Kobarkan semangat Perjuangan dan pengabdian pada Massa,
sambut 52 tahun hari tani nasional (HTN)
“Hentikan
perampasan dan monopoli atas tanah, lawan segala bentuk tindak kekerasan
terhadap kaum tani. Turunkan harga sarana produksi pertanian (Saprotan) dan
naikkan harga hasil produksi pertanian!”
Meskipun
dengan berbagai upaya atas ilusi dan muslihatnya, Pemerintahan Indonesia yang
berada dibawah kuasa Susilo Bambang Yudhoyono saat ini, tidak akan pernah mampu
mengaburkan penderitaan rakyat yang semakin hebat hingga sekarang ini.
Pemerintah telah berhasil menyulap angka-angka statistic dari pendapatan
domestic bruto (PDB) yang menunjukkan peningkatan dan pertumbuhan ekonomi
nasional, menurunnya angka pengangguran dan kemiskinan serta meningkatnya
kesejahteraan rakyat. Melalui berbagai forum atau momentum politik tertentu,
SBY senantiasa dengan bangga menyampaikan dalam pidatonya bahwa setiap
peningkatan tersebut sebagai keberhasilan dalam pemerintahannya hingga periode
kedua saat ini.
Kenyataannya,
Pemerintah justeru tidak dapat mengingkari bahwa di Pedesaan kaum tani semakin
terjerat oleh penghisapan tengkulak, pengijon dan berbagai bentuk parasit baik
kelompok ataupun individu yang menjalankan sistem peribaan dalam menghisap kaum
tani di Pedesaan. Karenanya, pendapatan kaum tani, kerap kali tidak sebanding
dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Hal tersebut disebabkan karena mahalnya
harga kebutuhan dan sarana produksi pertanian (Saprotan) yang dikuasai oleh
tuan tanah-tuan tanah local yang sekaligus sebagai pengepul di pedesaan.
Sementara dilain sisi, harga hasil produksi pertanian tidak pernah menunjukkan
kenaikan yang significant. Hal tersebut menunjukkan ketidak mampuan pemerintah
dalam menjawab kebutuhan kaum tani dan sikap abainya atas berbagai persoalan
rakyat.
Dalam
Konteks yang lain, seiring kian meluasnya investasi dan monopoli atas tanah,
terutama untuk perkebunan dan pertambangan, pemerintahan SBY terus menebar
ilusi bahwa dengan demikian Pemerintah telah mampu membuka lapangan kerja bagi
rakyat, sebagai upaya untuk menekan angka pengangguran dan kemiskinan. SBY
menutupi bahwa kenyataan akibat monopoli tanah dalam skala luas telah
menyebabkan hilangnya sandaran hidup kaum tani dan telah melemparkan sebagian
besar kaum tani menjadi buruh tani yang terpaksa menjual tenaganya dengan harga
yang sangat murah, kenyataan tersebut sekaligus semakin menjauhkan rakyat dari
kedaulatannya atas tanah dan menghambat terbangunnya Industri nasional dengan
jalan reforma agrarian sejati.
Dalam
berbagai kenyataan tersebut, pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)
berusaha keras mengingkari kenyataan bahwa negara RI hingga saat ini masih
bergantung hidup dari hasil pertanian dan sumber-sumber agraria lainnya yang
masih berlimpah atas kenyataan akan kekayaan alam negeri ini. Hal tersebut
tidak terlepas dari kedudukannya sebagai rezim boneka yang hanya berorientasi untuk
memenuhi kebutuhan industri imperialisme Amerika Serikat dan Negara-negara
lainnya dikawasan Eropa yang tengah dilanda krisis yang semakin hebat saat ini.
Namun
demikian, sepandai apapun pemerintah menyulap angka statistik negara, tetap
saja tidak bisa menyembunyikan arti penting pertanian tersebut yang menjamin
penghidupan mayoritas rakyat, temasuk upaya sistematis mengecilkan jumlah kaum
tani secara nasional atau angkatan kerja yang terserap dalam sektor pertanian
(dalam perkebunan maupun dalam pertanian perorangan berskala kecil) untuk
meninggikan arti Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian. Dengan cara
tersebut pemerintah berusaha mengurangi angka pengangguran, “mengentaskan
kemiskinan,” dan memperbaiki pendapatan kaum tani di atas kertas.
Monopoli
Tanah dan hilangnya Kedaulatan Kaum tani
Pertanian
di Indonesia didominasi oleh perkebunan besar milik perorangan keluarga tuan
tanah besar dan perkebunan besar milik negara yang kedua-duanya berhubungan
langsung dan didikte oleh imperialisme dengan berbagai instrumen ekonomi dan
keuangan, politik bahkan kebudayaan. Perkebunan besar tersebut mempraktekkan
monopoli tanah dengan menggunakan kekuasaannya dalam negara. Praktek monopoli
tanah tersebut telah melahirkan berbagai bentuk penghisapan seperti, sewa tanah (utamanya sistem
bagi hasil) dan peribaan, serta berbagai bentuk penindasan terutama perampasan
tanah milik kaum tani dengan berbagai bentuk kekerasan. Saat ini perkebunan
besar ini terdiri dari perkebunan besar sawit, perkebunan besar kayu,
perkebunan besar tebu atau pangan lainnya, yang keseluruhannya berorientasi ekspor dan mengabdi pada
kepentingan industri imperialisme.
Di
samping pertanian monopoli berskala besar tersebut, mayoritas kaum tani dengan
kemampuannya yang terus merosot berusaha mempertahankan sistem pertanian
perorangan berskala kecil yang semakin kehilangan kemampuan dan kebebasan dalam
berproduksi. Mayoritas dari kaum tani ini adalah tani miskin yang menguasai
tanah sangat terbatas, buruh tani yang tidak menguasai tanah sama sekali, dan
tani sedang serta segelintir tani kaya yang selalu terancam kebangkrutan karena
monopoli input dan out-put pertanian oleh imperialis dan tuan tanah besar. Kaum
tani inilah yang berjuang memenuhi pangan nasional secara mandiri, utamanya
makanan pokok seperti beras, sayur-mayur dan aneka protein tanpa dukungan
berarti dari negara dan pemerintah-nya.
Kaum
tani ini menerima distribusi produk atau hasil pertaniannya sendiri yang sangat
terbatas untuk menghidupi populasi di pedesaan yang sangat besar dan sangat
luas. Sebagian besar hasil produknya jatuh ke tangan tuan tanah besar dan para
pedagang besar yang melakukan monopoli sarana produksi dan harga produk
pertanian. Sangat ironis, ketika mayoritas
kaum tani memiliki tanah pertanian dan kapital serta pengetahuan dan
keterampilan bertani yang sangat terbatas, akan tetapi menyerap tenaga
pertanian terbesar dan menghidupi sebagian besar rakyat, terutama di pedesaan, dibandingkan
dengan perkebunan besar yang melakukan monopoli tanah dan memonopoli input dan
hasil pertanian.
Penguasaan
tanah oleh para tuan tanah dalam ukuran yang sangat luas serta hak istimewa
yang mereka miliki, sangat
tidak sebanding dengan tingkat produktifitas perkebunan yang mereka miliki dan
sumbangannya bagi penghidupan bangsa dan rakyat Indonesia. Rendahnya
pengetahuan dan keterampilan kaum tani yang bekerja dalam perkebunan selalu
menjadi kambing hitam atas rendahnya produktifitas.
Kenyataan sesungguhnya adalah imperialis dan para tuan tanah besar yang menjadi
tangannya berusaha mempertahankan sistem produksi terbelakang yang mengandalkan
tenaga kerja kaum tani yang berlimpah dan
terpaksa dijual dengan harga sangat murah karena kemiskinan kronis di pedesaan.
Kaum
tani miskin dan buruh tani yang menjadi pekerja di perkebunan besar tersebut
dipaksa bekerja dengan teknologi dan alat kerja terbelakang yang telah ada
sejak zaman kolonial Belanda dan Jepang. Imperialisme dan para tuan tanahnya
menginvestasikan kapital untuk membeli tanah (memperoleh konsesi), membeli
tenaga kerja dan teknologi dalam jumlah yang sangat kecil dan terbatas.
Investasi ini berbanding terbalik dengan
jumlah dana suap, dana yang dikorup dan dana pengamanan.
Imperialis
dan para tuan tanah besarnya di pedesaan terus
melakukan perampasan tanah baru sebagai jalan untuk meningkatkan produksinya, bukan dengan meningkatkan investasi dan
memodernisasi perkebunannya. Dalam
kenyataannya, tanah konsesi tidak seluruhnya ditanami dan dibiarkan terlantar,
sebagian hanya diambil kayunya. Sertifikat konsesi perkebunan adalah sumber
pendapatan yang sangat besar dengan jalan digunakan di perbankan dan menyedot keuangan
negara, seperti dana reboisasi. Seperti
halnya hari ini, para tuan tanah tersebut mengincar dana mitigasi
dan adaptasi perubahan iklim serta perdagangan karbon.
Penguasaan
tanah untuk perkebunan, tambang besar dan taman nasional yang sangat luas
sangat tidak sebanding dengan jumlah tenaga kerja yang direkrut dan upah tenaga
kerja kaum tani yang dibeli atau bagi hasil yang diterima oleh para petani
“plasma.” Setiap perkebunan besar hanya menampung rata-rata 200 orang pekerja
per 10.000 hektar tanah konsesinya yang berasal dari tani miskin dan buruh tani
yang terampas tanahnya atau tani plasma yang “terpaksa” tunduk pada tuan tanah
karena ketergantungannya pada kapital untuk mengolah lahan dan pasar.
Pekerja-perkeja tersebut hidup dengan upah harian yang sangat rendah, kerja musiman, keadaan kerja yang sangat buruk, atau dengan sistem bagi hasil
yang sangat timpang bagi petani plasma.
Demikian
pula halnya dengan sistem pertambangan besar milik imperialis, pengusaha besar
swasta dalam negeri dan perusahaan tambang negara. Pertambangan minyak bumi,
gas, batu bara, panas bumi dan aneka mineral menggunakan areal tanah yang
sangat luas dengan pemasukan negara dari pajak dan bagi hasil yang sangat
rendah, tenaga kerja yang terbatas dan berupah rendah. Hal ini berbanding
terbalik dengan berbagai kebijakan dan regulasi negara dan pemerintah yang
memberikan mereka berbagai kemudahan, insentif dan jaminan keamanan serta
perlindungan dari regulasi ketenaga kerjaan.
Kebijakan dan Regulasi Pertanahan Negara
dan Pemerintah SBY
Dengan kenyataan akan monopoli atas tanah, modal dan
sarana produksi pertanian lainnya, mayoritas kaum tani pedesaan
hidup dengan hanya mengandalkan tanah dan kapital yang sangat terbatas,
sebagian dari mereka bahkan tidak bertanah, akan tetapi menampung dan
menghidupi bagian terbesar dari angkatan kerja di pedesaan. Kaum tani yang
masih memiliki tanah, melalui
pemerintah dengan berbagai regulasi dipaksa oleh imperialis untuk
menyerahkan tanahnya baik secara langsung dan dengan kekerasan untuk
pembangunan perkebunan besar, pertambangan besar maupun untuk pembangunan taman
nasional dan infastruktur berkedok kepentingan nasional. Sebagian lainnya
dipaksa meninggalkan tanahnya secara tidak langsung, karena seluruh kapital
yang diperlukan untuk mengolah lahan dikuasai oleh imperialis dan para tuan
tanah, demikian pula dengan harga hasil produksinya.
Kebijakan
dan regulasi pemerintahan SBY hanya mengabdi
pada kepentingan imperialis dan para tuan tanah besarnya, termasuk kebijakan
dan regulasi tanah dan kapital serta perdagangan input dan output pertanian.
Karena itu, kepemilikan atas tanah
masih menjadi masalah utama kaum tani Indonesia, serta kapital yang diperlukan dalam mengolah tanah pertaniannya. Sekalipun
Indonesia memiliki lahan pertanian dan potensi lahan pertanian yang sangat luas,
kaum tani dan rakyat secara keseluruhan selalu kekurangan makanan pokok dan
tambahan yang sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Sistem
pertanian terbelakang warisan sistem kolonial dan feodalisme sebelum abad-20, tetap dipertahankan di era kapitalisme
monopoli sekarang ini.
Lahan-lahan pertanian dipergunakan sedemikian rupa untuk membangunan pekebunan tanaman
komoditas seperti sawit, karet, kayu, tebu, tembakau untuk industri imperialis.
Sementara kebijakan
dan regulasi negara menjamin dan melindungi keberlangsungan sistem perkebunan
besar monopoli ini dengan berbagai cara di setiap jajaran pemerintahan dari pusat hingga daerah. Tanah
lainnya dialokasikan untuk pertambangan dan taman nasional dengan tujuan dan
cara yang sama.
Pada saat
krisis pangan di dunia mengemuka seperti saat ini, pemerintah SBY dengan sigap
menjanjikan tanah dan insentif serta berbagai kemudahan bagi para investor
asing agar “bersedia” mengembangkan tanaman pangan di Indonesia dengan kedok
“keamanan pangan dunia.” Padahal hampir setiap hari di seluruh pelosok negeri,
kaum tani menuntut lahan pertanian yang cukup dan bantuan kapital untuk dapat
berproduksi. Akan tetapi tuntutan-tuntutan tersebut seperti angin lalu, justru
tanah dan kapital yang tersedia terus dirampas dan diperlemah dengan berbagai cara.
Dengan
dukungan pemerintah dan lembaga keuangan imperialis, para tuan tanah besar
dengan mudah memperoleh konsesi tanah dan terus memperluas tanahnya. Perkebunan
besar sawit, kayu dan karet seperti Sinar Mas Grup dan Wilmar dan
perusahaan-perusahaan swasta lainnya, serta
perusahaan milik negara terus memperluas
perkebunannya dengan sangat agresif. Di tengah krisis imperialis sekarang ini, legitimasi konsolidasi dan ekspansi
perkebunan-perkebunan besar monopoli tersebut mendapat dukungan penuh
berlipat-lipat dari imperialis dengan ekspor kapitalnya dan “slogan palsu”
penanganan iklim dan keamanan pangan. Pemerintah SBY menyambut dengan gempita
berbagai “slogan palsu” tersebut dengan berbagai regulasi pertanahan, kehutanan,
pertanian, perdagangan, keuangan dan perbankan untuk mendukung upaya tersebut.
Istilah
“Reforma Agraria” telah diadaptasi oleh pemerintah RI sejak keluarnya TAP MPR
No.XI/MPR/2001 dan untuk selanjutnya dimanipulasi sedemikian rupa sesuai dengan
aspirasi dan selera imperialis dan para tuan tanah besar, dalam waktu bersamaan
istilah “reforma agraria” tersebut memiliki kekuatan untuk meredam tuntutan dan
aspirasi sejati kaum tani.
Di
bawah pemerintahan SBY, muslihat “reforma agraria” pemerintah tersebut mulai
dimengerti dan dirasakan oleh kaum tani, dan meluapkan kemarahan di seluruh
pelosok negeri. Berbagai program pertanahan SBY melalui Badan Pertanahan
Nasional (BPN) seperti “Larasita,” sebuah program administrasi dan sertifikasi
tanah yang sangat terbatas, hanya dapat “mengilusi,” segelintir lembaga swadaya
masyarakat dan aktivis-nya, akan tetapi sama sekali tidak dapat meredam
kemarahan rakyat. Sebab dalam waktu bersamaan, pemerintahan SBY melalui
departemen Kehutanan, Pertanian, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Perdagangan
dan Keuangannya bahkan TNI bersama-sama melakukan perampasan tanah dengan
“legitimasi” Dewan Perwakilan Rakyat dan aparatur negara hingga kabupaten.
Kaum
tani tidak dapat dimanipulasi lagi dengan berbagai paket program “reforma
agraria palsu” pemerintah SBY. Aspirasi dan kepentingan sejati mayoritas kaum
tani di pedesaan, nelayan dan suku bangsa minoritas di pedalaman dan seluruh
rakyat Indonesia adalah dijalankannya Reforma
Agraria (Land Reform) Sejati! Dengan seruan umum “tanah dan kapital untuk
penggarap, tanah dan kapital untuk kaum tani dan rakyat,” bukan tanah untuk
imperialis dan para tuan tanahnya. Adapun Reforma Agraria berdasarkan aspirasi
sejati rakyat yakni:
1.
Reforma
agraria sejati adalah
membebaskan kaum tani yang terpaksa menyerahkan tanahnya sebagai “plasma” dalam
perkebunan besar milik tuan tanah besar, karena tidak memiliki kapital untuk
menanam sendiri dan dipaksa oleh pemerintah dan sistem perbankannya untuk
tunduk pada mekanisme kapital dan pasar yang dikuasai oleh imperialis dan para
tuan tanahnya.
2.
Reforma
agraria sejati adalah memperjuangkan pengembalian tanah kaum
tani yang telah dirampas oleh kolonial Belanda dan Jepang serta para kesultanan
islam di masa lampau, oleh imperialis dan para tuan tanah di era pemerintah
Suharto dan pemerintahan-pemerintahan berikutnya; menyediakan tanah yang cukup
bagi kaum tani yang mengerjakan tanah secara langsung atau para penggarap,
menyediakan kapital dan berbagai peralatan untuk berproduksi dan menjamin
tersedianya seluruh input dan harga out-put pertanian.
3.
Reforma
agraria sejati adalah memperjuangkan pengembalian tanah-tanah milik suku bangsa minoritas
kembali ke tangan mereka dari tangan taman nasional, tambang besar dan
perkebunan besar. Dan membiarkan mereka menentukan dan mengatur pemanfaatan
tanahnya sendiri secara bebas tanpa penghisapan dan paksaan dari siapapun.
Pemerintah menjamin tersedianya berbagai bantuan agar mereka dapat berproduksi
secara leluasa dan bebas sehingga dapat mengurus dirinya sendiri secara otonom
dan memajukan kebudayaannya. Berbagai bentuk diskriminasi, penghinaan dan
komersialisasi terhadap suku bangsa minoritas harus dihentikan.
4.
Reforma
agraria sejati adalah memperjuangkan tanah-tanah di pesisiran
milik nelayan kecil dan menengah dikembalikan, dari tangan-tangan pemilik
tambak besar monopoli. (Kapital) baik uang maupun alat tangkap bagi nelayan
harus dijamin, demikian pula dengan harga ikan dan hasil budi daya lainnya.
5.
Reforma
agraria sejati adalah memperjuangkan kepemilikan tanah bagi pemukim dan
penggarap di hutan, mereka adalah korban perampasan tanah oleh perkebunan besar
monopoli hingga masuk ke hutan dan membuka ladang dan perkebunan berskala
kecil. Tanah mereka tidak boleh dirampas dan diusir demi mempertahankan taman
nasional atau taman hutan raya. Pemerintah harus menjamin tersedianya kapital
yang cukup, pengetahuan dan teknologi bertani bagi mereka.
Hentikan Perampasan dan Monopoli Tanah dan Perbaharui Sistem Produksi
pertanian Rakyat!
Dengan berbagai skema, Imperialis terus berupaya
memperluas dominasinya diseluruh penjuru Negeri. Demikian pula di Indonesia
yang telah menjadi salah satu pijakannya dikawasan Asia. Imperialisme yang
hidup dan berkembang dibawah topangan feodalisme di dalam negeri setengah
jajahan dan setengah feudal seperti Indonesia. Sementara pemerintah yang
dipimpin oleh Rezim penghamba seperti SBY-Boediono terus memberikan ruang
dengan begitu luasnya bagi imperialis untuk menancapkan penghisapannya semakin
dalam di Indonesia, dengan terus mempertahankan sistem kolot dan terbelakang
tersebut sebagai jaminan akan terpenuhinya kepentingan Imperialisme, terutama
kepentingan akan bahan mentah, pasar yang luas dan tenaga kerja murah.
Hingga perkembangan saat ini, untuk mendapatkan bahan
mentah yang melimpah, Imperialisme bersama kompradornya didalam negeri terus
memperluas penguasaannya (Monopoli) atas tanah rakyat sebagai jalan untuk
meningkatkan hasil produksinya, terutama monopoli tanah untuk perkebunan dan
pertambangan, yang samasekali tidak menguntungkan bagi rakyat.
Tandan
buah segar dan minyak mentah sawit (Crude Palm Oil-CPO) menjadi salah satu
andalan ekspor utama pemerintah SBY saat ini. Peningkatan volume ekspor kelapa
sawit ini sangat bergantung dari peningkatan luas lahan perkebunan monopoli
milik para tuan tanah besar yang disokong oleh bank dan institusi keuangan
serta perusahaan perdagangan komoditas pertanian monopoli milik imperialis.
Peningkatan volume ekspor sangat kecil hubungannya dengan peningkatan investasi
pada tenaga kerja, teknologi dan perbaikan tanah perkebunan. Perkebunan besar
kelapa sawit sejak pendiriannya telah memanfaatkan melimpahnya tenaga tani
miskin dan murah dari Jawa dan di daerah sekitar perkebunan di Sumatera,
Kalimantan, sekarang ini Sulawesi dan papua.
Seluruh
transmigran tersebut dijebak dalam sebuah sistem pertanian perkebunan kuno yang
terbelakang yang hanya dapat dibandingkan penghisapan dan penindasannya dengan
tanam paksa (STP) sejak
1830-1870 di era Kolonialisme Belanda dan Feodalisme masih berdominasi. Impian
untuk memperoleh tanah, sokongan kapital dan rumah yang layak buyar seiring
dengan kesadaran baru, bahwa mereka sengaja ditransmigrasikan sebagai tenaga
kerja murah untuk membangun sistem perkebunan besar yang disebut “perusahaan
inti,” dan mereka menjadi “plasma-nya.” Setelah perusahaan inti terbentuk
mereka kembali harus berjuang keras untuk memperoleh tanah dan kebun sawit
“hanya 2 hektar” yang mejadi haknya.
Dengan
licik para tuan tanah besar pemilik kebun inti mengikat mereka dengan kredit
bank untuk “pembangunan kebun plasma” dengan tagihan yang tidak pernah lunas
sekalipun seluruh tandan buah segar (TBS) telah diserahkan kepada para tuan
tanah tersebut setiap musim panen,
ditambah dengan aneka potongan untuk merampas bagian bagi hasil yang sudah
sangat kecil bagi tani plasma tersebut. Seluruh potongan tersebut disahkan oleh
pemerintah RI melalui kementerian pertanian dan perkebunannya yang secara
mistis dihubungkan dengan harga CPO internasional.
Para
tuan tanah besar memperoleh segalanya dari sistem perkebunan besar kelapa sawit
yang dikembangkan oleh negara dan pemerintah RI. Mereka memperoleh kredit
perbankan bahkan dana “khusus” dari negara seperti dana reboisasi untuk
membangun perkebunannya, mereka memanipulasi jumlah kredit untuk
tani plasma untuk dirinya sendiri,
sementara beban pembayaran diletakkan dipundak tani plasma, mereka menikmati posisi sebagai penentu
harga dan bebas memotong bagian bagi hasil dari tani plasma dengan harga yang
mereka tentukan secara sepihak karena menguasai tanah dan pabrik olahan; dan
sebagian besar dari mereka bahkan telah menikmati keuntungan dari hasil penjualan kayu pada saat pembukaan kebun, bila
berasal dari tanah hutan primer atau sekunder.
Para
kaum tani plasma tidak memperoleh apapun kecuali penghisapan dan penindasan
berlipat. Bahkan impian untuk memperoleh tanah dan penghidupan layakpun mulai
lenyap dari kepala karena terus ditipu dan ditindas oleh para tuan tanah dan
alat kekerasan dari negara.
Sistem
pertanian perkebunan besar kelapa sawit ini juga melibatkan “tani bebas” yang
tidak terikat sebagai plasma. Akan tetapi mereka sama sekali tidak memiliki
kebebasan untuk berproduksi, karena
seluruh input dan harga produknya ditentukan oleh tuan tanah besar dan juga
kapital dari perbankan yang sama, yang
mengusai hasil produk tandan buah segar. Untuk “petani bebas perseorangan”
macam ini, mereka harus memiliki tanah dan perkebunan sawit yang luas agar
dapat meraih status “petani sedang.”
Keadaan
ini tentu saja bertolak belakang secara keseluruhan dengan ambisi pemerintah
dan para tuan tanah besar untuk terus mempertahankan sistem perkebunan besar
ini, bahkan terus memperluas tanahnya tanpa memperdulikan nasib kaum tani dalam
sistem perkebunan besar ini, dan kaum tani luas yang dirampas tanahnya untuk
memenuhi ambisi ekspor non migas yang dipatok selangit. Imperialis dan
Pemerintah RI tutup mata dan telinga pada kenyataan pahit yang dialami kaum
tani, terusir dari tanah satu-satunya dan mencari tempat baru di hutan dan
teusir pula oleh taman nasional dan perkebunan kayu yang disebut Hutan Tanaman
Industri (HTI).
Saat
ini perluasan perkebunan besar kelapa sawit memperoleh dukungan sangat kuat
dengan adanya berbagai program “ekonomi hijau (green economy)” dunia dimana
pemerintah RI menjadi pegiat utamanya untuk menyelamatkan imperialisme. Setelah
sebelumnya mereka berhasil memperoleh legitimasi untuk melestarikan sistem
perkebunan jahat ini melalui “sistem sertifikasi imperialis dan nasional
mengenai perkebunan sawit berkelanjutan”. Melalui program mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim, kembali perkebunan kelapa sawit mempromosikan dirinya sendiri
sebagai “pelestari lingkungan” setelah bertahun-tahun merusak hutan, lahan
gambut dan menghancurkan tanah serta mengisap air dengan rakus hingga kering
dengan sertifikasi Konservasi Bernilai Tinggi (High Conservation Value-HCV)
bagi areal perkebunannya.
Berikutnya,
para tuan tanah besar tersebut dengan menggandeng berbagai konsultan dunia dan
berkat dukungan penuh International Finance Coorporation (IFC) anak perusahaan
Bank Dunia juga sedang memformulasikan dirinya sebagai perusahaan yang layak
ambil bagian dalam “perdagangan karbon,” karena menganggap tanaman sawit dapat
meyerap karbon yang dilepaskan dan menganggap dirinya telah melakukan
“reboisasi” di lahan “kritis.”
Imperialisme
dan para tuan tanah besar ini, tidak pernah kehabisan amunisi dan akal untuk
memanipulasi tuntutan rakyat untuk menghapus perkebunan besar monopoli yang
telah melahirkan berbagai bentuk penghisapan dan kekerasan yang mengerikan di
pedesaan hampir diseluruh wilayah
Indonesia, terutama di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
“istilah kemitraan,” sistem perkebunan inti-plasma, program transmigrasi bahkan
dengan tidak tahu malu disebutnya sebagai program “reforma agraria” dan mengabdi
pada kepentingan nasional.
Mereka
dengan cerdik memanfaatkan kelemahan kapital kaum tani untuk berproduksi bebas
dan ketidakmampuan pemerintah RI menciptakan lahan pertanian luas menjadi lahan
produktif ditangan kaum tani bebas perseorangan untuk dijadikan perkebunan
besar kelapa sawit. Pemerintah melihat tawaran imperialis dan tuan tanah
tersebut sebagai “jalan pintas” untuk lari dari tanggungjawab terhadap kaum
tani, bahkan
bisa menggelembungkan kantong para kapitalis birokrat, “menggairahkan perbankan
nasional” dengan adanya aliran dana investasi asing dan seterusnya.
Karenanya,
tanpa kebangkitan kaum tani sendiri untuk bergerak dan berorganisasi, berbagai
praktek perampasan dan monopoli tanah oleh perkebunan besar kelapa sawit ini
tidak bakal berhenti begitu saja dengan sendirinya. Bahkan akan terus meluas
dan menebarkan kemiskinan bagi petani plasma dan buruh tani serta tani kelapa
sawit perseorangan yang harus tunduk pada kekuasaan monopoli imperialisme dan
tuan tanah besar.
Hentikan Program Mitigasi dan Adaptasi
Perubahan Iklim Palsu Yang Bertujuan Menyelamatkan Imperialisme Dari Krisis
Berkedok “ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan”
Lebih
dari separuh dana US $ 600 juta dari Millennium Challenge Corporation (MCC)
Compact dipergunakan untuk proyek AS di Indonesia dengan judul Green Prosperity Project untuk
membangun sumber energi alternatif terbarukan dan manajemen sumber daya alam.
Saat ini Amerika Serikat sudah menemukan desain besar skema baru-nya ini dengan
nama yang sangat ilusif “green economy.” Sebuah bungkus yang rapi untuk
menutupi skema ekploitasi sumber daya alam berkedok penanganan iklim dan
penyelamatan lingkungan.
Dengan skema tersebut targetnya adalah, pertama, produksi mesin
dan berbagai peralatan baru yang “pro-lingkungan dan pro pembangunan
berkelanjutan” yang diharapkan dapat menggerakkan kembali mesin industri dalam
negerinya yang terancam rusak serta aktivitas riset yang stagnan. Kedua, adalah ekspor kapital dalam rangka
perdagangan karbon dengan menjadikan Bank Dunia sebagai ujung tombaknya. Ketiga, ini adalah skema baru memperkuat
monopoli tanah dan perampasan tanah, dimana
para tuan tanah besar Indonesia dapat mengklaim perkebunan sawit dan kayunya
adalah bagian dari upaya pelestarian lingkungan dan penampung karbon dalam jumlah
besar. Sehingga mereka layak meneruskan dan mengembangkan perkebunannya dan
bahkan berhak mendapat dana adaptasi! Sinar
Mas Group
memimpin upaya ini dengan sangat serius dengan berbagai pilot projeknya.
Untuk
membungkus seluruh misi jahatnya, maka
Amerika Serikat “terpaksa berpura-pura menunjukkan komitmentnya” pada upaya
penyelamatan lingkungan dengan mendorong negara miskin menjaga hutannya melalui
berbagai program seperti Tropical Forest
Conservation Act (TFCA), pendirian Indonesia Climate Change Center dan
merancang program seperti Climate Change
Center dan program seperti SOLUSI
(Science, Oceans, Land Use, Society and Innovation). Seluruh program
tersebut telah merampas tanah-tanah dan harta kekayaan serta mengusir berbagai
suku bangsa minoritas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua dengan
berpura-pura
mengadopsi prinsip “Prior, Inform and consent.”
Skema
dan pembiayaan adaptasi dan mitigasi iklim melalui program Reduction Emission from Deforestation and Degradation (REDD) dengan
licik dipergunakan oleh Bank Dunia sebagai instrumen untuk mempercepat
pelaksanaan kebijakan neo-liberal dan Structural
Ajustment Programs (SAPs). Bisnis karbon sendiri diinterpretasi secara
sepihak agar dapat memberikan legitimasi bagi perusahaan besar monopoli di Amerika
Serikat untuk menghindari kewajiban pengurangan penggunaan energi fosil dan
pengurangan gas rumah kaca dan,
disatu
sisi dapat melindungi monopoli dan operasi perampasan tanah oleh para sekutu
komprador dan tuan tanah besarnya seperti Sinar Mas Group dengan “mengadaptasi”
bahwa perkebunan-perkebunan sawit, tebu dan kayu mereka layak diakui sebagai
bagian dari skema REDD!
Hentikan Perampasan dan Monopoli Tanah
untuk Kedaulatan Pangan Palsu!
Pemerintah
Indonesia sendiri dalam menyikapi krisis pangan dunia dan krisis finansial
global, melalui pidato Presiden SBY telah menyatakan niatnya secara terbuka ke
depan publik dunia, bahwa Indonesia berambisi untuk menjadi lumbung beras nomor
satu di dunia, dalam rangka membantu dunia mengatasi krisis pangan.
Melihat
pintu terbuka semacam ini, dengan cepat investor besar masuk ke Indonesia. Saat
ini sudah ada empat kawasan di Indonesia yang telah menjadi target sasaran,
yakni di Sumatera Utara, di Dumai, Kalimantan Timur di Bulungan, Riau serta di
Merauke, Papua. Nilai investasi yang dapat ditampung di kawasan eks Inalum di
Sumatera Utara sekitar Rp 12,5 triliun. Adapun di Dumai, pemerintah
memperkirakan, investasi yang akan masuk mencapai Rp 20 triliun, sedangkan di
Merauke bisa dikembangkan pusat pertanian pangan terbesar di Asia dengan
investasi Rp 60 triliun.
Untuk
Dumai dan Sumatera Utara, basis industri yang dikembangkan adalah industri
hilir CPO (minyak kelapa sawit mentah). Adapun untuk Merauke, pemerintah
menyediakan 1,62 juta hektar lahan sebagai pusat pengembangan pertanian pangan.
Namun dalam jangka menengah, lahan yang akan dikembangkan seluas 500.000
hektar. Tahun 2010 pemerintah berupaya menawarkan 100.000 hektar terlebih
dahulu. Pertanian pangan yang akan dikembangkan tidak terbatas jenisnya, mulai
dari padi hingga kelapa sawit.[1]
Dalam
laporan GRAINÃ Kelompok
hak asasi bidang pertanian yang berbasis di Spanyol, disebutkan bahwa Saudi Binladen Group
menargetkan 500.000 hektar tanah pertanian di Merauke, Papua untuk produksi
beras basmati dengan menggunakan benih padi Saudi, yang akan diekspor ke Arab
Saudi untuk memenuhi kebutuhan domestik mereka. Menurut laporan ini, kelompok BinLaden
pada bulan Agustus 2008 menandatangani perjanjian investasi senilai kurang
lebih US$ 4,3 miliar, sebagai perwakilan dari konsorsium 15 investor Arab yang
dikenal dengan nama Konsorsium Produk Pangan Timur Tengah, untuk membangun 500
ribu lahan padi di Indonesia.
BinLaden
adalah perusahaan yang ditunjuk oleh pemerintah Arab Saudi untuk mengatasi
masalah kerentanan pasokan bahan pangan negeri kerajaan tersebut melalui
pengadaan proyek pangan di luar negeri. Pada tanggal 14 Agustus 2008, kelompok
BinLaden menandatangani sebuah MoU (nota kesepakatan) dengan pejabat pemerintah
di Sulawesi Utara, di mana kelompok BinLaden akan diberikan lahan seluas 80
ribu hektar.
Dalam
proyek pangan di Merauke, rencana investasinya diperkirakan akan mencapai
hingga US$ 43 juta per 5 (lima) ribu hektar. Kelompok ini juga mempertimbangkan
untuk menyediakan sejumlah beras untuk pasar lokal (agar masyarakat setempat
tidak mempermasalahkan keberadaan proyek tersebut). Mitra lokalnya di Indonesia
adalah Medco (minyak dan pertambangan), Sumber Alam Sutera (benih padi
hibrida), dan Bangun Cipta Sarana (konstruksi).
Kerjasama
dengan Saudi Binladen Group ini merupakan bagian dari proyek pusat pengembangan
pertanian pangan dan energi seluas 1,62 juta hektar di atas, tidak hanya
mencakup padi, tapi juga jagung, sorghum, kacang kedelai, dan tebu, yang
sebagian besar akan dikonversi menjadi bahan bakar nabati. Saudi Binladen Group
memiliki 15% saham di dalam perkebunan kelapa sawit dan konglomerat
pertambangan Bakrie and Brothers.[2]
Rencana
pertanian pangan skala raksasa di Merauke, Papua Barat ini oleh berbagai organisasi
petani, organisasi mahasiswa, dan organisasi lingkungan disebutkan sebagai
perampasan tanah karena akan menghancurkan 2 juta hektar hutan purba (virgin
forest). Program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE)
diluncurkan pada tanggal 17 Januari 2010 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Slogan dari proyek ini adalah “Feed Indonesia and then the world” (Indonesia
Berswasembada Pangan, Agar Bisa Mengatasi Krisis Pangan Dunia), namun para
petani lokal berpandangan bahwa proyek tersebut akan merusak pertanian
tradisional dan kedaulatan pangan di kawasan ini. Proyek MIFEE akan menyewakan
tanah untuk selama 90 tahun.[3]
Data
Pemerintah Kabupaten Merauke menunjukkan, luas lahan untuk investasi proyek
MIFEE adalah 2,823 juta hektar. Lahan yang berizin lokasi 670.659 hektar.
Dengan MIFEE, Merauke dijadikan basis produksi pangan nasional Indonesia di
bagian timur. Dalam konsepnya, masyarakat di Merauke tak akan jadi penonton.
Mereka berkolaborasi menjadi petani plasma. Mereka tidak menjual lahan
pertanian kepada pihak lain, tetapi menyewakan kepada para pengusaha.[4]
Dalam menyongsong prospek komoditas pangan dunia yang
kian mahal, sejumlah konglomerat besar Indonesia masuk kembali ke bidang
pertanian pangan. Grup Salim misalnya, berancang-ancang melakukan ekspansi ke
sektor perkebunan tebu di Nusa Tenggara Barat (NTB). Setelah mengeruk keuntungan di
bisnis sawit penghasil CPO, Salim berniat menanam duit di lahan tebu.
Rencananya, konglomerasi yang dinakhodai Anthony Salim itu mendirikan pabrik
gula dan membuka perkebunan tebu seluas 120.000 hektar di lahan berstatus area
peruntukan lain.
Selain Grup Salim, ada tiga grup lain yang juga mengepakkan sayap dibisnis
industri pemanis tersebut, yakni Medco, Bakrie, dan Wilmar. Tiga konglomerat papan
atas itu berniat mengembangkan perkebunan tebu yang terintegrasi dengan pabrik
gula dan etanol di Merauke, Papua. Diperkirakan, total investasinya di lahan
seluas 300.000 hektar itu mencapai Rp 9 triliun. Menurut keterangan Sekretaris
Medco Holding, Widjajanto, Grup Medco sendiri sebenarnya sudah mengembangkan
bioetanol berbahan baku tebu dan singkong dengan produksi 1.200 barel per hari
di Lampung. Sebelumnya, Arifin Panigoro selaku pemilik Medco
mengungkapkan, Medco Energy International akan bekerjasama dengan PT Petrogas,
Brazil untuk ekspansi bioetanol tebu dan singkong, dengan total dana mencapai
US$ 350 juta, yang disiapkan untuk membangun pabrik dan perkebunan
pemasok bahan bakunya.[5]
Selain berburu dolar dilahan tebu, Medco dan Bakrie plus
Grup Artha Graha milik Tommy Winata-pun berniat terjun ke ladang kedelai.
Dirjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian, Sutarto Alimoeso, mengungkap bahwa
Kelompok Usaha Bakrie tertarik membuka lahan di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Grup Medco di Kabupaten Merauke, sedangkan Grup Artha Graha di beberapa
provinsi, antara lain Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Lampung.
Turunnya para konglomerat ke ladang kedelai tersebut dipicu oleh target
produksi kedelai nasional tahun 2008, yang didongkrak pemerintah menjadi 1,7
juta ton. Diproyeksikan, luas tanam kedelai mencapai 1 juta hektar. Berdasarkan
catatan Badan Pusat Statistik, tahun 2007 produksi kedelai nasional turun 20,76
persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Lantaran produksi anjlok, tahun
2007 impor kedelai Indonesia mencapai 1,3 juta ton dari total kebutuhan domestik
1,9 juta ton. Pasokan impor kedelai Indonesia pada tahun 2007 mengalami
gangguan, karena impor kedelai yang diandalkan dari AS sebagian besar telah
dikonversi menjadi bahan bakar nabati (biodiesel) untuk industri AS sendiri.
Sehingga pada tahun 2008, ribuan petani kedelai dan pengrajin tempe Indonesia
melakukan demonstrasi ke Istana Negara di Jakarta, guna memprotes krisis
kedelai ini.
Berbagai Kebijakan dan Regulasi Pertanahan
Untuk Pertanian, Kehutanan dan Perikanan
yang Anti Kaum Tani-Suku Bangsa Minoritas dan Nelayan Serta Pro
Imperialis dan Tuan Tanah Besar
Dana
dari bank-bank imperialis sebagian besar dikorup bersama-sama dengan
kapitalisme birokrat atas sepengetahuan mereka. Penggunaan tenaga kerja
melimpah dan murah kaum tani yang tidak sudi dididik mengandalkan tenaga kerja
murah kaum tani, sama sekali tidak terkait kaum tani untuk berproduksi akan
tetapi karena penindasan dan penghisapan para tuan tanah terhadap kaum tani
yang sangat kejam dan barbar, investasi sangat terbatas, dan penerapan
teknologi yang terbelakang sangat
tidak sebanding dengan produktifitas
dan,
penderitaan kaum tani.
Separuh dari tenaga kerja Indonesia bekerja disektor pertanian secara langsung, belum termasuk berbagai sektor industri,
perdagangan dan jasa yang terhubung secara langsung maupun tidak langsung
dengan pertanian, tambang dan aktivitas pelestarian lingkungan ini.
Problem
utama kaum tani Indonesia adalah tanah. Tanah dimonopoli oleh segelintir tuan
tanah besar di bawah dominasi imperialisme yang dipergunakan untuk perkebunan
kelapa sawit, perkebunan kayu (umum dikenal dengan nama Hutan Tanaman
Industri-HTI), perkebunan tebu, taman nasional dan pertambangan besar. Di atas
tanah-tanah tersebut, tuan tanah besar mempraktekkan berbagai bentuk penindasan
dan penghisapan feodal seperti penerapan sewa tanah dalam berbagai bentuk;
peribaan; menjadikan kaum tani sebagai buruh tani dengan upah yang sangat
murah; mempraktekkan monopoli atas sarana produksi (input) seperti benih,
pupuk, obat-obatan pertanian
dan alat kerja (teknologi); mempraktekkan monopoli atas harga produk pertanian.
Para
tuan tanah menggunakan sistem kekuasaan negara untuk penguasaan atas tanah baik yang sedang dikuasai
oleh rakyat maupun tanah negara yang tidak ada hak kepemilikan atau penguasaan
di atasnya. Baik langsung dan tidak langsung, rakyat Indonesia khususnya kaum
tani tidak mendapatkan keuntungan apapun secara ekonomi, politik maupun
kebudayaan dalam sistem ini. Sebaliknya, kekuasaan para tuan tanah atas tanah
ini hanya memberikan keuntungan pada dirinya sendiri, imperialis melalui bank
dan institusi non bank melalui penanaman kapital dan perdagangan yang tidak
adil, dan para kapitalisme birokrat yang menarik keuntungan bagi dirinya dengan
melalui kebijakan dan regulasi, pemberian konsesi dan perlindungan atau jaminan
keamanan.
Atas kenyataan atas keadaan tersebut, karena itu
pula perjuangan utama dari
kaum tani Indonesia adalah mewujudkan
landreform
atau pembaruan tanah. Di
Negeri setengah jajahan dan setengah feudal seperti Indonesia, perjuangan
mewujudkan reforma agraria sejati tidak hanya menjadi kepentingan kaum tani
semata, melainkan kepentingan bagi seluruh rakyat Indonesia, sebab setiap
persoalan rakyat yang mengemuka hari ini adalah akibat dari sistem terbelakang
yang dipertahankan oleh pemerintah atas dukungan Imperialisme.
Dengan demikian, maka sudah menjadi keharusan bagi
seluruh gerakan rakyat, khususnya gerakan kaum tani Indonesia untuk menghimpun
berbagai lapisan kaum tani, nelayan dan suku bangsa minoritas di Indonesia, bekerjasama dengan kaum buruh dan
elemen rakyat lainnya untuk bersatu membangun sebuah gerakan
pembebasan yang besar dan kuat,
sebagai alat untuk membebaskan bangsa dan rakyat Indonesia dari belenggu
sistem setengah feodal di pedesaan yang luas, utamanya melalui praktek monopoli
dan perampasan tanah, di bawah dominasi imperialisme melalui kaki tangannya.
Lapangan
Pendidikan sebagai sandaran hegemoni Imperialisme dilapangan kebudayaan dan
suramnya masadepan pemuda Indonesia
Dalam mempertahankan sistem usang tersebut, maka
Imperialisme bersama kaki tangannya didalam negeri sangat berkepentingan untuk
terus menancapkan hegemoninya melalui berbagai aspek kebudayaan, terutama
melalui lapangan pendidikan bahkan agama, untuk merawat pikiran-pikiran yang
jauh dari ke-Ilmiahan ilmu pengetahuan dan penuh dengan Ilusi dan mistis.
Kenyataannya, dilapangan pendidikan, selain berbicara
akan rendahnya kemampuan rakyat dalam mengakses pendidikan karena mahalnya
biaya pendidikan dan rendahnya anggaran yang disediakan oleh pemerintah, pendidikan
yang dikembangkan di Indonesia, sama sekali tidak mencerminkan aspirasi dan
kepentingan Rakyat. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai kebijakan dan
sistem penyelenggaraan pendidikan yang tidak pernah jauh dari perkembangan
situasi Nasional dan Internasional, khususnya dalam perkembangan krisis
imperialism.
Pemerintah Indonesia dari sekian kali pergantian
rezim, yang senantiasa memposisikan diri sebagai rezim penghamba bagi
Imperialisme dan tuan tanah dan borjuasi besar didalam Negeri, setelah berhasil
secara bertahap melepaskan tanggungjawabnya atas pendidikan atas tekanan
Imperialisme melalui kesepakatan dalam WTO, dimana pendidikan dan kesehatan
dimasukkan menjadi bagian dari sektor jasa, sehingga dalam penyelenggaraannya
selalu diorientasikan untuk mendapatkan keuntungan. Akibatnya, subsidi
pendidikan kemudian dipangkas sedemikian rupa yang dilegalkan dengan berbagai
produk kebijakan dari Pemerintah.
Dalam perkembangan krisis imperialism yang memuncak
sejak tahun 2008 silam, arah pendidikan Indonesia tidak hanya untuk
mendatangkan keuntungan bagi Imperialisme, borjuasi besar komprador dan
kapitalisme birokrat dalam bentuk financial, namun juga dengan pendidikan yang
diselenggarakan tanpa perspektif dan orientasi untuk mengembangkan dan
memajukan budaya masyarakat Indonesia, arah pendidikan hanya diorientasikan
untuk memnuhi kepentingan Imperialisme akan tenaga kerja murah dengan skill
yang rendah.
Orientasi pendidikan semacam ini, tercermin dalam
berbagai regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah disektor pendidikan, seperti
penerapan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN), Undang-undang
sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas) tahun 2003 dan, Undang-undang badan hokum pendidikan (UU
BHP) yang ditetapkan pada tahun
2009 sebagai undang-undang yang memperkuat kedudukan dari PT BHMN yang mengatur
secara khusus tentang penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan tinggi. Selanjutnya, tiga bulan lalu, tepatnya 13 Juni 2012,
Pemerintah kembali menetapkan regulasi baru untuk pendidikan tinggi, yakni
Undang-undang pendidikan tinggi (UU PT) sebagai pengganti dari UU BHP yang
telah dicabut oleh Mahkamah konstitusi (MK) pada akhir Maret 2010. Pencabutan
UU BHP oleh MK tentu saja setelah mengalami penolakan keras dalam
berbagai bentuk protes dari berbagai kalangan, Undang tersebut (UU BHP) dicabut
oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mampu meningkatkan mutu dan kwalitas pendidikan di Indonesia.
Beberapa
UU tersebut adalah Undang-undang yang telah melegitimasi terjadinya
Liberalisasi, Privatisasi dan Komersialisasi Pendidikan. Undang-undang tersebut
telah menyebabkan, hilangnya kesempatan bagi sebagian besar rakyat Indonesia
untuk mengenyam pendidikan (Khususnya pendidikan tinggi), UU tersebut pula yang
menyebabkan tidak kurang dari 150.000 Mahasiswa putus kuliah (Drop Out) setiap
tahun, baik karena persoalan biaya maupun persoalan demokratisasi didalam
kampus. Tidak terkecuali bagi civitas akademik lainnya, akibat UU tersebut
tenaga pendidik (Dosen dan Karyawan dilingkungan Kampus) kehilangan jaminan
kesejahteraan karena status kerja yang tidak jelas.
Sebagai wujud akan sesatnya orientasi pendidikan saat
ini, khususnya jenjang pendidikan tinggi, sejak pengesahan UU BHP tahun 2009,
PT diarahkan untuk menggalakkan berbagai bentuk program entrepreneurship,
kerjasama PT dengan perusahaan swasta (terutama dengan perusahaan perkebunan
baik milik swasta maupun milik Negara) dalam melakukan riset maupun training
dan kerja lapangan, dimana output dari kerjasama tersebut diorientasikan untuk
melahirkan tenaga kerja-tenaga kerja murah siap pakai bagi
perusahaan-perusahaan besar milik swasta baik didalam maupun luar negeri. Dalam
Undang-undang pendidikan tinggi yang baru ditetapkan tiga bulan lalu, hal
tersebut (dorongan kerjasama bagi suatu perguruan tinggi dengan
perusahaan-perusahaan swasta, baik perkebunan maupun pertambangan dan sektor
lainnya) masih menjadi poin khusus yang diatur dalam kebijakan tersebut (UU
PT).
Selain itu, sebagai wujud nyata sesatnya orientasi dan
ketidak berpihakan pendidikan di Indonesia, dalam penetapan suatu regulasi baik
yang akan diberlakukan disektor pendidikan maupun disektor lainnya, pemerintah
seringkali menggunakan pernyataan-pernyataan para akademisi maupun perwakilan kampus-kampus besar tertentu (Rektor, Guru
besar maupun Pimpinan lainnya) seringkali dijadikan sebagai pembenar akan
kebijakan pemerintah, yang dipandang “se-olah-olah” mampu melahirkan analisis
paling ilmiah secara akademik. Sudah terang kemudian bahwa, pendidikan hari ini
tidak berpihak kepada rakyat, tidak memiliki aspirasi untuk memajukan taraf
berfikir dan memajukan budaya masyarakat di Indonesia untuk mampu mengubah
keadaan sekitar dan menyelesaikan persoalannya. Lebih jauh, pendidikan justeru
dijadikan sebagai pendukung dan corong propaganda akan kepentingan
Imperialisme.
Atas berbagai kenyataan tersebut, terus meningkatnya
angka pengangguran (karena sulitnya akses rakyat atas pendidikan dan tidak
tersediannya lapangan kerja secara merata untuk rakyat) dan menumpuknya tenaga
kerja murah, dan meluasnya kemiskinan serta berbagai persoalan rakyat lainnya
adalah cerminan masa depan bagi pemuda dan mahasiswa Indonesia saat ini. Selain
itu, atas kedudukannya sebagai corong propaganda dan pendukung seluruh program
pemerintah yang tidak terlepas dari kepentingan Imperialisme, maka pendidikan
dengan sistem dan orientasi penyelenggaraannya yang sesat saat ini, memberikan
kontribusi tersendiri bagi penderitaan yang dialami oleh rakyat.
Atas kenyataan demikian, untuk mendapatkan pendidikan
yang “Ilmiah, Demokratis dan Mengabdi pada rakyat” sebagai suatu sistem
pendidikan yang dapat menjamin meningkatnya taraf berfikir rakyat dan
berkembangnya budaya masyarakat Indonesia hingga mampu menjawab setiap
persoalannya, maka pemuda mahasiswa, tenaga pendidik dan seluruh pemerhati
pendidikan, harus mampu terhubung dan tersatukan secara kuat dengan seluruh
elemen rakyat disektor lainnya untuk menjalankan serangkaian program perjuangan
bersama untuk mewujudkan masyarakat yang adil, sejahtera dan berdaulat,
Menjalankan reforma agrarian sejati dan membangun industry nasional yang dapat
diabdikan sepenuhnya untuk kepentingan Rakyat.
Atas kenyataan dan orientasi perjuangan tersebut, Front Mahasiswa Nasional (FMN)
sebagai organisasi
massa mahasiswa yang patriotic,
demokratik dan militan berpihak tanpa ragu sedikitpun pada perjuangan
landreform sejati, akan terus berusaha
sebagai pemersatu bagi seluruh pelajar, pemuda dan mahasiswa khususnya dalam
mendukung perjuangan kaum tani dan rakyat disektor lainnya, serta mempersiapkan
diri agar dapat mengkoordinasikan perjuangan anti komersialisasi, privatisasi dan liberalisasi
pendidikan dengan perjuangan rakyat anti-landreform palsu dan
menuntut land reform sejati dari waktu ke waktu hingga menang. Ambil bagian secara penuh dalam upaya-upaya kongkrit
“membangkitkan, mengorganisasikan dan, menggerakkan massa” dan menggalang persatuan
dengan rakyat disektor lainnya agar
dapat saling bahu-membahu dan
saling menolong, sehingga setiap tahapan perjuangan dapat dijalankan menjadi lebih mudah dan dapat
berguna bagi bangsa dan mayoritas rakyat Indonesia.
Terakhir, dalam momentum hari tani nasional (HTN) ke
52 saat ini, segenap keluarga besar Front Mahasiswa Nasional menyampaikan “Selamat Hari Tani Nasional 2012, bangkit dan
bersatulah kaum tani dan seluruh rakyat Indonesia, hentikan perampasan dan
monopoli atas tanah-Lawan segala bentuk tindak kekerasan dan tindasan keji
Imperialisme, Feodalisme dan Kapitalisme Birokrat, wujudkan reforma agraria
sejati!!”.
Hidup
Kaum Tani Indonesia!
Jayalah
Perjuangan Rakyat Indonesia!!
[1] Lihat harian umum Kompas, Sabtu, 6 Februari 2010, hal. 18, “Investasi di Kawasan”.
[2] Lihat laporan Grain, “Seized! The 2008 land grab
for food and financial security.” Grain briefing, Oktober 2008.
[3] Lihat Peter Robson, “West
Papua: Land grab to displace locals”, dalam Green Left online, 10 April
2010.
[4] Lihat Hermas E. Prabowo, “Kawasan Pangan:
Pertanian Kian Meninggalkan Petani Kecil,” dalam harian umum Kompas,
edisi 4 Agustus 2010, hal.21.
[5] Lihat Laporan Utama
majalah berita GATRA, “Krisis Pangan,
Konglomerat Ikut Bercocok Tanam,” No.21 Tahun XIV, 03-09 April 2008, hal.
16-19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar