ANGGARAN
UNTUK PENDIDIKAN
CERMINAN
BURUKNYA PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
DIBAWAH
REZIM SBY-BOEDIONO
Indonesia dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 di alinea keempat secara tegas menyatakan bahwa
“mencerdaskan kehidupan bangsa” merupakan tujuan didirikannya NKRI dan
merupakan tanggung jawab negara dalam penyelenggaraannya seperti yang tercantum
dalam batang tubuh UUD 1945 pasal 31.
Dari total 237 juta jiwa lebih penduduk Indonesia, diantaranya terdapat 46,28
juta jiwa usia sekolah tingkat dasar (6-14 tahun), 12,6 juta jiwa sekolah tingkat menengah (15-17
tahun) dan 54,42 Juta jiwa tingkat pendidikan tinggi (18-30 tahun). Dengan
jumlah peserta didik yang besarnya sekitar 47,8% dari total penduduk Indonesia.
Dengan demikian penyelengaraan pendidikan harus dijamin oleh negara agar rakyat
dapat mengakses dan menikmati setiap jenjang pendidikan di Indonesia.
Sebagai salah satu upaya negara
dalam menyelenggarakan pendidikan yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa
yakni dengan memberikan anggaran secara tersendiri dalam bidang pendidikan.
Upaya ini dapat diketahui dengan adanya landasan secara normatif pada UUD 1945
pasal 31 ayat 4 “Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya dua puluh persen
dari anggaran pendapatan
dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional“. Berikut perjalanan
anggaran pendidikan di Indonesia :
Tabel
1
Postur
Anggaran Pendidikan dalam APBN (2005-2011)
(dalam
milyar Rupiah)
No
|
Tahun
|
Jumlah APBN
|
Jumlah Anggaran Pendidikan
Berdasarkan Fungsi
|
Rasio
|
Jumlah Anggaran Pendidikan
Termasuk Gaji Tenaga Pendidik dan Kependidikan
|
Rasio
|
1
|
2005
|
509.632,4
|
29.307,9
|
5,75%
|
-
|
-
|
2
|
2006
|
667.128,7
|
45.303,9
|
6,79%
|
-
|
-
|
3
|
2007
|
757.649,9
|
50.843,4
|
6,71%
|
-
|
-
|
4
|
2008
|
989.493,8
|
55.298.0
|
5,6%
|
154.361,03
|
15,6%
|
5
|
2009
|
1.000.843,9
|
84.919,5
|
8,48%
|
208.286,63
|
20,8%
|
6
|
2010
|
1.126.146,4
|
90.818,3
|
8,06%
|
229.229,3
|
20%
|
7
|
2011*
|
1.229.558,5
(1.313.446,5)
|
91.483,0
|
7,38%
|
248.978,4
|
20,25%
|
Catatan:
* masih dalam Pembahasan dalam RAPBN-P 2011
Sejak dibawah kepemimpin SBY,
perjalanan anggaran untuk pendidikan memang dalam aspek jumlah atau nominal mengalami
kenaikan tiap tahunnya. Namun kenaikan nominal anggaran pendidikan tidak
memenuhi rasio prosentase sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 31 ayat 4 yakni
20% dari APBN dan APBD. Selain itu, sejak tahun anggaran 2008 hingga sekarang,
anggaran pendidikan dijadikan satu dengan gaji-tunjangan tenaga pendidik dan
tenaga kependidikan. Akan tetapi, jika kita melihat tabel 1 diatas selama 7 tahun
anggaran untuk menjalankan pendidikan berdasarkan fungsinya tidak pernah
melewti rasio 10% bahkan mengalami penurunan secara prosentase sejak tahun
anggaran 2009 hingga 2011.
Namun lain hal dengan anggaran yang
digunakan pemerintah untuk membayar bunga hutang luar negeri maupun dalam
negeri. Berikut tabel yang akan menjelaskan nominal bunga hutang yang
dianggarkan oleh rezim SBY dari tahun 2005 hingga tahun 2011 :
Tabel 2
Postur Anggaran Pembayaran Bunga
Hutang (2005-2011)
(Dalam Milyaran Rupiah)
No
|
Tahun
|
Jumlah
APBN
|
Jumlah
Pembayaran Hutang
|
Rasio
|
1
|
2005
|
509.632,4
|
65.199,6
|
12,79%
|
2
|
2006
|
667.128,7
|
79.082,6
|
11,85%
|
3
|
2007
|
757.649,9
|
79.806,4
|
10,53%
|
4
|
2008
|
984.630,7
|
88.429,8
|
8,98%
|
5
|
2009
|
937.382,1
|
93.782,1
|
10%
|
6
|
2010
|
1.047.117,2
|
88.383,2
|
8,44%
|
7
|
2011
|
1.229.558,5
(1.313.446,5)
|
115.209,2
|
9,36%
|
Sumber : UU APBN tahun 2005-2011
Dari data tabel 2 diatas kita dapat melihat
bahwa pembayaran hutang baik dalam negeri maupun luar negeri selalu diatas 8 %
bahkan pernah mencapai 12,79% dari total APBN. Berbanding terbalik dengan
kondisi anggaran untuk pendidikan hanya 7 – 9 % saja dari total APBN.
Dengan melihat komposisi anggaran
pendidikan dan anggaran untuk pembayaran hutang. Sudah sangat jelas sekali
bahwa selama kepemimpinan rezim SBY selalu mengeluarkan kebijakan yang anti
rakyat. Padahal pembayaran hutang yang tiap tahun dibayarkan oleh negara
melalui APBN adalah hutang banyak dikorupsi oleh para pejabat, politisi partai,
menteri, Anggota DPR-RI, DPRD, dan Presiden (Soeharto). Akan tetapi rakyat
Indonesialah yang harus menanggung beban untuk membayar cicilan bunga hutang
tiap tahunnya.
Proses kebijakan penggabungan gaji-tunjangan
tenaga pendidik dan kependidikan dimulai ketika Mahkamah Konstitusi
mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
tanggal 20 Februari 2008
Nomor 24/PUU-V/2007 perihal
pengujian Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan
Nasional dan Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2006 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2007 terhadap
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Tentu
alasan inilah yang digunakan oleh rezim SBY yang anti rakyat untuk menggabungkan
gaji-tunjangan tenaga pendidik dan kependidikan dimasukkan kedalam anggaran
pendidikan. Tentu dengan minimnya anggaran pendidikan sesuai fungsi dan
ditambah dengan besarnya anggaran pendidikan yang terserap untuk gaji-tunjangan
tenaga pendidik dan tenaga kependidikan berdampak negatif terhadap
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Kita tidak bermaksud untuk tidak
memperhatikan aspek kesejahteraan bagi guru, dosen dan karyawan. Namun yang
perlu ditekankan bahwa gaji-tunjangan guru, dosen dan karyawan haruslah
memiliki pos tersendiri dan tidak digabungkan dalam anggaran pendidikan. Tentu
dengan memisahkan pos anggaran gaji-tunjangan guru, dosen dan karyawan dengan
anggaran pendidikan akan menambah peluang untuk dilakukannya perbaikan dalam
penyelenggaran pendidikan. Akan tetapi, watak keras kepala dari rezim SBY tidak
pernah melihat dan memiliki niatan untuk memperbaiki kondisi pendidikan
Indonesia yang curat-marut.
Walaupun tiap tahun pemerintah
mengambil kebijakan untuk meningkatkan pos anggaran pendidikan. Akan tetapi,
kenaikkan juga diikuti oleh pos gaji-tunjangan bagi guru, dosen dan karyawan.
Tentu pos biaya untuk pengadaan sarana dan prasarana, bantuan operasional
seperti buku, jurnal, alat praktikum dan kebutuhan kegiatan belajar mengajar
serta pemeliharaan sarana dan prasana akan semakin terpinggirkan. Padahal tiga
pos biaya tersebutlah yang sangat mempengaruhi kualitas pendidikan di
Indonesia.
Efek negatif dari rendahnya alokasi
anggaran untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan dapat kita ketahui dengan
minimnya sarana dan prasarana pendidikan, tinggi biaya pendidikan dan rendahnya
akses pendidikan bagi rakyat Indonesia. Hal ini dikarenakan dengan minimnya
anggaran untuk pendidikan, setiap satuan pendidikan diperbolehkan menarik dana
dari masyarakat sebagai alternatif untuk menutupi biaya penyelenggaraan
pendidikan yang sudah terserap untuk gaji-tunjangan bagi tenaga pendidik dan
kependidikan. Tentu fenomena ini melahirkan pendapat dari rakyat Indonesia
bahwa telah terjadi komersialisasi pendidikan di Indonesia.Total 144.000 unit
sekolah SD yang 91% adalah SDN, ditingkat SMP terdapat 26.000 unit sekolah yang
57% adalah negeri, dan untuk terdapat SMA berjumlah 16.000 unit sekolah yang sekitar
37% adalah negeri. Dengan minimnya ketersediaan sarana berupa gedung sekolah
juga menentukan partisipasi masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya.
Berikut data partisipasi masyarakat di pendidikan formal dari SD-SMA :
2008
SD = 97,83%
SMP = 84,41%
SMA = 54,70
2009
SD = 97,95%
SMP = 85,43%
SMA = 55,05%
2010
SD = 97,96%
SMP = 86,11%
SMA = 55,83%
(sumber
Kompas, 6 Juli 2011)
Adapun faktor lain yang menyebabkan
semakin menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dari satu jenjang ke jenjang
lainya juga dipengaruhi oleh tingginya biaya pendidikan yang harus dibayarkan
oleh rakyat Indonesia. Dengan melihat data partisipasi masyarakat dalam
pendidikan formal dari bangku SD hingga SMA. Tentu fakta sosial ini merupakan
efek negatif dari minimnya rendahnya anggaran pendidikan yang benar-benar
mendukung fungsi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Misalnya lebih dari
1,1 juta lulusan SMP tidak tertampung dalam SMA/SMK/MA, padahal total lulusan
SMP sekitar 4,2 juta/tahun. Akan tetapi, sekali lagi rezim
SBY-Boediono tidak menghiraukan fakta sosial tersebut. Malah dalam beberapa
pidato kenegaraan yang dilakukan oleh SBY dengan sombongnya SBY menjelaskan dan
memaparkan bahwa anggaran pendidikan sudah 20% dan tingkat kemiskinan pun
menurun. Akan tetapi, sebagai rezim yang anti rakyat SBY tidak akan
memberitahukan dan bertanggung jawab atas rendahnya partisipasi masyarakat
dalam pendidikan formal tingkat dasar dan menengah. Serta tinginya biaya
pendidikan yang harus dibayarkan oleh orang tua siswa.
Selain itu, efek negatif dari diterapkannya penggabungan anggaran
pendidikan dengan gaji guru, dosen dan karyawan juga mengakibatkan buruknya
penyelenggaran pendidikan tinggi di Indonesia. Hal ini ditandai dengan dari
total 83 PTN di Indonesia, hanya mampu menjaring 1.636.374 jiwa. Sedangkan
sisanya dijaring oleh sekitar 3000 PTS sebesar 3,6 juta jiwa lebih. Dengan
demikian untuk usia 19-23 yang berjumlah 21,18 juta jiwa hanya 24,67% saja yang
mampu mengenyam pendidikan tinggi di Indonesia. Akan tetapi, berbicara lingkup
yang lebih luas yakni pemuda Indonesia yang berumur antara 18-30 tahun dengan
jumlah 54,42 juta jiwa tentunya hanya 9,6% yang mampu mengenyam pendidikan
tinggi di Indonesia.
Penggabungan gaji-tunjangan guru,
dosen dan karyawan dalam anggaran pendidikan merupakan salah satu bentuk upaya pencabutan
atau pengurangan subsidi di sektor pendidikan. Hal dikarenakan setiap tahun
dalam APBN maupun APBD, postur pembayaran gaji-tunjangan bagi guru, dosen dan
karyawan mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Namun dilain sisi, untuk
biaya sarana dan prasarana, biaya operasional dan biaya pemeliharaan tidak
mengalami kenaikan yang cukup berarti malah mengalami kenaikkan. Bahkan Bantuan
Operasional Sekolah atau lebih dikenal BOS
yang seharusnya dapat menutup kebutuhan biaya operasional dan biaya
pembangunan sarana dan prasarana juga digunakan untuk menggaji guru dan
karyawan.
Selain itu, bukti bahwa penggabungan
anggaran pendidikan dengan gaji guru dan karyawan sebagai bentuk pengurangan
bantuan atau subsidi pemerintah dalam dunia pendidikan yakni rasio penggunaan
anggaran pendidikan sesuai fungsi (diluar gaji guru, dosen dan karyawan) sejak
tahun 2008 hingga sekarang tidak pernah melewati 10% dari total APBN apalagi
20% sesuai dengan UUD 1945 pasal 31 ayat 4.
Terakhir bahwa rezim SBY melakukan upaya
pengurangan bantuan atau subsidi pendidikan dapat kita lihat dari anggaran
pendidikan yang ditransfer ke daerah untuk pembiayaan pendidikan dan salah
satunya dalam bentuk Dana Alokasi Umum. Berikut tabel tentang DAU :
Tabel
3
Dana
Alokasi Umum untuk Pendidikan
(dalam
milyar)
No
|
Tahun
|
Total Transfer Ke Daerah
|
Total
DAU Pendidikan
|
DAU
untuk Gaji
|
DAU
non Gaji
|
1
|
2009
|
116.924.23
|
97.982,8
|
86.028,88
|
11.195.91
|
2
|
2010
|
126.363.1
|
110.980,0
|
100.352,3
|
10.491,91
|
3
|
2011
|
158.234,1
|
126.523,6
|
115.247,0
|
11.276,6
|
4
|
2012*
|
185.685,0
|
147.314,2
|
136.475,6
|
10.838,6
|
Catatan : * sedangkan dalam pembahasan
Dana Alokasi Umum secara konseptual
adalah dana yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk
membiayai pegawai negeri yang ada di daerah. Namun pembiayaan untuk guru dan
karyawan yang ada ditiap-tiap daerah pun dibiayai oleh anggaran pendidikan yang
ditransfer ke masing-masing daerah . Dengan demikian dana anggaran pendidikan
yang ditransfer ke daerah habis digunakan untuk membayar gaji tenaga pendidik
dan tenaga kependidikan. Serta efek dari penggunaan dana anggaran pendidikan
yang ditransfer ke daerah tidak mampu meningkatkan kualitas dan akses
pendidikan yang ada disetiap daerah di Indonesia.
Jika kita menilik kondisi rakyat Indonesia
yang notabene hampir 42 juta jiwa bekerja disektor pertanian, perkebunan dan
perikanan dengan profesi sebagai buruh tani, buruh perkebunan ataupun nelayan
kecil yang pendapatan perbulan/kapita
hanya Rp 300.000 – Rp 600.000. Lalu, hampir 15 juta buruh yang bekerja
disektor pertambangan, industri manufaktur dan konstruksi bangunan yang
pendapatan tiap bulannya dibawah KHL. Selain itu, 30,5 juta jiwa rakyat
Indonesia masih hidup dibawah garis kemiskinan dan 27,12 juta jiwa hidup diatas
ambang garis kemiskinan dengan pendapatan perharinya antara Rp 7000 – Rp
10.000. Tentu kebijakan anggaran pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah
dibawah kepemimpinan SBY tidak akan mampu menyelesaikan persoalan yang
pendidikan yang ada di Indonesia. Hal ini semakin menunjukkan bahwa pendidikan
di Indonesia hanya diperuntukkan untuk kalangan menengah-keatas.
Kenyataan ini semakin kita lihat, di
pendidikan tinggi dari 5,2 juta mahasiswa hanya 6% yang berasal dari masyarakat
yang tidak mampu secara ekonomi. Tiap tahunnya sebanyak 400.000 siswa SD dari
31 juta siswa SD menjadi korban putus sekolah karena ketidaksanggupan secara
ekonomi dan sebanyak 388.000 siswa SMP dari 13,3 juta siswa SMP juga harus
terpaksa berhenti ditengah jalan juga dengan alasan yang sama. Jika tiap tahun
penyelenggaran anggaran pendidikan yang tetap menggabungkan gaji-tunjangan
tenaga pendidik dan kependidikan akan semakin menciptakan kondisi bahwa
pendidikan merupakan hal yang hanya mampu dirasakan oleh masyarakat golongan
menengah-atas.
Namun, jika anggaran pendidikan
dipisahkan dengan dari gaji-tunjungan tenaga pendidik dan kependidikan dengan
memenuhi anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN-APBD serta tidak melupakan
aspek kesejahteraan tenaga pendidik dan kependidikan. Tentunya kualitas pendidikan
di Indonesia akan membaik. Hal ini dikarenakan anggaran pendidikan 20%dari
APBN-APBD yang sudah dipisahkan dari gaji-tunjangan dapat dimaksimalkan untuk
mensubdisi biaya pendidikan agar tidak ada lagi SPP, biaya sumbangan dan lain
sebagainya yang memberatkan orang tua peserta didik serta penyediaan sarana
prasarana seperti gedung, ruang kelas, perpustakaan, laboratorium, sarana olah
raga, seni budaya dan lainya. Selain itu, anggaran khusus untuk kesejahteraan
guru, dosen dan karyawan yang sudah dipisahkan dari anggaran pendidikan
tentunya juga harus diperhatikan agar hak-hak berupa gaji-tunjangan juga
dirasakan oleh para guru, dosen dan karyawan.
Akan tetapi, yang perlu kita ingat
dan garis bawahi bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh rezim SBY tentunya tidak
akan serta merta menuruti keinginan rakyat Indonesia. Hal ini dikarenakan
secara hakiki SBY merupakan rezim boneka Amerika yang paling setia dan loyal
terhadap kepentingan Amerika. Hal ini ditandai hingga hari ini SBY bersama
kabir dan borjuasi komprador lainnya telah menyediakan tenaga kerja murah dalam
jumlah yang sangat besar untuk mendukung industri negara-negara Imperialis
dibawah pimpinan Amerika. Kenyataan ini dapat kita ketahui banyak buruh-buruh
yang hanya lulusan SMP-SMA lalu diupah dengan tidak layak. Lalu, maraknya PHK
sepihak akibat penerapan sistem outsourcing
dan berlakunya sistem kerja kontrak yang banyak merugikan buruh-buruh
berupa pemotongan upah, tidak berikan kebebasan untuk berserikat dan banyak
lagi.
Selain itu, banyak intelektual
kompraodor yang diselenggarakan oleh sistem pendidikan di Indonesia sedikit
banyak telah mencekoki kebudayaan dan ideologi imperialis kepada rakyat
Indonesia. Hal ini dapat kita lihat peran intelektual komprador yang telah
menciptakan sistem ekonomi, hukum, budaya dan politik agar sesuai dengan
kepentingan negara-negara imperialis dibawah kepemimpinan AS. Untuk menutupi
kepentingan tersebut, dibungkuslah dengan memberikan fatamorgana atau ilusi
kepada rakyat bahwa sistem ekonomi yang mereka ciptakan dapat mensejahterakan
rakyat. Sistem hukum mereka dapat menegakkan keadilan, sistem budaya mereka
dapat meningkatkan kualitas peradaban serta sistem politik mereka yang mampu
menjadi alat untuk membentuk negara yang berpihak kepada rakyat. Dengan melihat
peran dan fungsi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia sangatlah penting
sebagai jalan masuk bagi kepentingan Imperialis melalui rezim boneka dalam
negeri dibawah komando SBY.