Melawan Perampasan
Upah, Tanah, Kerja dan Menolak Kenaikan Harga BBM-Hentikan Pemberangusan
Serikat dan Berbgai Bentuk Kekerasan Terhadap Rakyat; Pemuda-Mahasiswa Berjuang
Bersama Rakyat!!
Diterbitkan
Oleh:
PP-FMN
Front
Mahasiswa Nasional
I. Latar Belakang
Dalam
tekanan luar biasa, baik tekanan upah yang semakin rendah, kesejahtraan dan
tekanan dalam aspek demokratisasi dalam memperjuangkan haknya, dinamika
perjuangan buruh terus berkembang dan semakin meluas diberbgai daerah, seakan
saling sahut menyahut bak permainan musik Orkestra, atau merbak musim bunga yang tumbuh dan berkembang indah
di musim semi tiba.
Ditahun 2012 ini,
seperti tahun-tahun sebelumnya, gerakan buruh bersama gerakan rakyat disektor
lainnya, penuh antusias menyiapkan peringatan Hari Buruh Internasional (May-Day),
dimana momentum tersebut adalah merupakan tonggak perjuangan Buruh diseluruh
penjuru Dunia. Hari besar buruh yang diperingati setiap tanggal 1 Mei tersebut,
tidak terkecuali di Indonesia
selalu dirayakan secara meriah dengan berbagai bentuk kegiatan oleh kaum buruh
dunia dan indonesia khususnya rakyat disektor lain juga bersimbah ruah
memperingati moment ini, guna memperjuangkan aspirasi dan tuntutan dari buruh
dan rakyat secara umum.
Karenanya, momentun may-day bukan hanya menjadi milik kaum buruh
semata, akan tetapi semangat momentum may-day sudah menjadi semangat persatuan
bersama rakyat Dunia dalam menghancurkan sistem kapitalisme monopoli global.
Maka berangkat dari semangat persatuan inilah, materi propaganda ini disusun
untuk menyatukan pemahaman, pandangan dan sikap atas bentuk-bentuk
ketertindasan rakyat dan akar persoalannya yang mengharuskan adanya persatuan
kuat dalam gerakan pembebasan.
Dalam materi
propaganda ini akan mengulas tentang risalah utama kaum Buruh Indonesia dan
kaitannya dengan persoalan Rakyat diberbgai disektor. Yaitu persoalan yang
disebabkan oleh dominasi Imperialime yang terus melakukan penghisapan atas
seluruh sumber daya dan kekayaan (Alam dan Manusia) yang ditopang penuh oleh
Tuan tanah dan rezim Boneka dalam Negeri, teruama dalam
upaya menyelesaikan krisis imperialisme yang semakin akut saat ini.
Bahan propaganda
ini selain diperuntukkan bagi seluruh anggota FMN, juga ditujukan kepada
pemuda-mahasiswa dan rakyat indonesia secara umum. Untuk dapat memahami secara
mendalam atas keterkaitan antara krisis imperialisme dengan persoalan Buruh dan
persoalan rakyat indonesi, sehingga penyajian materi ini juga akan memaparkan
secara singkat perkembangan situasi umum nasional dan internasional, khususnya
perkembangan situasi krisis imperialisme.
II. Krisis Imperialisme dan Terpuruknya Kehidupan Rakyat
Imperialisme Semakin Memperkokoh
Dominasinya diberbagai Negeri Guna Melimpahkan Beban Krisis yang Terus Bergulir
Tiada Henti;
Krisis ekonomi dan keuangan Global yang terjadi di AS pada tahun 2008 akibat Over-Produksi; Kredit macet perumahan (Subprime Mortage),
komoditas berteknologi canggih, seperti industri persenjataan, industri
kendaraan bermotor dan lain sebagainya. Selain itu juga, imperialisme AS juga
mengalami krisis energi sebagai salah satu unsur terpenting dalam aktifitas
produksinya. Sementara agresi AS terhadap Irak dan Afganistan pada tahun
2003 juga telah menelan anggaran sebesar
USD 3 trilliun. Krisis ini sesungguhnya telah terjadi pada tahun 2000, dan oleh
pemerintah Amerika Serikat sendiri
diakui sebagai krisis terparah sepanjang krisis hebat (Great Depression) yang
terjadi pada tahun 1930an. Krisis inilah yang kemudian berdampak pada
menurunnya pertumbuhan ekonomi AS, dampak dari krisis ini telah mengantarkan
perusahaan-perusahaan besar dunia masuk kejurang kebangkrutan dahsyat sepanjang
jaman, sehingga telah memaksakan lembaga-lembaga keuangan dunia menghamburkan
dana publik dalam jumlah besar dan secara langsung memerosotkan ekonomi dunia
ke lembah stagnasi.
Overproduksi atas barang-barang komoditas merupakan penyebab utama krisis
yang tidak akan bisa diselesaikan oleh sistem kapitalisme monopoli.
Barang-barang komoditas produksi massal yang dihasilkan semakin menumpuk di
tengah perkembangan pasar yang semakin menyempit dan merosotnya daya beli
rakyat. Situasi ini membuat negeri-negeri imperialis memaksakan liberalisasi
perdagangan melalui berbagai skema seperti WTO maupun perjanjian perdagangan
bebas (FTA) bilateral maupun regional agar kepentingan imperialis bisa
mengikat. Selain ekspor barang komoditas, imperialis juga berkepentingan atas
ekspor kapital supaya terhindar dari pembusukan kapital.
Berbagai paket kebijakan penyelamatan dilakukan oleh pemerintah
negara-negara imperialis melalui skema dana talangan (bail-out) dan dana
stimulus sebagai bentuk subsidi keuangan terhadap perusahaan-perusahaan besar
yang dibiayai dengan menggunakan dana publik untuk menyelamatkan kerakusan dan
kesalahan yang telah mereka perbuat hingga naraca keuntungan
perusahaan-perusahaan besar kembali stabil, pasar saham kembali bekerja dan
bisnis berjalan seperti biasa (bussiness as usual). Sementara itu,
Negara sebagai alat kepentingan klas telah benar-benar menjalankan fungsinya
melayani borjuis besar dunia dan kaki tangannya. Namun, skema dana talangan
(Bail-out) dan dana stimulus yang selalu menjadi solusi utama (andalan) dalam
menyelesaikan krisisnya, sejak fase perkembangan dari system kapitalisme hingga
zaman Imperialisme saat ini, tidak pernah terbukti mampu menyelesaikan krisis
yang dideritanya.
Krisis susulan pasca krisis keuangan 2008-2009 yang menimpa
perusahaan-perushaan besar kini menjelma krisis utang yang menimpa
negeri-negeri besar seperti AS dan Uni Eropa seperti Yunani, Portugal, Spanyol,
Italia, Irlandia, dan Hongaria. Krisis utang ini meliputi masalah pembengkakan
utang publik yang telah melewati batas wajar karena melebihi PDB suatu negeri
dan masalah ancaman gagal bayar (default). Pembengkakan utang yang
melebihi PDB secara pasti menandakan kebutuhan yang lebih besar dari kemampuan
produktif ekonomi nasional suatu negeri.
Krisis utang publik seperti yang kini dialami oleh AS dan negeri-negeri di
wilayah Uni -Eropa telah membawa dampak serius terhadap moneter, perbankkan, kemerosotan
ekonomi, tingginya anggka pengangguran dan kemiskinan. Kemerosotan ekonomi
yang menimpa dunia sekarang ini menandakan ketidakberdayaan seluruh negeri
imperialis (G-8) beserta institusi keuangan dunia bentukan imperialis (IMF,
Bank Dunia, EOCD, ADB). Kebijakan fiskal dan moneter yang telah mereka terapkan
untuk mengatasi krisis keuangan 2008 justeru telah memperdalam krisis sistem
produksi, keuangan, perdagangan imperialis dan sekarang melahirkan krisis
utang.
Dalam situasi demikian, Imperialisme terus melimpakan beban tersebut diatas pundak Rakyat diseluruh
dunia dengan berbagai skema penghisapan yang dibentuknya. Melalui
perjanjian-perjanjian dan kerjasama baik bilateral maupun multilateral,
skema-skema tersebut dititipkan kepada Rezim boneka yang telah dibentuknya
untuk diimplementasikan dan dijalankan secara maksimal di Negara-negara yang
berada dibawah dominasinya, terutama Negara-negara Setengah jajahan dan setengah
feudal seperti Indonesia. Bahkan imperialisme sanggup menggunakan cara
bar-bar jika ada negara yang berani menentang kebijakan busuknya.
Selain dengan upaya-upaya tersebut, Imperialisme juga melakukan Konsolidasi
atas negara-negara kawasan baik di Kawasan Eropa maupun Asia untuk memperkuat
pengaruh dan dominasinya guna memaksakan Negara-negara dalam kawasan tersebut
ikut bertanggungjawab atas krisis yang dialaminya. Melalui
konsolidasi-konsolidasi tersebut telah melahirkan berbagai kesepakatan yang akan
diterapkan secara liberal dan brutal terhadap Rakyat diberbagai sector.
Kongkritnya, selain pemaksaan untuk melakukan pemotongan subsidi Publik,
menaikkan pajak dan menjalankan kebijakan neo Liberal yang manifes dalam bentuk
Komersialisasi dan privatisasi atas berbagai sector public dan jasa,
Negara-negara tersebut juga tetap akan dijadikan sebagai sumber penghisapan
bahan mentah, sumber tenaga kerja murah dan pasar yang luas bagi pasar produksi
Imperialisme yang telah lama tertimbun dan terus menumpuk.
Di Asia sendiri, melalui ASEAN dengan Negara-negara yang kaya akan sumber
daya alam didalamnya tentu dapat menjamin terpenuhinya bahan mentah yang
dibutuhkan Imperialisme. Selanjutnya, populasi yang besar sebagai jaminan
tersedianya tenaga kerja murah dan sekaligus sebagai pangsa pasar yang besar,
sehingga konsolidasi ASEAN terus diperluas dan dikembangkan. Untuk konsolidasi
Asia timur dan membangun Komunitas Asia timur yang dipuncaki pada pertemuan
(KTT ASEAN dan ASIA Timur) Internasional di Bali pada bulan November 2011 lalu,
telah disandarkan pada empat Negara besar yang memiliki jaminan atas bahan
mentah dan populasi tersebut yaitu, China, India, Australia dan Indonesia.
Keterhubungan empat kawasan tersebut secara letak geografis sangat strategis,
sehingga akan lebih mudah dalam
meningkatkan kerjasama ekonomi. Komposisi keanggotaan Asia Timur yang begitu
penting dalam ekonomi dunia, membuat Amerika Serikat semakin agresif dalam
melakukan dominasi dan memegang kendali atas Asia Timur.
Dalam perkembangan saat ini, konsolidasi-konsolidasi tersebut telah
terbukti berhasil memperkuat Dominasi Imperialisme didalam Negeri. Hal tersebut
terbukti dengan semakin loyalnya Pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan
Susilo Bambang Yudhoyono dalam memberikan pelayanan dan memfasilitasi
Imperialisme melakukan penghisapan atas seluruh sumber daya (Kekayaan Alam dan
tenaga Manusia) didalam Negeri melalui berbagai kebijakan Anti Rakyatnya yang
dibungkus dalam topeng ”ILUSI” Demokrasi berwujud Perundang-undangan dan berbagai
peraturan lainnya.
Selain dengan skema-skema perjanjian ekonomi, Politik dan Kebudayaan
tersebut, Imperialisme AS juga terus melakukan promosi dan membangun kerjasama
militer dan pertahanan dengan menggunakan isu terorisme. Dalam aspek tersebut
sesungghnya, selain kepentingannya atas perdagangan senjata, Imperailisme AS
sangat berkepentingan untuk membangun persatuan dan kerjasama Militer untuk
meng-counter gerakan Rakyat anti Imperialisme yang terus meluas. Bahkan
Imperialisme AS sendiri telah menjalankan program Counter Insurgency-nya (COIN)
dan telah menerbitkan buku panduan (Guide Book) untuk menjalankan COIN tersebut
diberbagai Negeri. Artinya bahwa, segala upaya akan dilakukan oleh Imperialisme
dalam melakukan penghisapan dan upaya penyelamatan dirinya atas krisis yang
tengah diderita, baik dengan penghisapan melalui jalan damai (Perjanjian
kerjasama) maupun jalan kekerasan bahkan agresi militer.
Pemerintah SBY-BudhionoMerupakan Rezim Fasis dan Korup
Dalam berbagai kenyataan, melalui perjanjian dan kerjasama serta
kebijakan-kebijakan yang dibentuknya didalam negeri, SBY-Budiono telah
menunjukkan ketidak berpihakannya terhadap rakyat. Dari berbagai tindakan
reaksinya terhadap rakyat secara lansung, Rezim ini terus membuktikan
loyalitasnya kepada Sang Tuan (Imperialis), bahkan dengan tanpa ragu menjadikan
rakyat sebagai tumbalnya. Melalui forum-forum Internasional, Regional maupun
Bilateral yang melahirkan berbagai perjanjian kerjasama bilateral dan multilateral
telah menciptakan penderitaan rakyat yang semakin hebat. Melalui pertemuan
Bilateral Barrack Husein Obama dengan Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta pada
akhir tahun 2010 lalu, menghasilkan Kerjasama Komprehensif US-Indo diseluruh
sector dan dalam berbagai aspek kehidupan rakyat.
Program-program
tersebut diantaranya adalah upaya-upaya penghapusan bea Eksport-Import secara
bertahap yang ditargetkan hingga titik “NOL” untuk menjamin terbukanya pasar
didalam negeri dan terlaksananya perdagangan bebas, kerjasama untuk fleksibelitas pasar tenaga
kerja (Labor Market Flexibility) untuk mendapatkan tenaga kerja murah, dan
dilapangan kebudayaan tetap melakukan efisiensi dan relevansi pendidikan
(Terutama pendidikan Tinggi) yang diorientasikan untuk mencetak tenaga-tenaga
kerja berketrampilan rendah yang hanya dapat dijadikan sebagai buruh murah
pelayan Imperialisme, serta Program yang saat ini sedang digencarkan oleh
Pemerintah, yaitu Program “Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI)” yang akan semakin mensyaratkan terjadinya perampasan tanah rakyat
dalam skala besar dan penggusuran terhadap rakyat miskin diperkotaan dengan
dalih untuk pembangunan dan kepentingan umum. Esensi program tersebut
sesungguhnya akan semakin intensifnya penghisapan Imperialisme atas seluruh
sumberdaya alam Indonesia dan sebagai upaya untuk mempermudah (Efisiensi)
produktifitas Industri Imperialis yang bercokol didalam negeri.
Untuk melegitimasi
seluruh skema penghisapannya, Pemerintah telah melahirkan berbagai bentuk
kebijakan dan regulasi yang semakin mengancam Rakyat. Dalam mengintensifkan
perampasan dan monopoli atas Tanah, Pemerintah telah membentuk Undang-Undang
Pengadaan Tanah yang telah di sahkan pada akhir 2011 lalu. Selain itu,
Pemerintah juga telah Membentuk RUU Intelejin (Telah di Sahkan 11 Oktober 2011
menjadi UU) sebagai legitimasi tindak kekerasan dan upaya untuk menghambat dan
memberangus gerakan Rakyat. Selain itu, Untuk Melegitimasikan Privatisasi dan
Disorientasi Pendidikan, serta berbagai bentuk Liberalisasi lainnya, Pemerintah
juga telah membentuk RUU Pendidikan Tinggi yang kini semakin Mengancam Sektor
Pendidikan, khususnya Pendidikan Tinggi. Masih banyak lagi kebijakan anti rakyat
lainnya.
Secara khusus
terhadap kaum buruh, pemerintah juga telah membentuk berbagai produk
perundang-undangan untuk terus menjalankan skema politik upah murah dan
berbagai bentuk upaya pemberangusan terhadap gerakan buruh yang semakin
intensif melakukan perjuangannya.
III. Nasib Klas Pekerja Indonesia dibawah Cengkraman Politik
Upah-Murah
Dengan berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini, semakin terang
menunjukkan bahwa penderitaan yang begitu hebat dialami oleh rakyat saat ini
adalah akibat dari dominasi Imperialisme baik secara ekonomi, politik, militer
dan kebudayaan di Indonesia. Dominasi Imperialisme masih tetap kokoh berdiri
atas bantuan dan sokongan dari para perpanjangan tangannya yaitu borjuasi besar komperador dan tuan tanah
besar di bawah kuasa Susilo Bambang Yudhoyono.
Kita memahami bahwa
Imperialisme AS sangat bernafsu pada kekayaan yang dimiliki Indonesia, mulai
dari bahan mentah untuk Industri, lahan yang luas terutama untuk pertambangan
dan perkebunan-perkebunan besar, sampai pada jumlah penduduk yang sangat cocok
untuk pasar bahkan untuk penyedia tenaga kerja/buruh yang sangat murah. Di
bawah rejim penghamba Imperialis (SBY-Boediono) inilah rakyat Indonesia terus
dihimpit dengan berbagai penghisapan dan penindasan, akibat berbagai kebijakan
yang dikeluarkan hanya diorientasikan untuk melayani kepentingan sang tuan
untuk terus memperkuat dominasinya didalam negeri. Ditengah penghisapan
Imperialisme yang demikian hebat tersebut, Persoalan utama yang dihadapi oleh
kaum buruh di Indonesia saat ini adalah “Perampasan Upah, Kerja kontrak dan
Outsourcing, serta Pemberangusan serikat (Union Busting)”.
Susilo Bambang Yudoyono (SBY) Rezim Perampas Upah dan Kerja Kaum Buruh
Indonesia
Lewat kolaborsi
tiga poros utama (Borjuasi besar komperador, Tuan Tanah dan kapitalis birokrat)
di bawah kepemimpinan SBY-Budiono inilah Imperialisme dengan leluasa
menggerakkan roda penindasannya terhadap rakyat di Indonesia. Buruh dihargai
dengan upah yang sangat rendah dengan sistem kerja yang fleksibel dengan
kondisi kerja yang sangat buruk. Kaum tani di singkirkan dari tanah–tanahnya,
sehingga mengakibatkan jutaan petani hidup dalam kemiskinan, padahal Indonesia
selama ini dikatakan sebagai Negara agraris, tetapi dalam kenyataannya tanah di
Indonesia sama sekali tidak mampu menghidupi rakyatnya sendiri. Rakyat miskin
perkotaan yang terus di gusur tempat tinggalnya dengan alasan pembangunan, dan
masih banyak lagi persoalan-persoalan rakyat lainnya yang hampir tidak pernah
berhenti.
SBY–Budiono lebih
memilih memperluas tanah untuk perkebunan dan pembangunan industri dari pada
harus memberikan tanah untuk kaum tani yang pada hakekatnya untuk kesejahteraan
dan pembangunan industri nasional. Disisi lain industri di Indonesia dengan
karakternya yang masih sangat terbelakang (Manufaktur) tidak mampu memberikan
nilai apapun untuk kesejahteraan rakyat. Untuk memenuhi kepentingan
perusahaan-perusahaan besar Imperialis, Buruh Indonesia
selain dihadapkan dengan skema politik upah murah yang dijalankan dan terus
dipertahankan oleh rezim, Buruh juga mengahadapi berbagai macam bentuk
perampasan Upah yang semakin besar dan
intensif, baik dengan secara terang terangan maupun terselubung.
Selain dihadapkan dengan upah murah dan pemotongan upah dengan
berbagai cara, Buruh Indonesia juga masih dihadapkan dengan ancaman PHK yang bisa datang setiap saat. PHK massal
dan tanpa ada kompensasi, penggunaan sistem kerja kontrak (perjanjian kerja
waktu tertentu) dan outsourching yang sangat menindas buruh, pemberangusan
serikat (Union Busting) yang semakin nyata dan meluas. Penghapusan berbagai
macam tunjangan adalah salah satu bentuk nyata dari perampasan upah, sedangkan
untuk mempertahankan hidupnya buruh Indonesia dipaksa harus bekerja dengan jam
kerja yang sangat panjang, kondisi kerja
yang sangat buruk tanpa ada perlindungan keselamatan kerja yang memadai dan
masih banyak persoalan-persoalan lainnya.
Pada tahun 2010
pemerintahan SBY atas kepentingan dan desakan imperialis, kembali merencanakan
untuk melakukan revisi UUK 13/2003, yang isinya jauh lebih buruk bila
dibandingkan dengan yang ada sekarang, Draf revisi UUK tersebut isinya justru
akan memangkas hak-hak pekerja seperti diantaranya adalah mengurangi hak buruh
atas uang pesangon dan penghargaan masa kerja. Hal ini tidak terlepas dari
tekanan dari negara-negara Imperialis,
dengan dalih menciptakan iklim yang ramah investasi. Padahal, sebenarnya hanya
ingin mendapatkan tenaga kerja murah. Terang dalam kebijakan
seperti Revisi UUK, diorientasikan tiada lain hanya untuk menghilangkan
hambatan-hambatan dalam rangka penciptaan fleksibilitas pasar tenaga kerja
(flexibility labor market).
Hal tersebut di
antaranya dibuktikan dengan pengaturan kontrak kerja jangka pendek (perjanjian
kerja waktu tertentu dan penggunaan outsourcing yang sangat bebas). Padahal,
praktik outsourcing tersebut, jelas-jelas merupakan bentuk praktik perbudakan
modern (modern slavery). Pengaturan perjanjian outsourcing-antara perusahaan
outsourcing dengan pekerja- dianggap sebagai hubungan perdata biasa yang
dinilai tidak perlu diatur dalam UUK. Begitu pun dalam hal penggunaan tenaga kerja asing yang akan semakin bebas
tanpa pendamping untuk menggantikan tenagakerja asing tersebut.
Sejatinya UUK No.
13 Tahun 2003 adalah undang-undang yang pro Imperialis (Kapitalis Monopoli) dan
anti buruh. Sebab Undang-undang tersebut adalah merupakan undang-undang yang
melegalkan perampasan upah, dan kerja bagi buruh. Pasal yang mengatur tentang
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Outsourcing adalah bentuk nyata dari
perampasan upah dan kerja bagi buruh. Besaran pesangon yang selalu di keluhkan
oleh pengusaha hanyalah merupakan bualan semata, karena mustahil saat ini buruh
bisa mendapatkan hak atas pesangon dan penghargaan sesuai dengan ketentuan,
umumnya buruh hanya mendapatkan setengah atau bahkan jauh lebih kecil dari
aturan yang ada di dalam UUK No. 13 Tahun 2003.
Dengan
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (PPHI), rejim boneka pelayan imperialisme SBY-Budiono berusaha untuk
memuluskan kepentingan kapitalis monopoli untuk memecat buruh sesuka hatinya.
Dalam skema UU nomor 2 tahun 2004, perselisihan perburuhan diringkas dalam
serangkaian prosedur yang pada intinya menekankan maksimalisasi peranan
bipartit dalam penyelesaiannya. Dalam konteks itu, UU mengidamkan buruh dan
pengusaha berada dalam posisi sejajar dan memiliki kesempatan untuk saling
mempengaruhi dalam negosiasi selayaknya di negeri-negeri imperialis, sesuatu
hal yang mustahil dapat terjadi di Indonesia.
Akibat
diterapkannya sistem perburuhan yang fleksibel maka buruh akan akan sangat
mudah di PHK, sehingga akan berdampak pada semakin lemahnya peranan serikat
pekerja/serikat buruh didalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan dan
hak-hak dasar (normatif) buruh. Melemahnya peranan serikat sama dengan rusaknya
“benteng terakhir” pertahanan dari buruh. Jumlah buruh yang di PHK dan
dirumahkan terus mengalami kenaikan. Sepanjang periode Januari – Maret 2010
saja PHK mencapai 68.332 orang dan 27.860 yang dirumahkan atau naik dari jumlah
37.909 diperiode yang sama tahun 2009.
Skema
Politik Upah Murah adalah Bentuk Legitimasi Rezim Penghamba Imperialisme
Dasar penentuan Upah di Indonesia saat ini adalah UUK No. 13 Tahun
2003 psl 88 dan psl 89 serta Permenaker No. 17 Thn. 2005 tentang “Komponen dan
pelaksanaan tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak Untuk buruh”. Sistem
Penentuan Upah (pengupahan) yang berlaku di Indonesia adalah sistem yang
berbasis indeks biaya hidup dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per Kapita
sebagai proksi dari tingkat kemakmuran, dengan kata lain berbasiskan angka
hidup layak (KHL) dan tingkat inflasi. Sistem pengupahan di Indonesia juga
mendasarkan penentuannya melalui mekanisme konsultasi tripartit dalam
menetapkan upah minimum antara wakil pengusaha, wakil pekerja dan wakil dari
pemerintahan. Wakil pemerintah selain dalam fungsinya sebagai fasilitator dan
mediator namun pada akhirnya juga akan berperan sebagai pengambil kebijakan sekaligus
mengesahkannya secara hukum.
Di dalam Permenaker No. 17 Tahun 2005, penentuan upah hanya di tujukan
untuk memenuhi kebutuhan hidup buruh lajang, artinya kebutuhan
hidup bagi para buruh yang berkeluarga, tidak masuk dalam hitungan, jangankan
untuk kebutuhan pendidikan anak, untuk kebutuhan makan keluarga saja tak masuk
dalam komponen kebutuhan hidup buruh, (Lihat 46 komponen KHL yang diatur
dalam kepmen no 17 th 2005). Fakta yang lain di dalam permen 17 Th 2005
adalah nilai KHL hasil survey dewan pengupahan hanya dijadikan salah satu
pertimbangan dalam penetapan UMK/UMP, sehingga wajar kemudian di hampir semua
kota/kabupaten atau Provinsi di Indonesia tidak ada yang UMK/UMP-nya sesuai
dengan hasil survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Jika di hitung rata-rata upah
minimum yang di tetapkan oleh pemerintah provinsi hanya sekitar 80 % dari nilai
KHL.
Ditahun 2012 ini, setelah mengalami desakan yang keras dan massif
bahkan hingga terjadi pemogokan-pemogokan melalui perjuangan panjang kaum buruh
diberbagai daerah, Pemerintah baru merealisasikan kenaikan upah bagi buruh,
itupun masih sangat terbatas bahkan masih jauh dari standar upah layak jikapun
mengcu pada KHL yang telah ditetapkan. Sebagai contoh, Kenaikan upah buruh di
DKI saja hanya mencapai kurang lebih 15% atau dari 1,3 juta menjadi 1,5 juta,
atau rata-rata kenaikan upah buruh secara Nasional hanya mencapai 6-8% saja.
Sementara itu, inflasi terus terjadi bahkan melebihi kenaikan upah. Saat ini,
sejak awal bulan maret sampai sekarang, kenaikan harga kebutuhan pokok sudah
mencapai 30-33%.
Selain upah yang sangat minim dan jauh dari setandart KHL, pemerintah hari ini tidak pernah serius dalam
menjalankan keputusannya mengenai upah, sebab upah yang sudah di tetapkan oleh
pemerintah melalui SK Gubernur di masing-masing Provinsi ternyata tidak
mengikat sepenuhnya agar dapat di laksanakan oleh pengusaha, melalui Kepmenaker
Nomor 231 Tahun 2003 pengusaha dengan alasan tidak mampu membayar upah sesuai
dengan UMK/UMP dapat mengajukan penangguhan pelaksanaan upah dengan sangat
mudah, sehingga banyak pengusaha hari ini terbebas dari kewajibannya membayar
upah buruh sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Padahal sudah sangat terang dan jelas bahwa didalam Permenaker 17 Th
2003 penetapan UMK/UMP salah satu dasar pertimbangannya selain hasil survey KHL
yang dilakukan oleh dewan pengupahan, juga mempertimbangkan kemampuan usaha
kecil (marginal), maka seharusnya tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk mengeluarkan aturan
lain yang membolehkan penangguhan membayar upah.
Upah buruh yang sangat minim masih harus di rampas lagi oleh
pemerintah, hal ini tampak dari upaya pemerintah SBY-Budiono terus menggenjot
APBN terutama di sector perpajakan. Pemberlakuan PPH 21 adalah merupakan bukti
nyata bahwa rezim hari ini merupakan rezim perampas upah buruh. Didalam
undang-undang PPh Nomor 36 tahun 2008 dan sesuai dengan aturan pelaksanaan UU yaitu Peraturan Dirjen
Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan,
Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 21. Dengan demikian, maka beban pajak yang
di tanggung oleh buruh tidak hanya untuk upah pokok saja, akan tetapi seluruh
penghasilan/upah buruh yang di terima, baik berupa tunjangan maupun THR juga di
kenakan pajak sebesar 5 hingga 6%.
Melalui Kebijakan Fiskal (Anggaran), Pemerintah SBY terus
berusaha memaksimalkan perolehan pajak dari pajak penghasilan (PPh) yang
merupakan pajak yang wajib dibayarkan oleh perorangan. Target penerimaan pajak
negara tahun 2011 mencapai Rp 708 trilliun atau naik Rp 102 trilliun
dari target tahun 2010 sebesar Rp 606 trilliun. Bahkan pada tahun 2014
penerimaan Negara dari pajak ditargetkan mencapai lebih dari Rp. 1000 trilliun,
tujuannya adalah agar pembiayaan anggaran kebutuhan pemerintah bisa dipenuhi
dari pajak sehingga dapat mengurangi nilai hutang negara.
Dijalankannya UU No 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan
perburuhan juga menambah beban perampasan upah buruh, meskipun didalam undang-undang
tersebut menyatakan bahwa proses penyelesaian perkara murah, cepat, dan efisian
akan tetapi faktanya sama sekali tidak demikian. Buruh untuk dapat
menyampaikan gugatannya harus dikenai beban biaya yang sangat mahal, biaya
leges, uang pendaftaran gugatan dll. membutuhkan biaya
yang sangat besar untuk ukuran buruh yang upahnya sangat minim, belum lagi di
tambah dengan celah hukum yang memberi peluang bagi pengusaha dapat
menangguhkan pembayaran upah. Dengan demikian, maka dapat di pastikan buruh tidak
akan mendapatkan keadilan, karena buruh tidak akan kuat menanggung seluruh
biaya yang harus dikeluarkan selama proses persidangan, yang sangat panjang dan
lama. Umumnya kemudian kasus-kasus perburuhan diselesaikan dengan cara konsesi
yang sangat merugikan buruh.
Selain bentuk-bentuk perampasan upah yang di legalkan oleh negara,
upah buruh juga masih harus dirampas oleh pengusaha dengan berbagai macam cara,
diantaranya adalah :
1. Tanpa melalui mekanisme panangguhan upah pengusaha dengan mudah
membayar upah buruh di bawah UMK/UMP;
Mayoritas pengusaha tidak menjalankan UMK/UMP yang sudah di tetapkan
oleh pemerintah, mereka dengan berbagai macam alasan terutama karena perusahaan
tidak mampu, telah sengaja membayarkan upah buruh di bawah ketentuan, sedangkan
pihak pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi meskipun
mengetahuinya tidak ada tindakan tegas terhadap pengusaha yang melakukan
pelanggaran upah, bahkan seolah tidak bisa berbuat apa-apa, dan ketika mendapat
tekanan dari buruh agar upah dibayar sesuai dengan aturan yang berlaku maka
pemerintah justru menyarankan agar buruh bersedia menerima begitu saja dari
pada tidak mendapatkan pekerjaan.
2. Kebijakan perusahaan yang meningkatkan target kerja produksi;
Kenaikan upah biasanya segera di susul dengan kenaikan target kerja
produksi, situasi ini umum dialami oleh buruh terutama perusahaan-perusahaan
padat karya seperti perusahaan garmen, tekstile, sepatu, rokok dll. Artinya buruh dipaksa untuk bekerja lebih keras lagi agar dapat
mencapai target, dan ketika buruh tidak mencapai target maka dia harus bekerja
lebih lama lagi melebihi jam kerja yang telah di tentukan tanpa diberikan upah
lembur. Bahkan tidak jarang banyak pengusaha menggunakan alasan tersebut
melakukan mutasi atau melakukan PHK terhadap buruh karena dinilai tidak mampu
bekerja dengan baik, padahal faktanya hampir dapat di pastikan tiap tahun
seiring dengan kenaikan upah maka target kerja produksi selalu naik.
3. Lembur yang tidak dibayar atau dibayar akan tetapi tidak sesuai dengan
ketentuan upah lembur;
Banyak pengusaha yang tidak memberikan upah lembur sesuai dengan ketentuan,
juga di temukan di banyak perusahaan yang menetapkan upah lembur berlaku tetap,
sehingga berapapun jam kerja lembur yang dijalankan buruh upahnya akan tetap.
hal ini disebabkan tidak semata-mata buruh tidak mengetahui penghitungan upah
lembur, akan tetapi kondisi ini terjadi karena pengusaha mengancam tidak akan
memberikan lemburan/menghapuskan lemburan apabila buruh mempersoalkannya.
Sehingga buruh dengan terpaksa harus mengikuti peraturan perusahaan karena di
tuntut agar bisa mencukupi kebutuhan hidupnya.
4. Pengusaha tidak memberikan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) atau
di berikan akan tetapi tidak sesuai dengan aturan
yang berlaku.
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan atau JPK adalah merupakan Hak buruh
yang wajib di berikan oleh pengusaha terhadap buruh dan sudah diatur
pelaksanaannya didalam pasal 16 Undang-undang No. 3 Tahun 1992 yang menyebutkan
bahwa ayat (1) “Tenaga kerja, suami atau isteri, dan anak berhak memperoleh
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan”. Ayat (2) “Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan meliputi: rawat jalan tingkat pertama, rawat jalan tingkat lanjutan,
rawat inap, pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan, penunjang
diagnostic, pelayanan khusus, pelayanan
gawat darurat”.
Dari hasil investigasi ditemukan bahwa mayoritas perusahaan tidak
memberikan JPK kepada buruhnya, sebagian perusahaan mengelola sendiri akan
tetapi di dalam pengelolaannya sangat buruk dan tidak memenuhi standar minimum
yang sudah di tetukan sebagaiman diatur dalam Permen no. 12 Tahun 2007.
5. Penghapusan dan atau pengurangan uang bonus, premi dan
tunjangan-tunjangan lainnya
Karena alasan
kenaikan UMK/UMP, banyak perusahaan melakukan pengurangan bahkan menghapuskan
upah dalam bentuk tunjangan seperti tunjangan uang makan, transport, bonus,
premi hadir dan tunjangan-tunjangan yang biasa mereka dapat sebelumnya.
Sehingga meskipun upah pokok dinaikkan sesuai dengan ketentuan UMK/UMP yang
berlaku, akan tetapi pendapatan buruh tetap bahkan cenderung mengalami
penurunan, kondisi semacam ini sangat umum terjadi di banyak perusahaan.
Sistem
Kerja Kontrak dan Outsourcing adalah Bentuk Perampasan Upah
1) Kenapa sistem kerja kontrak (PKWT) dan Outsourcing adalah merupakan
bentuk perampasan upah?
Sebab Buruh dengan
status kontrak dengan perjanjian kerja waktu tertentu tidak mendapatkan lagi
hak atas uang pesangon, uang penghargaan serta uang ganti rugi jika di PHK oleh
perusahaan/di putus kontraknya. Mereka juga tidak mendapatkan jaminan sosial tenaga
kerja baik itu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK), Jaminan Kecelakaan Kerja
(JKK), Jaminan Hari Tua (JHT) maupun Jaminan Kematian (JK), dan hampir semua
buruh kontrak jangka pendek (PKWT) tidak mendapatkan THR, kalaupun ada jauh di
bawah aturan. Mereka juga tidak mendapatkan tunjangan-tunjangan ataupun bonus,
bahkan buruh dengan status PKWT dipaksa untuk bekerja lebih keras agar bisa di
perpanjang kontrak kerjanya.
Sedangkan buruh
dengan status Outsourcing kondisinya jauh lebih parah lagi, mereka selain
dirampas upahnya oleh pengusaha yang memberikan pekerjaan dengan status kontrak
mereka juga harus di rampas lagi upahnya oleh pihak yayasan atau perusahaan
penyalur tenaga kerja. Jika dibandingkan dengan buruh tetap, buruh kontrak dan
outsourcing mengalami perampasan upah mencapai 30% s/d 40% tiap bulannya dari
upah yang seharusnya mereka terima.
2)
Apa motif dan latar belakang di
terapkannya sistem kerja kontrak dan outsourcing di Indonesia?
Penggunaan sistem
ini di latar belakangi atas kepentingan Imperialis agar dapat menciptakan
tenaga kerja murah dan flaksibel, sudah menjadi tren di dunia bahwa pasar
tenaga kerja yang flaksibel di terapkan di hampir seluruh negara-negara di
dunia. Namun Sistem ini sangat tidak relevan di jalankan di Indonesia, sebab
Indonesia adalah negeri yang masih terbelakang dengan karakter Industri
manufaktur tanpa ditopang dengan industry dasar. Persoalan lainnya yang paling
pokok adalah meluasnya monopoli atas tanah dan sumber-sumber kekayaan alam
Indonesia oleh tuan tanah besar komprador dan Imperialis yang seharusnya
menjadi dasar utama terbangunnya Industri Nasional yang mandiri. Kenyataan
demikianlah yang menyebabkan terjadinya penumpukan tenaga kerja yang semakin
melimpah atau angka pengangguran yang sangat tinggi karena tidak terserap dalam
lapangan kerja yang masih sangat terbatas.
Kondisi demikian
mengakibatkan posisi buruh yang sangat lemah di hadapan pengusaha. Motif di
terapkannya sistem ini sesungguhnya adalah merupakan bagian dari sekema politik
upah murah rezim dan merupakan bagian nyata dari bentuk perampasan upah yang
dipertahankan oleh negara. Dan untuk memenuhi kebuasan dan kerakusan Imperialis
agar mendapatkan tenaga buruh murah serta sumber bahan baku dan kekayaan alam
yang melimpah dan murah.
Berdasarkan data
hasil investigasi yang di lakukan oleh DPP-GSBI menunjukkan bahwa buruh kontrak
dan Outsourcing mengalami peningkatan rata-rata sebesar 5 % tiap tahun. Pada
tahun 2010 saja jumlah buruh kontak dan outsourcing di Indonesia diperkirakan
mencapai 66,425%, sektor yang paling banyak menggunakan sistem kerja kontrak
dan outsourcing adalah pertama sektor/industri Jasa (Satpam, Caining
service, ritel, perbankkan dll) jumlahnya mencapai 85 %, kedua sektor/industri
Garment-Tekstil dan Sepatu jumlahnya diperkirakan mencapai 65%, sektor industri
metal dan elektronik diperkirakan sekitar 60,7%, Sektor/Industri dasar dan
pertambangan diperkirakan mencapai 55%. Data ini lebih besar bila dibandingkan
dengan data yang pernah di keluarkan oleh Bank dunia dan ILO pada akhir tahun
2010.
Data hasil riset
yang dilakukan oleh Bank Dunia dan Organisasi Buruh Internasional
(International Labor Organization/ILO) menunjukkan bahwa Jumlah pekerja atau
buruh berstatus tetap hanya tinggal 35 % dari 33 juta buruh formal di Indonesia.
Padahal, lima tahun lalu jumlahnya mencapai 70 persen, artinya sebanyak 65%
adalah buruh dengan status outsourcing dan buruh kontrak.
Buruh dengan status
kontrak dan outsourcing tidak mendapatkan hak atas uang pesangon, uang
penghargaan serta uang ganti rugi jika di PHK oleh perusahaan. Mereka juga
tidak mendapatkan JAMSOSTEK, tidak mendapatkan THR, Mereka juga tidak
mendapatkan tujangan-tunjangan ataupun bonus, selain juga harus membayar
yayasan penyalur tenaga kerja.
Pemerintah Mempertahankan Stabilitas
Angka Pengangguran Sebagai Cadangan Tenaga Kerja Murah yang Melimpah
Dengan berbagai persoalan atas hilangnya kedaulatan rakyat atas sumber
daya alam dan seluruh kekayaan Indonesia telah menjebak rakyat dalam berbagai skema
penghisapan oleh Imperialisme melalui perpanjangan tangannya didalam negeri,
yaitu borjuasi besar komprador dan Rezim boneka. Sudah menjadi persoalan pokok
rakyat Indonesia hingga saat ini, yaitu perampasan dan monopoli atas tanah baik
yang dilakukan oleh Perusahaan-perusahaan swasta milik Imperialisme ataupun
oleh Negara Sendiri telah mengantarkan rakyat Indonesia dalam jurang kemiskinan
yang mendalam. Dengan kenyataan bahwa mayoritas (Mencapai 65%) populasi
Indonesia adalah kaum tani, seiring perampasan dan monopoli atas tanah yang
kian massif diseluruh wilayah Indonesia secara terus menerus menambah angka
buruh tani yang semakin besar, bahkan menduduki jumlah terbesar dari total
jumlah petani yang ada.
Dengan kondisi
demikian, sudah pasti mengakibatkan semakin hilangnya mata pencaharian sebagian
besar rakyat Indonesia, ditambah lagi dengan persoalan sistem pendidikan di
Indonesia yang sama sekali taidak mampu mengakomodir kepentingan Rakyat untuk
dapat memecahkan persoalannya secara mandiri dengan seluruh potensi yang
dimiliki dan kekayaan alam Indonesia. Dimana pendidikan sebagai topangan
mendasar akan maju dan berkembangnya kebudayaan suatu bangsa yang tercermin
dalam kemampuannya memecahkan setiap persoalan yang ada disekitarnya baik
secara politik, ekonomi maupun kebudayaan, kenyataan pendidikan di Indonesia
sudah sangat jauh dari perspektif dan Orientasinya untuk memajukan budaya dan
mensejahterakan Rakyat Indonesia. Hal tersebut, tampak dari sistem
penyelenggaraan, pembiayaan dan kurikulum yang jauh dari kenyataan hidup
Rakyat.
Sementara itu,
ditengah perampasan dan monopoli tanah yang meluas dan Disorientasi pendidikan
yang menghambat berkembangnya sumberdaya manusia yang ada, Pemerintah juga
tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang merata dan dapat diakses oleh
seluruh Rakyat sebagai jaminan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, telah
menciptakan angka pengangguraan yang melimpah. Besarnya angka pengangguran
tersebutlah yang kemudian menjadi salah satu primadona akan dgangan pemerintah
untuk menarik investasi ataupun perdagangan tenaga kerja murah baik didalam
negri maupun diluar Negeri.
Untuk tenaga kerja
yang dijual keluar Negeri (BMI), telah ditargetkan oleh pemerintah untuk dapat melakukan Eksport tenaga kerja dengan
jumlah yang besar (Minimal 1 juta pertahun) dengan dalih untuk mengurangi angka
pengangguran dan meretas kemiskinan. Buruh migrant yang telah disebarkan
keberbagai negeri (Kurang lebih 40 Negara) telah memberikan devisa yang besar
bagi Negara (menempati urutan kedua tertinggi) dalam sumber pendapatan Negara. Saat ini Indonesia
berhasil meningkatkan ekspor buruh migran hingga lebih dari 8 juta orang di
Luar Negeri dengan kontribusi remitansi sebesar Rp 100 triliun per tahun.
Mayoritas dari buruh migran yang diekspor dari Indonesia adalah perempuan
dengan pekerjaan mayoritas Pekerja Rumah Tangga (PRT).
Dilain sisi, Buruh migrant juga
tidak terbebaskan dari persoalan perampasan atas upah dan tidak adanya jaminan
perlindungan dari pemerintah, karenanya tidak heran jika banyak BMI yang pulang
dengan tangan kosong, meninggalkan hutang, bahkan tidak sedikit yang pulang tak
bernyawa kaibat tindak kekerasan ataupun penyiksaan yang dilakukan oleh majikan
diluar Negeri. Hal tersebut terjadi karena Pemerintah memang tidak memberikan
jaminan perlindungan apapun bagi BMI dan keluarganya. Sementara itu, pemerintah justeru terus
berupaya melakukan percepatan peningkatan ekspor buruh migran dengan rencana
mengubah Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke
Luar Negeri No. 39 tahun 2004(UUPPTKILN No.39/2004) yang dianggap belum mampu
merealisasikan peningkatan ekspor buruh migran untuk mencapai keuntungan yang
lebih besar.
Dari berbagai kasus yang ada, pemerintahan SBY-Boediono tidak pernah
memberikan pertanggungjawaban
yang kongkrit atas persoalan-persoalan yang dialami BMI dan keluarganya.
Pemerintah justeru jauh lebih sibuk menunjukkan pertanggung jawabannya dengan
politik pencitraan dan pembenaran yang sudah dilakukan oleh pemerintah,
pembentukan satgas-satgas yang hanya menghabiskan anggaran negara dan tidak
berhenti melakukan perampasan uapah terhadap BMI. Bentuk-bentuk perampasan upah
yang dilakukan oleh pemerintah terhadap BMI antara lain seperti pemotongan upah
melalui biaya penempatan yang tinggi, pemaksaan untuk mengikuti program
Asuransi yang secara prosedural samasekali tidak dipahami oleh BMI bai secara
definitif, klaim keanggotaan, kegunanaan dan transparansi. Sehingga, hal
semacam ini dimanfaatkan oleh negara, perusahaan asuransi dan oknum-oknum yang
tidak bertanggung jawab, juga PJTKI dalam memanfaatkan BMI untuk mengambil
keuntungan sebesar-besarnya dari pembodohan dan pemiskinan tersebut yang
mengatas namakan perlindungan bagi BMI.
Apresiasi Atas Perjuangn BMI Untuk Pengesahan Konvensi PBB
1990 tentang Perlindungan Buruh Migran Indonesia dan Keluarga
Dengan desakan dan perjuangan yang dilakukan oleh BMI dan rakyat lainnya
selama bertahun-tahun, pada tanggal 12 April 2012 DPR dan Pemerintah Indonesia
yang diwakili Kementrian Luar Negeri, Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
dan Kementrian Hukum dan HAM, mengesahkan RUU Ratifikasi Konvensi
Internastional mengenai Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya
(Konvensi Migran 1990). Dengan demikian Indonesia menjadi negara pihak ke 46
negara dari Konvensi ini di dunia dan negara pihak ke- 2 di antara Negara
anggota ASEAN setelah Filipina.
Dengan demikian, maka Pemerintah harus segera medeklarasikan keputusan
Pengesahan Konvensi PBB 1990 dimuka internasional. Pemerintah tidak boleh lagi
menggunakan alasan utnuk penyesuaian iklim dalam negeri dan luar negeri untuk
tidak mengimplentasi Konvensi PBB 1990 terhadap Undang-Undang Perlindungan
Sejati. Langkah konkret yang harus dilakukan segera oleh pemerintah adalah
membuat kontrak standar yang melindungi hak buruh migrant dan keluarganya,
penghapusan biaya penempatan (overcharging), memperbolehkan kontrak mandiri
dengan syarat yang mudah, penghapusan sistim KUR (Kredit Usaha Rakyat), KTKLN
dan berbagai skema perampasan upah dengan berkedok perlindungan.
Dengan disahkannya Konvensi PBB 1990, patutlah kemudian kita semua
memberikan apresiasi setinggi-tingginya atas perjuangan keras yang dilakukan
buruh migran Indonesia untuk mendapatkan perlindungan sejati melalui pendesakan
pengesahan Konvensi PBB 1990 dan dengan berbagai upaya, melalui ajakan dialog
dengan pemerintah dan aksi-aksi besar baik yang dilakukan di dalam Negeri
maupun di Luar Negeri serta berbagai bentuk presure lainnya. Hal tersebut
juga harus menjadi inspirasi bagi gerakan rakyat disektor lainnya dalam
memperjuangkan persoalannya secara sektoral ataupun persoalan lainnya yang
paling mendasar yang dialami oleh seluruh Rakyat Indonesia.
Pemberangusan Serikat (Union Busting) Pertajam Perampasan Upah
Dalam upaya
menjamin terpenuhinya kesejahteraan dan memperjuangkan berbagai persoalan yang
dialaminya, Kebebasan berserikat, menyampaikan pendapat dan berunding adalah
merupakan hak dasar bagi kaum buruh Indonesia. Hal tersebut adalah hak buruh
yang dilindungi dan diatur didalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
serta peraturan Internasional seperti yang terurai dalam UUD 1945 jo Pasal 28
UU No. 21 tahun 2000; UU No. 13 tahun 2003 serta Konvensi ILO No. 87 jo
Konvensi ILO No. 98. Akan tetapi kenyataannya hak tersebut belum dinikmati oleh
kaum buruh di Indonesia, karena sampai saat ini masih banyak permasalahan yang
dihadapi oleh buruh ketika menggunakan haknya dalam berorganisasi, perlakuan
intimidasi, diskriminasi bahkan sampai pada pemecatan terhadap buruh yang
berorganisasi umum terjadi di Indonesia, penyebabnya adalah karena rezim SBY
belum sepenuhnya memberikan ruang kebebasan untuk berorganisasi bagi buruh.
Praktek-prketek
anti serikat, berunding dan menyampaikan pendapat hampir dapat kita temukan di
setiap perusahaan, tindakan yang di lakukan oleh pengusaha ketika buruhnya
membentuk serikat buruh diantaranya adalah melakukan intimidasi, tidak diberi
pekerjaan, tidak memberikan lembur, memaksa untuk mengundurkan diri, dan
apabila dengan cara-cara tersebut tidak efektif, maka pengusaha dengan berbagai
macam alasan segera melakukan PHK, bahkan tidak jarang pengusaha meloporkan
buruhyan kepada pihak kepolisian (kriminalisasi kasus perburuhan).
Meskipun
Undang-Undang tentang Serikat Buruh telah disahkan, akan tetapi buruh sampai
saat ini tidak secara otomatis dapat menikmatinya. Kenyataannya dilapangan
membuktikan bahwa Pengusaha telah melakukan berbagai macam cara untuk
menghambat pembentukan atau perkembangan serikat buruh
yang sering disebut sebagai tindakan anti serikat buruh
(union busting), Tindakan PHK terhadap pengurus/pimpinan dan anggota serikat
buruh adalah cara ampuh untuk
memberangus aktivitas serikat buruh. Cara yang umum dilakukan oleh pengusaha terhadap buruh
tersebut, tetap saja dibiarkan oleh negara.
Berbagai bentuk
pemberangusan serikat yang dilakukan oleh perusahaan secara terang-terangan
diantaranya adalah dengan bentuk
intimidasi, tidak memberikan akses pada pimpinan serikat yang ingin menemui
anggotanya, tidak diberikan lembur kepada para anggota dan pengurus serikat,
mutasi pengurus serikat, memberikan SP, scorsing, dikucilkan di dalam
lingikungan kerja sampai pada bentuk-bentuk penawaran pensiun muda bagi anggota
dan pimpinan serikat buruh yang kritis dan lain sebagainya. Sedangkan cara-cara
terselubung yaitu dengan memberikan suap terhadap para pimpinan serikat dengan
menawarkan sejumlah posisi jabatan dan memberikan tambahan bonus agar
perjuangan serikat menjadi kaku dan tidak secara bebas melakukan pembelaan
terhadap anggota, mengadu domba antar serikat, membentuk serikat tandingan,
mengubah status tetap menjadi kontrak dan lain sebagainya.
Motif terjadinya
pemberangusan serikat pada umumnya di latar belakangi oleh perjuangan buruh
dalam mendapatkan hak normatif-nya yang dilanggar oleh pengusaha. sehingga
dampak dari pemberangusan serikat adalah hilangnya hak-hak buruh, terutama hak
dalam mendapatkan upah, karena ketika para pimpinan atau anggota serikat di PHK
maka mereka tidak lagi mendapatkan upah. Dalam kenyatan demikian, Pemerintahan secara
kongkrit tidak berusaha memberikan perlindungan dan kebebasan bagi buruh untuk
berserikat, akan tetapi justru sebaliknya SBY telah menjalankan politik anti
demokrasi dalam perburuhan di Indonesia dengan cara melakukan praktek
pembrangusan kebebasan berserikat atau Union Busting. Kebijakan paling nyata
adalah dengan penerapan UU no 39 tahun 2009 tentang kawasan ekonomi khusus
(KEK) yang salah satu pointnya hanya memperbolehkan satu serikat buruh dalam
satu kawasan.
IV. Kebijakan Sesat Susilo Bambang Yudhoyono adalah Derita
Bagi Rakyat Indonesia
Seiring badai
krisis yang terus menyelimuti perekonomian Global telah memperlihatkan kualitas
penderitaan rakyat diberbgai dunia, aksi-aksi protes yang dilakukan rakyat
diberbgai dunia semakin memperjelas kedudukan imperialisme yang rapuh seiring
dengan perkembangan jaman. Aksi-aksi menentang kebijakan imperialisme juga
turut mewarnai gerakan rakyat di indonesia dalam menentang kebijakan
imperialisme melalui rezim bonekanya didalam negeri (SBY) yang berperan besar
dalam membantu krisis yang diderita imperialisme. Ditengah situsi itupula,
rakyat indonesia telah dihantam dengan berbgai bentuk kebijakan dan regulasi
yang hanya menguntungkan imperialisme, Borjuasi Komparador dan Tuan tanah dalam Negeri serta rezim
boneka itu sendiri, yang telah mengambil keuntungan besar sebagai kapitalisme
birokrat. Sementara rakyat hanya menjadi tumbal dari kebijikan busuk tersebut,
kondisi tersebut semakin diperparah dengan rencana kenaikan harga Bahan Bakar
Minyak (BBM).
Dengan segala upaya,
pemerintah terus berupaya keras untuk menaikkan BBM untuk keempat kalinya
selama kepemimpinan “Susilo Bambang Yudoyono” memimpin indonesia, terhitung
sejak Maret 2005, Oktober 2005, dan Mei 2008, yang tujuannya adalah penghapusan
subsidi publik rakyat, dengan berbgai kampanyenya, rakyat selalu dibingungkan
atas persoalan tersebut, rakyat dibuat tidak memahami secara esensial persoalan
mendasar dan sebab utama dari kenaikan BBM tersebut. Kenaikan harga didalam Negeri, persoalan utamanya bukanlah karena
seperti alasan-alasan yang dikemukakan oleh Pemerintah, yaitu karena “naiknya harga minyak dunia sehingga akan
menyebabkan jebolnya Anggaran dalam APBN karena pembengkakan subsidi BBM”,
Padahal kenyataannya Indonesia
adalah termasuk negara produsen yang seharusnya diuntungkan dengan kenaikan
harga minyak dunia. Pemerintah juga mengatakan bahwa “subsidi BBM salah sasaran karena rakyat kecil bukan konsumen utama
premium dan solar, sehingga subsidi bahan bakar ini hanya menguntungkan orang
kaya Indonesia”. Jika demikian, mengapa kenaikan BBM tidak mengarah pada
mempertahankan subsidi bagi konsumen rakyat miskin dan menghapus subsidi pada
warga kaya, namun menaikkan secara pukul rata kemudian dampaknya yang menderita
rakyat umum yang mayoritas miskin?.
Pemerintah juga memberikan alasan bahwa “maraknya penyelundupan dan penyelewengan BBM karena harga jual premium dan solar yang terlalu rendah di dalam
negeri, sehingga subsidi BBM hanya menguntungkan para penyelundup dan
penyeleweng”.
Alasan tersebut menunjukkan betapa tidak berdayanya SBY dalam melakukan
penegakan hukum untuk menangkap dan menindak para penyelundup dan penyeleweng
BBM di dalam negeri. Lantas apa pekerjaan aparat hukum dari intelejen,
kepolisian, tentara di wilayah perbatasan bila mereka tidak sanggup menangkap
para penyelundup dan penyeleweng BBM ke luar negeri? Alasan tersebut adalah
dasar argumen yang paling dangkal dan solusi yang justru merugikan rakyat pada
umumnya.
Pemerintah juga
memperkuat alasannya dengan mengatakan bahwa kenaikan BBM disebabkan oleh “Semakin kecilnya pendapatan dari sektor
migas karena produksinya yang menurun, sementara jumlah subsidi semakin besar”.
Alasan tersebut sesungguhnya telah mengungkapkan akibat dari kebijakan
Pemerintah SBY sendiri yang membudak pada imperialis dengan melepaskan
kedaulatan rakyat atas sumberdaya alam didalam negeri dengan menyerahkan
bulat-bulat seluruh kekayaan alam, minyak dan gas kepada pihak asing.
Jadi, persoalan utama
kenaikan harga BBM tersebut adalah karena tidak adanya kedaulatan rakyat atas
minyak dan seluruh sumber daya alam didalam Negeri. Selebihnya kemudian disebabkan
karena terjadinya monopoli mulai dari bahan baku, proses dan alat produksi
hingga pasarnya oleh kapitalisme monopoli (Imperialisme) melalui berbagai
instrument yang dikuasainya. Penguasaan minyak dunia saat ini dikuasai oleh
perusahaan-perusahaan besar milik Imperialis, terutama oleh Exxon Mobile, Chevron, Shell, BP, dan Conocco Phillips.
Selanjutnya, instrumen kekuasaan imperialis AS untuk
memonopoli minyak dunia tidak hanya sebatas melalui perusahaan–perusahaan
minyaknya saja. Bahkan imperialis AS menggunakan pasar sebagai intrumen
pengendali industri minyak dunia, melalui pasar minyak terbesar seperti NYMEX
(New York Merchantile Exchange) di New York dan ICE (Intercontinental Exchange)
Future di London (pemilik ICE ini merupakan perusahaan yang berbasiskan di
Atlanta AS) serta DME di Dubai, dimana spekulan minyak terbesar justru untuk
“memainkan” harga minyak. Selain itu, untuk mempermudah dan memperlancar proses
produksi dan distribusinya keberbagai negeri, Imperialisme juga melakukan
kerjasama dengan perusahaan keuangan dan perbankan terkemuka di AS, tercatat
empat perusahaan yaitu Goldman Sachs, Morgan Stanley, sebagai firma dagang
terkemuka serta Citigroup dan JP Morgan Chase yang menguasai lebih dari 75% spekulasi dan harga
minyak dunia.
Lembaga keuangan seperti
Goldman Sachs, Morgan Stanley, Citigroup maupun JP Morgan Case inilah yang
selama ini “memainkan” harga minyak dalam transaksi–transaksi derivatif dalam
kertas–kertas yang sesungguhnya jauh melebihi nilai riil dari harga minyak itu
sendiri, semua itu dilakukan untuk mendapatkan serta memutarkan kapital super
besar di tengah krisis. Yang harus menjadi catatan penting kita kemudian adalah
bagaimana memahami bahwa sesungguhnya monopoli imperialisme atas minyak dunia
dan seluruh sumber daya didalam negeri tidak akan berjalan mudah tanpa bantuan
rejim komprador di berbagai negeri, mulai dari rejim negeri–negeri produsen
minyak dunia di Timur Tengah hingga Afrika tunduk di bawah dominasi
Imperialisme pimpinan AS. Hal yang sama juga berlaku di berbagai negeri di
Asia, termasuk di dalamnya Indonesia yang sekarang berada di bawah kepemimpinan
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Seperti pada umumnya
pemerintah boneka di berbagai negeri, termasuk Indonesia, memiliki peranan
untuk membantu eksploitasi dan penindasan terhadap rakyat dan merampok sumber
bahan mentah bagi kepentingan imperialisme. Operator utama tentu saja adalah
borjuasi besar komprador yang dibantu kapitalisme birokrat dan tuan tanah yang
seolah olah menjadi pengusaha nasional akan tetapi aslinya tidak lebih dari
makelar atau calo penjual kekayaan negeri seperti Indonesia.
V. Dampak Kenaikan Harga BBM Memberikan Beban Berlipat Ganda Bagi Buruh
dan Rakyat secara umum
Sangat jelas, kenaikan harga BBM tidak memberikan keuntungan sedikit pun
bagi rakyat kecuali klas-klas penghisap. Krisis yang berwatak kronis di negeri
setengah jajahan dan setengah feudal (SJSF) seperti Indonesia akan semakin
parah dan berdampak semakin terhisapnya rakyat, peningkatan tindasan politik
dan fasisme, serta meningkatnya kemiskinan. Beban krisis yang ditanggung rakyat
hakekatnya berlipat ganda dibandingkan rakyat di negeri-negeri imperialis
karena harus menanggung beban penyelesaian krisis yang melanda negeri-negeri
imperialis.
Beban itu dapat dilihat dari dampak rencana kenaikan harga BBM terhadap
penghidupan rakyat secara umum dan sektor-sektor penting dalam ekonomi. Pertama, Ekonomi. Dampak kenaikan ini telah mendongkrak kenaikan harga
kebutuhan pokok rakyat (sembako), ongkos transportasi, memukul usaha kecil-menengah,
menurunkan daya beli masyarakat, meningkatkan pengangguran dan kemiskinan.
Kenaikan harga BBM
menjadikan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok masyarakat seperti beras,
minyak goreng, telur, sayur-sayuran, cabai, daging, dan lain-lain. Dampak kenaikan
tersebut juga sangat memberatkan bagi masyarakat di pedesaan atau pedalaman
yang mengalami kesulitan akses transportasi dan infrastruktur. Harga
barang-barang di daerah itu sudah mahal sebelumnya yang dipengaruhi biaya
transportasi yang besar. Di Papua misalnya, harga eceran bensin sudah mencapai
antara Rp 10.000 sampai Rp 50.000 per liter sudah sangat memberatkan rakyat,
apalagi ditambah penaikan harga BBM yang sudah pasti ditetapkan oleh Pemerintah dalam rentang waktu 6 (Enam)
bulan sekarang ini.
Di sektor transportasi, pemerintah mengakui
dampak kenaikan harga BBM adalah peningkatan biaya transportasi sebesar 19,6
persen. Peningkatan biaya transportasi akan memaksa rakyat menambah pengeluaran
hariannya yang sudah cekak
sebelumnya. Pemerintah berencana akan memberikan subsidi suku cadang dan pajak
kendaraan bagi usaha transportasi, tetapi hal itu hanya ditujukan bagi
pengusaha transportasi. Padahal, instrumen utama penggerak angkutan adalah
sopir yang harus menanggung pengeluaran untuk BBM. Ini membebani para sopir
angkutan (semi proletar) karena akan menambah beban setoran yang baru dan
mengurangi pendapatan mereka. Contoh, sopir taksi di Jakarta harus mengejar
target minimal Rp 500 ribu per hari yang
dialokasikan untuk setoran ke pemilik armada (perusahaan taksi) sebesar Rp 300
ribu per hari dan bensin sebesar Rp 200 ribu per hari. Upah sopir didapatkan
dari selisih jumlah pemasukan selama operasi per hari dikurangi target minimal
tersebut. Jadi, sopir tidak mendapatkan upah yang pasti dan selalu kecil yang
berkisar rata-rata Rp 50 ribu per hari. Jika harga BBM naik, maka akan semakin
mengurangi pendapatan mereka. Dilain sisi, Sopir (Sopir taksi sebagai Contoh awal) juga
dihadapkan dengan tekanan psychology yang tinggi, dimana ketika tidak mampu
memberikan setoran sesuai target, yakni Rp. 300.000/hari, maka Ia terancam
Skors (Tidak dipekerjakan samapi target setoran dapat dipenuhi).
Di sektor industri, khususnya Industri kecil dan menengah, banyak pengusaha akan mengalami kebangkrutan akibat
meningkatnya harga bahan baku, listrik, transportasi pengangkutan, dan
lain-lain. Mereka memiliki keterbatasan akses pasar di level nasional akibat
dominasi imperialis dan ditekan oleh borjuasi komprador. Karena itu, kenaikan
harga BBM mempengaruhi produksi dan distribusi mereka yang tidak mendapatkan
perlindungan (regulasi, insentif, pasar) sehingga akan mengalami
kebangkrutan.
Kenaikan harga tentu
akan merampas upah buruh karena terpotongnya nilai riil pendapatan yang
didapatkan. Kenaikan nominal upah mereka tidak berarti apa-apa dan tidak
berhubungan dengan kenaikan nilai riil upah yang diterima. Kenaikan nominal
upah buruh sekitar tujuh sampai delapan persen di tahun 2012 tidak sebanding
dengan kenaikan harga-harga barang dan kebutuhan penting lainnya yang naik oleh
kenaikan harga BBM sebesar 33 persen.
Selain itu, kenaikan
harga berdampak pada meningkatnya angka PHK akibat kebijakan efesiensi tenaga
kerja oleh perusahaan yang harus menanggung kenaikan biaya produksi. Cara-cara
lain perampasan upah yang dilakukan akibat tersebut adalah peningkatan jam
kerja lembur buruh dan penundaan pembayaran upah. Untuk itu semua, pengusaha
dan pemerintaha akan semakin mengekang kebebasan berserikat dan pemogokan
buruh.
Struktur industri
Indonesia yang didominasi oleh imperialis yang bekerjasama dengan kaki
tangannya yakni borjuasi komprador dan tuan tanah menjadikan tidak adanya
industri nasional yang mandiri. Keadaan ini telah menjadikan Indonesia menjadi
lautan pengangguran yang mencapai lebih dari 40 juta dan semakin bertambah
akibat dampak kenaikan harga BBM. Pengangguran itu merupakan tumpukan orang yang
tidak terserap di industri ditambah dengan korban PHK oleh perusahaan yang melakukan efesiensi.
Sementara itu, kaum tani
menjadi klas mayoritas rakyat yang menderita akibat kenaikan harga BBM. Akibat
penghisapan feodalisme dan dominasi imperialisme, mereka menanggung beban kerja
berlipat akibat semakin tingginya biaya sewa tanah yang ditanggung, pemotongan
upah, dan terjerat hutang lintah darat. Kenaikan harga menjadikan biaya
produksi yang harus ditanggung petani miskin dan buruh tani untuk input pertanian yakni benih, pupuk,
obat-obatan dan alat kerja.
Kaum nelayan juga sangat
menderita oleh kenaikan harga BBM di tengah penggunaan solar yang merupakan
komponen terbesar biaya produksi yang mencapai 60 persen lebih. Mayoritas
nelayan di Indonesia dari 2,6 juta adalah nelayan pengguna kapal kecil yang
bobotnya di bawah 30 GT (gross ton).
Para nelayan kecil, biasaya, membeli solar eceran yang harganya dapat mencapai
dua kali lipat per liter. Tentunya, para nelayan semakin membatasi aktivitasnya
atau terjerat oleh tengkulak dan lintah darat sebagai sumber pembiayaan
aktivitasnya.
Jelas, tarif baru BBM
akan menjadikan penurunan daya beli masyarakat. Inflasi saja sudah menjadikan
harga-harga barang meningkat apalagi ditambah kenaikan tarif baru nanti. Keadaan itu akan menambah inflasi yang
diperkirakan mencapai 6,5 persen sehingga nilai uang serta upah diterima pasti
terpangkas lagi. Penghidupan kaum borjuasi kecil (Intelektuil: Guru, Dosen, Profesional, Pegawai rendahan, dan Pedagang
Kecil, dll) akan semakin menurun seiring terpotongnya upah kerja dan
berkurangnya pemasukan usaha produksi dan dagang mereka.
Kenaikan harga-harga
barang dan jasa sudah pasti menjadikan angka kemiskinan meningkat. Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi memperkirakan
kenaikan harga BBM sebesar 30 persen berpotensi mengakibatkan orang miskin
bertambah sebesar 8,55 persen atau sekitar 15,68 juta jiwa dan pengangguran
diprediksikan meningkat 16,92 persen dari angka pengangguran resmi yang
dilansir BPS sebesar 10,11 juta. Pemerintah selalu membanggakan keberhasilan
palsunya dalam menurunkan angka kemiskinan sebesar satu juta orang atau menjadi
30,5 juta orang pada tahun lalu. Akan tetapi, ia tidak bisa menjelaskan
peningkatan sasaran bantuan tunai langsung (BLT) setiap kenaikan harga BBM
melebihi angka rakyat miskin hasil rekayasa Badan Pusat Statistik (BPS). Mereka
hanya bermain dengan kategori-kategori palsu tentang kemiskinan seperti
tingkatan kemiskinan dan ukuran minimum rakyat miskin yakni hidup kurang dari
Rp 7.000 per hari.
Kedua, Politik. Demi menjaga skema
imperialis dalam mengatasi krisisnya yang berujung berlipatgandanya penghisapan
terhadap rakyat, maka rezim boneka SBY akan meningkatkan politik fasisme.
Penghidupan rakyat yang semakin merosot pasti akan memercikan api perlawanan
dan semakin meluas sehingga rezim merasa terancam dan bertindak fasis untuk
menjaga stabilitas dan jaminan bagi tuannya, imperialis AS. Rezim reaksi
sekarang ini telah memberi ancaman bagi gerakan rakyat yang menolak kenaikan
harga BBM dengan menyebarkan isu “makar” dan cap anti kemajuan negara. Bahkan
pemerintah, oleh Presiden SBY secara lansung menyatakan “Akan Menindak Tegas”
setiap demonstrasi atau gerakan-gerakan lain yang menolak rencana kebijakan
tersebut.
Ketiga,
Kebudayaan.
Sudah pasti, kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya pendidikan. Pemerintah
selalu bersembunyi di balik topeng pengalihan biaya subsidi harga BBM yakni
penambahan subsidi bagi pendidikan bagi keluarga miskin. Faktanya, harga biaya
pendidikan semakin mahal sehingga meningkatkan angka putus sekolah.
Sebagai
contoh, dari kenaikan harga BBM pada tahun 2005 dan tahun 2008, subsidi
pendidikan akibat kenaikan harga BBM diwujudkan dalam bentuk kompensasi yang
dikenal dengan “Bantuan Operasional
Sekolah (BOS)” untuk siswa SD dan SMP. Sementara itu, dalam Implementasinya
tidak pernah menyentuh angka 50-40% dari total jumlah peserta didik dari
keluarga Miskin. Dilain sisi, penyaluran atas kompensasi tesebutpun masih
melalui Beasiswa dengan sistem subsidi silang yang sarat dengan diskriminasi
dan manipulasi. Dampak lain dari itu, justeru mengurangi tanggungan wajib
pemerintah (20% Anggaran pendidikan dari
APBN), dimana anggaran BOS kemudian dimasukkan menjadi bagian dari Anggaran
20% tersebut yang juga tidak pernah terealisasi secara utuh, meskipun
pemerintah telah dengan bangga mengumumkan bahwa angaran tersebut sudah
terpenuhi, bahkan lebih dari 20%, yaitu 20,02%. Kenyataannya, setelah dibagi
dengan berbagai kementerian dan terlebih lagi anggaran tersebut didalamnya termasuk
dana BOS dan gaji guru, sehingga secara nominal pastilah tampak menjadi lebih
besar, padahal sesungguhnya, realisasi anggaran tersebut masih tidak lebih dari
hanya 11%.
Dampak lansung, dari
kenaikan harga BBM saat itu (Th. 2005 dan 2008) juga menambah angka putus
sekolah dan pengangguran yang semakin tinggi. Sampai dengan tahun 2009,
terhitung jumlah siswa putus sekolah
untuk Sekolah Dasar (SD) setiap tahunnya rata-rata berjumlah 600.000-700.000
siswa. Sedangkan siswa SMP yang harus mengakhiri sekolah sebelum tamat setiap
tahunnya rata-rata berjumlah 150.000 sampai 200.000 siswa. Sementara akses ke
pendidikan tinggipun sangat rendah, bahkan menunjukkan kesenjangan yang sangat
tinggi. Dari jumlah pemuda usia kuliah (18-25 tahun), yang dapat mengenyam
pendidikan tinggi hanya mencapai 5,6 Juta jiwa dari kurang lebih 25 juta jiwa,
dan dari angka tersebut menunjukkan angka putus kuliah yang tidak kurang dari
150.000 Mahasiswa setiap tahun.
Selain dampak
lansung terhadap biaya pendidikan yang semakin tinggi, bagi pemuda Indonesia
secara umum, angka putus sekolah/kuliah akibat biaya tersebut kemudian
menambahkan angka pengangguran di Indonesia yang semakin tinggi. Dari total jumlah pemuda usia 16-30 tahun (versi Pemerintah), data yang di release
BPS tahun 2011 menunjukkan angka pengangguran mencapai 60,5%. Sektor pendidikan juga telah menyumbangkan angka pengangguran yang cukup
tinggi. Tercatat, Pengangguran
dengan Pendidikan Rata-rata SD-SMP, per-Agusus 2008 berjumlah
4.073.954, naik menjadi 4.198.429 pada
periode Februari 2009. Sedangkan pengangguran dari
pendidikan tinggi berjumlah 961.001 pada Agustus 2008, menjadi 1.113.020 pada
Februari 2009.
Artinya bahwa kenaikan harga BBM kali inipun pasti akan menyebabkan akan
semakin naiknya biaya pendidikan, terlebih pemerintah sendiri oleh Presiden SBY
lansung menyampaikan bahwa “Angaran Pendidikan dan Kesehatan” menjadi salah
satu sektor yang masuk prioritas pemotongan subsidi yang akan dialihkan untuk
Alokasi Subsidi (Kompensasi BBM 2012). Menurut forum rektor
yang bersentuhan lansung dengan lembaga pendidikan tinggi, juga telah
menyepakati bahwa biaya pendidikan harus naik menyesuaikan kenaikan harga BBM.
UNPAD akan menghitung ulang biaya kuliah dan akan menaikkannya sesuia dengan
kenaikan BBM.
Dilihat dari sisi
lainpun, tentu dampak kenaikan harga BBM disektor Pendidikan, tidak hanya pada
meningkatnya biaya yang akan dibayarkan lansung oleh peserta didik dan
keluarganya, namun selain itu, peserta didik juga harus menyiapkan anggaran
sendiri yang lebih tinggi untuk sarana prasana pendidikan dan memenuhi
kebutuhan belajar mengajar lainnya, seperti untuk pembelian seragam sekolah,
buku, bolpoin, bahan praktikum, biaya potocopy, transportasi, akses internet. Begitu juga dengan
keadaan kesehatan masyarakat yang makin makin memburuk akibat mahalnya biaya
kesehatan dan pelayanan yang buruk. Sejak Januari 2012, harga obat telah
naik hingga 10 persen, bahkan obat yang
mengandung parasetamol mencapai 43
persen. Kenaikan itu semakin memberatkan karena pemerintah tidak menanggung
semua obat dalam program jaminan kesehatan yang diberikan bagi keluarga miskin.
Keadaan gizi masyarakat akan menurun akibat mahalnya harga makanan dan nutrisi
yang semakin menjadi-jadi akibat kenaikan harga BBM.
VI. Penundaan
penaikan harga BBM oleh Pemerintah adalah akal-akalan untuk menipu dan membawa
rakyat pada Ilusi yang menyesatkan
Ditengah bangkitnya
gerakan rakyat yang kian meluas dan terus menunjukkan peningkatan eslkalasinya
secara kualitas dan kuantitas yang semakin tinggi dalam upaya menolak penaikan
harga BBM , Pemerintah kembali menunjukkan sikapnya yang anti-rakyat.
Kepemimpinan atas negara yang buruk, licik dan penuh konspirasi diperlihatkan
di Parlemen yang sebagian besar merupakan penyokong setia pemerintah Susilo
Bambang Yudhoyono yang anti-rakyat.
Hal tersebut ditunjukkan
dalam keputusan yang diambil oleh Parlemen (DPR) dalam Sidang Paripurna
membahas harga BBM tanggal 30 Maret lalu. DPR seolah-olah menolak kebijakan
kenaikan harga BBM pada tanggal 1 April 2012, akan tetapi hal tersebut hanyalah
penundaan sementara melalui skenario untuk membohongi rakyat yang terus
berjuang menolak kenaikan harga BBM, yang dilakukan dengan gagah berani di
seluruh penjuru negeri. Perlu dicatat bahwa besarnya arus penolakan rakyat yang
kemudian memaksakan penundaan kenaikan harga BBM. Suara anggota DPR yang
kemudian berbondong-bondong mengubah “suaranya” ikut menolak meskipun itu semua
merupakan cermin kepalsuan sikap anggota DPR terhadap penderitaan rakyat.
Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) telah terlibat dalam pembohongan dan pengkhianatan terhadap rakyat.
Selama SBY berkuasa, DPR telah menorehkan prestasi sebagai benteng klas reaksi
yang anti-rakyat, sebagai lembaga yang secara aktif mendukung segala kebijakan
yang dikeluarkan dan dijalankan oleh pemerintahan boneka imperialis Susilo
Bambang Yudhoyono. Secara kontroversial DPR telah menambahkan ayat dalam UU
APBN P 2012 yang tidak memiliki landasan hukum jelas, yaitu bahwa DPR menerima penambahan pasal 7 ayat 6a yang
isinya adalah “Memperbolehkan pemerintah mengubah harga BBM jika harga minyak mentah mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata
15% dalam waktu 6 bulan”. Sebuah hal yang secara nyata menunjukan
bagaimana akal licik dari DPR dalam mendukung rejim komprador SBY dalam
melakukan liberalisasi energi termasuk minyak dan gas di Indonesia, karena
keputusan tersebut artinya telah menyerahkan harga eceran terendah BBM di
Indonesia sesuai mekanisme pasar Internasional.
Untuk menyesatkan
rakyat, SBY melalui kaki-tangannya yang loyal, baik di Parlemen, Kabinet,
maupun Setgab juga terus melakukan propaganda omong kosong tentang kompensasi
bagi rakyat jika BBM dinaikan seprti BLSM, subsidi pendidikan dan transportasi
serta pembagian beras bagi keluarga miskin.
Selama ini SBY selalu
menyembunyikan fakta bahwa sebagian besar kekayaan energi Indonesia, baik
minyak maupun gas dieksploitasi habis-habisan oleh perusahaan imperialis. Dalam
ketentuan kontrak karya, bahkan kewajiban untuk memenuhi pasar domestik bagi
perusahaan minyak imperialis hanya 25% dari total produksi minyak di perusahaan
tersebut. Sehingga perusahaan seperti Chevron, BP, Chonocco Phillips,
ExxonMobile menguasai sumber energi seperti minyak di Indonesia hingga sebesar
75%. Bahkan, sekalipun terjadi konversi bahan bakar minyak ke gas sekalipun,
tidak akan mungkin kedaulatan rakyat atas sumber energi akan terjadi.
Selama ini, tambang gas di Indonesia memiliki nasib yang sama dengan
minyak bumi yang berada di bawah cengkeraman kapitalis monopoli asing.
Sementara itu, SBY dengan seluruh mesin politik yang dikuasainya, terus
memberikan peluang bahkan dengan sengaja membuka secara luas jalur monpoli dan
penguasaan atas seluruh kekayaan negeri ini. SBY terus menunjukkan kesetiaan dan
loyalitasnya kepada sang tuan dalam memberikan pelayanan yang super ekstra.
Sehingga tidak heran jika dalam menghadapi aksi protes dari rakyat, SBY
menyikapi dengan sangat berlebihan, brutal dan kejam. Sejak awal rencana
kenaikan harga BBM, SBY telah menunjukan bahwa aksi dari rakyat akan ditindak
dengan kejam. Mulai dari intimidasi tentang adanya gerakan penggulingan
pemerintah yang syah, pelibatan TNI dalam pengamanan demonstrasi, pelarangan
kendaraan umum untuk mengangkut demonstran, hingga pemberitaan luas soal
demontrasi yang anarkhis. SBY selalu berdalih bahwa keamanan dan kestabilan
politik harus ditegakkan untuk memberikan kepercayaaan terhadap ekonomi, pasar
dan investasi. Slogan tersebut menunjukan bahwa karakter SBY tidaklah berbeda
jauh dengan jenderal fasis Soeharto.
Pujian SBY terhadap
aparat TNI dan Polri telah diperlihatkan saat pidato merespon keputusan DPR
pada tanggal 31 maret 2012 yang dianggap sukses menegakan keamanan dan
kestabilan politik di Indonesia. Promosi gembar–gembor keamanan dan kestabilan
politik dilakukan di atas darah dan luka rakyat yang menolak kenaikan harga
BBM. Ratusan demonstran harus mengalami tindakan kejam dan brutal dari aparat
kemanan baik Polri maupun TNI. Di Jakarta, Medan, Surabaya hingga Makassar
telah membuktikan bagaimana selama ini represifitas dan intimidasi yang selalu
dilakukan oleh aparat keamanan untuk menghentikan aksi protes rakyat.
Karakter fasis seperti
yang diperlihatkan oleh pemerintahan SBY merupakan karakter klas yang melekat
erat pada dirinya sebagai rejim kaki-tangan imperialis. Sebuah karakter klas
yang mencerminkan tuan imperialis-nya yang getol akan kekerasan, perang,
penjarahan dan perampokan terhadap berbagai negara demi untuk menguasai sumber
daya yang ada di negara tersebut. Sehingga wajar jika SBY akan melakukan
segalanya demi terjaminnya keselamatan dan kepentingan imperialis di Indonesia,
seperti yang dilakukannya untuk meliberalisasi harga minyak di Indonesia dengan
cara menembak, menyiksa dan pembubaran paksa demonstrasi di Indonesia.
VII. Simpulan dan
Arahan
Perampasan upah
yang dialami oleh kaum buruh saat ini dengan berbagai skema politik upah murah
yang dijalankan oleh pemerintah yang tanpa malu menunjukkan wataknya sebagai
rezim penghamba pada Imperialisme tidak terlepas dari situasi umum dunia yang
tengah dilanda krisis panjang yang menyentuh seluruh sektor dan meluas
diberbagai negeri.
Kekalutan
Imperialisme dalam menyelesaikan krisis tersebut, selain dengan watak dasarnya
yang “Eksploitatif, Akumulatif dan
Ekspansif” , situasi tersebut telah mendorong imperialisme untuk terus
melemparkan beban yang dideritanya diatas pundak rakyat diberbagai negeri
dengan melakukan berbagai bentuk penghisapan atas seluruh aspek penghidupan
rakyat. Karenanya, melalui rezim boneka yang dibentuknya diberbagai Negeri,
terutama di negera-negara jajahan, setengah jajahan dan setengah feodal seperti
Indonesia, Imperialisme terus berupaya memperkuat dominasinya baik secara
ekonomi, Politik dan kebudayaan.
Dengan seluruh
kekayaan yang dimiliki Indonesia, baik ketersediaan bahan mentah yang melimpah,
kawasan yang luas dan populasi yang besar selalu menjadi primadona Indonesia
dalam kacamata dunia, yang menunjukkan ketersediaan bahan mentah untuk bahan
baku produksinya, tenaga kerja murah dan pasar yang luas. Kenyataannya, melalui
berbagai fasilitas yang desediakan oleh rezim boneka didalam negeri, terutama
dengan berbagai bentuk produk perundang-undangan dan berbagai bentuk regulasi
lainnya yang melegitimasi segala bentuk penghisapan terhadap rakyat didalam negeri.
Imperialisme semakin bar-bar dalam melakukan penguasaan dan perampasan atas
tanah rakyat dalam skala yang luas dan telah mengakibatkan kemiskinan dan
pengangguran yang semakin tinggi seiring hilangnya sandaran hidup kaum tani
atas tanahnya.
Tingginya angka
pengangguran tersebutlah yang kemudian dijadikan sebagai landasan utama bagi
Pemerintah dalam menjalankan politik upah murah untuk merampas upah buruh.
Kondisi tersebut kemudian semakin diperparah dengan berbagai skema yang
dibangun melalui berbagai bentuk perjanjian dan kerjasama baik secara bilateral
maupun multilateral, salah satunya adalah kerjasama pasar tenaga kerja “Labor
Market Flexibility” yaitu konsolidasi tenaga kerja yang diperjual belikan
dengan harga yang murah baik didalam maupun diluar negeri melalui berbagai
jalur perdagangan tenaga kerja seperti lembaga-lembaga outsourching ataupun
PJTKI.
Intinya bahwa
persoalan mendasar kaum buruh dan rakyat Indonesia secara umum saat ini adalah
Hilangnya kedaulatan atas hidup dan penguasaan atas seluruh sumberdaya yang
tersedia di negeri ini. Hal tersebut dikarenakan atas kuatnya dominasi
Imperialisme, rakusnya feodalisme dan Loyalnya rezim boneka didalam negeri yang
terus mempertahankan sistem usang “Setengah jajahan dan stengah feodal”. Dengan
segala keterbelakangan yang dilahirkan atas sistem tersebut telah secara
sistematic menghantarkan rakyat dalam keterbelakangan secara politik, ekonomi
dan kebudayaan. Sementeara itu, ketika rakyat berupaya memperjuangkan haknya,
Pemerintah justeru tak ragu menghadapi Rakyat dengan berbagai bentuk tindak
kekerasan dan tindakan anti demokrasi, bahkan dalam perkembangan saat ini,
pemerintah Indonesia dibawah kekuasaan SBY telah secara terang-terangan
menunjukkan wataknya yang fasis.
Derajat fasis SBY
saat ini, sudah sangat terang ditunjukkan dari berbagai kasus perampasan tanah
atau konflik-konflik agraria lainnya yang melibatkan aparat keamanan
(TNI,POLRI, maupun SIPIL), Sementara itu, Rakyat selalu menjadi korban atas
keganasan dan kebrutalan aparat selaku alat pemaksanya. Hal demikian juga
tampak dari konflik – konflik perburuhan, di mana aparat kepolisian dan
militer, dengan mudahnya melakukan intimidasi, teror, penangkapan serta
kriminalisasi para pimpinan/aktivis buruh, ataupun pembubaran-pembubaran paksa
yang dilakukan dalam meghadapi aksi-aksi protes ataupun pemogokan buruh dengan
cara-cara keji dan brutal. Bahkan kenyataan-kenyataan demikian tersebut juga
dialami oleh rakyat diberbagai sektor ddiseluruh daerah.
Diaspek politik,
kenyataan fasis dari rezim penghamba saat ini tampak dari upaya-upaya yang
dilakukannya dalam memaksakan kehendaknya dengan melahirkan berbagai produk
perundang-undangan dan kebijakan-kebbijakan anti rakyat lainnya. Sperti halnya
dalam kebijakan baru-baru ini, pemerintah memaksakan kehendaknya untuk
menaikkan harga BBM serta tipu daya penundaan penaikan harga BBM yang hanya
akal-akalan semata untuk meredam perlawanan rakyat.
Maka dalam situasi
demikian, tiada lain jawaban bagi klas buruh rakyat tertindas lainnya, kecuali
memperluas dan memperkuat persatuan, memperhebat perlawanan, berjuang secara
teguh, dan mendidik diri lebih keras, memperkuat persatuan, dan memperbanyak
aktivis-aktivis massa yang sungguh-sungguh mengabdikan diri guna membebaskan
diri dari segala bentuk penghisapan dan penindasan yang dilakukan oleh
imperialisme, feodalisme dan Kapitalis Birokrat.
Buruh Indonesia telah menunjukkan keteladannya sebagai klas paling
maju dalam masyarakat. Penuh pengorbanan karena bekerja untuk kepentingan
masyarakat, tapi dihargai murah dan diperlakukan layaknya sapi perahan oleh si
kapitalis. Klas buruh bekerja secara kolektif, disiplin dan memiliki persamaan
nasib yang tinggi akibat tindasan dari sang kapitalis. Di tengah penderitaan
yang dihadapinya, klas buruh tetap menjadi kekuatan paling depan dalam
memperjuangkan nasibnya dan rakyat tertindas lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar