Sabtu, 27 Oktober 2012

Brosure Propaganda: Peringatan Hari Sumpah Pemuda 2012





FRONT MAHASISWA NASIONAL (FMN)

Menyerap Semangat Sumpah Pemuda Untuk Memaksimalkan Pengabdian Pemuda dan Mahasiswa pada Rakyat dan Peranannya dalam Perjuangan Menghancurkan Imperialisme, Feodalisme dan Kapitalisme Birokrat

“Wujudkan Pendidikan Ilmiah, Demokratis dan Mengabdi Pada Rakyat-Lawan segala bentuk tindakan Anti Demokrasi!”

Pemuda, Ialah salah satu golongan dalam komposisi Masyarakat. Pemuda, Ialah salah satu golongan yang fleksibel, hidup dan tersebar didalam berbagai sektor masyarakat, baik secara teritorial maupun profesi. Pemuda, Ialah golongan yang memiliki mobilitas tinggi, energik dan aktif. Pemuda, Ialah golongan yang memiliki kemampuan berfikir, nalar, responsif dan peka atas setiap gejala, setiap hal yang ada disekitarnya. Pemuda, Ialah golongan yang memiliki tenaga yang besar dan kuat.

Pengantar
Demikian gambaran sederhana akan kelebihan dan potensi yang dimiliki oleh pemuda, yang menempatkan posisinya sebagai salah satu tenaga produktif untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Rakyat. Merekalah tenaga produktif yang memiliki peran strategis dalam mengembangkan kebudayaan rakyat. Merekalah pemegang tongkat estapet harapan bangsa untuk merebut dan mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara.

Dalam sejarah perkembangan masyarakat Indonesia, pemuda telah banyak menunjukkan prakarsa dan keterlibatannya dalam perjuangan Rakyat. Di Masa kolonial, diinspirasikan dengan kebangkitan gerakan buruh dan kaum tani diberbagai daerah, pemuda khususnya kaum terpelajar dan intelektuil lainnya telah menunjukkan usaha kerasnya dalam menyatukan diri antar pemuda. Berbagai hambatan dan tantangan dalam setiap usaha pembangunan persatuan yang dilakukan pemuda saat itu, tidak pernah luput dari berbagai bentuk pelarangan dan penindasan kejam kolonial belanda.

Semangat persatuan yang keras, telah membuat mereka tidak pernah patah semangat dan menyerah begitu saja atas kekejaman kolonial. Belajar memahami kondisi objektif dan mengambil pelajaran dari situasi tersebut adalah upaya yang tidak henti dilakukan sebagai sandaran teoritis dan ilmiah dalam kerja-kerja penyatuan dan penyusunan taktik perjuangannya. Alhasil, para pemuda berhasil membangun organisasi-orgnisasi pemuda, mulai dari studyclub-studyclub, organisasi tradisionil hingga organisasi modern (Ormass dan Organisasi politik) yang dikemudian hari sebagai alat perjuangannya hingga berhasil menyatukan diri dengan seluruh rakyat dan menjalankan revolusi 1945 bersama. Tepatnya, pada kongres pemuda ke II 27-28 Oktober tahun 1928, telah menjadi tonggak persatuan Pemuda Indonesia yang tersebar diberbagai daerah dalam berbagai bentuk organisasi melakukan ikrar bersama, yang hingga sekarang dikenal dengan ”Sumpah pemuda”.

Setiap upaya yang dilakukan pemuda saat itu yang telah menumpahkan seluruh semangat, tenaga dan pikirannya untuk menyatukan diri dan berjuang bersama mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia, telah menunjukkan kemampuan dan seluruh potensi yang dimiliki oleh pemuda, dan harus dapat dijadikan pelajaran berharga dan inspirasi bagi pemuda hari ini. Namun demikian, selain mengambil pelajaran dari semangat dan setiap peristiwa dalam pengalaman tersebut, hal lain yang juga harus dipahami oleh setiap kita saat ini bahwa setiap perkembangan di suatu negara, bahkan kondisi khusus disetiap sektor akan selalu dipengaruhi oleh situasi dunia (Internasional) yang tengah berkembang. Demikian pula dengan kondisi pemuda, mahasiswa dan pendidikan secara umum saat ini, yang juga tidak terlepas dari jeratan intervensi kebijakan imperialisme Amerika Serikat.

Hal tersebut ialah akibat dari dominasi Imperialisme yang kian menguat di Indonesia, yang terus mempertahankan sistem usang setengah jajahan dan setengah feodal (SJSF) bersama tuan tanah dan borjuasi besar komprador sebagai sekutunya dan kapitalisme birokrat sebagai rezim bonekanya didalam negeri. Karenanya, tidak dapat dikompromikan bagi setiap kita yang menghendaki perubahan menuju penghidupan yang lebih baik, untuk terus belajar dan memahami kondisi dan setiap perkembangan situasi sektoral, nasional dan Internasional.

Keharusan memahami kondisi tersebut tidaklah semata-mata didasarkan pada fikiran hanya sekedar untuk mengetahui kondisi saja, melainkan agar setiap kita bisa memahami kesaling hubungannya satu sama lain dan memahami akar dari setiap persoalan yang dialami oleh Rakyat. Sehingga  tidak terjebak dalam gerakan-gerakan sporadis dan spontanitas, ataupun bentuk-bentuk perjuangan yang membabi buta, tanpa memikirkan metode dan taktik perjuangan yang tepat, target-target yang objektif dan konsekwensi-konsekwensi yang dapat menjebak rakyat dalam situasi yang semakin terpuruk yang sudah pasti akan merugikan massa dan perjuangan. Karenanya, di jaman Imperialisme saat ini, setiap gerakan rakyat yang ada di Negeri setengah jajahan setengah feodal (SJSF) seperti Indonesia sekarang ini, harus mampu memadukan keadaan objektif (Situasi Sektoral, Nasional dan Internasional) dengan keadaan Subjektif (keadaan Internal, yakni kekautan dan situasi gerakannya) dalam menjalankan setiap bentuk perjuangannya.

Bagian I

A. Sejarah Sumpah Pemuda
1. Penindasan Keji kolonial Belanda dan bangkitnya gerakan Rakyat sebagai sejarah lahirnya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Dalam sejarah perkembangan masyarakat Indonesia dari masa ke masa, pemuda tidak pernah terpisah dari segala kondisi penghidupan rakyat dan setiap upaya yang dilakukan untuk perubahannya. Secara khusus peran dan kedudukannya ditengah masyarakat, pemuda Indonesia telah mencatat sejarahnya yang terlibat aktif dalam setiap bentuk perjuangan rakyat dalam menghadapi setiap bentuk penindasan yang diwarnai dengan berbagai pergolakan politik, fenomena sosial-ekonomi dan kebudayaan untuk mewujudkan kemerdekaan, keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
  
Pada zaman kolonial Belanda, ditengah tindasan kejam pemerintah kolonial, pemuda yang tersebar diberbagai sektor (tani, buruh dan Intelektuil) terus berusaha mempersatukan diri dengan membangun Organisasi-organisasi rakyat sesuai dengan persebarannya diberbagai sektor. Kalangan pelajar, mahasiswa dan Intelektuil lainnya yang medapatkan kesempatan belajar dari sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial (Politik Etis, Th. 1870) berusaha membangun berbagai Organisasi, Group belajar dan bentuk-bentuk perkumpulan lainnya. Hal ini merupakan wujud dari upaya untuk terus mengkonsolidasikan diri dan membangun kekuatan untuk melawan penjajahan kolonial Belanda.

Semangat persatuan pemuda untuk melawan penjajahan kolonial dan mewujudkan kemerdekaan kemudian memuncak dengan momentum sumpah bersama (Sumpah Pemuda). Sumpah Pemuda ini menyatakan bahwa pemuda Indonesia  Bertanah air, berbangsa dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Deklarasi persatuan pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, telah membuktikan semangat persatuan pemuda yang berwatak patriotis (Cinta tanah Air dan Anti Penjajahan) serta komitmen perjuangan bersama rakyat untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia.

2. Sumpah Pemuda cerminan semangat dan cita-tia persatuan dan Perjuangan Pemuda Indonesia
Deklarasi sumpah pemuda 28 Oktober 1928 telah membuktikan semangat pemuda untuk menyatukan diri dalam melawan penjajahan Kolonial Belanda dan mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Lahirnya sumpah pemuda, tentunya tidak terlepas dari situasi kongrit rakyat Indonesia saat itu.  Situasi kongkrit rakyat Indonesia yang dibelenggu penindasan yang begitu hebat, baik keterhisapan melalui perampasan hak-hak dasar secara universal maupun personal. Perampasan kedaulatan dalam mengelola seluruh sumber daya alam sebagai sumber penghidupannya, keterhisapan tenaga akibat paksaan kerja (Sistem tanam Paksa) dengan siksaan-siksaan secara fisik yang dialami setiap hari selama ratusan tahun dibawah kekuasaan kolonial belanda. Kondisi ini telah menjadi tempaan setiap hari yang terakumulasi terus-menerus hingga melahirkan semangat perlawanan yang kuat bagi seluruh rakyat Indonesia dalam menggencarkan perjuangan pembebasan nasional dari jajahan kolonial.

Semangat perjuangan rakyat Indonesia tersebut terus meluas diseluruh kawasan nusantara dan semakin membesar baik dalam aspek kuantitas maupun kualitasnya yang semakin maju. Hal tersebut ditandai dengan lahirnya kesadaran berorganisasi, berserikat dan melakukan aksi-aksi protes dan bentuk-bentuk perjuangan yang lebih maju dan terorganisir, mulai dari pemogokan sampai bentuk perjuangan yang paling maju yaitu perjuangan bersenjata. Memasuki abad ke-20an, semangat perlawanan dan perjuangan pembebasan nasional untuk mewujudkan kemerdekaan sebagai sebuah bangsa yang berdaulat semakin menguat, berbagai organisasi dan perkumpulan kian bermunculan dari bentuk yang paling tradisional hingga yang modern (ormas dan partai politk) lahir sebagai alat perjuangan rakyat. Lahirnya organisasi-organisasi dan perkumpulan tersebut, banyak dimotori oleh kaum muda terpelajar, terutama pemuda-pemuda dari golongan priyayi yang menempuh kuliah di perguruan tinggi seperti STOVIA, IHS, bahkan ke luar ngeri[1].

Kaum pemuda terpejalar ketika itu kemudian banyak mempelajari teori-teori dari negeri-negeri barat tentang berbagai bentuk dan sejarah perjuangan rakyat di berbagai negeri untuk mendapatkan kemerdekaannya, seperti revolusi prancis, ataupun tentang revolusi industri. Teori-teori maju dan perkembangan situasi internasional seperti revolusi besar Oktober 1917 di Rusia juga memberikan inspirasi tersendiri bagi kaum muda, terutama dalam upaya memahami kondisi sosial dan ekonomi rakyat secara mendalam, upaya-upaya pembangunan gerakan dan dalam menyusun taktik-taktik perjuangan yang semakin maju.

Selain itu, hal penting yang harus disadari bahwa kelahiran organisasi-organisasi pemuda saat itu juga tidak terlepas dari bangkitnya gerakan rakyat disektor lainnya, terutama dari perjuangan klas buruh Indonesia yang memberikan inspirasi besar bagi bangkitnya gerakan dan persatuan pemuda saat itu. Pada tahun 1905, lahir organisasi buruh kereta api Staats Spoorwegen (SS) Bond, Th. 1908 didirikan VSTP (Vereniging van Spoor–en Tram Personeel) dan, tulang punggungnya adalah dari gerakan buruh kereta api NIS (Nederlands Indische Spoorwegenmaatschappij). Sesudah berdirinya VSTP.

Pada Th. 1908 kemudian lahir Budi Utomo sebagai organisasi pemuda pertama dari kaum intelektual Indonesia. Namun karena keanggotaannya terbatas pada kalangan priyai dan bangsawan saja, sehingga Budi Utomo tidak dapat berkembang karena tidak mampu menjangkau massa rakyat (pemuda) secara luas. Karenanya, dalam kehidupan politik Indonesia, Budi Utomo tidak memegang peranan penting, sehingga dalam perkembangannya, organisasi tersebut kian tertinggal di belakang.

Selanjutnya, berbagai Organisasi dan kumpulan-kumpulan terus bermunculan, baik Ormass maupun partai politik. Th. 1916, berdiri PPPB (Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputra) di Yogyakarta. Th. 1917 muncul Kweekschoolbond (Persatuan Guru keluaran Kweekschool/sekolah guru) di Yogyakarta. Th. 1920 muncul PGB (Perserikatan Guru Bantu) berpusat di Solo. Di kalangan buruh gula, lahir PFB (Personeel Fabrieks Bond) di Yogyakarta, tahun 1920. Kaum buruh pekerjaan umum mendirikan VIPBOW (Vereniging van Inlandse Personeel Burgelijke Openbare Werken) di Mojokerto. Tahun 1919, buruh pelabuhan mendirikan HAB (Haven Arbeiders Bond) berpusat di Semarang. Buruh percetakan mendirikan SPP (Serekat Pegawai Percetakan) tahun 1920, berpusat di Semarang. Juga didirikan SPPH (Serekat Pegawai Pelikan Hindia) yang berpusat di Semarang. Didirikan juga PPDH (Perserikatan Pegawai Dinas Hutan) tahun 1920 dan berpusat di Purwokerto. Pada tahun 1919, telah berdiri vaksentral buruh bernama Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB).

Di awal tahun 1918, lahir Perhimpunan Kaum Buruh dan Tani (PKBT) yang kemudian dipecah menjadi dua, yaitu Perserikatan kaum Tani (PKT), dan Perserikatan Kaum Buruh Onderneming (PKBO) di daerah-daerah pabrik gula. Sementara itu organisasi gerakan pemuda sendiri diawali dengan lahirnya Trikoro Darmo (Tiga Tujuan Mulya) atas prakarsa Budi Utomo pada Maret 1915 di Jakarta. Tujuan organisasi ini adalah mempersatukan pemuda untuk tugas di kemudian hari sebagai patriot. Aktivitas yang dilakukan oleh Trikoro Darmo hanya terbatas pada pemuda-pemuda Jawa, lagi-lagi organisasi ini tidak bisa berkembang baik, tidak dapat menarik pemuda dari suku bangsa-suku bangsa lain karena tebalnya semangat kedaerahan ketika itu. Sekalipun demikian, kemajuan jaman terus mendorong gerakan pemuda ke arah yang lebih tinggi, sekalipun jalannya tidak begitu lancar.

Usaha mempersatukan pemuda Jawa, Sunda dan Madura senantiasa dijadikan acara pokok dalam kongres Trikoro Darmo. Dalam kongres tahun 1918, Trikoro Darmo dirubah menjadi Jong Java untuk terus memperluas jangkauannya. Dengan proses yang cukup panjang, lahirnya Jong Java mampu merangsang lahirnya perkumpulan-perkumpulan pemuda didaerah-daerah lainnya, seperti “Jong Sumatranen Bond di Sumatra, Jong Ambon di Maluku, Jong Minahasa di Sulawesi utara dan, di daerah Batak lahir Jong Batak, dsb”. Baru pada tahun 1926 oleh berbagai organisasi pemuda itu dilangsungkan kongres bersama di Jakarta, yaitu Eerste Indonesisch Jeugd Congres dengan maksud untuk mengabdikan gerakan pemuda pada cita-cita persatuan Indonesia.

Selanjutnya, disamping Organisasi-organisasi massa rakyat dari berbagai sector yang terus bermunculan, lahir pula berbagai partai politik yang juga digunakan sebagai alat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat Indonesia[2]. Salah satu organisasi modern terbesar yang pernah ada dan cukup ditakuti oleh pemerintah kolonial, yaitu Serikat Islam (SI) yang didirikan pada tahun 1911 yang pada awalnya diinisiasi oleh Raden Mas Tirtoadisuryo yang dalam perjalanannya mampu menjadi corong bagi kebangkitan gerakan rakyat di Indonesia. Pergerakan dan perjuangan ini terutama yang dimotori SI Semarang. Kehadiran SI telah memberi inspirasi bagi lahirnya organisasi-organisasi modern lainnya seperti Indische Partij 1912, Indische Sociaal Democratische Vereniging  (ISDV) 1914, Partai Nasional Indonesia (PNI) 1927 dan Perhimpunan Indonesia (PI) 1916 di Belanda.

Kebangkitan Perlawanan Rakyat melawan kekuasaan kolonial Belanda, 1926-1927 dan meletusnya revolusi besar Oktober 1917 di Rusia serta bangkitnya gerakan pembebasan nasional di berbagai negeri, semakin membuka kesadaran kaum pemuda dan pemuda terpejalar akan arti penting “kemerdekaan” bagi bangsa dan rakyat Indonesia. Di zaman ini, terkenal dengan istilah gerakan Non-Kooperasi melawan Belanda. Artinya, tidak melakukan kerjasama sedikitpun dengan kaum kolonial Belanda.

Sejak tahun 1924, di berbagai kota besar juga telah lahir lingkaran-lingkaran studi ”Studieclub” dari kaum intelektual yang ingin memegang peranan dan mendorong maju gerakan kemerdekaan Indonesia saat itu. Lingkar study-lingkar study tersebut juga terus berkembang di kota-kota seperti Surabaya, Solo, Yogyakarta, Semarang, Bogor, Jakarta dan Bandung. Dari beberapa studyclub yang ada, yang paling menonjol adalah Algemeene Studieclub Bandung. Sutdyclub ini dalam perkembangannya menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan Ir. Soekarno (Bung Karno) sebagai tokoh utamanya yang juga terkenal dengan pledoinya “Indonesia Menggugat” di pengadilan Belanda.

Dengan semangat perjuangan yang berkobar dan semangat persatuan yang kuat dikalangan pemuda dengan berupaya mempersatukan organisasi-orgaisasi pemuda yang tersebar diberbagai daerah saat itu, tanggal 27-28 Oktober 1928 kemudian berhasil diselenggarakan kongres pemuda ke II yang diprakarsai oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI). Kongres tersebut berhasil meletakkan dasar-dasar persatuannya, tidak saja di kalangan pemuda dan gerakan kemerdekaan nasional, tetapi juga dari seluruh nation (Bangsa) Indonesia. Lahirlah sumpah pemuda yang terkenal dengan semboyan; “Kita pemuda Indonesia berbangsa satu, Bangsa Indonesia. Kita pemuda Indonesia berbahasa satu, bahasa Indonesia. Kita pemuda Indonesia bertanah air satu, tanah air Indonesia.” Dalam kongres inilah, pertama kali lagu kebangsaan “Indonesia Raya” diperkenalkan kepada seluruh rakyat Indonesia, dipimpin langsung oleh komponisnya sendiri, Wage Rudolf Supratman.

Segera sesudah lagu “Indonesia Raya” mendengung di dalam Kongres Pemuda II, seluruh Indonesia seperti terkena arus listrik untuk terus-menerus melakukan perjuangan melawan penindasan kolonialisme Belanda. Dari mana-mana datang permintaan teks lagu itu. Sesudah itu “Indonesia Raya” dinyanyikan pada setiap ada kesempatan. Begitu antusias rakyat Indonesia menyambut lagu kebangsaannya, begitu jua ketakutan pemerintah kolonial terhadapnya, sampai akhirnya mengeluarkan putusan pelarangan untuk menyanyikan lagu “Indonesia Raya”. Perlawanan pun timbul, dimana-mana membanjir protes terhadap larangan tersebut, hingga akhirnya pemerintah mundur dan “ lagu Indonesia Raya” boleh dinyanyikan asal teksnya dirubah. Ternyata yang ditakuti adalah kata “merdeka”. Itulah sebabnya mengapa lagu kebangsaan yang semula diberi nama “Indonesia Merdeka” dirubah menjadi “Indonesia Raya”. Sekeluarnya Soekarno dari penjara Sukamiskin, teks dirubah lagi menjadi bentuk yang sekarang ini.[3]

Cita-cita penyatuan berbagai organisasi pemuda terlaksana pada Desember 1930. Pada saat itu, berbagai organisasi pemuda (kecuali yang berdasarkan agama) meleburkan diri dalam satu organisasi dengan nama “Indonesia Muda”. Bagian putrinya diberi nama “Kaputrian Indonesia Muda”. Di antara yang meleburkan diri dalam Indonesia Muda terdapat Jong Java yang sebelumnya bernama Trikoro Dharmo. Dalam paruh pertama tahun 30-an, muncul organisasi pemuda lainnya yang menyatakan dirinya golongan non-intelektual, yaitu “Persatuan Pemuda Revolusioner Indonesia (PERPRI)” dan Suluh Pemuda Indonesia (SPI). Pada tahun 1935, pemerintah Hindia Belanda mengadakan penggeledahan di rumah-rumah pimpinan PERPRI, disusul oleh penangkapan dan penahanan. Di Yogyakarta beberapa di antara mereka di ajukan ke depan meja hijau dan dijatuhi hukuman penjara rata-rata selama 1 tahun.

Setelah itu kaum pemuda banyak mengambil peran aktif dalam gerakan bawah tanah melawan colonial dan mempertahankan kemerdekaan RI atau Revolusi Agustus ’45. Akan tetapi, perjuangan tanpa henti rakyat Indonesia selama ratusan tahun, akhirnya dikhianati oleh borjuasi komprador Hatta-Sjahrir dalam Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda 1949. Dalam kesepakatan atau diplomasi ala borjuasi kompardor tersebut yang diketahui oleh khalyak umum berisi, Pertama, kita Indonesia wajib mengganti kerugian perang kepada Belanda sebesar 178.000.000.000 Gulden. Kedua, menunggu hingga tahun 1960 untuk memerdekakan Papua dari belenggu kolonialisme Belanda. Ketiga, memaksa para tentara rakyat untuk tidak mendekati garis Van Mook (beberapa daerah yang masih di kooptasi oleh Belanda). Keempat, menghentikan nasionalisasi aset-aset asing milik Belanda dan milik swasta asing lainnya.

Peristiwa tersebutlah (Konferensi Meja Bundar) yang kembali menghantarkan rakyat Indonesia dalam satu system baru yang tidak kalah kejamnya dengan jaman colonial, yaitu setengah jajahan dan setengah foedal di Indonesia yang terus dipertahankan oleh Imperialisme bersama tuan tanah dan borjuasi komprador didalam negeri. Pelajaran penting dari sejarah singkat ini adalah, bahwa lahirnya Sumpah Pemuda tidak terlepas dari bangkitnya perlawanan rakyat Indonesia melawan kolonialisme Belanda, baik diawali dengan terbentuknya SS Bond hingga VSTP dan bangkitnya perjuangan Rakyat Indonesia dibeberapa daerah (Jawa dan Sumatra) di Indonesia dalam pemberontakan tahun 1926-27 melawan kekuasaan Kolonial Belanda.

Di sisi yang lain, telah lahir satu kemenangan besar perjuangan klas buruh di Rusia tahun 1917 yang telah menjadi inspirasi tersendiri bagi kaum muda Indonesia untuk menentang kolonialisme. Karena Revolusi Besar Oktober 1917, telah membuka babak baru perjuangan rakyat di seluruh dunia dalam menentang dunia yang telah memasuki fase dominasi penindasan dan penghisapan imperialisme (tingkat tertinggi dari kapitalisme). Pelajaran penting lainnya, yang patut dicatat adalah pemuda ketika itu (sejak kebangkitan nasional hingga revolusi Agustus 1945) mencurahkan sepenuhnya tenaga dan pikiran untuk mengabdi kepada rakyat dan perjuangan mewujudkan Indonesia sebagai rakyat dan bangsa yang merdeka dari belenggu kolonialisme.

A. Perkembanga Situasi Nasional dan Internasional

Indonesia dibawah dominasi imperialisme Amerika Serikat yang kian tak berdaya menahan Gelombang Resesi Ekonomi dan bangkitnya gerakan rakyat yang kian meluas
1. Perkembangan Situasi Internasional
“Setiap langkah, setiap kebijakan dan setiap usaha dari kapitalisme sejatinya adalah krisis-Dan setiap krisis pasti melahirkan penderitaan yang hebat bagi Rakyat, yang kemudian mutlak akan menyulut kebangkitannya untuk berlawan”.

Setiap langkah, setiap kebijakan dan setiap usaha dari kapitalisme sejatinya adalah krisis. Demikian kenyataan yang disadari akan prinsip kapitalisme (dengan sedikit modal untuk keuntungan yang melimpah), dan dengan kenyataan bahwa krisis imperialism (fase akhir/puncak tertinggi dari kapitalisme) yang tak jua menunjukkan keadaannya untuk membaik sejak memuncaknya pada tahun 2008 hingga sekarang. Keadaan tersebut yang telah menabur penderitaan bagi rakyat dengan seluruh skema penghisapannya, menumbuhkan kesadaran dan membangkitkan semangat perlawan rakyat yang akan terus meluas dan tidak terkompromikan.

Amerika Serikat bersama Negara-negara dikawasan Eropa semakin tidak berdaya menghadapi gelombang resesi ekonomi yang terus menimpanya. Setiap upaya yang dilakukan justeru terus menciptakan pengangguran dan kemiskinan baru, melahirkan penindasan dan penghisapan baru terhadap seluruh lapisan klas pekerja di negeri imperialis sendiri, dan melipat-gandakan penindasan dan penghisapan terhadap rakyat tertindas dan terhisap di negeri setengah jajahan dan setengah feodal.

Sejak krisis finansial pada tahun 2008, Amerika Serikat dan Zona Eropa terus tenggelam dalam resesi yang berkepanjangan. Industri dalam negerinya mengalami pengurangan produksi drastis, bahan baku menumpuk. Gelombang pemutusan hubungan kerja, pemotongan upah, penghapusan subsidi dan jaminan sosial datang bersamaan dengan naiknya pajak, biaya kesehatan, pendidikan dan, naiknya harga bahan kebutuhan pokok. Sementara, para pemimpin negeri imperialis dibawah pimpinan imperialisme tunggal Amerika Serikat terus menunjukkan karakter reaksionernya yang anti klas buruh dan anti demokrasi, sekaligus pembela sejati sistem oligarki keuangan.

Dengan kebijakan Bail Out-nya, Pemerintahan Barrack Obama mengambil jalan menguras keuangan negara dan dana publik lainnya, untuk membantu oligarki keuangan yang terang-terangan telah merampas kekayaan rakyat dari seluruh dunia dengan jalan mengeruk keuntungan dalam situasi krisis. Tidak hanya itu, dengan tidak tahu malu Barrack Obama menjadi salesman bagi perusahaan besar persenjataan, pesawat terbang, pertambangan dan berbagai jenis peralatan berteknologi canggih yang mengalami over-produksi dan mendesakkan penjualannya melalui perjanjian multilateral dan bilateral dengan berbagai negara di seluruh dunia. Dalam waktu bersamaan, dana milyaran dollar dipergunakan untuk membiayai pembangunan pangkalan militer baru seperti U.S African Command dan operasi militer di berbagai negara Afrika, Amerika Latin dan Asia.

Di zona Eropa, hal serupa berlangsung dan bahkan lebih parah. Lilitan utang yang terus menggelembung karena over-produksi memaksa pemerintahan reaksi terus menambah utang baru melalui penerbitan obligasi dan berbagai surat utang lainnya. Perluasan pasar barang produksi dan jasa keuangan negara-negara Eropa sangat bergantung pada “kebaikan hati” Amerika Serikat yang bersedia menampung barang dagangannya, dan membagi pasar di negeri-negeri setengah jajahan dan setengah feodal yang didominasi Amerika Serikat. Negara-negara utama Eropa hanya mendapat bagian “super-profit” apabila mendukung kebijakan luar negeri Amerika Serikat seperti tetap mempertahankan pangkalan militer-Amerika Serikat, ambil bagian langsung dalam perang melawan terorisme dan penggulingan pemerintahan anti-Amerika Serikat di berbagai negeri.

Sementara negara Eropa kecil lainnya hanya akan mendapat “bagian” apabila bersedia membuka dirinya bagi pangkalan militer baru AS, menerapkan demokrasi ala AS, membuka pasar dan investasi dalam negerinya bagi kepentingan AS. Karenanya, gerakan massa di Eropa selain menggempur kebijakan dan berupaya menggulingkan pemerintahan korup di negerinya, juga secara langsung menyerang dominasi Amerika Serikat atas negerinya. Gerakan klas buruh di Yunani, Spanyol, Jerman, Italia dan Perancis tanpa ragu-ragu menjadikan institusi keuangan dan perusahaan AS sebagai sasaran utamanya.

Bagaimana pun, Amerika Serikat tetap menjadi imperialisme nomor satu dan tunggal tanpa kekuatan tandingan yang sepadan. Hal ini dapat dilihat dari kemampuannya untuk melaksanakan berbagai tindakan unilateral termasuk mengisolasi dan menyerang negeri lainnya tanpa persetujuan negeri-negeri lainnya melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa, karena kemampuan militernya yang sangat besar di seluruh negeri serta kedudukannya sebagai pimpinan NATO; serta kebergantungan yang dalam negeri imperialis lainnya pada kapital AS yang secara aktual dipimpin dan dimobilisir melalui organisasi multilateral seperti G-8, WTO dan institusi keuangan seperti Bank Dunia dan IMF.

Kontradiksi (Pertentangan) antar negeri AS dengan Imperialis utama di Eropa akan menajam apabila krisis di negeri Eropa lainnya sudah sedemikian mematikan, dan Amerika Serikat tidak bersedia membantu dan berbagi pasar dengan negeri-negeri tersebut. Akan tetapi faktor penentunya adalah besar dan menguatnya gerakan massa menggulingkan rezim pro-AS di negeri tersebut dengan tuntutan anti perang yang dilancarkan AS di seluruh dunia menguat dan menajam.

2. Perkembangan Situasi didalam Negeri
Dengan kenyataan semain tidak berdayanya Negara-negara imperilis dikawasan Eropa, terlebih jika akan dijadikan sebagai sandaran utama penyelesaian krisis, Imperialisme AS terus memperluas dan memperkuat dominasinya di Kawasan Asia, terutama Negara-negara setengah jajahan dan setengah feudal di Asia. Di Indonesia sendiri, imperialisme Amerika Serikat telah melancarkan berbagai skema penghisapannya melalui berbagai perjanjian dan kerjasama. Sementara pemerintahan Indonesia dibawah kuasa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terus menjadikan Indonesia dan seluruh rakyatnya sebagai lahan subur sasaran penghisapan Imperialisme.

Melalui berbagai kebijakan yang dilahirkannya, SBY dengan segenap jajaran pemerintahannya telah menunjukkan kesetiaan yang tidak terperikan kepada Imperialisme AS. Dilain sisi, setiap kebijakan tersebut telah melahirkan konsekwensi berat bagi rakyat, dimana kaum tani semakin kehilangan tanah akibat perampasan dan monopoli dalam skala luas, klas buruh dan pekerja yang terus diperas tenaganya akibat efisiensi kerja yang memaksakan para buruh untuk terus bekerja hingga luar batas, demi mengejar target. Sementara upah yang diterima terus dipangkas dengan berbagai cara. Dilain sisi, tindak kekerasan dan berbagi bentuk intimidasi terus mengancam mereka (klas buruh) yang kritis dan tak sudi untuk dirampas haknya. Sedangkan pemuda dan mahasiswa dihadapkan dengan masa depan yang kian suram, tanpa adanya jaminan untuk mendapatkan pekerjaan.

Dilapangan kebudayaan, pendidikan yang sejatinya adalah upaya yang harus dilakukan secara sadar, luas dan terbuka untuk memajukan taraf berfikir dan mengembangkan budaya masyarakat, terus di politisir dengan serangkaian kebijakan liberalisasi dan jebakan akan privatisasi dan komersialisasi. Sementara itu, pemuda mahasiswa dan tenaga pendidik disetiap jenjang pendidikan semakin kehilangan hak demokratis yang seharusnya tumbuh dan berkembang dalam mimbar-mimbar akademik dan perdebatan-perdebatan ilmiah didalam kampus dan dilingkungan institusi atau lembaga setiap jenjang pendidikan.

Tidak dapat dihindarkan, bahwa dengan alasan “untuk menjaga kestabilan politik, untuk ketertiban dan keamanan nasional, dll” yang sesungguhnya hanya sebagai jaminan lancarnya arus utang dan Investasi di Indonesia. Pemuda, mahasiswa, tenaga pendidik dihadapkan dengan pengekangan untuk berorganisasi dan berpendapat melalui berbagai tindakan intimidasi, terror, ancaman, penangkapan hingga pemukulan, bahkan tidak sedikit mahasiswa yang telah menjadi korban kekerasan dan tindakan-tindakan anti demokrasi lainnya didalam kampus. Kenyataan-kenyataan tersebut semakin menunjukkan betapa SBY tidak berpihak kepada Rakyatnya dan, hanya mementingkan kehendak tuan Imperialisnya.

Peranan SBY bagi Imperialisme dan seluruh skema Penghisapannya di Indonesia
Setelah pertemuan G-20 di Los Cabos, Mexico dan pertemuan Rio+20 UN Sustainable Development, Presiden SBY mengumumkan keprihatinan dan kekhawatiranya atas krisis di Amerika Serikat dan Zona Eropa dan mengatakan bahwa membantu Amerika Serikat dan Eropa keluar dari krisis adalah tanggung jawab bersama. Atas dasar itu, Ia mengumumkan bahwa Indonesia akan membantu International Monetary Fund (IMF) sebesar U.S $ 1 Milyar agar dapat mengatasi krisis dengan cepat dari cadangan devisa negara.

Pengumuman tersebut sangat memalukan dan melukai hati rakyat luas, karena belum lama dari saat itu, pemerintah mengeluhkan beban subsidi bahan bakar yang besar dan menguras anggaran negara dan mengumumkan rencana kenaikan harga bahan bakar. Melalui pertemuan yang sama, Presiden SBY mengumumkan keprihatinannya atas tindakan pemerintahan Suriah membunuh gerakan oposisi dan mendukung upaya Rusia mengadakan pembicaraan dengan Al Asad di tengah pembunuhan serupa berlangsung massif di Papua, di tengah perkebunan di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. 

Teriakan kemarahan kaum tani yang dirampas tanah dan nyawanya, kaum buruh yang dirampas upah dan kebebasannya berserikat, kaum intelektual yang dibungkam untuk tidak bicara, pelan namum pasti akan melelehkan kosmetik penutup borok di wajah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Angka pertumbuhan ekonomi 6% per tahun, penggelembungan angka Produk Domestik Bruto (PDB) sampai dua kali lipat, angka pendapatan per-kapita hingga US$ 3000.00 per-tahun, angka pengangguran dan kemiskinan yang turun secara teratur adalah sulapan basi untuk menipu rakyat. Demikian pula kosmetika yang membungkus kebusukan demokrasi palsu yang korup dan fasis akan segera meleleh oleh keringat dan darah rakyat yang terus ditumpahkannya diberbagai daerah diseluruh Nusantara.  

Semua angka-angka ekonomi fantastis dan sistem demokrasi palsu tersebut bertentangan sepenuhnya dengan keadaan kongkrit penghidupan rakyat sehari-hari. Semakin jelas dan terang bahwa krisis kronis di dalam negeri tidak bisa ditutupi lagi dengan berbagai indikator demokrasi palsu seperti sistem pemilihan langsung dan berbagai reformasi serta berbagai indikator ekonomi. Bantuan U.S $ 1 Milyar kepada IMF tidak bisa memanipulasi keadaan bahwa negeri ini berada dalam krisis kronis yang terus memburuk, semakin bergantung dan didominasi imperialisme Amerika Serikat, bergantung hidup pada utang luar negeri dan investasi asing.

Rakyat tidak lama lagi akan mengetahui yang sebenarnya, bahwa angka-angka ekonomi tersebut adalah polesan semata Badan Pusat Statistik (BPS) untuk menyenangkan hati imperialisme Amerika Serikat yang telah “berbaik hati” pada rezimnya memberi sebuah skema program fantastis yaitu Millennium Challenge Corporation (MCC)[4] Compact dalam rangka UN Millennium Development Goals (MDG’s) bernilai US $ 600 Juta demi “memelihara pertumbuhan ekonomi dan memerangi kemiskinan” di Indonesia selama tiga tahun terakhir! Rakyat juga akan menyadari bahwa program yang dijadikan dasar oleh pemerintahan SBY dan dimanipulasi menjadi Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) pemerintahan SBY!

Keluarga kaum tani di pedesaan mengalami peningkatan defisit pendapatan yang mematikan sebagai akibat dari semakin terintegrasinya kaum tani dengan ekonomi komoditas monopoli (cash-economy) di satu sisi, dan semakin melemahnya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri (self-sufficient economy). Upah klas buruh di perkotaan dan pertambangan besar di pedalaman tidak hanya dirampas oleh pengusaha dan pemerintah (pajak penghasilan dan premi jaminan sosial) di dalam pabrik. Dalam keadaan krisis yang akut seperti sekarang, upah yang sangat minimum tersebut disapu habis oleh gelombang kenaikan harga kebutuhan pokok. Klas setengah proletar (semi proletariat) dan berbagai lapisan borjuasi kecil rendahan berada dalam kesulitan besar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, terutama mereka yang bergantung pada produksi dan perdagangan kecil. Penghapusan berbagai subsidi bahan bakar minyak, listrik, dan naiknya biaya kesehatan dan sekolah menempatkan mereka di ujung tanduk kemelaratan.

Ironisnya, selama 8 (delapan) tahun pemerintahannya, SBY menutup mata dan telinga pada keadaan ini. Ia lebih suka membuai dirinya sendiri dengan pujian selangit dari Amerika Serikat dan negeri imperialis lainnya berkat loyalitasnya yang tanpa batas dalam menjalankan berbagai skema dan kebijakan ekonomi serta mengadopsi sistem politik dan demokrasi palsu imperialis. Ia mendapat pujian yang luar biasa karena berhasil memberikan jaminan “stabilitas dan keamanan” bagi investasi asing, membuat setumpuk regulasi dan kebijakan neo-liberal: meneruskan privatisasi BUMN, menciptakan manajemen krisis utamanya bagi institusi keuangan, pembaruan fiskal terutama penghapusan subsidi, sanggup membayar utang luar negeri dengan teratur, dan terus memperluas pasar baru bagi kapital dan komoditas imperialis yang terancam membusuk karena over-produksi. Seluruh unsur dari Structural Ajustment Programs (SAP’s) yang diajukan Bank Dunia dan IMF dijalankan dengan sangat sempurna, setahap demi setahap.

Periode kedua pemerintahan SBY adalah periode penjarahan habis-habisan terhadap kedaulatan dan kekayaan bangsa, serta kebebasan rakyat Indonesia sejak ditanda-tangani dan dijalankannya kesepakatan “Kerjasama Bilateral Komprehensif Indonesia-Amerika Serikat,” Juni 2010. “U.S.-Indonesia Comprehensive Partnership Joint Commission” adalah badan eksekutif negara reaksi yang sangat penting saat ini dan bertugas dari waktu ke waktu membuat rencana baru untuk memastikan berbagai kesepakatan culas dalam lapangan ekonomi, politik-militer dan kebudayaan itu berjalan.

Berbagai skema dan kebijakan ekonomi dan keuangan imperialis yang lama dan yang baru melenggang mulus menjadi kebijakan dan regulasi negara dan mendominasi kehidupan seluruh rakyat. Sistem demokrasi palsu dengan berbagai organ politik negara-nya sejauh ini masih dapat memanipulasi dan meredam perjuangan militan dan tuntutan rakyat. Berbagai tuntutan mendesak rakyat untuk memperbaiki kehidupannya sehari-hari sukses didominasi oleh berbagai pertentangan antar klas yang berkuasa, sehingga tidak menjadi perhatian utama dan tidak satupun yang diselesaikan. Sementara ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Ombudsmen, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan berbagai lembaga serupa sukses menjadi tameng sekaligus kanal dan kolam raksasa yang di mana seluruh tuntutan dan perjuangan rakyat diendapkan.  

Akan tetapi rakyat tidak akan menyerah. Mereka tahu, bahwa berbagai organ negara tersebut sengaja diciptakan dan bahkan dengan sadar “merelakan diri-nya” menjadi tameng sekaligus kanal bagi tuntutan rakyat agar tidak menerjang langsung kehadapan presiden, para menteri, gubernur, bupati, TNI, kepolisian RI, pengadilan dan kejaksaan negara dan demi menyelamatkan kepentingan imperialis, borjuasi komprador dan tuan tanah besar yang dilayaninya. Mereka terus bekeja bersama-sama menindas, menghina dan mengecilkan arti gerakan massa dan menggali terowongan suram ke parlemen dan pengadilan. Mereka adalah “Pintu Air Manggarai” bagi gerakan massa, penghalang bah dan banjir bandang ke Istana lalu dengan sengaja mengalirkan bah tuntutan rakyat ke lembaga-lembaga yang tidak berwenang seperti DPR dan semacamnya! 

Berbagai klik reaksioner yang berada di luar dan juga di dalam organ kekuasaan politik negara reaksioner tetap bersaing satu sama lain untuk menjadi antek nomor satu imperialis tunggal Amerika Serikat di Indonesia. Akan tetapi sumber pertentangan mereka sangat “murahan dan rendahan”. Klik-klik reaksioner yang lebih lemah tersebut hanya mempersoalkan “perhatian dan pembagian yang adil” dari Presiden SBY sebagai imbalan atas jerih payahnya menjadi sasaran pukul gerakan massa anti pemerintah, memanipulasi gerakan massa.

Mereka telah merelakan diri dan partainya menjadi sasaran demi membela kewibawaan pemerintahan SBY. Karenanya mereka hanya menuntut imbalan yang pantas bagi klik-nya sendiri, bagi partai dan dirinya sendiri. Mereka menuntut Presiden SBY agar tidak mengancam anggota klik dan partainya dengan tuntutan hukum atau setidaknya terus mendapatkan bagian proyek baru dari pemerintah atau kedudukan yang strategis dalam organ kekuasaan politik negara. Kedudukan klik ini sangat asor dibandingkan dengan kedudukan SBY dan kliknya yang masih didukung penuh oleh imperialis.

Gerakan massa tidak bisa berharap banyak akan lahirnya pertentangan tajam antara klik-klik yang lebih rendah melawan kedudukan SBY dengan mengandalkan inisiatifnya sendiri. Hanya gerakan massa progressif yang besar dan kontinyu serta gerakan massa militan yang dapat membuat pertentangan antar klik ini akan tajam. Bila gerakan massa sangat luas dan keras menggempur kedudukan pemerintahan SBY, maka mereka akan ragu mengambil inisiatif menjadi tameng hidup bagi pemerintah atau mengambil peran memoderasi tuntutan. Bila keadaan demikian lahir, maka mereka akan berusaha terhubung dengan gerakan massa dan berusaha mempersiapkan dirinya menjadi kaki tangan utama imperialis berikutnya.       

Rendahnya tensi pertentangan antar klik yang berkuasa, dan masih lemahnya gerakan massa yang terorganisasi dan militan, dan masih massifnya gerakan massa spontan, telah memberikan keleluasaan bagi SBY untuk menggadaikan kedaulatan dan kekayaan bangsa serta kebebasan dan kekayaan rakyat kepada imperialism, terutama Amerika Serikat. Amerika Serikat sangat fokus dan mengintegrasikan Indonesia kedalam skema penanganan krisis imperialisme dunia. Indonesia adalah dewa penyelamat resesi Amerika Serikat dan Zona Eropa mengingat sumber daya alam, buruh murah di mana Presiden SBY dapat menjadi pemimpin borjuasi besar komprador dan tuan tanah besar yang cukup efektif. Berbagai skema kebijakan imperialisme berbasiskan pada berbagai “Kesepakatan Kerjasama Bilateral Komprehensif“ dan kesepakatan multilateral yang culas dan sangat mengikat melalui G-20 sukses memperkuat dominasi imperialis khususnya Amerika Serikat sebagai kekuatan tunggal di dunia dan kawasan.  

Imperialisme AS bergandengan erat dengan imperialis lainnya bekerja bersama-sama membantu dan menjaga pertumbuhan ekonomi dan stabilitas Indonesia dan kawasan ASEAN, dan Asia Pasifik agar mendapat super-profit untuk mengganti kerugian atas pertumbuhan ekonomi yang stagnan di negerinya sendiri dan zona Eropa. Bank-bank besar monopoli seperti Golden Sach, City Bank, Bank of America, Merril Lynch diarahkan agar terus mengekspor kapitalnya untuk membantu perkebunan-perkebunan besar monopoli milik Sinar Mas Group, Golden Eagle, Wilmar dan mendorong privatisasi perkebunan-perkebunan negara baik PTPN, Perhutani maupun Inhutani. Skema ini diintegrasikan dan dipadukan melalui program aksi yang dirancang berdasarkan “Kesepakatan Kerjasama Bilateral Komprehensif Indonesia-Amerika” yaitu: U.S.-Indonesia Trade and Investment Framework Agreement (TIFA), USAID-Economic Growth Assistance Program, New Overseas Private Investment Corporation (OPIC) Agreement.

Melalui perjanjian yang sama, Amerika Serikat dengan leluasa mendominasi pasar dalam negeri dengan menggenjot habis-habisan ekspor berbagai barang over-produksi di negerinya ke Indonesia. Bank Eksport-Import Amerika Serikat (US Exim Bank) membiayai setidaknya tujuh perbankan nasional agar membiayai berbagai perusahaan Indonesia yang mengimpor berbagai jenis mesin, pesawat, peralatan hingga komoditas pertanian dan peternakan dari Amerika. Pembelian ratusan unit pesawat Boeing 737 900ER bernilai milyaran dollar oleh Maskapai Lion Air, pesawat tempur dan helikopter serta peralatan pembangkit listrik panas bumi adalah pembelian pertama sejak kesepakatan ini dibuat. Dengan jalan ini Amerika Serikat dapat menggerakkan kembali industri strategisnya, penjualan suku cadang dan jasa pelayanannya yang stagnan dan mengalami over-produksi.

Setelah merasakan nikmatnya mendominasi tambang minyak, gas dan mineral Indonesia selama puluhan tahun, Amerika Serikat memiliki ambisi sangat besar untuk menguasai seluruh pertambangan panas bumi melalui perusahaan seperti Chevron Pasific dan General Electric. Eksplorasi dan penggunaan energi panas bumi di Indonesia dibungkus sedemikian rupa dengan kedok Clean Development Mechanism (CDM) dan dalam rangka membangun sumber energi terbarukan dan berkelanjutan. Melalui program ini Amerika Serikat telah memastikan keuntungan awal setidaknya US$. 433 juta hanya dari mengekspor peralatan dan jasa belum termasuk tenaga kerja, keuntungan pra-operasi yang luar biasa bagi Amerika Serikat yang dilanda krisis.

Dari pertambangan panas bumi ini, Amerika Serikat dapat menggerakkan industri dan menjual peralatan pembangkit dan berbagai peralatan listrik baru “pro-lingkungan” ke Indonesia. Usaha ini dioperasikan secara sistematis melalui USTDA’s Geothermal Development Initiative. Proyek Geothermal di Jawa Barat dan Halmahera adalah pilot utama dari proyek pembangkit panas bumi yang akan dijual ke bangsa dan rakyat Indonesia kembali dengan harga sangat mahal. Lebih dari separuh dana US $ 600 juta dari  Millennium Challenge Corporation (MCC) Compact dipergunakan untuk proyek AS di Indonesia dengan judul Green Prosperity Project untuk membangun sumber energi alternatif terbarukan dan manajemen sumber daya alam.

Saat ini Amerika Serikat sudah menemukan desain besar skema baru-nya ini dengan nama yang sangat ilusif “green economy.” Sebuah bungkus yang rapi untuk menutupi skema ekploitasi sumber daya alam berkedok penanganan iklim dan penyelamatan lingkungan. Targetnya, pertama, adalah produksi mesin dan berbagai peralatan baru yang “pro-lingkungan dan pro-pembangunan berkelanjutan” yang diharapkan dapat menggerakkan kembali mesin industri dalam negerinya yang terancam rusak serta aktivitas riset yang stagnan. Target Kedua, adalah ekspor kapital dalam rangka perdagangan karbon dengan menjadikan Bank Dunia sebagai ujung tombaknya. Ketiga, ini adalah skema baru memperkuat monopoli tanah dan perampasan tanah di mana para tuan tanah besar Indonesia dapat mengklaim perkebunan sawit dan kayunya adalah bagian dari upaya pelestarian lingkungan dan penampung karbon dalam jumlah besar. Sehingga mereka layak meneruskan dan mengembangkan perkebunannya dan bahkan berhak mendapat dana adaptasi! Sinar Mas Grup memimpin upaya ini dengan sangat serius dengan berbagai pilot projeknya.

Untuk membungkus seluruh misi jahatnya, maka Amerika Serikat “terpaksa berpura-pura menunjukkan komitmentnya” pada upaya penyelamatan lingkungan dengan mendorong negara miskin menjaga hutannya melalui berbagai program seperti Tropical Forest Conservation Act (TFCA), pendirian Indonesia Climate Change Center dan merancang program seperti Climate Change Center dan program seperti  SOLUSI (Science, Oceans, Land Use, Society and Innovation).

Seluruh program tersebut telah merampas tanah-tanah dan harta kekayaan serta mengusir berbagai suku bangsa minoritas di Sumatera, Kalimantan, dan Papua dengan berpura mengadopsi prinsip “Prior, Inform and Consent.” Dana adaptasi dan mitigasi iklim dengan kedok Reduction Emission from Deforestation and Degradation (REDD) dengan licik dipergunakan oleh Bank Dunia untuk mempercepat pelaksanaan kebijakan neo-liberal dan Structural Ajustment Programs (SAPs) sebagai syarat pembiayaan iklim dan berikutnya bisnis karbon. Bisnis karbon sendiri diinterpretasi secara sepihak agar dapat memberikan legitimasi bagi perusahaan besar monopoli di Amerika Serikat untuk menghindari kewajiban pengurangan penggunaan energi fosil dan pengurangan gas rumah kaca di satu sisi dan dapat melindungi monopoli dan operasi perampasan tanah oleh para sekutu komprador dan tuan tanah besarnya seperti Sinar Mas Group dengan “mengadaptasi” bahwa perkebunan-perkebunan sawit, tebu dan kayu mereka layak diakui sebagai bagian dari skema REDD!


Bagian II

A. Perkembangan Situasi Sektoral

1. Pemuda Indonesia dibawah Dominasi Imperialisme dan Kekuasaan Rezim Fasis Anti Rakyat dan Anti Demokrasi
Dengan watak culas pemerintah yang berkuasa di Negeri yang kaya dan subur ini, tidak satupun sektor yang luput dari penghisapan dan berbagai bentuk penindasan yang dilahirkan dari pelayanan setianya kepada Imperialisme bersama sekutunya didalam negeri, yakni borjuasi besar komprador dan tuan tanah. Melalui Instrumen Negara yang berada dibawah kuasanya, seperti PTPN, PERHUTANI dan INHUTANI, pemerintahan rezim boneka SBY-Boediono beserta seluruh jajarannya telah menggunakan Negara sekaligus menjadi tuan tanah yang bersama-sama dengan perusahaan-perusahaan swasta begitu rakus menguasai tanah-tanah rakyat, mengeruk seluruh sumber daya alam dan menghisap tenaga kerja dengan upah yang rendah.

Demikian juga terhadap pemuda dan mahasiswa, tidak terlepas dari seluruh skema penghisapan imperialisme yang dijalankan oleh pemerintahan SBY-Boediono hingga menjelang akhir periode kedua pemerintahannya saat ini. Secara umum, pemuda dihadapkan dengan persoalan khusus sesuai sektor persebarannya. Pemuda yang terserap dalam Industri atau sektor perburuhan, telah dihadapkan dengan pemotongan upah yang sedemikian rupa, melalui kebijakan efisiensi produksi yang memaksakan mereka harus bekerja hingga melebihi waktu jam kerja dibatas kewasajarannya.

Dengan sistem kontrak dan Outsouching yang diadopsi oleh pemerintah saat ini, kaum buruh bahkan dihadapkan dengan penghisapan berlipat ganda. Oleh perusahaan, upah buruh dipangkas melalui penambahan jam kerja (jam kerja berlebih), dipangkas pula untuk memenuhi premi jaminan sosial yang tidak mungkin dapat diterima secara utuh sesuai pemotongan selama masa kerja. Selain itu, Buruh mengalami pemotongan upah oleh perusahaan/yayasan penyalur tenaga kerja (yayasan outsourching) yang menjadi agennya. Selain pemotongan upah, buruhpun masih dihadapkan dengan keadaan kerja yang tidak layak, perlakukan managemen yang semena-mena dan berbagai bentuk diskriminasi lainnya.

Disamping kenyataan tersebut, kaum buruh masih dihadapkan dengan tindakan pemberangusan serikat (Union busting), yakni pelarangan berserikat oleh perusahaan. Upaya-upaya pelaranagan dan bentuk-bentuk pemberangusan yang dilakukan oleh perusahaan, mulai dengan intimidasi terhadap buruh, ancaman PHK, bahkan pemukulan, penangkapan dan pemenjaraan terhadap buruh yang berani melakukan protes atas kebijakan perusahaan. Fenomena semacam ini, kini sudah tak lagi mejadi rahasia, bahkan sudah dipandang lumrah oleh pengusaha bahkan pemerintah, sehingga Pemerintah tidak pernah memberikan tindakan kongkrit dalam menyelesaikan persoalan buruh saat ini.

Pemuda yang tersebar disektor agraria atau menjadi petani (sebagian besar pemuda tersebar dipedesaan menjadi petani atau pengangguran) dihadapkan dengan perampasan tanah yang kian meluas. Diskriminasi sosial, dan berbagai bentuk kekerasan dan tindasan keji dari borjuasi besar komprador dan tuan tanah bersama pemerintah dengan seperangkat alat pemaksanya (TNI, POLRI) maupun sipil (Pamswakarsa) yang dapat dimobilisir dalam mengamnakan setiap proses eksekusi lahan yang direbut dari kaum tani.

Selain bentuk-bentuk ketertindasannya seperti ketertindasan buruh dan tani (dua komposisi Masyarakat dengan jumlah terbesar) tersebut, pemuda secara khusus juga memiliki persoalan pokok secara sektoral. Sebagai jaminan atas kelansungan hidupnya yang lebih baik, pemuda dihadapkan dengan sempitnya lapangan kerja, sehingga meskipun telah disulap dengan berbagai manipulasi angka statistik, angka pengangguran terus meningkat berbanding lurus dengan angka kemiskinan, yakni mencapai 60% (Usia 16-18 Th) atau sama dengan 37.755.600 Jiwa dari 62,926 juta jiwa total jumlah pemuda Indonesia. Kenyataan tersebut, telah menjebak sebagian pemuda Indonesia kemudian terpaksa menjadi buruh migran (BMI/TKI) tanpa jaminan yang jelas atas kesejahteraan dan perlindungannya. 

Ditengah penghisapan yang sedemikian hebat, dilapangan kebudayaan pemuda juga harus kehilangan kesempatan untuk dapat berpartisipasi penuh dalam mengembangkan kebudayaan masyarakat. Situasi tersebut ialah akibat dari mahalnya biaya pendidikan yang terus meningkat, terbatasnya kuota penerimaan peserta didik disetiap jenjang pendidikan serta, berbagai bentuk diskriminasi dalam penerimaan peserta didik. Dalam kenyataannya, sesuai data yang dirilis oleh BPS 2011, dari 242,7 Juta jiwa penduduk Indonesia, terdapat 62.926,00 Juta jiwa adalah pemuda (Usia 16-30 Tahun), 25 juta dari mereka yang usia kuliah (18-25 tahun) yang terserap kedalam jenjang pendidikan tinggi, tidak lebih dari 4,8 juta. 

Selain dengan persoalan tersebut, pemuda yang mendapat kesempatan mengenyam pendidikan tinggi, bukan berarti terbebas dari berbagai persoalan lainnya di dunia pendidikan. Sepanjang usia menjadi peserta didik, selama itu pula mereka dijerat dengan biaya yang terus meningkat setiap tahun dan berbagai bentuk pungutan. Persoalan lainnya, ditengah mahalnya biaya pendidikan dan tidak ilmiahnaya kurikulum dan ilmu pengetahuan yang disajikan, pemuda juga tidak terbebaskan dari intimidasi, kekerasan, pengekangan, hilangnya kebebasan mimbar akademik dan berbagai bentuk tindakan anti demokrasi lainnya.

Berjalannya seluruh skema tersebut dengan begitu mulus, tidak terlepas dari Intervensi imperialisme, utamanya Amerika serikat melalui berbagai kebijakan dan perjanjian kerjasamanya yang dijalankan oleh pemerintah boneka didalam Negeri. Sejak paska ratifikasi perjanjian GATS-WTO Tahun 1995. Kini melalui perjanjian kerjasama komprehensif bilateral Amerika Serikat-Indonesia (US-INDO Comprehensif Partnership) tahun 2010, intervensi Amerika Serikat dilapangan pendidikan kian menguat. Bahkan dalam setiap kerjasama bilateral AS-INDO tersebut, dunia pendidikan Indonesia menjadi sasaran paling strategis. Setelah bertahun-tahun Bank Dunia dan ADB “membina” pendidikan dasar dan menengah seperti program sertifikasi guru, sekarang Amerika Serikat sangat fokus menarik kalangan akademisi di universitas untuk mendukung kepentingan imperialisme dan feodalisme di Indonesia.

Dalam krisis kronis yang semakin akut, kebangkitan gerakan pemuda khususnya mahasiswa sangat menakutkan bagi imperialisme dan pemerintah reaksi di Negara setengah jajahan dan setengah Feodal yang senantiasa menjadi boneka bagi Imperialisme. Peranan pemerintah bersama segenap perengkat dilapangan pendidikan, baik dari kementerian hingga birokrat kampus ialah mencegah mereka (Mahasiswa) terhubung dengan tuntutan dan gerakan klas buruh dan kaum tani di pedesaan. Karena itu kampus-kampus menjadi sasaran utama penumpulan perjuangan dan juga berbagai bentuk intimidasi, teror dan kekerasan.

Dominasi kebudayaan imperialisme di kampus terus diperkuat. Kampus-kampus dan sekolah didominasi oleh skema kebijakan dan ide-ide imperialis dan tuan tanah. Mereka membungkam gerakan mahasiswa demokratis secara simultan dengan berbagai cara penumpulan perjuangan, seperti menerapkan biaya pendidikan yang tinggi, pertukaran pelajar dan mahasiswa ke luar negeri, dan mempromosikan individualisme dalam berbagai bidang secara agresif. Bahkan, pemerintah Indonesia bersama birokrasi kampus telah membuka pusat kebudayaan Amerika Serikat (American Corner) di 19 (Sembilan belas) kampus besar Negeri dan kampus-kampus swasta penting yang disediakan sebagai media lansung promosi budaya Amerika dikampus-kampus. Birokrat Kampus mengabdi sepenuhnya pada imperialis dan tuan tanah, melalui riset dan rancangan legislasinya mereka menipu rakyat agar bersedia menerima keberadaan perusahaan-perusahaan besar. Sebagai salah satu contohnya, birokrat dan peneliti senior Universitas Negeri di Kalimantan dengan militan membela kepentingan Sinar Mas grup dari serangan rakyat yang dirampas tanahnya.

Berbagai paket program untuk mendiktekan kebijakan negara dan memobilisasi para akademisi dan mahasiswa untuk membela kepentingan Amerika Serikat di Indonesia yaitu: University Partnerships yang khusus merancang hubungan kerjasama antar kampus untuk pertukaran sistem belajar hingga materi ajar, pertukaran riset sesuai dengan fokus yang ditentukan dan diarahkan oleh Amerika Serikat. Seluruh kampus negeri di Indonesia terhubung erat dengan berbagai kampus Amerika yang ditunjuk melalui program ini untuk “membimbing” kampus Indonesia agar memiliki sistem pendidikan “berstandar Amerika”; The Higher Education Leadership, Management, and Policy (HELM) yang khusus mendorong pendidikan biaya tinggi, mendorong adanya “otonomi palsu” di kampus-kampus utama Indonesia, dan membuat regulasi agar dapat mengontrol dan menumpulkan perjuangan di kampus.

Program lainnya, Indonesia Council for Higher Education Partnership; Fulbright Indonesia Research, Science and Technology (FIRST) adalah program khusus untuk membina tenaga pengajar dan lulusan terbaik Indonesia agar memiliki pandangan pro imperialis dan bersedia mengabdi pada imperialisme dan feodalisme di Indonesia; Community College Initiative–; dan berbagai aktivitas riset seperti The joint research voyage of NOAA’s Okeanos Explorer and Indonesia’s Baruna Jaya. Seluruh universitas negeri dan swasta utama Indonesia terintegrasi dalam program ini, terutama empat universitas unggulan Indonesia yakni: Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Gajah Mada (UGM).

Seluruh kesepakatan Kerjasama Bilateral Komprehensif Indonesia-Amerika Juni 2010 telah menjadi pedoman atau haluan bagi pemerintah RI di bawah SBY dalam menjalankan kebijakannya. Ia telah menjelma menjadi Rencana Pembangunan Jangka Panjang sesungguhnya di Indonesia. Hal ini didukung dan diperparah oleh berbagai kerjasama bilateral komprehensif serupa dengan berbagai negeri imperialis lain seperti Australia, Jerman, dan Jepang.  Dalam situasi semacam itu, bangsa dan rakyat Indonesia terus dirampas kedaulatan dan kebebasannya, dan menjadi “penyelamat krisis di Amerika Serikat,” membantu memperkuat dominasi imperialisme Amerika Serikat di Asean, Regional Asia dan Dunia.

2. Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU PT No 12. Th. 2012) sebagai salah satu skema penerapan kerjasama komprehensif AS-Indonesia (US-INDO Comprehensif Partnership 2010) dilapangan pendidikan
Penerapan setiap program kerjasama komprehensif tersebut, salah satunya dapat dilihat dari pengesahan Undang-undang pendidikan (UU PT) yang akan terus mengarahkan pendidikan tinggi dalam kubangan “Privatisasi, komersialisasi dan liberalisasi”. Melalui UU tersebut, pemerintah Indonesia telah menjanjikan keuntungan besar bagi Imperialisme dan borjuasi komprador didalam negeri, yakni keuntungan secara Ekonomi: Dapat mendatangkan keuntungan yang besar, Secara Politik: Sebagai mesin yang melahirkan analisis-analisis yang menguatkan, melegitimasi atau bahkan melahirkan suatu kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah, dan secara Kebudayaan:  Sebagai corong propaganda, sebagai salah satu sandaran bagi Imperialisme dalam mentranspformasikan ide dan kepentingannya, yang sesungguhnya bertentangan dengan kepentingan rakyat.

Secara historis, lahirnya undang-undang tersebut tidak terlepas dari upaya pemerintah untuk mengakomodir kepentingan imperialisme beserta sekutunya didalam negeri (Tuan tanah dan borjuasi komprador). Dalam upaya tersebut, sebelumnya pemerintah telah melahirkan berbagai kebijakan dilapangan pendidikan yang samasekali tidak memiliki orientasi untuk menjawab kebutuhan rakyatnya, yaitu: PP no 61 tahun 1999 tentang PT BHMN, UU no 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional, UU no 9 tahun 2009 tentang BHP, PP no 17 dan 66 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan tinggi dan, hingga saat ini ialah undang-undang pendidikan tinggi (UU PT).

Secara khusus, UU ini juga di latar belakangi oleh pencabutan Undang-undang badan hukum pendidikan (UU BHP) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2010, setelah mendapatkan tentangan keras dari berbagai kalangan, terutama dari kalangan mahasiswa maupun dari elemen rakyat lainnya. Karena itu, dalam keputusannya MK menyebutkan bahwa UU BHP bertentangan dengan UUD 1945 (Keputusan MK RI No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009). Alasan lainnya ialah UU tersebut terbukti tidak mampu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, bahkan telah menyebabkan pendidikan semakin jauh dari kemampuan rakyat untuk dapat mengaksesnya.

3. Dampak UU PT bagi rakyat dan kehidupan didalam Kampus
Seluruh kebijakan imperialisme tersebut merupakan manifestasi dari SAP’s (structural adjustment programs) dan segenap paket kebijakan perjanjian kerjasama komprehensif US-INDO, yaitu kebijakan neo-liberal yang dipakaskan oleh imperialisme untuk mendominasi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Dengan berbagai skema dan orientasi tersebut, dampak lansung dari UU PT, dipastikan akan menyebabkan:

a). Semakin melambungnya biaya Pendidikan Tinggi: PT terus diarahkan untuk menyelenggarakan pendidikan secara mandiri, sementara pemerintah hanya mengalokasikan 2,5% dari anggaran fungsi pendidikan untuk dana operasional bagi PTN dan PTS yang meliputi pembiayaan investasi, pegawai, operasional, dan pengembangan institusi. Dalam UU tersebut, pemerintah juga mengatur bahwa dengan adanya otonomi, setiap PTN dan PTS memiliki kewenangan untuk menetapkan jenis biaya pendidikan sendiri diluar biaya penyelenggaraan pendidikan (SPP). Dalam kebijakan sebelumnya (PT BHMN-BHP), juga mengatur hal yang sama, namun biaya pendidikan tinggi tetap mengalami penaikan mencapai 40-50% pertahun.

Dalam UU ini, pemerintah juga mendorong terbangunnya kerjasama dan usaha mandiri dari suatu PT dengan swasta ataupun dengan pemerintah. Artinya bahwa jika terbangun kerjasama atau usaha mandiri sekalipun, pendapatan PT akan sangat ditentukan oleh jenis dan bentuk kerjasama atupun usaha mandiri yang dibangunnya, besaran saham dan kesepakatan perjanjian Sharing/distribusi hasil. Pelajaran akan hal tersebut dapat diambil dari pengalaman sebelumnya, (Ex: PT. BHMN Institut Pertanian Bogor/IPB) yang memiliki lebih dari 125 kerjasama Internasional, lebih dari 500 kerjasama didalam Negeri, memiliki lahan pertanian dan pekebunan 200 ribu ha, 1 Mall (Botani Square) dan, 1 Hotel berbintang 5.  Faktanya dengan sekian banyak kerjasama dan usaha mandiri, namun sama sekali tidak mampu meringankan beban biaya yang harus ditanggung oleh mahasiswa. Dalam praktek lain, justeru pengelolaan aset, khususnya untuk perkebunan dan pertanian justeru banyak menggunakan tenaga mahasiswa dengan dalih praktikum.

b). Pendidikan hanya diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan pasar: Dampak lain dari UU ini juga manifest skema imperialisme atas perdagangan tenaga kerja, melalui program fleksibelitas pasar tenaga kerja (labour market flexibellity-LMF). Dalam UU PT. dijelaskan bahwa seluruh dosen dan tenaga kependidikan akan menjalankan dua pola yakni 1). diangkat oleh pemerintah, kemudian selanjutnya disebut sebagai PNS, dan 2). diangkat oleh badan penyelenggara atau perguruan tinggi yang bersangkutan, kemudian selanjutnya disebut sebagai pegawai perguruan tinggi. Artinya, terang bahwa dengan skema tersebut menempatkan dosen dan tenaga kependidikan dalam jurang sistem kerja kontrak dan outsourcing. Selain itu, mahasiswa-pun menjadi sasaran perdagangan tenaga kerja bagi pihak kampus ataupun pemerintah secara lansung. Dengan dalih praktikum atau training, mahasiswa dipekerjakan diperusahaan-perusahaan swasta (dalam atau luar Negeri) selama 6 (Enam) bulan hingga satu tahun, dengan upah yang murah, bahkan tidak sama sekali.

Skema ini adalah skema yang dilahirkan oleh IMF dan Bank Dunia di kampus-kampus yang sudah menerapkan PT BHMN dan BHP ataupun BLU sebelumnya tanpa jaminan atas masa depan yang jelas, dimana kontrak kerja dapat diputus secara sepihak, minimnya jaminan sosial dan hubungan industrial yang selalu merugikan pegawai non PNS. Praktek pembukaan outsourcing di dalam kampus pun sudah berjalan, misalnya UI, sekaligus menjadi salah satu sumber pendapatannya. Demikian pula di kampus UPI, dan UGM yang masih berstatus PT BHMN. Peraturan tersebut diatur dalam UU PT tentang kesejahteraan dosen dan tenaga kependidikan. Dengan demikian, nasib tenaga kependidikan akan mengikuti UU no 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan.

c). Kesenjangan antar PTS di Dalam Negeri dengan PT Asing: Hal tersebut adalah konsekwensi lansung yang akan dialami oleh PTS didalam Negeri. Dengan pendirian PTA akan membuka peluang adanya penutupan PTS-PTS di Indonesia yang tidak mampu bersaing dengan PTA yang didirikan di Indonesia, baik karena persaingan atas kualitas yang dimiliki PTA yang lebih baik daripada PTS-PTS di Indonesia dan didukung dengan kemapanan (Establish) PTA-PTA tersebut dalam hal pengelolaan keuangan.

d). Semakin sempitnya akses rakyat atas pendidikan: Berdasarkan data BPS Maret 2011, pemuda Indonesia yang berusia 19-24 tahun berjumlah 25,404 juta jiwa, sedangkan jumlah penduduk yang masuk dalam kategori miskin per Maret 2011 mencapai 30,5 juta jiwa, dengan pendapatan perkapita sebesar Rp.233.740 perbulan. Sedangkan penduduk yang memiliki pendapatan antara Rp.233.740-Rp.280.488 masuk dalam kategori hampir miskin, dengan jumlah 27,12 juta jiwa atau 11,28% dari total penduduk Indonesia. Artinya dengan kenyataan demikian, bagi calon peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu dan tidak memiliki prestasi secara akademik, dipastikan tidak akan bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.

Per-Agustus 2011, BPS juga menyebutkan bahwa mayoritas rakyat Indonesia berprofesi sebagai petani dan nelayan sebesar 42,8 juta jiwa, lalu diikuti oleh pekerja atau buruh pabrik dan pertambangan dengan total 14,24 juta jiwa, serta masyarakat yang berwiraswasta sebanyak 22,1 juta jiwa. Kenyataan tersebut menjelaskan bahwa, dengan pendapatan rata-rata petani dan nelayan (sebagai komposisi yang mayor dari total jumlah populasi dan dari total angkatan kerja di Indonesi) perbulan yang tidak lebih dari Rp.550.000–Rp.750.000 perkapita, tentu merekalah yang secara umum merasakan efek UU PT saat ini.

Sementara, didalam UU PT mengatur untuk memberikan prioritas bantuan akses pendidikan tinggi hanya untuk 20% calon peserta didik dari keluarga miskin yang berprestasi. Belum lagi ketika melihat skema penyaluran bantuan tersebut adalah melalui beasiswa dengan sistem penyaringan yang ketat dan hanya memprioritaskan calon peserta didik yang berprestasi. Secara kebudayaan, skema tersebut justeru akan menjebak peserta didik dalam persaingan yang akan menumbuh suburkan watak individualis pada peserta didik dan melahirkan kesenjangan antar peserta didik.

e). Semakin hilangnya demokratisasi dalam kehidupan kampus
Dari aspek sejarah atau latar belakang lahirnya UU ini, menjelaskan bahwa orientasi atas penyelenggaraan pendidikan tinggi, secara penuh untuk mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya baik secara ekonomi, politik maupun kebudayaan, serta terlepasnya tanggungjawab pemerintah atas pendidikan tersebut. Artinya bahwa, selain untuk mempertahankan keterbelakangan kebudayaan masyarakat Indonesia dan untuk dapat menarik investasi sebesar-besarnya dari sektor pendidikan, maka akan sangat dibutuhkan kestabilan politik didalam kampus.

Yang paling berbahaya bagi perkembangan budaya masyarakat di Indonesia adalah arah pendidikan yang terus difokuskan pada Ide dan kepentingan Imperialis melalui pemerataan kurikulum yang distandarkan pada kurikulum pendidikan AS. Karenanya, untuk menjamin hal tersebut pemerintah akan terus memasung demokratiasai didalam kampus dan menghilangkan kebebasan mimbar akademik. Pemerintah akan terus menghambat bangkitnya kesadaran politik mahasiswa dengan cara menyibukkan mahasiswa dengan berbagai aktifitas akademik seperti memperbanyak tugas kuliah, praktikum dll. guna menjauhkan mahasiswa dari kenyataan sosial masyarakatnya.

Perampasan hak demokratis mahasiswa maupun civitas akademik lainnya akan semakin nyata, dimana akan semakin hilangnya kebebasan berorganisasi, mengeluarkan pendapat, kebebasan akademik ataupun untuk menjalankan aktfitas politik dan kebudayaan lainnya didalam kampus. Kaitannya dengan hal tersebut, seiring kencangnya gerakan penolakan UU PT, maupun gerakan protes atas berbagai kebijakan lainnya, pemerintah terus mempropagandakan “Normalisasi gerakan mahasiswa”, dilahirkannya UU Ke-Ormasan, Rancangan Undang-undang tentang Keamanan Nasional (RUU KAMNAS) yang akan semakin menyulitkan ruang gerak bagi organisasi rakyat maupun organisasi mahsiswa. Hal tersebut juga diatur dalam UU PT tentang organiasasi kemahasiswaan dan tentang “dikotomi” organiasasi kemahasiswaan “Intra dan Ekstra”.

B. Jalan keluar bagi pemuda dan mahasiswa dan peranannya dalam perjuangan rakyat
Dalam paparan sebelumnya, dijelaskan bahwa pemuda tersebar dalam seluruh sektor rakyat yang hidup baik di perkotaan maupun di pedesaan secara teritorial. Secara khusus dilapangan pendidikan, jumlah seluruhnya pemuda mahasiswa Indonesia berjumlah kurang lebih 4,8-5,2 juta jiwa dengan persebaran 1,03 juta di PTN, 2,8 juta di PTS, 92 ribuan PTAI, 570 ribuan di UT, dan 645 ribu Pendidikan Kedinasan. Namun, dari 5,2 juta jiwa hanya 6% dari rakyat yang berasal dari kalangan menengah ke bawah dan yang 94% berasal dari menengah ke atas.

Pemuda yang tersebar diseluruh sektor rakyat, baik secara teritorial maupun profesi, maka setiap persoalan pemuda tidak terlepas dari persoalan rakyat disektor lainnya. Demikian pula dengan persoalan khususnya secara sektoral, utamanya persoalan “sempitnya lapangan kerja, pendidikan yang tidak terjangkau, tidak ilmiah, tidak demokratis dan mengabdi pada rakyat, serta persoalan demokratisasi maupun diskriminasi lainnya” secara sistemik telah terhubung erat dengan persoalan rakyat disektor lainnya, baik disektor  Buruh, Tani, Kaum miskin kota maupun sector lainnya, yang terangkum dalam persoalan pokok rakyat atas perampasan “Upah, Tanah dan kerja”.

Dalam situasi krisis yang kian meluas dan telah memperhebat penghisapan Imperialisme yang semakin brutal dan meningkatnya drajat fasisme rezim boneka dalam negeri saat ini, maka dalam momentum hari sumpah pemuda kali ini (28 Oktober 2012), seluruh pemuda Indonesia harus mampu mengambil pelajaran dan inspirasi atas sejarah dan semangat sumpah pemuda, yang lahir untuk membebaskan rakyat dan bangsa Indonesia dari jajahan kolonial Belanda yang begitu kejam selama ratusan tahun. Dengan demikian, kini seluruh pemuda Indonesia harus dapat memahami kenyataan sosialnya, terus belajar dan menggali akar persoalannya, kemudian bangkit dan menggalang persatuan dan berjuang bersama. Dengan semangat persatuan dan pengabdian pada Rakyat, Bangsa dan Negara, pemuda Indonesia harus terhubung kuat dan mampu meyatukan diri dengan seluruh rakyat Indonesia untuk berjuang bersama melawan dominasi dan penindasan ”Imperialisme, Feodalisme dan kapitalisme Birokrat”, untuk mewujudkan Negara yang maju, berdaulat, berkeadilan, sejahtera dan mandiri. 

Secara sektoral, program perjuangan bagi pemuda kemudian harus dapat diletakkan pada perjuangan menuntut ketersediaan lapangan kerja yang luas dan merata bagi seluruh pemuda dan Rakyat Indonesia, dan program perjuangan mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang ilmiah, demokratis dan mengabdi pada Rakyat. Kemudian perjuangannya dalam skup yang lebih luas untuk menghancurkan dominasi Imperialisme, Feodalisme dan Kaitalisme birokrat sebagai kontradiksi pokok rakyat, maka pemuda mahasiswa sebagai salah satu bagian yang terintegrasi dari perjuangan rakyat, diperkotaan harus terhubung dan bertalian erat dengan perjuangan buruh menutut lapangan kerja dan upah yang layak. Demikian pula di pedesaan, perjuangan pemuda dan mahasiswa harus dapat diintegrasikan dengan perjuangan kaum tani melawan perampasan dan monopoli tanah dan, mewujudkan reforma agraria  sejati sebagai sandaran utama untuk membangun Industri Nasional yang menjamin kedaulatan dan kesejahteraan rakyat.

Pemuda-mahasiswa dengan segenap kesadaran majunya, dengan seluruh keahlian akademik dan kemampuan praktisnya, harus terus meningkatkan semangat dan pengabdiannya terhadap rakyat, baik dalam upaya menyelesaikan berbagai persoalan sosial ekonominya maupun dalam upaya meningkatkan kesadaran rakyat untuk bangkit dan berjuang bersama untuk mewujudkan kebebasan dan kemerdekaan yang sejatinya.


Hidup Pemuda Indonesia!
Hidup Rakyat Indonesia!
Jayalah Perjuangan Rakyat!


[1] Ketika itu, pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan Poltik Etis yang memberikan kesempatan kepada kalangan pribumi—terutama kalangang priyayi—untuk mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Hal ini ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrative yang akan mengisi pos-pos pemerintahan colonial, tenaga administrative di pabrik-pabrik milik pemerintah colonial.
[2] Fase ini dikenal dengan fase kabangkitan nasional atau pergerakkan nasional, karena tumbuh dan berkembangnya kesadaran yang kian meluas dari masyarakat Indonesia untuk menjadi bangsa yang merdeka dan, maraknya pergerakan politik di mana-mana melawan kolonial Belanda.
[3] Taman Djaja “Pusaka Indonesia”, hlm. 347-353
[4] Millennium Challenge Corporation (MCC) http://www.mcc.gov/pages/countries