Front Mahasiswa Nasional (FMN)
Lawan Fasisme dan
pelanggaran HAM terhadap Rakyat!
“SBY-Boediono rezim fasis perampas hak rakyat-Lawan segala bentuk kekerasan dan tindakan
anti demokrasi terhadap rakyat -Tolak RUU Kamnas dan Ormas, Cabut UU
Pendidikan Tinggi dan Wujudkan Kebebasan Mimbar Akademik!”
Tak
putusnya, rakyat terus dihadapkan dengan berbagai persoalan, baik persoalan
ekonomi, politik maupun kebudayaan. Ditengah kejenuhan atas berbagai persoalan
tersebut, setahap demi tahap kesadaran rakyat terus bangkit, secara
berkesinambungan terus mulai mengorganisasikan diri dan mulai melakukan
perlawnan. Meskipun pemerintah terus berupaya merespon perlawanan rakyat dengan
berbagai cara, bahkan hingga tindasan kejam secara lansung, berbagai bentuk
gerakan terus bermunculan, baik yang terorganisir maupun spontan dan sporadis
dalam menuntut pemenuhan atas haknya.
Dalam
keterhisapan dan hantaman berbagai bentuk penindasan sekarang ini, seperti
halnya rakyat tertindas diseluruh dunia, rakyat Indonesia dari berbagai kalangan,
sector dan golongan tengah menfocuskan perhatiannya untuk menyambut peringatan
hari hak asasi manusia (HAM) sedunia, tepat pada tanggal 10 Desember mendatang.
Peringatan hari besar penegakan HAM tersebut, tentu saja bukan tradisi atau
seremonial semata melainkan sebagai ruang dan momentum bagi rakyat untuk
menyuarakan segala bentuk ketertindasannya dan menuntut pemenuhan atas hak-hak
dasarnya sebagai manusia dan warga negara, baik hak sipil dan politik (Sipol)
maupun hak-hak ekonomi, social dan budaya (Ekosob).
Secara
umum, HAM didefinisikan sebagai suatu hak atas kebutuhan dan kebebasan setiap
manusia yang bersifat kodrati dan universal (mendasar dan berlaku secara
umum pada setiap manusia), yakni hak yang melekat dan dibawa sejak lahir
oleh setiap umat manusia. Kendati demikian, konsep penegakan atas HAM di
Indonesia maupun diseluruh dunia tidaklah lahir dengan sendirinya, melainkan
dengan perjuangan yang sedemikian panjang dari penghisapan dan penindasan oleh
manusia terhadap sesamanya, dalam setiap fase perkembangannya hingga hari ini.
Sehingga, tepatnya HAM dideklarasikan secara universal pertama kali melalui
deklarasi umum hak asasi manusia (DUHAM) pada tahun 1948, yang meletakkan dua
Instrumen penting didalamnya yakni Kovenan Internasional tentang hak ekonomi, social dan budaya
(Ekosob) dan Kovenan Internasional tentang hak sipil dan politik (Sipol).
Dalam
pelaksanaanya, kovenan internasional menetapkan 8 (delapan) prinsip HAM, yakni Universal,
martabat manusia, kesetaraan, nondiskriminasi, tidak dapat dicabut, tidak bisa
dibagi, saling berkaitan dan, tanggungjawab Negara. Sehingga dalam delapan
prinsip tersebut secara objektif telah meletakkan bahwa setiap warga Negara
adalah sebagi unsur pemegang hak dan, Negara berkewajiban untuk menghormmati (to
respect), melindungi (to protect) dan memenuhinya (to fulfill).
Di Indonesia sendiri, sejarah perjuangan penegakan
HAM sudah mulai dilakukan sejak pra kemerdekaan. Perjuangan penegakan HAM
dilakukan dalam rangka mewujudkan kemerdekaan atas penghisapan dan penjajahan kolonialisme
Belanda. Pada massa
pemerintahan Soekarno (Orde lama), secara terbatas demokrasi mendapatkan ruang
yang lebih fleksibel, ditandai dengan lahirnya berbagai organisasi rakyat yang terus
bermunculan sebagai alat perjuangan bagi rakyat. Namun dalam perkembangannya,
penegakan atas HAM di Indonesia kembali terperosok dan kian kelam persis sejak kekuasaan
rezim fasis Soeharto (Orde baru) yang diwarnai dengan berbagai bentuk
pelanggaran dan penindasan kejam terhadap rakyat.
Dalam upaya merebut tatha ke-Presidenan sebagai
penguasa di Indonesia
dan dalam mengawali kekuasaannya, rezim Soeharto telah melakukan pembantaian
keji terhadap jutaan rakyat dengan tuduhannya secara licik sebagai komunis atau
simpatisannya. Kemudian sepanjang kekuasaannya, dengan berbagai skema Soeharto
melakukan pembungkaman dan pengekangan demokrasi dan pemberangusan terhadap
gerakan rakyat, sehingga tidak sedikit rakyat yang di culik, dipenjarakan dan
dibunuh tanpa adanya proses pengadilan (Extra Judicial). Namun, semangat
persatuan dan konsistensi perjuangan rakyat yang tidak pernah pudar untuk
membebaskan diri dari ketertindasan dan penegakan HAM kemudian terbukti
berhasil (secara terbatas) menumbangkan Soeharto pada tahun 1998 sebagai
catatan sejarah perjuangan penegakan HAM di Indonesia.
Kemudian paska reformasi, dibawah tindakan picik
borjuasi yang tanpa malu mengakui diri sebagai pemimpin dan pelopor perjuangan
rakyat menumbangkan Soeharto, atas nama “Reformasi” rakyat dibius dengan Ilusi
akan terwujudnya demokrasi dan tegaknya hak asasi manusia (HAM) yang tak
kunjung terpenuhi hingga sekian kali pergantian rezim sampai sekarang. Bahkan
dibawah kuasa rezim boneka Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sekarang ini, dibalik
tindasan keji yang dilakukannya, SBY terus menipu rakyat dengan membentuk
berbagai badan dan komisi dalam pemerintahannya yang “seolah-olah” sebagai
perwujudan dari Demokrasi. Sedangkan demokrasi palsu yang selalu diumbarnya terus
dijadikan barang dagangan yang jajakkan di mata dunia untuk menarik investasi
dan hutang yang menjerat rakyat dalam penderitaan yang terus meningkat.
Melalui serangkaian kebijakan yang dibentuknya, rezim korup
SBY-Boediono sekarang ini terus mengintensifkan penindasannya dengan kadar
fasis yang terus meningkat. Dibawah kovenan Internasional tentang HAM,
pemerintah telah meratifikasi dua perjanjian (covenants) Internasional tentang hak‐hak
manusia, yakni Kovenan Internasional tentang Hak‐hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights–ICESCR) pada
30 September 2005 kedalam Undang-undang No. 11 Th. 2005, dan Kovenan
Internasional tentang Hak‐hak Sipil dan Politik (International Covenant on
Civil and Political Rights–ICCPR) pada tanggal 28 Oktober 2005 kedalam UU.
No. 12 Th. 2005.
Undang-undang No. 11 Th. 2005 sebagai ratifikasi (penyesuaian) atas
kovenan Internasional tentang hak ekonomi, social dan budaya, mengatur tentang
pemenuhan hak Ekonomi: Hak untuk mendapatkan
pekerjaan, hak untuk mendapatkan upah yang layak dan adil, hak pendirian dan keanggotaan serikat
pekerja, hak mendapatkan pendidikan, secara nyata berbanding terbalik dengan kenyataan
dimana rakyat semakin sulit mendapatkan pekerjaan dan terus meningkatnya PHK,
pemotongan upah dengan serangkaian politik upah murah, pemberangusan serikat
dan organisasi rakyat serta tidak terjangkaunya pendidikan akibat beban biaya
yang kian melambung dan akibat berbagai bentuk diskriminasi.
Kemudian dalam hak Sosial, yang menjamin hak untuk bebas
dari intervensi, hak untuk bebas bergerak dan bertempat tinggal, hak atas
suaka, hak atas kewarganegaraan dan, hak milik. Kenyataannya berbanding terbalik
dengan penggusuran yang kian massif diseluruh pelosok negeri ini, perampasan
tanah, penggusuran pemukiman, penggusuran lapak pedagang kaki lima, dll. Demikian pula dalam aspek Kebudayaan,
yang menjamin tentang hak berpartisipasi dalam kebudayaan masyarakat, menikmati
seni serta mengenyam kemajuan dan manfaat ilmu pengetahuan. Kenyataannya,
rakyat terus dihambat dengan berbagai kebijakan untuk dapat mengembangkan ilmu
pengetahuannya melalui serangkaian penelitian dan kajian ilmiah dengan
dasar-dasar teoritik tertentu, dilapangan pendidikan rakyat terus dijejali
dengan kurikulum yang hanya diorientasikan untuk memenuhi kepentingan Imperialisme
(kapitalisme monopoli) atas tenaga kerja, serta serangkaian skema kebudayaan
untuk mempromosikan budaya dan cara berfikir yang sejatinya jauh dari kenyataan
hidup dan keadaan sekitar rakyat, melalui berbagai media yang secara penuh
dikuasainya.
Dalam hal ini, khususnya kebudayaan Amerika serikat sebagai cerminan
Negara symbol utama Imperialisme yang
salah satunya dipromosikan melalui pusat kebudayaan amerika (American
Corners) yang dibangun di kampus-kampus swasta dan islam yang besar
diberbagai daerah, yakni pusat kebudayaan yang menyajikan informasi, panduan
praktis, majalah, jurnal dan berbagai naskah akademik untuk mengenal system
politik, ekonomi, kebudayaan dan cara hidup rakyat Amerika yang timpang jauh
dengan situasi dan keadaan objektif Rakyat Indonesia. Lebih komprehensif lagi,
hal tersebut diatur dalam kerjasama pendidikan (pertukaran pelajar/mahasiswa,
beasiswa, kerjasama penelitian, penyesuaian kurikulum, dll) yang diikat melalui
kerjasama komprehensif AS-Indonesia (US-Indo Comprehensives Partnership).
Dalam aspek lainnya, UU No.12 tahun 2005 mengatur
tentang hak sipil dan politik (Sipol), yang menjamin hak yang paling mendasar
yakni, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperbudak,
hak kebebasan berfikir, beragama dan berkeyakinan, hak untuk diperlakukan sama
di muka hukum, dll. UU tersebut juga menegaskan bahwa seluruh hak dalam aturan
tersebut tidak boleh di Intervensi oleh Negera.
Pelaksanaan
atas UU ini sangat terang menunjukkan ketimpangan yang sangat jomplang dari
tindakan yang dilakukan oleh pemerintah selama ini. Praktek monopoli dan
perampasan tanah yang dilakukan diberbagai daerah telah banyak mengakibatkan
rakyat kehilangan Nyawa, kriminalisasi secara hokum, diskriminasi dalam aspek
keyakinan dan kebebasan berfikir, berkumpul dan berserikat. Demikian juga dalam
hak untuk tidak disiksa, melalui aparat keamanan (alat pemaksanya) pemerintah
seringkali membredeli gerakan rakyat dengan berbagai tindak kekerasan,
pemukulan, penangkapan bahkan penembakan. Sekian banyak kasus tersebut,
sejatinya menjelaskan secara terang tentang aspirasi politik dan watak dari
rezim penghamba Susilo Bambang Yudhoyono sekarang ini.
RUU
Kamnas dan RUU ormas kebijakan fasis dan melanggar HAM
Dalam
menjalankan pemerinthannya hingga menjelang akhir periode kedua sekarang ini,
rezim SBY terus menghujani rakyat dengan berbagai kebijakan fasis yang secara
terang-terangan menindas rakyat, sebagai upaya untuk terus melayani kepentingan
Imperialisme atas seluruh skema penghisapannya di Indonesia. Setelah Undang-undang
(UU) Intelijen dan Penyelesaian Konflik Sosial (PKS), kini rakyat diancam kembali
dengan dua rancangan undang-undang (RUU) sekaligus, yakni RUU Keamanan Nasional
(Kamnas) dan RUU Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Pengawalan demokrasi dan
penciptaan stabilitas politik dan ekonomi yang dijadikan sebagai alasan atau dasar
fikir bagi pemerintah untuk memberlakukan kedua RUU tersebut, sejatinya adalah
bohong belaka karena dilain sisi tidak diimbangi dengan tindakan-tindakan
kongkrit untuk menjawab setiap persoalan rakyat saat ini.
Kaitannya
dengan hal tersebut diatas, kedua RUU tersebut secara terang memiliki
kesalinghubungan yang kuat dengan UU sebelumnya (UU Intelijen, PKS dan, UU TNI)
sebagai satu paket regulasi disektor keamanan, UU pengadaan tanah sebagai
regulasi yang melegitimasi perampasan dan monopoli atas tanah rakyat dalam
skala luas dan, UU pendidikan tinggi (UU PT) disektor pendidikan, sebagai upaya
untuk mengarahkan pendidikan Indonesia sebagai penopang kebutuhan Imperialisme
akan tenaga kerja (terutama tenaga administrative dan ahli dibidang-bidang
tertentu, tenaga riset, dll), mengarahkan cara berfikir mahasiswa yang
diorientasikan hanya untuk mendapatkan pekerjaan semata.
Serangkaian
dengan itu pula, dilapangan pendidikan selain sebagai kekuatan dalam
mengkonsolidasikan para akademisi, juga untuk mengkonsolidasikan
intelektuil-intelektuil yang disiapkan sebagai pemegang tongkat estapet rezim
boneka selanjutnya, dari pusat hingga daerah sehingga dapat menjamin
terpenuhinya setiap kepentingannya di Indonesia secara berkesinambungan yang
diberlakukan melalui berbagai skema penghisapan. Intinya bahwa, RUU tersebut dan
UU yang ada sekarang ini semata-mata diorientasikan untuk melegitimasi upaya
penumpulan kesadaran rakyat, pengekangan dan pemberangusan terhadap setiap
bentuk perlawanan rakyat. Memperkuat instrumen dan politik fasis, merampas
kebebasan dan hak demokratis, memukul gerakan demokratis dan perjuangan
militant rakyat, sehingga terus dapat mengefektifkan perampokan dan penindasannya
terhadap rakyat.
Dalam Pasal 1
ayat 2, RUU Kamnas menjadikan ideologi sebagai ancaman keamanan nasional
relevan dengan Pasal 50 ayat 4 RUU Ormas yang menyatakan ormas dilarang
menyebarkan ideologi lain yang “dianggap” bertentangan dengan dasar negara
Pancasila dan UUD 1945. Dari aspek hak asasi manusia (HAM), RUU tersebut secara
lansung bertentangan dengan isi pokok deklarasi umum hak asasi manusia (DUHAM)
yang telah diratifikasi kedalam UU No 12. Th. 2005 tentang Hak-hak Sipil dan
Politik, (Pasal 18 dan Pasal 19). Artinya, dengan definisi ancaman yang
menjadikan Ideologi sebagai ancaman (pasal 1 ayat 2 tentang potensi ancaman)
telah memberikan ruang yang luas bagi pemerintah untuk melakukan penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power). Aturan demikian akan membuat negara gampangan
menuduh subversif dan merampas kebebasan demokratis rakyat.
Pasal 1 ayat
2 RUU Kamnas dan pasal 50 ayat 4 RUU Ormas tersebut, secara lansung mengancam
perkembangan kebudayaan masyarakat yang tentunya lahir dari perkembangan ilmu
pengetahuan yang tidak terlepas dari simpulan analisis dan kajian ilmiah atas
setiap gejala ataupun fenomena social (kenyataan masyarakat dan alam). Sebab prinsip
keilmiahan dari ilmu pengetahuan senantiasa bersumber dari kenyataan atas suatu
materi yang memiliki sifat mutlak (memiliki histories/sejarah/latarbelakang
masing-masing) dan (terus berkembang berdasarkan ruang dan waktunya). Tentu
saja setiap orang, kelompok atau golongan memiliki dasar teoritis tersendiri
sebagai pijakan simpulan analisisnya, yang didalam sebuah organisasi (khususnya
organisasi massa)
dijadikan sebagai garis politiknya atau didalam partai (organisasi politik)
dijadikan sebagai Ideologi.
Artinya
kemudian, keberagaman pandangan dan simpulan massa rakyat dalam melihat dan menyimpulkan
setiap gejala atas keadaan social, kebijakan pemerintah atau tindasan keji
secara lansung dapat membangkitkan kesadaran dan menyulut perlawanan rakyat.
Itulah yang sejatinya ingin dicounter oleh pemerintah melalui pelarangan atas
Ideologi tersebut. Dalam aspek ini bahkan tidak hanya organisasi-organisasi
atau perkumpulan (yang dimaksudkan dalam RUU Kamnas dan Ormass) yang
dihadapkan pada ancaman tersebut, tapi ancaman tersebut juga berlaku bagi para
pekerja media (jurnalis khususnya) yang didasarkan pada tuntutan profesi, tentu
saja dalam menyimpulkan dan mengemas suatu peristiwa sebelum disajikan menjadi
sebuah berita, jurnalis harus mampu melihat setiap peristiwa tersebut dalam
berbagai sudut pandang, sehingga apa yang disajikan kemudian objekif
berdasarkan fakta dan kenyataan yang ada.
Secara khusus
tentang kewenangan Dewan Keamanan Nasional (Pasal 24 RUU Kamnas),
pemerintah dapat dengan mudahnya menggunakan kewenangan pimpinan Dewan Kemanan
Nasional untuk menetapkan status konflik dengan darurat sipil atau militer.
Maka konsekuensinya, gerakan demokratis rakyat yang meluas akan dihadapi dengan
tindakan khusus atas nama hukum. Pastinya, gerakan aksi protes dan mogok buruh
didalam pabrik, perlawanan militant kaum tani dipedesaan, maupun gerakan protes
pemuda dan mahasiswa didalam kampus hingga ke pusat-pusat pemerintahan dari
pusat hingga daerah akan dimasukkan sebagai kategori ancaman bagi Negara.
Sebagai upaya
keras pemerintah untuk menumpulkan kesadaran dan memberangus gerakan dan
perlawanan rakyat saat ini, sudah pasti pemerintah akan menggunakan keleluasaan
subyektif-nya dalam menetapkan situasi, kemudian dilanjutkan operasi bar-bar
dengan menculik, menyiksa, dan membunuh. Intinya adalah keleluasaan menghukum
dan mengeksekusi mati tanpa melalui peradilan (extra-judicial). Selain
itu, rejim membatasi hak demokratis untuk berorganisasi dengan dikeluarkannya
RUU Ormas yang terdiri 57 pasal, mengatur legalitas organisasi kemasyarakatan
seperti bentuk, ciri, asas, tujuan, kegiatan, pengawasan pemerintah, larangan,
sanksi, dll. Ketentuan ini mengikat bagi ormas berbadan hukum berupa
perkumpulan dan yayasan (pasal 10 ayat 1) seperti LSM, komunitas,
organisasi adat dan keagamaan, dan pastinya organisasi massa.
Regulasi anti
demokrasi tersebut, secara lansung merampas kebebasan berorganisasi dan
berpendapat bagi rakyat, karena kenyataannya organisasi diwajibkan memiliki surat keterangan
terdaftar (SKT) yang dapat diperpanjang, dibekukan, bahkan dicabut. Konsekuensi
SKT, organisasi diwajibkan mendaftarkan kembali organisasinya berdasarkan
aturan baru sebelum disahkan secara sepihak oleh pemerintah. Pendirian
organisasai berdasarkan tingkatannya (nasional, provinsi, kabupaten) juga
diberatkan oleh syarat administratif yang men-verifikasi jumlah kepengurusan
dan cakupan kegiatannya (penjelasan Pasal 7).
Penjelasan
dari Pemerintah bahwa latar belakang “akan” pemberlakuan RUU ini,
diantaranya adalah, Pertama:
Maraknya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah ormas. Pernyataan ini
merujuk pada kebrutalan dan banditisme kelompok-kelompok preman dan ormas-ormas
tertentu yang dikoordinasikan dan dididik melalui satuan keamanan maupun badan
tertentu pemerintah seperti halnya yang terjadi diberbagai daerah sekarang ini.
Dalam hal ini, ternyata pemerintah memakai tindakan provokasi sebagai
tunggangannya untuk melegitimasi perlunya regulasi yang mengontrol penuh
seluruh organisasi rakyat dan kegiatannya. Kedua: Regulasi ini
adalah kelanjutan dari UU No.8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan,
yakni regulasi yang menjadi alat kontrol dan represi melalui pewadahtunggalan
segala jenis organisasi ke dalam satu jenis format organisasi sehingga lebih
mudah untuk dikontrol.
Meskipun
regulasi ini belum diberlakukan (masih RUU), namun gambaran implentasinya dapat
dilihat dari pengalaman praktek rezim fasis Soeharto di masa Orde Baru, yang
telah menjadikan regulasi ini sebagai legitimasi dalam memberangus gerakan
rakyat. Demikian pula kedepannya, represifitas fasis tersebut akan semakin
meningkat. Aktivitas dan kritik rakyat akan dibungkam dengan cap subversif,
kemudian, dilanjutkan pelarangan organisasi dan penangkapan besar-besaran.
Secara praktis, seluruh RUU dan UU keamanan sekarang ini sesungguhnya telah
lama diterapkan oleh pemerintah. Faktanya, sepanjang kekuasan SBY hingga
periode kedua sekarang ini, kekejamannya tak hanya menyebabkan jutaan kaum tani
kehilangan tanahnya, mem-PHK-kan dan mengkriminalkan kaum buruh, namun telah
menyebabkan ratusan rakyat kehilangan nyawa dan, tak terhitung jumlah
penangkapan dan pemukulan yang dilakukan dalam menghadapi setiap perlawanan
rakyat diseluruh sector.
Kaitannya
dengan hal tersebut, dari data yang dihimpun oleh Front Mahasiswa Nasional
melalui kerja-kerja Investigasi dan Integrasi dibasis massa, serta dari
berbagai sumber (terutama dari lembaga dan Organisasi jaringan terkait) mencatat
bahwa, sampai sekarang ini telah terjadi 7.000 kasus sengketa lahan diseluruh
Indonesia, terutama oleh perusahaan perkebunan dan pertambangan swasta.
Sedangkan selama Januari-Juli 2012, sudah terdapat 23 Orang (yang terdaftar)
korban meninggal dunia akibat kebrutalan aparat dalam mengeksekusi
pengambil-alihan lahan dalam setiap sengketa, baik yang dikuasai oleh
perusahaan swasta maupun oleh pemerintah, terutama untuk perkebunan,
pertambangan dan taman nasional. Disektor
lainnya, sepanjang tahun 2012 ini juga telah terjadi 92 (Sembilan puluh dua)
kasus kekerasan yang dilakukan terhadp pekerja media/pers (Jurnalis), atau
selama dalam bulan Oktober saja sedikitnya terjadi sembilan kasus kekerasan
terhadap jurnalis.
Hal serupa
juga tidak dapat dihindari oleh massa
rakyat disektor perburuhan. Salah satu contoh kasusnya, pemerintah telah
melakukan pembiaran dan abai atas kasus ribuan buruh (Buruh PT. Panarud
Dwikarya) yang tidak dibayar penuh oleh perusahaan sejak bulan Februari–April
2012. Buruh yang telah dengan konsisten melakukan serangkaian perjuangan untuk
pemenuhan haknya, baik aksi protes hingga mogok kerja (Tentu saja setelah
melalui seluruh mekanisme formil sesuai peraturan perundang-undangan dan
peraturan perusahaan, seperti: Pengajuan surat permohonan, negosiasi dan
perundingan dengakn perusahaan), dalam perjuangannya, mereka (Buruh)
justeru dihadapkan dengan massa tandingan dari sebagian kecil massa buruh yang
dimobilisasi oleh perusahaan, ditambah dengan ratusasn preman yang dibayar oleh
perusahaan dari daerah setempat.
Dalam kasus
tersebut, tidak ketinggalan juga keterlibatan Polisi dan TNI dalam setiap aksi
yang dilakukan oleh Buruh. Kenyataan lainnya, Buruh juga di kriminalisasi
(penangkapan pimpinan serikat buruh tingkat pabrik), sweeping buruh oleh preman
ke rumah-rumah dan kontrakan buruh untuk dipaksa menandatangani surat pengunduran diri.
Perjuangan panjang buruh PDK yang berlansung sampai sekarang juga telah
mengakibatkan PHK (tanpa pesangon) terhadap 1.300 Buruh yang terlibat aksi. Hal
serupa juga dihadpi oleh buruh di Bekasi, Bogor
dan dibeberapa tempat lainnya, khususnya dikota-kota perindustrian diseluruh Indonesia.
Dalam banyak
kasus, melalui satuan inteligen-nya, pemerintah juga telah banyak menciptakan
provokasi ditengah masyarakat, hingga melahirkan berbagai konflik horizontal
atas nama ras, agama, dll. Dengan cara demikian, pemerintah tak hanya
mendapatkan keleluasaan untuk bertindak kejam terhadap rakyat, namun lebih jauh
lagi pemerintah telah berupaya memecah belah persatuan, membiaskan aspirasi
persatuan dan menumpulkan kesadaran politik rakyat untuk berlawan.
SBY-Boediono perampas HAK
pemuda dan mahasiswa
Sebagai negara setengah jajahan dan
setengah feodal (SJSF) dan sekaligus dipimpin oleh rezim boneka, Indonesia
tidak bisa menghindar dari dampak lansung krisis umum Imperialisme sekarang
ini. Pelimpahan beban krisis yang berat tersebut diatas pundak rakyat, telah
menjebak rakyat Indonesia kian terpuruk dalam kubangan kemiskinan dan
penderitaan yang hebat. Secara komprehensif, secara politik, ekonomi, sosial
dan kebudayaan, pemuda, mahasiswa dan pendidikan secara umum-pun tidak
terbebaskan dari cengkraman seluruh skema penyelesaian krisis tersebut.
Problem-problem khusus bagi pemuda,
mahasiswa dan sektor pendidikan secara umum, ditunjukkan dengan semakin tidak
terjangkaunya pendidikan akibat biaya yang terus melambung, pemotongan subsidi
dan rendahnya anggaran pendidikan. Dilain sisi, kenyataan terbalik ditunjukkan
dengan rendahnya pendapatan rakyat. Problem tersebut, tercermin pula dengan
kecenderungan mahasiswa yang anti sosial, individualis dan anti solidaritas
dan, daya kritis yang kian merosot sebagai output lansung atas sistem dan
kurikulum pendidikan dan problem hilangnya demokratisasi dan kebebasan mimbar
akademik sebagai serangkaian problem politik dan kebudayaan disektor
pendidikan. Dalam aspek ekonomi lainnya, meningkatnya angka pengangguran, baik
pengangguran terbuka maupun pengangguran Intelektuil menunjukkan ketidakmampuan
pemerintah menyediakan lapangan kerja bagi Rakyat.
Secara khusus tentang lapangan pekerjaan
sebagai hak sosial ekonomi bagi rakyat dan fakta pengangguran yang tinggi
sebagai problem mendasar bagi rakyat secara ekonomi. Hingga tahun 2012 angka
pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 7,6 juta, 5,3 jutanya merupakan
pengangguran muda. sementara jumlah angkatan kerja mencapai 120,4 juta,
sedangkan jumlah rakyat yang terserap mencapai 112,8 juta orang. Dalam
klasifikasinya (pekerja) berdasarkan tingkat pendidikan, pekerja pada jenjang
pendidikan SD ke bawah menunjukkan angka yang paling dominan, yaitu sebesar
55,5 juta orang (49,21%), sedangkan pekerja dengan pendidikan diploma sekitar
3,1 juta orang (2,77%) dan pekerja dengan pendidikan universitas hanya sebesar
7,2 juta orang (6,43%),-(Data BPS, Februari 2012, www.infobanknews.com).
Dengan konsisten berpegang pada
kenyataan masyarakat Indonesia yang populasinya mayoritas dari kaum tani, maka
data sulapan pemerintah melalui BPS tentang angka pengagguran tersebut, tentu
akan sangat berbeda jauh dengan kenyataan jika dibenturkan dengan Intensitas
perampasan dan monopoli tanah yang kian massif dipedesaan, yang secara lansung
telah menghilangkan lapangan kerja, sandaran hidup dan tempat tinggal bagi
rakyat. Bahkan dalam eksekusinya, melalui segenap instrumen dan alat
pemaksanya, pemerintah telah dengan keji memaksa rakyat untuk merelakan
tanahnya dirampas atau dibayar murah, dengan bar-bar mengusir rakyat dari
tempat tinggalnya, termasuk rakyat yang tinggal di pedalaman didaerah Sumatra,
kalimantan, Sulawesi dan papua.
Kemudian selanjutnya, tentang persoalan
kebebasan berorganisasi, berekspresi dan berpendapat, sebagaimana telah diatur
dalam UUD 1945, pasal 28 dan juga UU Sipol No. 12. Th. 2005, hal tersebut
adalah hak bagi setiap warga negara, tentu saja tidak terkecuali bagi pemuda
dan mahasiswa. Namun, kenyataan hari ini telah secara terang membantah
“terlaksananya” jaminan atas perlindungan hak tersebut.
Peraturan yang memaksa setiap mahasiswa
baru menandatangi surat perjanjian untuk tidak berorganisasi diluar organisasi
yang diperbolehkan oleh kampus, tidak boleh melakukan demonstrasi dan,
serangkaian peraturan atas pelarangan menjalankan aktifitas politik (Berorganisasi,
mengeluarkan pendapat dimuka umum, berdiksusi dan mimbar-mimbar akademik
lainnya) didalam kampus, juga melalui keputusan Direktur Jendral Pendidkan
Tinggi nomor: 26/Dikti/kep/2002 tentang pelarangan organisasi ekstra kampus
atau partai politik dalam kehidupan kampus, UU No. 12. Tahun 2012 tentang
pendidikan tinggi, yang menegaskan dikotomi organisasi Independen dan dependen (Organisasi
Ekstra dan Intra) kampus adalah senyata-nyata regulasi yang anti demokrasi.
Serangkaian kebijakan tersebut, akan semakin diperkuat dengan lahirnya RUU
Ormas dan sepaket dengan RUU Kamnas yang diberlakukan secara umum bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Akibat dari
seluruh kebijakan anti demokrasi tersebut, dapat dilihat dari berbagai kasus
kekerasan dan tindasan kejam pemerintah disektor pendidikan, khususnya
pendidikan tinggi. Intimidasi, pemukulan, penangkapan, skorsing hingga DO
terjadi diberbagai kampus di Seluruh Indonesia. Kasus terakhir yang
terjadi baru-baru ini adalah, penyekapan dan pemukulan terhadap mahasiswa yang
menuntut kejelasan akreditasi jurusan dan perijinan organisasi, dikampus
Universitas PGRI NTT yang melibatkan SKK, POLRI, Preman, Dosen dan Mahasiswa
(MENWA). Serangan water cannon, pemukulan dan penembakan oleh aparat kepolisian
terhadap Mahasiswa di kampus Universitas Pamulang dan yang terbaru kasus serupa
di kampus IAIN Banten. Demikian juga dengan kasus skorsing dan DO, di kampus
UNHAS Makasar 178 mahasiswa di skorsing paska pengkaderan Maba, dan 119
Skorsing di Unversitas Gorontalo paska melakukan aksi bakti social. Tentu saja
masih banyak kasus serupa diberbagai kampus lainnya.
Secara khusus
ancaman atas pemberlakukan RUU tersebut disektor pendidikan, aparat keamanan (tak
hanya satuan keamanan kampus-SKK, namun juga TNI, POLRI, Intelijen maupun
preman) dapat semakin leluasa keluar masuk kampus. Lebih picik lagi,
pemerintah masih menebarkan pasukan intelijen dan informan-nya didalam kampus,
secara terbuka bahkan pemerintah menggunakan organisasi mahasiswa seperti
resimen mahasiswa (MENWA) yang selama ini dikoordinasikan melalui TNI, tak
hanya sebagai informan, melainkan sebagai kekuatan tersendiri yang juga
dimanfaatkan untuk menghadang aksi protes dan bentuk perlawanan mahasiswa
lainnya didalam kampus.
Dalam situasi
demikian, mahasiswa yang terus dihadapkan dengan perpaduan kurikulum yang tidak
ilmiah, system pendidikan yang secara sistematis membentuk watak individualis
bagi mahasiswa dan, dengan berbagai kebijakan anti demokrasi didalam kampus.
Mahasiswa akan semakin kehilangan daya kritis, kehilangan semangat dan aspirasi
persatuan serta budaya kollektifitasnya. Mahasiswa telah dijebak dalam
kebudayaan Individualis, membuntut dan anti solidaritas.
Jalan keluar
bagi pemuda mahasiswa dan seluruh rakyat atas segala bentuk ketertindasannya
Atas segenap
persoalan yang menimpa rakyat sekarang ini, baik yang diakibatkan oleh
kebijakan maupun tindsan fasis pemerintah secara lansung, maka patutlah kita
belajar dari sejarah perkembangan masyarakat di Indonesia maupun diseluruh
dunia atas upaya-uapay yang dilakukan dalam menyelesaikan masalahnya dan Jalan
keluar dalam setiap penindasan manusia dalam setiap fase. Dalam berbagai
literature sejarah ditunjukkan bahwa, tidak ada satupun perubahan, kemerdekaan
ataupun pemenuhan hak manusia yang diberikan secara sukarela oleh penguasanya,
melainkan kebebasan, kemerdekaan dan terpenuhinya hak dasar yang diraih hanya
melalui serangkaian perjuangan yang dilakukan secara konsisten dan dalam
berbagai bentuk. Kemudian dalam menjalankan setiap bentuk perjuangan tersebut,
tidak ada yang dilakukan secara sendiri-sendiri, melainkan dengan persatuan
yang dibangun secara kuat ditengah-tengah massa
rakyat.
Artinya
bahwa, Rakyat Indonesia
dengan seluruh persoalan yang sudah sangat komplek dihadapinya, hanya akan
dapat dipecahkan jika rakyat Indonesia
kembali bersatu-padu dan terus secara berkesinambungan, intensif dan massif melakukan
upaya-upaya saling “Membangkitkan kesadaran, Mengorganisasikan diri sebagai
wujud persatuan” kemudian bergerak bersama untuk berjuang melawan segala bentuk
ketertindasan dan menuntut pemenuhan atas seluruh haknya yang selama ini
diabaikan oleh Pemerintah.
Secara
khusus bagi pemuda mahasiswa, selain bersatu padu untuk memecahkan berbagai
persoalan sektoral didalam kampus atas jeratan system pendidikan yang tidak
ilmiah, tidak demokratis dan, tidak mengabdi pada rakyat sekarang ini, pemuda
dan mahasiswa harus terhubung secara kuat dengan gerakan buruh (diperkotaan), terintegrasi
dengan gerakan kaum tani (dipedesaan) dan, menyatukan diri dengan rakyat dari
berbagai sector lainnya.
Hanya
dengan cara demikian mahasiswa dapat menyelesaikan problem sektoralnya secara
mendasar. Sebab, selama sistem usang “Setengah jajahan dan setengah feudal
(SJSF)” di Indonesia sekarang ini terus dipertahankan, maka tidak ada hal
apapun yang dapat menjamin tegaknya HAM, terwujudnya demokrasi dan
terselesaikannya setiap problem rakyat. Kekuasaan borjuasi komprador dan tuan
tanah yang tercermin dalam kapitalisme birokrat haruslah dilawan dan
dihancurkan setahap demi setahap melalui oranisasi-organisasi yang maju.
Pandangan dan Sikap Front Mahasiswa Nasional (FMN)
Dalam
rangka memperingati hari hak asasi manusi (HAM) 2012 dan untuk menyikapi
ancaman atas rancangan undang-undag (RUU) Keamanan Nasional (KAMNAS) dan
Organisasi kemasyarakatan (Ormas), Berdasarkan pada pandangan diatas, Front
Mahasiswa Nasional (FMN) menyatakan sikap bahwa “SBY rezim fasis perampas hak rakyat-Tolak RUU Kamnas dan Ormas, Cabut
UU Pendidikan Tinggi dan Wujudkan Kebebasan Mimbar Akademik”. Bersama ini,
FMN juga menuntut:
1. Hentikan
kekerasan dan segala bentuk pelanggaran HAM di Indonesia!
2. Tolak
rancangan undang-undang Keamanan Nasional (RUU KAMNAS)
3. Hentikan
diskriminasi, pengekangan berorganisasi dan kebebasan mimbar akademik didalam
kampus!
4. Cabut
Undang-undang Pendidikan Tinggi (UU PT)
5. Wujudkan
pendidikan Ilmiah, demokratis dan mengabdi pada Rakyat!
Bersama ini, kami juga mengajak kepada para pemuda,
mahasiswa dan seluruh Rakyat Indonesia untuk bergabung dalam aksi menolak RUU
Kamnas dan Ormass, dan aksi peringatan hari HAM sedunia untuk mengkampanyekan
dan menuntut pemenuhan hak rakyat yang selama ini dipasung oleh pemerintah.
Aksi ini adalah “Aksi Serentak” yang diselenggarakan diseluruh Indonesia (disetiap persebaran FMN)
bersama rakyat dari berbagai kelompok, sector dan golongan, pada: Tanggal 06
Desember 2012 (Jakarta, di depan DPR RI Pkl: 13.30-15.00,
Istana Pkl: 16.00-selesai) dan pada tanggal 10 Desember (Jakarta, dari Bundaran HI
Pkl: 09.00 dan Istana Pkl: 13.00-selesai).
Hidup Rakyat Indonesia!
Jayalah
perjuangan Rakyat!