkau massa
rakyat (pemuda) secara luas. Karenanya, dalam kehidupan politik Indonesia, Budi
Utomo tidak memegang peranan penting, sehingga dalam perkembangannya,
organisasi tersebut kian tertinggal di belakang.
Selanjutnya, berbagai Organisasi
dan kumpulan-kumpulan terus bermunculan, baik Ormass maupun partai politik. Th.
1916, berdiri PPPB (Perserikatan Pegawai
Pegadaian Bumiputra) di Yogyakarta. Th. 1917 muncul Kweekschoolbond (Persatuan Guru keluaran Kweekschool/sekolah
guru) di Yogyakarta. Th. 1920 muncul PGB (Perserikatan Guru Bantu) berpusat
di Solo. Di kalangan buruh gula, lahir PFB (Personeel
Fabrieks Bond) di Yogyakarta, tahun 1920. Kaum buruh pekerjaan umum
mendirikan VIPBOW (Vereniging van
Inlandse Personeel Burgelijke Openbare Werken) di Mojokerto. Tahun 1919,
buruh pelabuhan mendirikan HAB (Haven Arbeiders Bond) berpusat di
Semarang. Buruh percetakan mendirikan SPP (Serekat
Pegawai Percetakan) tahun 1920, berpusat di Semarang. Juga didirikan SPPH (Serekat Pegawai Pelikan Hindia) yang
berpusat di Semarang. Didirikan juga PPDH (Perserikatan
Pegawai Dinas Hutan) tahun 1920 dan berpusat di Purwokerto. Pada tahun
1919, telah berdiri vaksentral buruh bernama Persatuan Pergerakan Kaum Buruh
(PPKB).
Di awal tahun 1918, lahir
Perhimpunan Kaum Buruh dan Tani (PKBT) yang kemudian dipecah menjadi dua, yaitu
Perserikatan kaum Tani (PKT), dan Perserikatan Kaum Buruh Onderneming (PKBO) di
daerah-daerah pabrik gula. Sementara itu organisasi gerakan pemuda sendiri
diawali dengan lahirnya Trikoro Darmo (Tiga Tujuan Mulya) atas prakarsa
Budi Utomo pada Maret 1915 di Jakarta. Tujuan organisasi ini adalah
mempersatukan pemuda untuk tugas di kemudian hari sebagai patriot. Aktivitas
yang dilakukan oleh Trikoro Darmo hanya terbatas pada pemuda-pemuda Jawa,
lagi-lagi organisasi ini tidak bisa berkembang baik, tidak dapat menarik pemuda
dari suku bangsa-suku bangsa lain karena tebalnya semangat kedaerahan ketika
itu. Sekalipun demikian, kemajuan jaman terus mendorong gerakan pemuda ke arah
yang lebih tinggi, sekalipun jalannya tidak begitu lancar.
Usaha mempersatukan pemuda Jawa,
Sunda dan Madura senantiasa dijadikan acara pokok dalam kongres Trikoro Darmo.
Dalam kongres tahun 1918, Trikoro Darmo dirubah menjadi Jong Java untuk terus
memperluas jangkauannya. Dengan proses yang cukup panjang, lahirnya Jong Java
mampu merangsang lahirnya perkumpulan-perkumpulan pemuda didaerah-daerah
lainnya, seperti “Jong Sumatranen Bond di Sumatra, Jong Ambon di Maluku, Jong
Minahasa di Sulawesi utara dan, di daerah Batak lahir Jong Batak, dsb”. Baru
pada tahun 1926 oleh berbagai organisasi pemuda itu dilangsungkan kongres
bersama di Jakarta, yaitu Eerste Indonesisch Jeugd Congres dengan maksud
untuk mengabdikan gerakan pemuda pada cita-cita persatuan Indonesia.
Selanjutnya, disamping
Organisasi-organisasi massa rakyat dari berbagai sector yang terus bermunculan,
lahir pula berbagai partai politik yang juga digunakan sebagai alat untuk
memperjuangkan kepentingan rakyat Indonesia[2].
Salah satu organisasi modern terbesar yang pernah ada dan cukup ditakuti oleh
pemerintah kolonial, yaitu Serikat Islam (SI) yang didirikan pada tahun 1911
yang pada awalnya diinisiasi oleh Raden Mas Tirtoadisuryo yang dalam
perjalanannya mampu menjadi corong bagi kebangkitan gerakan rakyat di
Indonesia. Pergerakan dan perjuangan ini terutama yang dimotori SI Semarang.
Kehadiran SI telah memberi inspirasi bagi lahirnya organisasi-organisasi modern
lainnya seperti Indische Partij 1912, Indische Sociaal Democratische
Vereniging (ISDV) 1914, Partai Nasional
Indonesia (PNI) 1927 dan Perhimpunan Indonesia (PI) 1916 di Belanda.
Kebangkitan Perlawanan Rakyat melawan
kekuasaan kolonial Belanda, 1926-1927 dan meletusnya revolusi besar Oktober
1917 di Rusia serta bangkitnya gerakan pembebasan nasional di berbagai negeri,
semakin membuka kesadaran kaum pemuda dan pemuda terpejalar akan arti penting
“kemerdekaan” bagi bangsa dan rakyat Indonesia. Di zaman ini, terkenal dengan
istilah gerakan Non-Kooperasi melawan Belanda. Artinya, tidak melakukan
kerjasama sedikitpun dengan kaum kolonial Belanda.
Sejak tahun 1924, di berbagai
kota besar juga telah lahir lingkaran-lingkaran studi ”Studieclub” dari kaum
intelektual yang ingin memegang peranan dan mendorong maju gerakan kemerdekaan
Indonesia saat itu. Lingkar study-lingkar study tersebut juga terus berkembang
di kota-kota seperti Surabaya, Solo, Yogyakarta, Semarang, Bogor, Jakarta dan
Bandung. Dari beberapa studyclub yang ada, yang paling menonjol adalah Algemeene
Studieclub Bandung. Sutdyclub ini dalam perkembangannya menjadi Partai
Nasional Indonesia (PNI) dengan Ir. Soekarno (Bung Karno) sebagai tokoh
utamanya yang juga terkenal dengan pledoinya “Indonesia Menggugat” di
pengadilan Belanda.
Dengan semangat perjuangan yang
berkobar dan semangat persatuan yang kuat dikalangan pemuda dengan berupaya
mempersatukan organisasi-orgaisasi pemuda yang tersebar diberbagai daerah saat
itu, tanggal 27-28 Oktober 1928 kemudian
berhasil diselenggarakan kongres pemuda ke II yang diprakarsai oleh Perhimpunan
Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI). Kongres tersebut berhasil meletakkan
dasar-dasar persatuannya, tidak saja di kalangan pemuda dan gerakan kemerdekaan
nasional, tetapi juga dari seluruh nation (Bangsa) Indonesia. Lahirlah sumpah
pemuda yang terkenal dengan semboyan; “Kita pemuda Indonesia berbangsa satu,
Bangsa Indonesia. Kita pemuda Indonesia berbahasa satu, bahasa Indonesia. Kita
pemuda Indonesia bertanah air satu, tanah air Indonesia.” Dalam kongres
inilah, pertama kali lagu kebangsaan “Indonesia Raya” diperkenalkan kepada
seluruh rakyat Indonesia, dipimpin langsung oleh komponisnya sendiri, Wage
Rudolf Supratman.
Segera sesudah lagu “Indonesia
Raya” mendengung di dalam Kongres Pemuda II, seluruh Indonesia seperti terkena
arus listrik untuk terus-menerus melakukan perjuangan melawan penindasan
kolonialisme Belanda. Dari mana-mana datang permintaan teks lagu itu. Sesudah
itu “Indonesia Raya” dinyanyikan pada setiap ada kesempatan. Begitu antusias
rakyat Indonesia menyambut lagu kebangsaannya, begitu jua ketakutan pemerintah
kolonial terhadapnya, sampai akhirnya mengeluarkan putusan pelarangan untuk
menyanyikan lagu “Indonesia Raya”. Perlawanan pun timbul, dimana-mana membanjir
protes terhadap larangan tersebut, hingga akhirnya pemerintah mundur dan “ lagu
Indonesia Raya” boleh dinyanyikan asal teksnya dirubah. Ternyata yang ditakuti
adalah kata “merdeka”. Itulah sebabnya mengapa lagu kebangsaan yang semula
diberi nama “Indonesia Merdeka” dirubah menjadi “Indonesia Raya”. Sekeluarnya
Soekarno dari penjara Sukamiskin, teks dirubah lagi menjadi bentuk yang
sekarang ini.[3]
Cita-cita penyatuan berbagai
organisasi pemuda terlaksana pada Desember 1930. Pada saat itu, berbagai
organisasi pemuda (kecuali yang
berdasarkan agama) meleburkan diri dalam satu organisasi dengan nama
“Indonesia Muda”. Bagian putrinya diberi nama “Kaputrian Indonesia Muda”. Di
antara yang meleburkan diri dalam Indonesia Muda terdapat Jong Java yang
sebelumnya bernama Trikoro Dharmo. Dalam paruh pertama tahun 30-an, muncul
organisasi pemuda lainnya yang menyatakan dirinya golongan non-intelektual,
yaitu “Persatuan Pemuda Revolusioner Indonesia (PERPRI)” dan Suluh Pemuda
Indonesia (SPI). Pada tahun 1935, pemerintah Hindia Belanda mengadakan
penggeledahan di rumah-rumah pimpinan PERPRI, disusul oleh penangkapan dan
penahanan. Di Yogyakarta beberapa di antara mereka di ajukan ke depan meja
hijau dan dijatuhi hukuman penjara rata-rata selama 1 tahun.
Setelah itu kaum pemuda banyak
mengambil peran aktif dalam gerakan bawah tanah melawan colonial dan
mempertahankan kemerdekaan RI atau Revolusi Agustus ’45. Akan tetapi,
perjuangan tanpa henti rakyat Indonesia selama ratusan tahun, akhirnya
dikhianati oleh borjuasi komprador Hatta-Sjahrir dalam Konfrensi Meja Bundar
(KMB) di Den Haag, Belanda 1949. Dalam kesepakatan atau diplomasi ala borjuasi
kompardor tersebut yang diketahui oleh khalyak umum berisi, Pertama,
kita Indonesia wajib mengganti kerugian perang kepada Belanda sebesar
178.000.000.000 Gulden. Kedua, menunggu hingga tahun 1960 untuk
memerdekakan Papua dari belenggu kolonialisme Belanda. Ketiga,
memaksa para tentara rakyat untuk tidak mendekati garis Van Mook (beberapa
daerah yang masih di kooptasi oleh Belanda). Keempat,
menghentikan nasionalisasi aset-aset asing milik Belanda dan milik swasta asing lainnya.
Peristiwa tersebutlah
(Konferensi Meja Bundar) yang kembali menghantarkan rakyat Indonesia dalam satu
system baru yang tidak kalah kejamnya dengan jaman colonial, yaitu setengah jajahan dan setengah
foedal di Indonesia yang terus dipertahankan oleh Imperialisme bersama tuan
tanah dan borjuasi komprador didalam negeri. Pelajaran penting dari sejarah
singkat ini adalah, bahwa lahirnya Sumpah Pemuda tidak terlepas dari bangkitnya
perlawanan rakyat Indonesia melawan kolonialisme Belanda, baik diawali dengan
terbentuknya SS Bond hingga VSTP dan bangkitnya perjuangan Rakyat Indonesia
dibeberapa daerah (Jawa dan Sumatra) di Indonesia dalam pemberontakan tahun
1926-27 melawan kekuasaan Kolonial Belanda.
Di sisi yang lain, telah lahir
satu kemenangan besar perjuangan klas buruh di Rusia tahun 1917 yang telah menjadi
inspirasi tersendiri bagi kaum muda Indonesia untuk menentang kolonialisme.
Karena Revolusi Besar Oktober 1917, telah membuka babak baru perjuangan rakyat
di seluruh dunia dalam menentang dunia yang telah memasuki fase dominasi
penindasan dan penghisapan imperialisme (tingkat tertinggi dari kapitalisme).
Pelajaran penting lainnya, yang patut dicatat adalah pemuda ketika itu (sejak
kebangkitan nasional hingga revolusi Agustus 1945) mencurahkan sepenuhnya
tenaga dan pikiran untuk mengabdi kepada rakyat dan perjuangan mewujudkan
Indonesia sebagai rakyat dan bangsa yang merdeka dari belenggu kolonialisme.
A. Perkembanga Situasi Nasional dan
Internasional
Indonesia dibawah dominasi imperialisme Amerika
Serikat yang kian tak berdaya menahan Gelombang Resesi Ekonomi dan bangkitnya
gerakan rakyat yang kian meluas
1. Perkembangan Situasi Internasional
“Setiap langkah,
setiap kebijakan dan setiap usaha dari kapitalisme sejatinya adalah krisis-Dan setiap
krisis pasti melahirkan penderitaan yang hebat bagi Rakyat, yang kemudian
mutlak akan menyulut kebangkitannya untuk berlawan”.
Setiap langkah, setiap kebijakan dan setiap
usaha dari kapitalisme sejatinya adalah krisis. Demikian kenyataan yang disadari
akan prinsip kapitalisme (dengan sedikit
modal untuk keuntungan yang melimpah), dan dengan kenyataan bahwa krisis
imperialism (fase akhir/puncak tertinggi
dari kapitalisme) yang tak jua menunjukkan keadaannya untuk membaik sejak
memuncaknya pada tahun 2008 hingga sekarang. Keadaan tersebut yang telah
menabur penderitaan bagi rakyat dengan seluruh skema penghisapannya,
menumbuhkan kesadaran dan membangkitkan semangat perlawan rakyat yang akan
terus meluas dan tidak terkompromikan.
Amerika Serikat bersama Negara-negara
dikawasan Eropa semakin tidak berdaya menghadapi gelombang resesi ekonomi yang
terus menimpanya. Setiap upaya yang dilakukan justeru terus menciptakan
pengangguran dan kemiskinan baru, melahirkan penindasan dan penghisapan baru
terhadap seluruh lapisan klas pekerja di negeri imperialis sendiri, dan
melipat-gandakan penindasan dan penghisapan terhadap rakyat tertindas dan
terhisap di negeri setengah jajahan dan setengah feodal.
Sejak krisis finansial pada tahun 2008,
Amerika Serikat dan Zona Eropa terus tenggelam dalam resesi yang
berkepanjangan. Industri dalam negerinya mengalami pengurangan produksi
drastis, bahan baku
menumpuk. Gelombang pemutusan hubungan kerja, pemotongan upah, penghapusan
subsidi dan jaminan sosial datang bersamaan dengan naiknya pajak, biaya
kesehatan, pendidikan dan, naiknya harga bahan kebutuhan pokok. Sementara, para
pemimpin negeri imperialis dibawah pimpinan imperialisme tunggal Amerika
Serikat terus menunjukkan karakter reaksionernya yang anti klas buruh dan anti
demokrasi, sekaligus pembela sejati sistem oligarki keuangan.
Dengan kebijakan Bail Out-nya, Pemerintahan
Barrack Obama mengambil jalan menguras keuangan negara dan dana publik lainnya,
untuk membantu oligarki keuangan yang terang-terangan telah merampas kekayaan
rakyat dari seluruh dunia dengan jalan mengeruk keuntungan dalam situasi
krisis. Tidak hanya itu, dengan tidak tahu malu Barrack Obama menjadi salesman bagi perusahaan besar
persenjataan, pesawat terbang, pertambangan dan berbagai jenis peralatan
berteknologi canggih yang mengalami over-produksi dan mendesakkan penjualannya
melalui perjanjian multilateral dan bilateral dengan berbagai negara di seluruh
dunia. Dalam waktu bersamaan, dana milyaran dollar dipergunakan untuk membiayai
pembangunan pangkalan militer baru seperti U.S African Command dan operasi
militer di berbagai negara Afrika, Amerika Latin dan Asia.
Di zona Eropa, hal serupa berlangsung dan
bahkan lebih parah. Lilitan utang yang terus menggelembung karena over-produksi
memaksa pemerintahan reaksi terus menambah utang baru melalui penerbitan
obligasi dan berbagai surat
utang lainnya. Perluasan pasar barang produksi dan jasa keuangan negara-negara
Eropa sangat bergantung pada “kebaikan hati” Amerika Serikat yang bersedia
menampung barang dagangannya, dan membagi pasar di negeri-negeri setengah
jajahan dan setengah feodal yang didominasi Amerika Serikat. Negara-negara
utama Eropa hanya mendapat bagian “super-profit” apabila mendukung kebijakan
luar negeri Amerika Serikat seperti tetap mempertahankan pangkalan
militer-Amerika Serikat, ambil bagian langsung dalam perang melawan terorisme
dan penggulingan pemerintahan anti-Amerika Serikat di berbagai negeri.
Sementara negara Eropa kecil lainnya hanya
akan mendapat “bagian” apabila bersedia membuka dirinya bagi pangkalan militer
baru AS, menerapkan demokrasi ala AS, membuka pasar dan investasi dalam
negerinya bagi kepentingan AS. Karenanya, gerakan massa di Eropa selain menggempur kebijakan
dan berupaya menggulingkan pemerintahan korup di negerinya, juga secara
langsung menyerang dominasi Amerika Serikat atas negerinya. Gerakan klas buruh
di Yunani, Spanyol, Jerman, Italia dan Perancis tanpa ragu-ragu menjadikan
institusi keuangan dan perusahaan AS sebagai sasaran utamanya.
Bagaimana pun, Amerika Serikat tetap
menjadi imperialisme nomor satu dan tunggal tanpa kekuatan tandingan yang
sepadan. Hal ini dapat dilihat dari kemampuannya untuk melaksanakan berbagai
tindakan unilateral termasuk
mengisolasi dan menyerang negeri lainnya tanpa persetujuan negeri-negeri
lainnya melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa, karena kemampuan militernya yang
sangat besar di seluruh negeri serta kedudukannya sebagai pimpinan NATO; serta
kebergantungan yang dalam negeri imperialis lainnya pada kapital AS yang secara
aktual dipimpin dan dimobilisir melalui organisasi multilateral seperti G-8,
WTO dan institusi keuangan seperti Bank Dunia dan IMF.
Kontradiksi (Pertentangan) antar negeri AS
dengan Imperialis utama di Eropa akan menajam apabila krisis di negeri Eropa
lainnya sudah sedemikian mematikan, dan Amerika Serikat tidak bersedia membantu
dan berbagi pasar dengan negeri-negeri tersebut. Akan tetapi faktor penentunya
adalah besar dan menguatnya gerakan massa
menggulingkan rezim pro-AS di negeri tersebut dengan tuntutan anti perang yang
dilancarkan AS di seluruh dunia menguat dan menajam.
2. Perkembangan Situasi didalam Negeri
Dengan kenyataan semain tidak berdayanya
Negara-negara imperilis dikawasan Eropa, terlebih jika akan dijadikan sebagai
sandaran utama penyelesaian krisis, Imperialisme AS terus memperluas dan
memperkuat dominasinya di Kawasan Asia, terutama Negara-negara setengah jajahan
dan setengah feudal di Asia. Di Indonesia sendiri, imperialisme Amerika Serikat
telah melancarkan berbagai skema penghisapannya melalui berbagai perjanjian dan
kerjasama. Sementara pemerintahan Indonesia
dibawah kuasa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terus menjadikan Indonesia
dan seluruh rakyatnya sebagai lahan subur sasaran penghisapan Imperialisme.
Melalui berbagai kebijakan yang
dilahirkannya, SBY dengan segenap jajaran pemerintahannya telah menunjukkan kesetiaan
yang tidak terperikan kepada Imperialisme
AS. Dilain sisi, setiap kebijakan
tersebut telah melahirkan konsekwensi berat bagi rakyat, dimana kaum tani
semakin kehilangan tanah akibat perampasan dan monopoli dalam skala luas, klas
buruh dan pekerja yang terus diperas tenaganya akibat efisiensi kerja yang
memaksakan para buruh untuk terus bekerja hingga luar batas, demi mengejar
target. Sementara upah yang diterima terus dipangkas dengan berbagai cara.
Dilain sisi, tindak kekerasan dan berbagi bentuk intimidasi terus mengancam
mereka (klas buruh) yang kritis dan tak sudi untuk dirampas haknya. Sedangkan
pemuda dan mahasiswa dihadapkan dengan masa depan yang kian suram, tanpa adanya
jaminan untuk mendapatkan pekerjaan.
Dilapangan kebudayaan, pendidikan yang
sejatinya adalah upaya yang harus dilakukan secara sadar, luas dan terbuka
untuk memajukan taraf berfikir dan mengembangkan budaya masyarakat, terus di
politisir dengan serangkaian kebijakan liberalisasi dan jebakan akan
privatisasi dan komersialisasi. Sementara itu, pemuda mahasiswa dan tenaga
pendidik disetiap jenjang pendidikan semakin kehilangan hak demokratis yang
seharusnya tumbuh dan berkembang dalam mimbar-mimbar akademik dan
perdebatan-perdebatan ilmiah didalam kampus dan dilingkungan institusi atau
lembaga setiap jenjang pendidikan.
Tidak dapat dihindarkan, bahwa dengan
alasan “untuk menjaga kestabilan politik, untuk ketertiban dan keamanan
nasional, dll” yang sesungguhnya hanya sebagai jaminan lancarnya arus utang
dan Investasi di Indonesia. Pemuda, mahasiswa, tenaga pendidik dihadapkan
dengan pengekangan untuk berorganisasi dan berpendapat melalui berbagai
tindakan intimidasi, terror, ancaman, penangkapan hingga pemukulan, bahkan
tidak sedikit mahasiswa yang telah menjadi korban kekerasan dan
tindakan-tindakan anti demokrasi lainnya didalam kampus. Kenyataan-kenyataan
tersebut semakin menunjukkan betapa SBY tidak berpihak kepada Rakyatnya dan,
hanya mementingkan kehendak tuan Imperialisnya.
Peranan SBY bagi Imperialisme dan seluruh
skema Penghisapannya di Indonesia
Setelah pertemuan G-20 di Los Cabos, Mexico
dan pertemuan Rio+20 UN Sustainable Development, Presiden SBY mengumumkan
keprihatinan dan kekhawatiranya atas krisis di Amerika Serikat dan Zona Eropa
dan mengatakan bahwa membantu Amerika Serikat dan Eropa keluar dari krisis
adalah tanggung jawab bersama. Atas dasar itu, Ia mengumumkan bahwa Indonesia
akan membantu International Monetary Fund (IMF) sebesar U.S $ 1 Milyar agar
dapat mengatasi krisis dengan cepat dari cadangan devisa negara.
Pengumuman tersebut sangat memalukan dan
melukai hati rakyat luas, karena belum lama dari saat itu, pemerintah
mengeluhkan beban subsidi bahan bakar yang besar dan menguras anggaran negara
dan mengumumkan rencana kenaikan harga bahan bakar. Melalui pertemuan yang
sama, Presiden SBY mengumumkan keprihatinannya atas tindakan pemerintahan
Suriah membunuh gerakan oposisi dan mendukung upaya Rusia mengadakan
pembicaraan dengan Al Asad di tengah pembunuhan serupa berlangsung massif di
Papua, di tengah perkebunan di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
Teriakan kemarahan kaum tani yang dirampas
tanah dan nyawanya, kaum buruh yang dirampas upah dan kebebasannya berserikat,
kaum intelektual yang dibungkam untuk tidak bicara, pelan namum pasti akan
melelehkan kosmetik penutup borok di wajah pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono. Angka pertumbuhan ekonomi 6% per tahun, penggelembungan angka Produk
Domestik Bruto (PDB) sampai dua kali lipat, angka pendapatan per-kapita hingga US$
3000.00 per-tahun, angka pengangguran dan kemiskinan yang turun secara teratur
adalah sulapan basi untuk menipu rakyat. Demikian pula kosmetika yang
membungkus kebusukan demokrasi palsu yang korup dan fasis akan segera meleleh
oleh keringat dan darah rakyat yang terus ditumpahkannya diberbagai daerah
diseluruh Nusantara.
Semua angka-angka ekonomi fantastis dan
sistem demokrasi palsu tersebut bertentangan sepenuhnya dengan keadaan kongkrit
penghidupan rakyat sehari-hari. Semakin jelas dan terang bahwa krisis kronis di
dalam negeri tidak bisa ditutupi lagi dengan berbagai indikator demokrasi palsu
seperti sistem pemilihan langsung dan berbagai reformasi serta berbagai
indikator ekonomi. Bantuan U.S $ 1 Milyar kepada IMF tidak bisa memanipulasi
keadaan bahwa negeri ini berada dalam krisis kronis yang terus memburuk,
semakin bergantung dan didominasi imperialisme Amerika Serikat, bergantung
hidup pada utang luar negeri dan investasi asing.
Rakyat tidak lama lagi akan mengetahui yang
sebenarnya, bahwa angka-angka ekonomi tersebut adalah polesan semata Badan
Pusat Statistik (BPS) untuk menyenangkan hati imperialisme Amerika Serikat yang
telah “berbaik hati” pada rezimnya memberi sebuah skema program fantastis yaitu
Millennium Challenge Corporation (MCC)[4] Compact dalam
rangka UN Millennium Development Goals
(MDG’s) bernilai US $ 600 Juta demi “memelihara pertumbuhan ekonomi dan
memerangi kemiskinan” di Indonesia selama tiga tahun terakhir! Rakyat juga akan
menyadari bahwa program yang dijadikan dasar oleh pemerintahan SBY dan
dimanipulasi menjadi Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) pemerintahan
SBY!
Keluarga kaum tani di pedesaan mengalami
peningkatan defisit pendapatan yang mematikan sebagai akibat dari semakin
terintegrasinya kaum tani dengan ekonomi komoditas monopoli (cash-economy) di satu sisi, dan semakin
melemahnya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri (self-sufficient economy). Upah klas buruh di perkotaan dan
pertambangan besar di pedalaman tidak hanya dirampas oleh pengusaha dan
pemerintah (pajak penghasilan dan premi jaminan sosial) di dalam pabrik. Dalam
keadaan krisis yang akut seperti sekarang, upah yang sangat minimum tersebut
disapu habis oleh gelombang kenaikan harga kebutuhan pokok. Klas setengah
proletar (semi proletariat) dan
berbagai lapisan borjuasi kecil rendahan berada dalam kesulitan besar untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, terutama mereka yang bergantung pada
produksi dan perdagangan kecil. Penghapusan berbagai subsidi bahan bakar
minyak, listrik, dan naiknya biaya kesehatan dan sekolah menempatkan mereka di
ujung tanduk kemelaratan.
Ironisnya, selama 8 (delapan) tahun
pemerintahannya, SBY menutup mata dan telinga pada keadaan ini. Ia lebih suka
membuai dirinya sendiri dengan pujian selangit dari Amerika Serikat dan negeri
imperialis lainnya berkat loyalitasnya yang tanpa batas dalam menjalankan
berbagai skema dan kebijakan ekonomi serta mengadopsi sistem politik dan
demokrasi palsu imperialis. Ia mendapat pujian yang luar biasa karena berhasil
memberikan jaminan “stabilitas dan keamanan” bagi investasi asing, membuat
setumpuk regulasi dan kebijakan neo-liberal: meneruskan privatisasi BUMN,
menciptakan manajemen krisis utamanya bagi institusi keuangan, pembaruan fiskal
terutama penghapusan subsidi, sanggup membayar utang luar negeri dengan
teratur, dan terus memperluas pasar baru bagi kapital dan komoditas imperialis
yang terancam membusuk karena over-produksi. Seluruh unsur dari Structural Ajustment Programs (SAP’s)
yang diajukan Bank Dunia dan IMF dijalankan dengan sangat sempurna, setahap
demi setahap.
Periode kedua pemerintahan SBY adalah
periode penjarahan habis-habisan terhadap kedaulatan dan kekayaan bangsa, serta
kebebasan rakyat Indonesia
sejak ditanda-tangani dan dijalankannya kesepakatan “Kerjasama Bilateral
Komprehensif Indonesia-Amerika Serikat,” Juni 2010. “U.S.-Indonesia Comprehensive Partnership Joint Commission” adalah
badan eksekutif negara reaksi yang sangat penting saat ini dan bertugas dari
waktu ke waktu membuat rencana baru untuk memastikan berbagai kesepakatan culas
dalam lapangan ekonomi, politik-militer dan kebudayaan itu berjalan.
Berbagai skema dan kebijakan ekonomi dan
keuangan imperialis yang lama dan yang baru melenggang mulus menjadi kebijakan
dan regulasi negara dan mendominasi kehidupan seluruh rakyat. Sistem demokrasi
palsu dengan berbagai organ politik negara-nya sejauh ini masih dapat
memanipulasi dan meredam perjuangan militan dan tuntutan rakyat. Berbagai
tuntutan mendesak rakyat untuk memperbaiki kehidupannya sehari-hari sukses
didominasi oleh berbagai pertentangan antar klas yang berkuasa, sehingga tidak
menjadi perhatian utama dan tidak satupun yang diselesaikan. Sementara ini,
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM), Komisi Ombudsmen, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan berbagai
lembaga serupa sukses menjadi tameng sekaligus kanal dan kolam raksasa yang di
mana seluruh tuntutan dan perjuangan rakyat diendapkan.
Akan tetapi rakyat tidak akan menyerah.
Mereka tahu, bahwa berbagai organ negara tersebut sengaja diciptakan dan bahkan
dengan sadar “merelakan diri-nya” menjadi tameng sekaligus kanal bagi tuntutan
rakyat agar tidak menerjang langsung kehadapan presiden, para menteri, gubernur, bupati, TNI, kepolisian RI,
pengadilan dan kejaksaan negara dan demi menyelamatkan kepentingan
imperialis, borjuasi komprador dan tuan tanah besar yang dilayaninya. Mereka
terus bekeja bersama-sama menindas, menghina dan mengecilkan arti gerakan massa dan menggali
terowongan suram ke parlemen dan pengadilan. Mereka adalah “Pintu Air
Manggarai” bagi gerakan massa,
penghalang bah dan banjir bandang ke Istana lalu dengan sengaja mengalirkan bah
tuntutan rakyat ke lembaga-lembaga yang tidak berwenang seperti DPR dan
semacamnya!
Berbagai klik reaksioner yang berada di
luar dan juga di dalam organ kekuasaan politik negara reaksioner tetap bersaing
satu sama lain untuk menjadi antek nomor satu imperialis tunggal Amerika
Serikat di Indonesia. Akan tetapi sumber pertentangan mereka sangat “murahan dan
rendahan”. Klik-klik reaksioner yang lebih lemah tersebut hanya mempersoalkan
“perhatian dan pembagian yang adil” dari Presiden SBY sebagai imbalan atas
jerih payahnya menjadi sasaran pukul gerakan massa
anti pemerintah, memanipulasi gerakan massa.
Mereka telah merelakan diri dan partainya
menjadi sasaran demi membela kewibawaan pemerintahan SBY. Karenanya mereka
hanya menuntut imbalan yang pantas bagi klik-nya sendiri, bagi partai dan
dirinya sendiri. Mereka menuntut Presiden SBY agar tidak mengancam anggota klik
dan partainya dengan tuntutan hukum atau setidaknya terus mendapatkan bagian
proyek baru dari pemerintah atau kedudukan yang strategis dalam organ kekuasaan
politik negara. Kedudukan klik ini sangat asor dibandingkan dengan kedudukan
SBY dan kliknya yang masih didukung penuh oleh imperialis.
Gerakan massa tidak bisa berharap banyak akan
lahirnya pertentangan tajam antara klik-klik yang lebih rendah melawan
kedudukan SBY dengan mengandalkan inisiatifnya sendiri. Hanya gerakan massa progressif yang besar dan kontinyu serta gerakan massa militan yang dapat
membuat pertentangan antar klik ini akan tajam. Bila gerakan massa sangat luas dan keras menggempur
kedudukan pemerintahan SBY, maka mereka akan ragu mengambil inisiatif menjadi
tameng hidup bagi pemerintah atau mengambil peran memoderasi tuntutan. Bila
keadaan demikian lahir, maka mereka akan berusaha terhubung dengan gerakan massa dan berusaha
mempersiapkan dirinya menjadi kaki tangan utama imperialis berikutnya.
Rendahnya tensi pertentangan antar klik
yang berkuasa, dan masih lemahnya gerakan massa yang terorganisasi dan militan,
dan masih massifnya gerakan massa spontan, telah memberikan keleluasaan bagi
SBY untuk menggadaikan kedaulatan dan kekayaan bangsa serta kebebasan dan
kekayaan rakyat kepada imperialism, terutama Amerika Serikat. Amerika Serikat
sangat fokus dan mengintegrasikan Indonesia kedalam skema penanganan
krisis imperialisme dunia. Indonesia
adalah dewa penyelamat resesi Amerika Serikat dan Zona Eropa mengingat sumber
daya alam, buruh murah di mana Presiden SBY dapat menjadi pemimpin borjuasi
besar komprador dan tuan tanah besar yang cukup efektif. Berbagai skema
kebijakan imperialisme berbasiskan pada berbagai “Kesepakatan Kerjasama
Bilateral Komprehensif“ dan kesepakatan multilateral yang culas dan sangat
mengikat melalui G-20 sukses memperkuat dominasi imperialis khususnya Amerika
Serikat sebagai kekuatan tunggal di dunia dan kawasan.
Imperialisme AS bergandengan erat dengan
imperialis lainnya bekerja bersama-sama membantu dan menjaga pertumbuhan
ekonomi dan stabilitas Indonesia dan kawasan ASEAN, dan Asia Pasifik agar
mendapat super-profit untuk mengganti kerugian atas pertumbuhan ekonomi yang
stagnan di negerinya sendiri dan zona Eropa. Bank-bank besar monopoli seperti
Golden Sach, City Bank, Bank of America, Merril Lynch diarahkan agar terus
mengekspor kapitalnya untuk membantu perkebunan-perkebunan besar monopoli milik
Sinar Mas Group, Golden Eagle, Wilmar dan mendorong privatisasi
perkebunan-perkebunan negara baik PTPN, Perhutani maupun Inhutani. Skema ini
diintegrasikan dan dipadukan melalui program aksi yang dirancang berdasarkan
“Kesepakatan Kerjasama Bilateral Komprehensif Indonesia-Amerika” yaitu: U.S.-Indonesia Trade and Investment
Framework Agreement (TIFA), USAID-Economic Growth Assistance Program,
New Overseas Private Investment Corporation (OPIC) Agreement.
Melalui perjanjian yang sama, Amerika
Serikat dengan leluasa mendominasi pasar dalam negeri dengan menggenjot
habis-habisan ekspor berbagai barang over-produksi di negerinya ke Indonesia.
Bank Eksport-Import Amerika Serikat (US
Exim Bank) membiayai setidaknya tujuh perbankan nasional agar membiayai
berbagai perusahaan Indonesia
yang mengimpor berbagai jenis mesin, pesawat, peralatan hingga komoditas
pertanian dan peternakan dari Amerika. Pembelian ratusan unit pesawat Boeing
737 900ER bernilai milyaran dollar oleh Maskapai Lion Air, pesawat tempur dan
helikopter serta peralatan pembangkit listrik panas bumi adalah pembelian
pertama sejak kesepakatan ini dibuat. Dengan jalan ini Amerika Serikat dapat
menggerakkan kembali industri strategisnya, penjualan suku cadang dan jasa pelayanannya
yang stagnan dan mengalami over-produksi.
Setelah merasakan nikmatnya mendominasi
tambang minyak, gas dan mineral Indonesia selama puluhan tahun, Amerika Serikat
memiliki ambisi sangat besar untuk menguasai seluruh pertambangan panas bumi
melalui perusahaan seperti Chevron Pasific dan General Electric. Eksplorasi dan
penggunaan energi panas bumi di Indonesia
dibungkus sedemikian rupa dengan kedok Clean
Development Mechanism (CDM) dan dalam rangka membangun sumber energi
terbarukan dan berkelanjutan. Melalui program ini Amerika Serikat telah
memastikan keuntungan awal setidaknya US$. 433 juta hanya dari mengekspor
peralatan dan jasa belum termasuk tenaga kerja, keuntungan pra-operasi yang
luar biasa bagi Amerika Serikat yang dilanda krisis.
Dari pertambangan panas bumi ini, Amerika
Serikat dapat menggerakkan industri dan menjual peralatan pembangkit dan
berbagai peralatan listrik baru “pro-lingkungan” ke Indonesia. Usaha ini dioperasikan
secara sistematis melalui USTDA’s Geothermal
Development Initiative. Proyek
Geothermal di Jawa Barat dan Halmahera adalah pilot utama dari proyek
pembangkit panas bumi yang akan dijual ke bangsa dan rakyat Indonesia kembali dengan harga
sangat mahal. Lebih dari separuh dana US $ 600 juta dari Millennium
Challenge Corporation (MCC) Compact dipergunakan untuk proyek AS di
Indonesia dengan judul Green Prosperity
Project untuk membangun sumber energi alternatif terbarukan dan manajemen
sumber daya alam.
Saat ini Amerika Serikat sudah menemukan
desain besar skema baru-nya ini dengan nama yang sangat ilusif “green economy.”
Sebuah bungkus yang rapi untuk menutupi skema ekploitasi sumber daya alam
berkedok penanganan iklim dan penyelamatan lingkungan. Targetnya, pertama, adalah produksi mesin dan
berbagai peralatan baru yang “pro-lingkungan dan pro-pembangunan berkelanjutan”
yang diharapkan dapat menggerakkan kembali mesin industri dalam negerinya yang
terancam rusak serta aktivitas riset yang stagnan. Target Kedua, adalah ekspor kapital dalam
rangka perdagangan karbon dengan menjadikan Bank Dunia sebagai ujung tombaknya.
Ketiga, ini adalah skema baru
memperkuat monopoli tanah dan perampasan tanah di mana para tuan tanah besar Indonesia
dapat mengklaim perkebunan sawit dan kayunya adalah bagian dari upaya
pelestarian lingkungan dan penampung karbon dalam jumlah besar. Sehingga mereka
layak meneruskan dan mengembangkan perkebunannya dan bahkan berhak mendapat
dana adaptasi! Sinar Mas Grup memimpin upaya ini dengan sangat serius dengan
berbagai pilot projeknya.
Untuk membungkus seluruh misi jahatnya,
maka Amerika Serikat “terpaksa berpura-pura menunjukkan komitmentnya” pada
upaya penyelamatan lingkungan dengan mendorong negara miskin menjaga hutannya
melalui berbagai program seperti Tropical
Forest Conservation Act (TFCA), pendirian Indonesia Climate Change Center
dan merancang program seperti Climate
Change Center dan program seperti SOLUSI
(Science, Oceans, Land Use, Society and Innovation).
Seluruh program tersebut telah merampas
tanah-tanah dan harta kekayaan serta mengusir berbagai suku bangsa minoritas di
Sumatera, Kalimantan, dan Papua dengan berpura
mengadopsi prinsip “Prior, Inform and Consent.” Dana adaptasi dan mitigasi
iklim dengan kedok Reduction Emission
from Deforestation and Degradation (REDD) dengan licik dipergunakan oleh
Bank Dunia untuk mempercepat pelaksanaan kebijakan neo-liberal dan Structural Ajustment Programs (SAPs) sebagai
syarat pembiayaan iklim dan berikutnya bisnis karbon. Bisnis karbon sendiri
diinterpretasi secara sepihak agar dapat memberikan legitimasi bagi perusahaan
besar monopoli di Amerika Serikat untuk menghindari kewajiban pengurangan
penggunaan energi fosil dan pengurangan gas rumah kaca di satu sisi dan dapat
melindungi monopoli dan operasi perampasan tanah oleh para sekutu komprador dan
tuan tanah besarnya seperti Sinar Mas Group dengan “mengadaptasi” bahwa
perkebunan-perkebunan sawit, tebu dan kayu mereka layak diakui sebagai bagian
dari skema REDD!
Bagian II
A. Perkembangan Situasi Sektoral
1. Pemuda Indonesia dibawah Dominasi Imperialisme dan Kekuasaan Rezim Fasis
Anti Rakyat dan Anti Demokrasi
Dengan watak culas pemerintah
yang berkuasa di Negeri yang kaya dan subur ini, tidak satupun sektor yang
luput dari penghisapan dan berbagai bentuk penindasan yang dilahirkan dari
pelayanan setianya kepada Imperialisme bersama sekutunya didalam negeri, yakni
borjuasi besar komprador dan tuan tanah. Melalui Instrumen Negara yang berada
dibawah kuasanya, seperti PTPN, PERHUTANI dan INHUTANI, pemerintahan rezim
boneka SBY-Boediono beserta seluruh jajarannya telah menggunakan Negara
sekaligus menjadi tuan tanah yang bersama-sama dengan perusahaan-perusahaan
swasta begitu rakus menguasai tanah-tanah rakyat, mengeruk seluruh sumber daya
alam dan menghisap tenaga kerja dengan upah yang rendah.
Demikian juga terhadap pemuda dan
mahasiswa, tidak terlepas dari seluruh skema penghisapan imperialisme yang
dijalankan oleh pemerintahan SBY-Boediono hingga menjelang akhir periode kedua
pemerintahannya saat ini. Secara umum, pemuda dihadapkan dengan persoalan
khusus sesuai sektor persebarannya. Pemuda yang terserap dalam Industri atau
sektor perburuhan, telah dihadapkan dengan pemotongan upah yang sedemikian
rupa, melalui kebijakan efisiensi produksi yang memaksakan mereka harus bekerja
hingga melebihi waktu jam kerja dibatas kewasajarannya.
Dengan sistem kontrak dan Outsouching
yang diadopsi oleh pemerintah saat ini, kaum buruh bahkan dihadapkan dengan
penghisapan berlipat ganda. Oleh perusahaan, upah buruh dipangkas melalui
penambahan jam kerja (jam kerja berlebih), dipangkas pula untuk memenuhi premi
jaminan sosial yang tidak mungkin dapat diterima secara utuh sesuai pemotongan
selama masa kerja. Selain itu, Buruh mengalami pemotongan upah oleh
perusahaan/yayasan penyalur tenaga kerja (yayasan outsourching) yang menjadi
agennya. Selain pemotongan upah, buruhpun masih dihadapkan dengan keadaan kerja
yang tidak layak, perlakukan managemen yang semena-mena dan berbagai bentuk
diskriminasi lainnya.
Disamping kenyataan tersebut,
kaum buruh masih dihadapkan dengan tindakan pemberangusan serikat (Union
busting), yakni pelarangan berserikat oleh perusahaan. Upaya-upaya pelaranagan
dan bentuk-bentuk pemberangusan yang dilakukan oleh perusahaan, mulai dengan
intimidasi terhadap buruh, ancaman PHK, bahkan pemukulan, penangkapan dan
pemenjaraan terhadap buruh yang berani melakukan protes atas kebijakan
perusahaan. Fenomena semacam ini, kini sudah tak lagi mejadi rahasia, bahkan
sudah dipandang lumrah oleh pengusaha bahkan pemerintah, sehingga Pemerintah
tidak pernah memberikan tindakan kongkrit dalam menyelesaikan persoalan buruh
saat ini.
Pemuda yang tersebar disektor
agraria atau menjadi petani (sebagian besar pemuda tersebar dipedesaan menjadi
petani atau pengangguran) dihadapkan dengan perampasan tanah yang kian meluas.
Diskriminasi sosial, dan berbagai bentuk kekerasan dan tindasan keji dari
borjuasi besar komprador dan tuan tanah bersama pemerintah dengan seperangkat
alat pemaksanya (TNI, POLRI) maupun sipil (Pamswakarsa) yang dapat dimobilisir
dalam mengamnakan setiap proses eksekusi lahan yang direbut dari kaum tani.
Selain bentuk-bentuk
ketertindasannya seperti ketertindasan buruh dan tani (dua komposisi Masyarakat
dengan jumlah terbesar) tersebut, pemuda secara khusus juga memiliki persoalan
pokok secara sektoral. Sebagai jaminan atas kelansungan hidupnya yang lebih
baik, pemuda dihadapkan dengan sempitnya lapangan kerja, sehingga meskipun
telah disulap dengan berbagai manipulasi angka statistik, angka pengangguran
terus meningkat berbanding lurus dengan angka kemiskinan, yakni mencapai 60%
(Usia 16-18 Th) atau sama dengan 37.755.600 Jiwa dari 62,926 juta jiwa total
jumlah pemuda Indonesia. Kenyataan tersebut, telah menjebak sebagian pemuda
Indonesia kemudian terpaksa menjadi buruh migran (BMI/TKI) tanpa jaminan yang
jelas atas kesejahteraan dan perlindungannya.
Ditengah penghisapan yang
sedemikian hebat, dilapangan kebudayaan pemuda juga harus kehilangan kesempatan
untuk dapat berpartisipasi penuh dalam mengembangkan kebudayaan masyarakat.
Situasi tersebut ialah akibat dari mahalnya biaya pendidikan yang terus
meningkat, terbatasnya kuota penerimaan peserta didik disetiap jenjang
pendidikan serta, berbagai bentuk diskriminasi dalam penerimaan peserta didik.
Dalam kenyataannya, sesuai data yang dirilis oleh BPS 2011, dari 242,7 Juta
jiwa penduduk Indonesia, terdapat 62.926,00 Juta jiwa adalah pemuda (Usia 16-30
Tahun), 25 juta dari mereka yang usia kuliah (18-25 tahun) yang terserap
kedalam jenjang pendidikan tinggi, tidak lebih dari 4,8 juta.
Selain dengan persoalan tersebut,
pemuda yang mendapat kesempatan mengenyam pendidikan tinggi, bukan berarti
terbebas dari berbagai persoalan lainnya di dunia pendidikan. Sepanjang usia
menjadi peserta didik, selama itu pula mereka dijerat dengan biaya yang terus
meningkat setiap tahun dan berbagai bentuk pungutan. Persoalan lainnya, ditengah
mahalnya biaya pendidikan dan tidak ilmiahnaya kurikulum dan ilmu pengetahuan
yang disajikan, pemuda juga tidak terbebaskan dari intimidasi, kekerasan,
pengekangan, hilangnya kebebasan mimbar akademik dan berbagai bentuk tindakan
anti demokrasi lainnya.
Berjalannya seluruh skema
tersebut dengan begitu mulus, tidak terlepas dari Intervensi imperialisme,
utamanya Amerika serikat melalui berbagai kebijakan dan perjanjian kerjasamanya
yang dijalankan oleh pemerintah boneka didalam Negeri. Sejak paska ratifikasi
perjanjian GATS-WTO Tahun 1995. Kini melalui perjanjian kerjasama komprehensif
bilateral Amerika Serikat-Indonesia (US-INDO Comprehensif Partnership) tahun
2010, intervensi Amerika Serikat dilapangan pendidikan kian menguat. Bahkan
dalam setiap kerjasama bilateral AS-INDO tersebut, dunia pendidikan Indonesia
menjadi sasaran paling strategis. Setelah bertahun-tahun Bank Dunia dan ADB “membina” pendidikan dasar
dan menengah seperti program sertifikasi guru, sekarang Amerika Serikat sangat
fokus menarik kalangan akademisi di universitas untuk mendukung kepentingan
imperialisme dan feodalisme di Indonesia.
Dalam krisis kronis yang semakin akut,
kebangkitan gerakan pemuda khususnya mahasiswa sangat menakutkan bagi
imperialisme dan pemerintah reaksi di Negara setengah jajahan dan setengah
Feodal yang senantiasa menjadi boneka bagi Imperialisme. Peranan pemerintah
bersama segenap perengkat dilapangan pendidikan, baik dari kementerian hingga
birokrat kampus ialah mencegah mereka (Mahasiswa) terhubung dengan tuntutan dan
gerakan klas buruh dan kaum tani di pedesaan. Karena itu kampus-kampus menjadi
sasaran utama penumpulan perjuangan dan juga berbagai bentuk intimidasi, teror
dan kekerasan.
Dominasi kebudayaan imperialisme di kampus
terus diperkuat. Kampus-kampus dan sekolah didominasi oleh skema kebijakan dan
ide-ide imperialis dan tuan tanah. Mereka membungkam gerakan mahasiswa
demokratis secara simultan dengan berbagai cara penumpulan perjuangan, seperti
menerapkan biaya pendidikan yang tinggi, pertukaran pelajar dan mahasiswa ke
luar negeri, dan mempromosikan individualisme dalam berbagai bidang secara
agresif. Bahkan, pemerintah Indonesia bersama birokrasi kampus telah membuka
pusat kebudayaan Amerika Serikat (American Corner) di 19 (Sembilan belas) kampus
besar Negeri dan kampus-kampus swasta penting yang disediakan sebagai media
lansung promosi budaya Amerika dikampus-kampus. Birokrat Kampus mengabdi
sepenuhnya pada imperialis dan tuan tanah, melalui riset dan rancangan
legislasinya mereka menipu rakyat agar bersedia menerima keberadaan
perusahaan-perusahaan besar. Sebagai salah satu contohnya, birokrat dan
peneliti senior Universitas Negeri di Kalimantan dengan militan membela
kepentingan Sinar Mas grup dari serangan rakyat yang dirampas tanahnya.
Berbagai paket program untuk mendiktekan
kebijakan negara dan memobilisasi para akademisi dan mahasiswa untuk membela
kepentingan Amerika Serikat di Indonesia yaitu: University Partnerships yang khusus merancang hubungan kerjasama
antar kampus untuk pertukaran sistem belajar hingga materi ajar, pertukaran
riset sesuai dengan fokus yang ditentukan dan diarahkan oleh Amerika Serikat.
Seluruh kampus negeri di Indonesia terhubung erat dengan berbagai kampus
Amerika yang ditunjuk melalui program ini untuk “membimbing” kampus Indonesia
agar memiliki sistem pendidikan “berstandar Amerika”; The Higher Education Leadership, Management, and Policy (HELM) yang
khusus mendorong pendidikan biaya tinggi, mendorong adanya “otonomi palsu” di
kampus-kampus utama Indonesia, dan membuat regulasi agar dapat mengontrol dan
menumpulkan perjuangan di kampus.
Program lainnya, Indonesia Council for Higher Education Partnership; Fulbright Indonesia
Research, Science and Technology (FIRST) adalah program khusus untuk
membina tenaga pengajar dan lulusan terbaik Indonesia agar memiliki pandangan
pro imperialis dan bersedia mengabdi pada imperialisme dan feodalisme di
Indonesia; Community College Initiative–;
dan berbagai aktivitas riset seperti The
joint research voyage of NOAA’s Okeanos Explorer and Indonesia’s Baruna Jaya.
Seluruh universitas negeri dan swasta utama Indonesia
terintegrasi dalam program ini, terutama empat universitas unggulan Indonesia
yakni: Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut
Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Gajah Mada (UGM).
Seluruh kesepakatan Kerjasama Bilateral Komprehensif Indonesia-Amerika Juni 2010 telah
menjadi pedoman atau haluan bagi pemerintah RI di bawah SBY dalam menjalankan
kebijakannya. Ia telah menjelma menjadi Rencana Pembangunan Jangka Panjang
sesungguhnya di Indonesia.
Hal ini didukung dan diperparah oleh berbagai kerjasama bilateral komprehensif
serupa dengan berbagai negeri imperialis lain seperti Australia, Jerman, dan Jepang. Dalam situasi semacam itu, bangsa dan rakyat Indonesia
terus dirampas kedaulatan dan kebebasannya, dan menjadi “penyelamat krisis di
Amerika Serikat,” membantu memperkuat dominasi imperialisme Amerika Serikat di
Asean, Regional Asia dan Dunia.
2. Undang-Undang Pendidikan
Tinggi (UU PT No 12. Th. 2012) sebagai salah satu skema penerapan kerjasama
komprehensif AS-Indonesia (US-INDO Comprehensif Partnership 2010) dilapangan
pendidikan
Penerapan setiap program
kerjasama komprehensif tersebut, salah satunya dapat dilihat dari pengesahan
Undang-undang pendidikan (UU PT) yang akan terus mengarahkan pendidikan tinggi
dalam kubangan “Privatisasi, komersialisasi dan liberalisasi”. Melalui UU tersebut,
pemerintah Indonesia telah menjanjikan keuntungan besar bagi Imperialisme dan borjuasi komprador didalam
negeri, yakni keuntungan secara Ekonomi:
Dapat mendatangkan keuntungan yang
besar, Secara Politik: Sebagai mesin yang melahirkan
analisis-analisis yang menguatkan, melegitimasi atau bahkan melahirkan suatu
kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah, dan secara Kebudayaan: Sebagai
corong propaganda, sebagai salah satu sandaran bagi Imperialisme dalam
mentranspformasikan ide dan kepentingannya, yang sesungguhnya bertentangan
dengan kepentingan rakyat.
Secara historis, lahirnya undang-undang
tersebut tidak terlepas dari upaya pemerintah untuk mengakomodir kepentingan
imperialisme beserta sekutunya didalam negeri (Tuan tanah dan borjuasi komprador). Dalam upaya tersebut, sebelumnya pemerintah telah melahirkan berbagai
kebijakan dilapangan pendidikan yang samasekali tidak memiliki orientasi untuk
menjawab kebutuhan rakyatnya, yaitu: PP no 61 tahun 1999 tentang PT BHMN, UU no
20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional, UU no 9 tahun 2009 tentang
BHP, PP no 17 dan 66 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan tinggi dan, hingga saat ini ialah undang-undang
pendidikan tinggi (UU PT).
Secara
khusus, UU ini juga di latar belakangi oleh pencabutan Undang-undang badan
hukum pendidikan (UU BHP) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2010,
setelah mendapatkan tentangan keras dari berbagai kalangan, terutama dari
kalangan mahasiswa maupun dari elemen rakyat lainnya. Karena itu, dalam keputusannya
MK menyebutkan bahwa UU BHP bertentangan dengan UUD 1945 (Keputusan MK RI No.
11-14-21-126-136/PUU-VII/2009). Alasan lainnya ialah UU
tersebut terbukti tidak mampu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia,
bahkan telah menyebabkan pendidikan semakin jauh dari kemampuan rakyat untuk
dapat mengaksesnya.
3. Dampak UU PT bagi rakyat dan kehidupan didalam Kampus
Seluruh kebijakan imperialisme
tersebut merupakan manifestasi dari SAP’s (structural
adjustment programs) dan segenap
paket kebijakan perjanjian kerjasama komprehensif US-INDO, yaitu
kebijakan neo-liberal yang dipakaskan oleh imperialisme untuk mendominasi
negara-negara berkembang seperti Indonesia. Dengan berbagai skema dan orientasi
tersebut, dampak lansung dari UU PT, dipastikan akan menyebabkan:
a). Semakin melambungnya biaya
Pendidikan Tinggi: PT terus diarahkan untuk
menyelenggarakan pendidikan secara mandiri, sementara pemerintah hanya
mengalokasikan 2,5% dari anggaran fungsi pendidikan untuk dana operasional bagi
PTN dan PTS yang meliputi pembiayaan
investasi, pegawai, operasional, dan pengembangan institusi. Dalam UU
tersebut, pemerintah juga mengatur bahwa dengan adanya otonomi, setiap PTN dan
PTS memiliki kewenangan untuk menetapkan jenis biaya pendidikan sendiri diluar
biaya penyelenggaraan pendidikan (SPP). Dalam kebijakan sebelumnya (PT
BHMN-BHP), juga mengatur hal yang sama, namun biaya pendidikan tinggi tetap
mengalami penaikan mencapai 40-50% pertahun.
Dalam UU ini, pemerintah juga
mendorong terbangunnya kerjasama dan usaha mandiri dari suatu PT dengan swasta
ataupun dengan pemerintah. Artinya bahwa jika terbangun kerjasama atau usaha
mandiri sekalipun, pendapatan PT akan sangat ditentukan oleh jenis dan bentuk
kerjasama atupun usaha mandiri yang dibangunnya, besaran saham dan kesepakatan
perjanjian Sharing/distribusi hasil. Pelajaran akan hal tersebut dapat diambil
dari pengalaman sebelumnya, (Ex: PT. BHMN
Institut Pertanian Bogor/IPB) yang memiliki lebih dari 125 kerjasama
Internasional, lebih dari 500 kerjasama didalam Negeri, memiliki lahan
pertanian dan pekebunan 200 ribu ha, 1 Mall (Botani Square) dan, 1 Hotel
berbintang 5. Faktanya dengan sekian
banyak kerjasama dan usaha mandiri, namun sama sekali tidak mampu meringankan
beban biaya yang harus ditanggung oleh mahasiswa. Dalam praktek lain, justeru
pengelolaan aset, khususnya untuk perkebunan dan pertanian justeru banyak
menggunakan tenaga mahasiswa dengan dalih praktikum.
b). Pendidikan hanya
diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan pasar: Dampak lain dari UU ini juga
manifest skema imperialisme atas perdagangan tenaga kerja, melalui program fleksibelitas pasar tenaga kerja (labour market flexibellity-LMF). Dalam
UU PT. dijelaskan bahwa seluruh dosen dan tenaga kependidikan akan menjalankan
dua pola yakni 1). diangkat oleh pemerintah, kemudian selanjutnya disebut
sebagai PNS, dan 2). diangkat oleh badan penyelenggara atau perguruan tinggi
yang bersangkutan, kemudian selanjutnya disebut sebagai pegawai perguruan
tinggi. Artinya, terang bahwa dengan skema tersebut menempatkan dosen dan
tenaga kependidikan dalam jurang sistem kerja kontrak dan outsourcing. Selain
itu, mahasiswa-pun menjadi sasaran perdagangan tenaga kerja bagi pihak kampus
ataupun pemerintah secara lansung. Dengan dalih praktikum atau training,
mahasiswa dipekerjakan diperusahaan-perusahaan swasta (dalam atau luar Negeri)
selama 6 (Enam) bulan hingga satu tahun, dengan upah yang murah, bahkan tidak
sama sekali.
Skema ini adalah skema yang
dilahirkan oleh IMF dan Bank Dunia di kampus-kampus yang sudah menerapkan PT
BHMN dan BHP ataupun BLU sebelumnya tanpa jaminan atas masa depan yang jelas,
dimana kontrak kerja dapat diputus secara sepihak, minimnya jaminan sosial dan
hubungan industrial yang selalu merugikan pegawai non PNS. Praktek pembukaan
outsourcing di dalam kampus pun sudah berjalan, misalnya UI, sekaligus menjadi
salah satu sumber pendapatannya. Demikian pula di kampus UPI, dan UGM yang
masih berstatus PT BHMN. Peraturan tersebut diatur dalam UU PT tentang
kesejahteraan dosen dan tenaga kependidikan. Dengan demikian, nasib tenaga
kependidikan akan mengikuti UU no 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan.
c). Kesenjangan antar PTS di
Dalam Negeri dengan PT Asing: Hal tersebut adalah konsekwensi lansung yang akan
dialami oleh PTS didalam Negeri. Dengan pendirian PTA akan membuka peluang
adanya penutupan PTS-PTS di Indonesia yang tidak mampu bersaing dengan PTA yang
didirikan di Indonesia, baik karena persaingan atas kualitas yang dimiliki PTA
yang lebih baik daripada PTS-PTS di Indonesia dan didukung dengan kemapanan
(Establish) PTA-PTA tersebut dalam hal pengelolaan keuangan.
d). Semakin sempitnya akses
rakyat atas pendidikan: Berdasarkan data
BPS Maret 2011, pemuda Indonesia yang berusia 19-24 tahun berjumlah 25,404 juta jiwa, sedangkan jumlah
penduduk yang masuk dalam kategori miskin per Maret 2011 mencapai 30,5 juta jiwa, dengan pendapatan perkapita sebesar
Rp.233.740 perbulan. Sedangkan penduduk yang memiliki pendapatan antara Rp.233.740-Rp.280.488 masuk dalam kategori hampir
miskin, dengan jumlah 27,12 juta jiwa atau 11,28% dari total penduduk
Indonesia. Artinya dengan kenyataan demikian,
bagi calon peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu dan tidak
memiliki prestasi secara akademik, dipastikan tidak akan bisa melanjutkan ke
jenjang perguruan tinggi.
Per-Agustus
2011, BPS juga menyebutkan bahwa mayoritas rakyat Indonesia berprofesi sebagai
petani dan nelayan sebesar 42,8 juta jiwa, lalu diikuti oleh pekerja atau buruh
pabrik dan pertambangan dengan total 14,24 juta jiwa, serta masyarakat yang
berwiraswasta sebanyak 22,1 juta jiwa. Kenyataan tersebut menjelaskan bahwa,
dengan pendapatan rata-rata petani dan nelayan (sebagai komposisi yang mayor dari total jumlah populasi dan dari total
angkatan kerja di Indonesi) perbulan yang tidak lebih dari
Rp.550.000–Rp.750.000 perkapita, tentu merekalah yang secara umum merasakan
efek UU PT saat ini.
Sementara,
didalam UU PT mengatur untuk memberikan prioritas bantuan akses pendidikan
tinggi hanya untuk 20% calon peserta didik dari keluarga miskin yang
berprestasi. Belum lagi ketika melihat skema penyaluran bantuan tersebut adalah
melalui beasiswa dengan sistem penyaringan yang ketat dan hanya memprioritaskan
calon peserta didik yang berprestasi. Secara kebudayaan, skema tersebut justeru
akan menjebak peserta didik dalam persaingan yang akan menumbuh suburkan watak
individualis pada peserta didik dan melahirkan kesenjangan antar peserta didik.
e). Semakin hilangnya
demokratisasi dalam kehidupan kampus
Dari aspek sejarah atau latar
belakang lahirnya UU ini, menjelaskan bahwa orientasi atas penyelenggaraan
pendidikan tinggi, secara penuh untuk mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya
baik secara ekonomi, politik maupun kebudayaan, serta terlepasnya tanggungjawab
pemerintah atas pendidikan tersebut. Artinya bahwa, selain untuk mempertahankan
keterbelakangan kebudayaan masyarakat Indonesia dan untuk dapat menarik
investasi sebesar-besarnya dari sektor pendidikan, maka akan sangat dibutuhkan
kestabilan politik didalam kampus.
Yang paling berbahaya bagi
perkembangan budaya masyarakat di Indonesia adalah arah pendidikan yang terus
difokuskan pada Ide dan kepentingan Imperialis melalui pemerataan kurikulum
yang distandarkan pada kurikulum pendidikan AS. Karenanya, untuk menjamin hal
tersebut pemerintah akan terus memasung demokratiasai didalam kampus dan
menghilangkan kebebasan mimbar akademik. Pemerintah akan terus menghambat bangkitnya
kesadaran politik mahasiswa dengan cara menyibukkan mahasiswa dengan berbagai
aktifitas akademik seperti memperbanyak tugas kuliah, praktikum dll. guna
menjauhkan mahasiswa dari kenyataan sosial masyarakatnya.
Perampasan hak demokratis
mahasiswa maupun civitas akademik lainnya akan semakin nyata, dimana akan
semakin hilangnya kebebasan berorganisasi, mengeluarkan pendapat, kebebasan
akademik ataupun untuk menjalankan aktfitas politik dan kebudayaan lainnya
didalam kampus. Kaitannya dengan hal tersebut, seiring kencangnya gerakan
penolakan UU PT, maupun gerakan protes atas berbagai kebijakan lainnya,
pemerintah terus mempropagandakan “Normalisasi gerakan mahasiswa”,
dilahirkannya UU Ke-Ormasan, Rancangan Undang-undang tentang Keamanan Nasional
(RUU KAMNAS) yang akan semakin menyulitkan ruang gerak bagi organisasi rakyat
maupun organisasi mahsiswa. Hal tersebut juga diatur dalam UU PT tentang
organiasasi kemahasiswaan dan tentang “dikotomi” organiasasi kemahasiswaan
“Intra dan Ekstra”.
B. Jalan keluar bagi pemuda dan mahasiswa dan peranannya
dalam perjuangan rakyat
Dalam paparan sebelumnya,
dijelaskan bahwa pemuda tersebar dalam seluruh sektor rakyat yang hidup baik di
perkotaan maupun di pedesaan secara teritorial. Secara khusus dilapangan
pendidikan, jumlah seluruhnya pemuda mahasiswa Indonesia berjumlah kurang lebih
4,8-5,2 juta jiwa dengan persebaran 1,03 juta di PTN, 2,8 juta di PTS, 92
ribuan PTAI, 570 ribuan di UT, dan 645 ribu Pendidikan Kedinasan. Namun, dari 5,2 juta jiwa hanya 6% dari
rakyat yang berasal dari kalangan menengah ke bawah dan yang 94% berasal dari
menengah ke atas.
Pemuda yang tersebar diseluruh
sektor rakyat, baik secara teritorial maupun profesi, maka setiap persoalan
pemuda tidak terlepas dari persoalan rakyat disektor lainnya. Demikian pula
dengan persoalan khususnya secara sektoral, utamanya persoalan “sempitnya
lapangan kerja, pendidikan yang tidak terjangkau, tidak ilmiah, tidak
demokratis dan mengabdi pada rakyat, serta persoalan demokratisasi maupun
diskriminasi lainnya” secara sistemik telah terhubung erat dengan persoalan
rakyat disektor lainnya, baik disektor
Buruh, Tani, Kaum miskin kota maupun sector lainnya, yang terangkum
dalam persoalan pokok rakyat atas perampasan “Upah, Tanah dan kerja”.
Dalam situasi krisis yang kian
meluas dan telah memperhebat penghisapan Imperialisme yang semakin brutal dan
meningkatnya drajat fasisme rezim boneka dalam negeri saat ini, maka dalam momentum hari
sumpah pemuda kali ini (28 Oktober 2012), seluruh pemuda Indonesia harus mampu
mengambil pelajaran dan inspirasi atas sejarah dan semangat sumpah pemuda, yang
lahir untuk membebaskan rakyat dan bangsa Indonesia dari jajahan kolonial
Belanda yang begitu kejam selama ratusan tahun. Dengan demikian, kini seluruh
pemuda Indonesia harus dapat memahami kenyataan sosialnya, terus belajar dan
menggali akar persoalannya, kemudian bangkit dan menggalang persatuan dan
berjuang bersama. Dengan semangat persatuan dan pengabdian pada Rakyat, Bangsa
dan Negara, pemuda Indonesia harus terhubung kuat dan mampu meyatukan diri
dengan seluruh rakyat Indonesia untuk berjuang bersama melawan dominasi dan
penindasan ”Imperialisme, Feodalisme dan kapitalisme Birokrat”, untuk
mewujudkan Negara yang maju, berdaulat, berkeadilan, sejahtera dan mandiri.
Secara sektoral, program
perjuangan bagi pemuda kemudian harus dapat diletakkan pada perjuangan menuntut
ketersediaan lapangan kerja yang luas dan merata bagi seluruh pemuda dan Rakyat
Indonesia, dan program perjuangan mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang
ilmiah, demokratis dan mengabdi pada Rakyat. Kemudian perjuangannya dalam skup
yang lebih luas untuk menghancurkan dominasi Imperialisme, Feodalisme dan
Kaitalisme birokrat sebagai kontradiksi pokok rakyat, maka pemuda mahasiswa
sebagai salah satu bagian yang terintegrasi dari perjuangan rakyat, diperkotaan
harus terhubung dan bertalian erat dengan perjuangan buruh menutut lapangan
kerja dan upah yang layak. Demikian pula di pedesaan, perjuangan pemuda dan
mahasiswa harus dapat diintegrasikan dengan perjuangan kaum tani melawan
perampasan dan monopoli tanah dan, mewujudkan reforma agraria sejati sebagai sandaran utama untuk membangun
Industri Nasional yang menjamin kedaulatan dan kesejahteraan rakyat.
Pemuda-mahasiswa dengan segenap
kesadaran majunya, dengan seluruh keahlian akademik dan kemampuan praktisnya,
harus terus meningkatkan semangat dan pengabdiannya terhadap rakyat, baik dalam
upaya menyelesaikan berbagai persoalan sosial ekonominya maupun dalam upaya
meningkatkan kesadaran rakyat untuk bangkit dan berjuang bersama untuk
mewujudkan kebebasan dan kemerdekaan yang sejatinya.
Hidup Pemuda Indonesia!
Hidup Rakyat Indonesia!
Jayalah Perjuangan Rakyat!
[1] Ketika itu, pemerintah
kolonial Belanda menerapkan kebijakan Poltik Etis yang memberikan kesempatan
kepada kalangan pribumi—terutama kalangang priyayi—untuk mengenyam pendidikan hingga
perguruan tinggi. Hal ini ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrative
yang akan mengisi pos-pos pemerintahan colonial, tenaga administrative di
pabrik-pabrik milik pemerintah colonial.
[2] Fase ini dikenal dengan fase
kabangkitan nasional atau pergerakkan nasional, karena tumbuh dan berkembangnya
kesadaran yang kian meluas dari masyarakat Indonesia untuk menjadi bangsa yang
merdeka dan, maraknya pergerakan politik di mana-mana melawan kolonial Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar